Kota yang Mengajari Waktu
“Jangan menunggu senja berhenti demi kita.
Hidup terus melaju; yang berani melangkah hari ini, esoknya punya tempat.”
.
Jayeng mengenal carpe diem bukan dari buku filsafat, melainkan dari kaca jendela apartemennya di lantai dua puluh tiga yang menghadap tol dalam kota. Senja Jakarta selalu tampak seperti layar bioskop—ledakan jingga, lilit ungu, dan garis putus-putus lampu rem yang panjangnya seperti kalimat yang tak kunjung selesai. Di sela bising mesin dan sirine, ia mengukur detik dengan cara yang ganjil: berapa pitch deck yang sanggup rampung, berapa surel yang layak dibalas, berapa pesan dari Muning yang dibiarkannya “nanti saja” karena rapat.
“Nanti,” kata yang kelak menjadi duri.
Pagi itu, di meja makan sempit yang menempel pada dinding, Muning meletakkan dua cangkir kopi. Satu pahit, satu manis. Kebiasaan lama: mereka menyesap gantian, bergiliran, agar ingat bahwa hidup tak melulu satu rasa.
“Kamu ke Surabaya juga?” tanya Muning. “Kamis—makan gratis Patria. Kamu selalu bilang ingin datang.”
Jayeng menatap kalender ponsel. Kamis: pitching untuk investor Singapura, onboard tim video, pengecekan desain packaging untuk lini kopi yang akan diluncurkan bersama kawan lama, Sura. Semua penting. Semuanya seperti lilin yang harus menyala bersamaan supaya ruang ambisi tetap terang.
“Mungkin aku nyusul,” kata Jayeng. “Nanti.”
Muning tertawa tipis. “Nanti itu jam berapa?”
“Begitu selesai.”
“Kalau selesainya tidak datang? Bukankah kita berdua pernah belajar, tak ada jam yang kembali?”
Jayeng ingin menjelaskan bahwa dedikasi adalah bahasa cinta lain; bahwa ia sedang menyiapkan masa depan bersama. Tapi ia tahu kalimat-kalimat itu usang. Sebulan lalu Muning berkeputusan membuka kelas menulis untuk anak-anak SMA di Jember secara daring—melanjutkan mimpi lamanya yang selalu mereka tunda. Ia tak menunggu dukungan penuh Jayeng; ia berjalan. Di layar, wajah anak-anak itu bersinar seperti senja yang menolak padam.
.
Kisah mereka bermula di Malang, kota yang menamai jalan dengan bunga-bunga. Jayeng mahasiswa teknik industri yang diam-diam suka memotret; Muning mahasiswa sastra yang bersahabat dengan statistik karena bekerja sampingan sebagai analis konten. Mereka bertemu di parkiran perpustakaan saat hujan turun garis-garis, seperti kertas bergaris tempat menulis puisi. Jayeng meminjamkan payung, dan mereka jatuh pada percakapan mengenai Amir dan Retna dalam kisah-kisah Menak yang sering dimainkan sebagai topeng di kampung teater.
“Kita bukan Amir dan Retna,” kata Muning saat itu. “Kita cuma Jayeng dan Muning yang ingin hidup baik.”
“Kalau begitu kita harus menulis tampilan baru Menak di kota,” sahut Jayeng. “Bukan perang dan istana, tapi rapat dan kafe, gedung dan data.”
Mereka benar-benar menulisnya. Jayeng bergabung dengan agensi branding, mendaki jabatan, lalu keluar untuk membangun studio sendiri—mengawal hotel-hotel bertubuh kaca dan restoran-restoran bercahaya neon. Muning mengelola konten empat platform, mengajar menulis, lalu berhenti untuk berkelana ke komunitas, ke taman bacaan, ke anak-anak yang menatap huruf seperti jendela baru dunia.
Sura, kawan masa kecil Jayeng, datang membawa penawaran: lini kopi, konsep kafe, dan rencana ekspansi ke kota-kota sekunder. “Produk kita bukan kopi. Produk kita nostalgia yang tertata rapi,” kata Sura, menepuk denah kafe yang memanjang seperti bait-bait.
