Kota yang Menyimpan Luka

“Jangan biarkan luka menuntun balas; biarkan ia menuntun pulang—ke versi dirimu yang lebih jujur.”

.

“Yang paling menyakitkan bukanlah dikhianati orang asing, tetapi dikhianati mereka yang pernah kita peluk dalam doa.”

.

Suara Kota, Suara Luka

Di tengah riuh rendah kota yang tak pernah tidur, Raden Wijaya berdiri menatap langit Jakarta dari jendela kamarnya di lantai tujuh belas. Di bawah sana, bundaran dengan lampu yang berputar-putar memantulkan kilau seperti sisik ikan, dan kemacetan menggila seperti biasa—klakson bersahutan bagai ratapan luka yang tak pernah selesai. Namun di benaknya, yang ramai bukanlah suara kota, melainkan suara masa lalu.

Jakarta baginya bukan sekadar ibu kota, tapi juga tempat pelarian; saksi hidup atas serpihan-serpihan kisah yang ia simpan rapat dalam dada—tentang cita-cita yang pecah, tentang nama baik yang diadang fitnah, tentang cinta yang ia tinggalkan sebelum sempat dimintai maaf. Kaca jendela membingkai bayangannya sendiri: laki-laki 39 tahun dengan rambut semakin tipis, mata menghitam, dan sepasang bahu yang belajar menanggung dengan tenang.

Ia meneguk kopi yang mulai dingin. Di layar laptop, halaman dokumen bertajuk NAGARA BAHAGIA YANG GAGAL terbuka. Kursor berkedip pelan, seperti detak jantung yang menunggu keputusan. Malam itu, Raden memutuskan menulis bukan karena ia kuat, melainkan karena ia lelah bersembunyi.

.

Raden Wijaya dan Proyek yang Hilang Arah

Raden bukan nama sembarang. Ayahnya, seorang guru ngaji di Jember, menamai demikian agar anaknya ingat bahwa “kemenangan tak selalu bersuara keras.” Sejak SMA ia merantau ke Surabaya, lalu ke Jakarta, mendaki dunia branding dan perencanaan kota seperti orang yang menghafal peta dengan mata tertutup. Di sela ambisi, ia menaruh doa dalam pekerjaan: agar setiap proyek tak hanya menjual fasad, tapi membangun martabat.

Pada tahun yang hujan datang terlambat, ia dan sahabatnya—Arya Menak Jingga—menggagas proyek sosial bertajuk Nagara Bahagia: pemukiman inklusif untuk para janda pensiunan, veteran, dan warga urban kelas bawah. Sebuah kampung vertikal di pinggir rel, lengkap dengan dapur komunitas, perpustakaan, dan ruang pelatihan kerja. “Di kota yang menumpuk gedung, kita menumpuk peluang,” kata Arya, matanya menyala.

Mereka mengusung nama-nama legendaris sebagai pengingat arah: Jokotole jadi nama dapur komunitas—ketangkasan bertahan hidup; Rengganis untuk perpustakaan—keanggunan pengetahuan; dan Wiraraja untuk aula rapat—kearifan mengatur marwah. Mereka mengirim proposal, mempresentasikan di forum-forum BUMN, mengundang dosen-dosen, meminjam reputasi tokoh-tokoh. Keberanian dan idealisme mereka menular.

Tapi ambisi kadang menikung nurani. Setelah pendanaan hibah mengucur, laporan-laporan mulai “dipoles.” Ada baris biaya yang menggelembung seperti roti beragi; ada foto dokumentasi yang dipinjam dari tempat lain; ada retakan di pondasi yang ditutup spanduk. Raden mendesah setiap kali mengetik catatan revisi. Arya tersenyum setiap kali menandatangani.

“Rid, ini urusan strategi. Kita harus pandai membaca angin,” ujar Arya di suatu malam, di teras kantor dengan pemandangan tol layang seperti ular besi.

“Baca angin boleh. Mengarang angin jangan,” jawab Raden, menahan amarah yang berkecamuk seperti gelombang.

“Kalau kau terlalu lurus, kau akan ditertawakan. Dunia tidak bergerak dengan garis penggaris.”

Raden diam. Malam itu, ia tahu jalan mereka mulai berpisah. Bukan karena perbedaan cara, melainkan karena perbedaan arah.

.