Jayeng menyukai rencana. Muning menyukai manusia di balik rencana. Di sinilah mereka berbeda sekaligus saling menambal.
.
Minggu itu, hidup memperlihatkan cara yang ganjil untuk mengejek kata “nanti.” Pitching berjalan mulus, investor mengangguk, Sura mengirim pesan: “Produksi aman. Kita bisa soft opening bulan depan.” Namun pada sore yang sama, Jayeng menerima kabar ibunya jatuh di Jember, tekanan darahnya naik, dan Muning sudah berada di sana menemani.
“Pulanglah,” kata Sura. “Aku urus yang di sini.”
“Rapat besok…”
“Rapat bisa dialihkan. Ibumu tak bisa diganti.”
Jayeng memesan tiket malam itu. Di kursi sempit di dekat jendela, ia menatap gelap yang menelan kota-kota kecil di bawahnya. Setiap lampu, pikirnya, adalah rumah yang menyimpan satu cerita, satu menunggu, satu penantian. Ia teringat Muning mengunggah foto papan kecil di dinding: “Most people wait for the right time. But life doesn’t wait.” Ia klik suka tanpa komentar. Lalu ia menutup ponsel, seolah keheningan bisa menjadi doa.
Di Jember, ibunya ternyata baik-baik saja—cukup istirahat, kata dokter. Yang membikin Jayeng kaget adalah kesibukan kecil yang rapi di ruang tamu: dus-dus donasi buku, spanduk sederhana “Kelas Menulis Anak Kota—Gratis,” dan suara anak-anak tetangga mencoba membaca naskah drama.
“Kamu serius menjalankannya?” tanya Jayeng kepada Muning saat malam.
Muning mengangguk. “Aku lelah menunggu. Kamu sibuk membangun hal-hal besar, dan aku selalu menunda hal-hal kecil yang membahagiakanku. Lalu aku melihat lagi poster itu—‘The sunsets won’t pause for you.’ Aku tidak ingin menunggu matahari lain.”
Jayeng tidak marah. Ia justru iri pada keyakinan yang ringan itu, pada keberanian Muning memeluk sekarang. “Apa yang kamu butuhkan?” tanyanya akhirnya.
“Waktu,” jawab Muning. “Dan tatapanmu.”
.
Mereka memutuskan bekerja di Jember selama dua minggu. Jayeng membawa laptop dan setumpuk deadline, bertemu dengan tim hotel lokal, memotret ulang area rooftop yang tengah direnovasi, dan menyiapkan kampanye rebranding. Ia menyelinap di sela kelas Muning, duduk bersandar pada kusen jendela, mengamati anak-anak itu menulis tentang kota: tentang gumuk yang dijadikan tempat diam, tentang pasar yang menyimpan kue-kue nama sederhana, tentang kereta malam yang sering dilupakan.
“Lihat mereka,” bisik Muning. “Mereka menulis bukan karena lomba. Mereka menulis karena ingin menyimpan denyut hari ini.”
Saat itu Jayeng baru paham: pekerjaannya mengatur makna kata “merek”; Muning mengatur makna kata “makna”. Ia tersenyum; perasaan ringan seperti saat pertama kali memboncengi Muning menyusuri Ijen Boulevard. Ia membantu Muning membuat booklet kecil, mengajarkan anak-anak memotret sampul tulisan mereka, mengatur layout, menyisihkan sedikit keuntungan dari proyek hotel untuk membeli printer.
“Terima kasih,” kata Muning. “Sekarang, kamu masih mau ke Surabaya hari Kamis? Program makan gratis itu sudah kamu janji sejak lama.”
Jayeng mengangguk. “Kali ini tidak nanti.”
.
Surabaya menyambut dengan langit biru yang sibuk. Seperti kata seseorang di panggung TEDx, kota ini adalah konspirasi antara sejarah dan semangat berdagang. Di situ Jayeng bertemu Amir, relawan muda yang menata barisan nasi bungkus seperti menata baris musik. “Kami percaya, orang lapar hanya butuh permulaan yang manusiawi,” kata Amir. “Setelah kenyang, mereka akan punya tenaga untuk memilih yang baik.”