Kartini dan Makanan Malam yang Tak Pernah Dihidangkan

Di tengah kesunyian dan rasa patah, ada satu sosok yang membuat Raden tetap bertahan: Kartini. Ia bukan perempuan yang berjalan dengan sepatu mahal, melainkan yang mengukur hidup dengan langkah pelan tapi mantap. Mereka bertemu di posko relawan Tanah Abang—Kartini tengah membagikan bubur kacang hijau untuk pekerja malam, Raden datang membawa modul pelatihan literasi finansial.

Kartini bisa membacakan puisi Chairil Anwar sambil menggiling sambal; bisa menandai titik koma di laporan Raden sambil mengingatkan waktu Isya. Rumah kontrakannya di Benhil hanyalah dua kamar dengan jendela menghadap gang kecil, tetapi di sana Raden menemukan jenis keheningan yang menenangkan, semacam ruang doa tanpa buku panduan.

Hubungan mereka tidak pernah sempat dirayakan. Di tengah memuncaknya konflik proyek, Kartini tiba-tiba dituduh sebagai pembocor dokumen. Di grup internal, namanya menjadi umpan untuk kegusaran: “kader idealisme yang kelewat idealis,” “aktivis yang tidak paham realpolitik.” Ia dipecat dari komunitas, difitnah tanpa bukti.

Raden memilih diam. Di meja kerja, ia menulis pesan, “Maaf, aku sedang terlalu hancur untuk melindungimu,” tetapi ia tidak mengirim. Ia takut kalimat itu memotong sayapnya sendiri. Malam itu Kartini memasak semur jengkol kesukaan Raden, menunggu pintu diketuk. Tapi pintu tetap diam. Makanan basi. Cinta pun mati, bukan karena kebencian, melainkan karena keberanian yang datang terlambat.

.

Kota yang Menghakimi

Jakarta, di balik jargon “maju dan tumbuh,” tetaplah kota yang penuh penghakiman diam-diam. Raden dicap pembelot. Ia mendadak menjadi urban ghost—hadir tapi tak terlihat. Undangan wawancara ia tolak, akun media sosial ia tutup. Ia bekerja sebagai konsultan lepas: meracik strategi, memperbaiki narasi, memandu UMKM yang ingin naik kelas. Ia hidup di antara lara dan logika.

Namun kota yang keras juga pandai menyekolahkan. Di halte TransJakarta, ia belajar sabar. Di mushola kecil di pojok mal, ia belajar jujur pada doa. Di trotoar yang menuding kaki-kaki lelah, ia belajar memaafkan—bukan karena lawan pantas, melainkan karena dirinya butuh pulih.

Sampai suatu hari, undangan reuni komunitas branding yang pernah ia dirikan datang. Di sebuah ruang kaca di Kuningan, dengan lampu gantung seperti buah pir terbalik, Raden melangkah pelan. Di sana, ia melihat Kartini. Wajahnya tenang. Ada luka, tapi ada juga cahaya. Di papan nama ia terbaca: Kartini — Direktur Program, NGO Internasional. Raden hendak berbalik, tapi suara yang dulu akrab menahan langkahnya.

“Kau baik-baik saja, Raden?” Suara itu merayap lembut, seperti hujan yang mendatangi kusen kayu.

“Tidak,” Raden tersenyum getir. “Tapi hari ini, aku melihat seseorang yang tetap setia menjadi cahaya, meski pernah aku tinggalkan dalam gelap.”

Mereka tidak berpelukan. Mereka duduk di balkon merokok hening—Raden dengan tembakau tipis yang sesekali ia lupakan, Kartini dengan teh hangat yang uapnya membentuk animasi kecil di udara malam.

.

Dialog yang Tak Pernah Selesai

Di bawah pohon tabebuya yang mulai gugur, mereka bicara pelan. Kartini tidak menyalahkan, Raden tidak membela. Hanya jeda yang dilalui kata-kata.

“Aku pernah merasa tidak cukup baik untuk dicintai,” ucap Raden, suaranya seperti garis pensil yang ragu.

“Kau salah,” Kartini menatap lurus. “Kau hanya belum mencintai dirimu saat itu. Orang yang tidak menolong dirinya sendiri akan salah paham pada semua pertolongan.”

Raden menatap lampu-lampu kota yang berkelip seperti huruf-huruf Morse. Ia ingin berkata bahwa ia menyesal, bahwa ia ingin mengulang pintu yang dulu enggan ia ketuk. Tapi waktu tidak meminjamkan jam cadangan.

“Kalau kau ingin berdamai,” lanjut Kartini, “tulislah. Ceritakan apa adanya. Biarkan orang menilai. Orang jahat tak jadi baik oleh kutukan kita. Kita jadi baik dengan pekerjaan kita.”