Kata “memilih” menggema di kepala Jayeng. Memilih bukan selalu menunda sesuatu; terkadang berarti memberi ruang bagi yang seharusnya hidup. Siang itu, di antara panci besar dan suara terima kasih, Jayeng melihat senyum yang tak pernah ditemuinya di rapat investor; senyum tanpa skema, tanpa KPI, tanpa target—tapi selalu berhasil.
Di pinggir jalan Basuki Rahmat, Jayeng mengirim pesan ke Sura: “Aku akan dua hari di Surabaya, lalu kembali ke Jember. Soft opening kafe kita tetap jalan, tapi aku ingin konsepnya menampung satu sudut untuk kelas menulis dan klinik beasiswa. Kamu setuju?”
Sura membalas dengan emotikon jempol dan satu kalimat: “Kita jual nostalgia, tapi jangan lupa masa depan.”
Malamnya Jayeng berjalan bersama Muning menyusuri tepian Kalimas. Airnya gelap, namun cahaya kota memantul seperti serpihan bintang yang jatuh ke permukaan. “Bagaimana kalau kita pindah ke kota kecil untuk sementara?” tanya Muning tiba-tiba. “Tahun ini saja. Kita kembangkan kelas menulis dan inkubator bisnis kecil—desain untuk UMKM, strategi komunikasi untuk sekolah, pelatihan etiket bagi remaja. Kamu tak harus berhenti melangit; hanya menatap dekat.”
“Bukankah itu kemunduran?”
“Bukan. Itu wajar. Bukan semua langkah harus melebar ke luar; sebagian perlu menebal ke dalam.”
Jayeng memikirkan apartemen lantai dua puluh tiga, rapat-rapat berbahasa Inggris, perjalanan ke luar negeri, ambisi yang membuatnya bersinar dan juga membuatnya lelah. Ia memikirkan ibunya yang tertidur dengan tenang saat wajah Muning membacakan puisi kecil pada anak-anak tetangga. Ia memikirkan suara seseorang dalam poster: “Live today, or lose it forever.”
“Aku setuju,” kata Jayeng. “Tapi kita rencanakan dengan logis—arus kas, timeline, dan dampak.”
Muning tersenyum. “Karena kita ini Jayeng dan Muning. Amir dan Retna kita adaptasi menjadi kenyataan hari ini.”
.
Rencana bermula dari meja kayu yang diampelas, dari papan tulis putih, dari sepiring singkong goreng dan dua cangkir kopi. Mereka menamai program itu “Ruang Tengah”—sebuah tempat di mana bisnis dan pendidikan bertemu untuk kepentingan masyarakat. Skemanya sederhana: setiap proyek branding hotel atau resto yang dipegang Jayeng, 3% dibelokkan untuk mendanai kelas menulis, kelas etiket, dan pelatihan digital bagi UMKM. Kafe Sura menyediakan ruang belakang untuk workshop setiap Sabtu. Semua narasumber dibayar pantas. Murid tidak dipungut biaya.
“Tugasmu,” kata Muning pada Jayeng, “adalah memastikan profesionalisme tetap terjaga. Tugasmu adalah memastikan kita tidak berubah menjadi aktivis yang kelelahan tanpa sistem. Tugas kita adalah membuat kebaikan efisien.”
Dalam tiga bulan, kabar menyebar ke kota tetangga. Orang datang: pemilik homestay yang ingin memutus lingkaran ulasan buruk, barista yang ingin menulis kisah kopi keluarganya, guru yang ingin membuat kanal YouTube sekolah. Sura membuat menu baru setiap kali kelas usai, merayakan hal kecil. Amir bolak-balik dari Surabaya sebagai sukarelawan—membawa semangat logistik dan manajemen antrean yang tak pernah diajarkan di kampus.
Ada juga yang datang untuk melihat Muning—yang dengan suara jernih mengajarkan anak-anak menulis bukan demi viralitas, tapi demi memori. “Kita menulis agar hari ini tidak hilang,” ucapnya. “Agar yang baik tidak tenggelam dalam kebisingan.”
.
Suatu sore, Jayeng menerima telepon dari investor Singapura: “Kami siap masuk, tapi kami perlu kamu di Jakarta lebih sering. Presentasi, networking, dinner dengan calon mitra. Kamu paham.”
Jayeng paham. Di meja, ada kontrak yang bisa mempercepat semua mimpi bisnisnya; di papan, ada jadwal kelas yang akan terlewat kalau ia sering pergi. Ia menatap Muning. “Bagaimana?” tanyanya.
Muning tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengajak Jayeng ke pantai selatan, satu jam dari kota. Senja turun tanpa dramatis—warna tembaga, garis kelabu, ombak kecil. “Lihat,” katanya. “Matahari tidak berhenti demi kita. Tapi kita boleh berhenti sebentar demi melihatnya. Besok ia akan terbit lagi, tapi hari ini tak bisa diulang.”
Jayeng menarik napas panjang. Keputusan, seperti laut, kadang seram sebelum dicoba. Ia menolak tawaran investor. Ia mengabari Sura bahwa ekspansi akan dibiayai bertahap dari keuntungan sendiri, lebih pelan namun lebih bebas. Ia menulis surat panjang pada tim di Jakarta, memastikan pekerjaan tetap profesional meski ia jarang hadir fisik; ia menempatkan manajer operasional yang tepercaya dan memberikan ruang promosi bagi anak-anak muda yang selama ini bekerja seperti mesin senyap.
Di malam yang sama, ibunya mengirim pesan: “Bapakmu dulu selalu menunda memancing sampai pensiun. Waktu pensiun, tangan sudah dingin meraba kail. Bagus kamu memilih sekarang.”
.
Tahun itu, hidup tidak berubah menjadi kisah sinetron yang mulus. Ada klien yang undur diri karena menganggap Jayeng kurang hadir; ada bulanan yang rapat anggarannya menipis; ada kelas yang tiba-tiba sepi karena hujan lebat. Ada juga perdebatan mereka berdua—soal prioritas, soal lelah, soal makna. Tetapi ada pula yang tumbuh: UMKM roti rumahan yang naik kelas berkat identitas baru, anak SMA yang mendapatkan beasiswa menulis ke Bandung, homestay yang tingkat okupansinya stabil, kafe Sura yang selalu penuh setiap Sabtu sore karena festival bacaan mini.
Pada ulang tahun pernikahan mereka (yang selalu lupa dirayakan karena dulu “nanti saja”), Jayeng menyiapkan kejutan: sebuah buku tipis berjudul Ruang Tengah. Sampulnya memotret bayangan dua cangkir kopi. Di halaman pertama, ada kutipannya sendiri:
“Ambisi adalah kapal, cinta adalah pelabuhan. Kita perlu keduanya agar tidak karam dan tidak tersasar.”
Muning memeluknya. “Terima kasih sudah pulang,” katanya, “meski alamatnya baru.”
Di malam itu, mereka duduk di halaman belakang rumah ibunya yang sederhana. Ada wangi tanah habis disiram, ada dengung serangga, ada tawa anak-anak tetangga yang minta tanda tangan di buku pertama mereka. Jayeng menatap Muning. “Apa kamu bahagia?” tanyanya.
“Bahagia bukan melulu tentang di mana kita berdiri,” jawab Muning. “Tapi dengan siapa kita dianggap ada.”
Jayeng ingin menangis; ia menahan supaya tidak berlebihan. Wajah ayahnya melintas, juga wajah-wajah karyawan muda yang sedang tumbuh, siswa-siswa yang membaca puisi di panggung kecil, sahabat-sahabat yang memegang barisan nasi bungkus tanpa pamrih. Ia belajar melafalkan terima kasih pada hal-hal yang tidak masuk target bulanan—pada senja yang tidak menunggu namun selalu kembali.
.