Angin menggeser daun. Hening menggenang seperti kolam kecil, dan dari situ muncul ketenangan: tidak perlu kata maaf yang memohon-mohon; cukup pengertian bahwa luka itu telah menjelma pelajaran. Bukan untuk kembali, melainkan untuk beranjak—dengan kepala tegak dan hati yang lebih ringan.

.

Membaca Ulang Kota

Beberapa bulan kemudian, naskah Nagara Bahagia yang Gagal terbit di platform digital, lalu diterbitkan kecil-kecilan. Bukan kisah sukses, melainkan memoar yang jujur. Raden menulis bagaimana sebuah impian dikunyah sistem, bagaimana teman bisa menjadi cermin yang memantulkan sisi yang enggan kita lihat. Ia menulis tanpa dendam, menamai tokoh-tokoh dengan persetujuan, menepuk-nepuk bahu dirinya sendiri: “Kau tak hancur, kau berubah bentuk.”

Tulisan itu viral bukan karena sensasi, tapi karena kejujuran—karena pembaca menemukan dirinya sendiri di antara baris-baris yang patah patah. Anak magang di agensi periklanan merasa dicerahkan; ibu rumah tangga yang berbisnis kue mengutip kalimat-kalimat sederhana; seorang arsitek muda mengirim pesan: “Terima kasih sudah mengajarkan kami tentang retakan yang harus dibiarkan bicara.”

Jakarta kini ia pandang berbeda. Bukan lagi kota yang menyakitinya, tapi kota yang menempanya. Ia tahu: tidak semua yang pergi perlu kembali. Beberapa orang datang untuk membentuk, bukan untuk menetap. Dan beberapa janji diciptakan agar kita belajar bahwa setia pada nilai lebih sulit ketimbang setia pada nama.

.

Arya Menak Jingga dan Hari-Hari Terang

Nama yang ia hindari bertahun-tahun akhirnya muncul kembali. Arya Menak Jingga menghubungi, mengundang bertemu di sebuah kafe di Senopati, jam empat sore, saat matahari condong dan bayangan trotoar memanjang seperti pita hitam.

“Selamat atas bukumu,” kata Arya, setelah basa-basi yang hambar.

“Terima kasih.” Raden menatap dinding kafe dengan mural kota yang berlari.

“Kau tahu, aku punya alasan. Ada yang harus kupertahankan. Orang-orang itu takkan mendengarkan jika angka-angka kita tidak ‘menyesuaikan.’”

“Angka bisa menyesuaikan. Hati jangan,” jawab Raden pelan.

Arya tertawa kecil. “Kau memang tetap Raden. Hidup ini bukan cuma benar atau salah.”

“Benar dan salah mungkin punya tanda baca yang fleksibel. Tapi jujur tidak.”

Pertemuan itu berakhir tanpa drama. Tidak ada pecah gelas, tidak ada suara ditinggikan. Mereka bersalaman seperti dua orang yang pernah berlayar dengan kapal yang sama dan kini berlabuh di dermaga berbeda. Di semesta yang lebih luas, mungkin mereka tetap kawan: kawan yang saling mengingatkan di kepala, tapi memilih diam di dunia nyata.

.

Rute-Rute Pulang

Raden menata ulang hidupnya seperti menata ulang peta transportasi: ia memilih rute-rute pulang yang sederhana. Mengajar kelas malam untuk mahasiswa desain komunikasi visual; menjadi mentor relawan untuk peremajaan kampung-kampung padat; sesekali memberikan ceramah di masjid kecil tentang etika kerja dan tawakal.

Di salah satu pelatihan, ia meminjam hikmah dari nama-nama yang dulu menghiasi mimpinya:

  • Jokotole, ia ajarkan sebagai keberanian adaptif—“Ketangkasan bukan berarti licin, tapi lentur tanpa memutus prinsip.”

  • Rengganis, ia maknai sebagai keanggunan nalar—“Pengetahuan bukan hiasan, melainkan cara kita menghormati sesama.”

  • Wiraraja, ia turunkan sebagai kepemimpinan yang menolak kultus—“Seorang pemimpin bukan altar, melainkan jembatan.”

Ia menulis kalimat-kalimat pendek di whiteboard yang segera viral sebagai foto di akun para peserta:
“Kota tak pernah netral pada yang rapuh, maka kuatkan rapuhmu dengan teman.”
“Kita tak wajib menang, kita wajib terang.”
“Kalau tak ada panggung, jadilah lampu di trotoar.”

Dan tiap selesai kelas, ia berjalan pulang melewati toko roti yang masih membuka pintu. Aromanya memanggil. Sesekali ia membeli dua roti—satu untuknya, satu untuk satpam gedung tetangga. Kebaikan kecil mengurangi jarak dengan diri sendiri.

.

Surat yang Akhirnya Dikirim

Pada suatu malam hujan yang rapi, Raden menulis surat kepada Kartini. Bukan untuk kembali, tapi untuk mengakui utang batin: “Terima kasih karena pernah menjadi kursi tempat aku duduk saat lantai berguncang.” Ia menuliskan juga ikrar yang ingin ia jalani: “Aku tak akan lagi menunda keberanian.” Ia klik send; suara notifikasi kecil terdengar seperti gemericik di sela hujan.

Balasan datang singkat, nyaris seperti haiku: “Semoga jalanmu terang. Kita tak perlu berdamai di masa lalu, cukup di hari ini.” Raden menatap layar, lalu mematikan lampu. Di jendela, pantulan wajahnya tak lagi asing. Ada garis lelah yang tetap setia, tetapi di sampingnya tumbuh garis yang lain: tenang.

.

Solusi yang Sederhana, Tapi Tidak Sederhanakan

Di buku keduanya, Raden menulis bab “Solusi yang Sederhana”: bukan daftar resep ajaib, melainkan pengingat yang bisa ditaruh di dompet:

  1. Pilih Nilai, Bukan Nama. Ketika nama berubah, nilai menyelamatkan arah.

  2. Sistem Kecil Dulu. Mulai dari kebiasaan satu persen: satu email jujur, satu penolakan lembut pada tipu angka, satu ucapan terima kasih.

  3. Berteman dengan Bukti. Simpan rapih catatan, foto proses, berita acara. Integritas butuh arsip.

  4. Jangan Menunda Keberanian. Keberanian yang ditunda berubah menjadi hutang rasa hormat pada diri sendiri.

  5. Pulih dengan Memberi. Setelah luka, cari satu orang untuk kamu bantu. Menolong orang lain sering kali adalah cara paling waras menolong diri.

Ia memasukkan contoh-contoh faktual dari proyek-proyek kecil yang berhasil: koperasi warung kopi di Tebet yang kini bisa membayar BPJS karyawannya; kelas literasi di Tanah Abang yang melahirkan dua fasilitator muda; kampung di Manggarai yang cat dindingnya dipilih musyawarah sehingga tidak ada satu merek pun yang memonopoli. Cerita-cerita itu membuat buku tebalnya terasa seperti panduan yang lahir dari lapangan, bukan dari mimpi di ruang ber-AC.

.

Kota, Akhirnya

Ketika malam turun, dari balik jendela lantai tujuh belas, Raden memandang lagi. Lampu-lampu jalan memanjang seperti kalung yang lupa ditempatkan di tempatnya; suara klakson masih meraung; sirene ambulan sesekali menekan dada. Tetapi di dalam hatinya, sudah tidak ada lagi yang gaduh. Luka itu sekarang mempunyai halaman; halaman itu punya judul; judul itu punya penutup.

Ia tersenyum kecil. “Beberapa luka tidak perlu ditutup rapat—cukup dijaga agar tidak membusuk, karena dari sanalah tumbuh keberanian untuk melangkah tanpa dendam.”

Di meja, sebuah undangan tergeletak: Diskusi Buku — Perpustakaan Rengganis, Minggu, 16.00. Di bawahnya, catatan tangan Kartini: “Datanglah kalau sempat. Bukan untuk kita, untuk yang masih mencari terang.”

Raden merapikan buku, mematikan lampu, mengunci pintu. Di koridor, langkahnya memantul pada lantai yang mengilap. Lift terbuka. Kota menunggu di bawah—masih sama, tapi tak lagi menghakimi. Ia melangkah, membawa luka yang kini berganti nama: pulang.

.

.

.

Jember, 3 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KotaYangMenyimpanLuka #CerpenIndonesia #UrbanStory #Integritas #MenakMadura #Jokotole #Rengganis #Wiraraja #Reflektif #Edukasi #Solutif

.

Quotes untuk memperkuat cerita

  • “Kita tak selalu bisa memilih panggung, tapi kita selalu bisa memilih cara berdiri.”

  • “Integritas itu sunyi di awal, ramai di akhir.”

  • “Yang patah tidak selalu harus disambung; kadang ia cukup diarahkan supaya tumbuh ke arah cahaya.”

  • “Di kota yang cepat, memaafkan adalah bentuk tertinggi perlambatan.”

 

Leave a Reply