Di akhir tahun, Sura mengusulkan pameran kecil di kafe: foto-foto perjalanan “Ruang Tengah”—bukan foto mereka, tetapi foto orang-orang yang berubah bersama. “Kita bukan pusat,” kata Sura. “Kita hanya jembatan.”
Amir datang membawa poster baru untuk dapur umum kecil yang dibuka setiap Jumat sore. “Satu porsi kecil bisa jadi energi untuk kerja, untuk sekolah, untuk melanjutkan hidup,” katanya, mengulang kalimat di hari pertemuan pertama. Muning menempelkan quotes di dinding:
“Hidup tidak menunggu sampai kita siap.
Karier boleh melesat, bisnis boleh melebar;
tapi hati harus belajar hadir.”
Pameran itu sederhana. Orang datang, memegang cangkir, membaca naskah pendek di bawah foto, lalu berdiam. Ada yang menyeka mata. Ada yang mengangguk. Ada yang kembali ke rumah untuk mengajak keluarganya ke sini. Di terminal bus mini di seberang kafe, langit berubah warna tanpa ampun.
Jayeng berdiri di dekat pintu, menyapa satu per satu. Dalam diri, ia merasakan sesuatu yang tak lagi ada ketika memandangi tol dari jendela apartemen: waktu yang tak lagi mengejarnya. Ia masih bekerja keras, masih mengejar kualitas dan standar, masih memimpin rapat dan menulis proposal. Namun kini ia tahu: keberhasilan bukan lagi menunda yang penting untuk merayakan yang mendesak. Keberhasilan adalah mengetahui mana yang harus hidup hari ini.
Pulang, mereka menjadi pasangan yang tak sempurna—lebih sering tertawa, kadang berseteru kecil, sesekali tetap bertengkar tentang strategi. Tetapi mereka punya ritual yang tak pernah absen: dua cangkir kopi di pagi hari, satu pahit, satu manis, diminum bergiliran. Sering, di antara teguk, mereka menatap kalender dan bertanya:
“Yang paling penting hari ini apa?”
Maka hidup pun menjadi daftar “sekarang”: menelpon ibu, menjenguk homestay mitra, mengirim email beasiswa, memeriksa kebersihan toilet kafe, memotret langit, menulis satu halaman, menyimak satu cerita. Tidak semua hal menghasilkan uang, tetapi semuanya menghasilkan hidup.
.
Tahun berikutnya, studio branding Jayeng mengeluarkan portofolio baru: Good Business, Good Classroom. Di atasnya ada kredo:
“Kami percaya bisnis terbaik adalah yang membuat rumah bagi belajar;
dan kelas terbaik adalah yang mengajarkan bertindak.”
Klien datang karena tertarik pada hasil, tetapi tinggal karena percaya pada nilai. Jayeng kini fasih berkata “tidak” pada target yang menghabiskan jiwa. Ia bekerja dengan ritme yang tak cepat, tak lambat—ritme yang memungkinkan manusia menjadi manusia.
Dan pada suatu senja, saat lampu-lampu jalan mulai menyala, Muning mengajaknya naik ke rooftop hotel mitra yang baru selesai direnovasi. Angin membawa wangi kolam. Kota di bawah seperti papan sirkuit, rumit dan cantik.
“Masih mau menunggu waktu yang tepat?” tanya Muning, bercanda.
Jayeng meraih tangannya. “Tidak. Aku sudah di sini.”
Ia menatap ke barat. Matahari tidak berhenti demi mereka; tetapi kehadiran mereka membuat senja menjadi cerita, bukan sekadar peristiwa. Di bawah langit yang berubah warna, Jayeng tahu: keputusan bukan hanya perkara untung-rugi. Keputusan adalah cara kita menanamkan makna pada detik yang tak kembali.
Ia berdoa singkat, lalu menunduk pada kota yang memberinya rezeki sekaligus pelajaran. Pada akhirnya, kata “nanti” boleh tetap ada, sepanjang “sekarang” diberi haknya. Karena, seperti yang ditulis seseorang di poster ungu itu: hidup tidak menunggu. Dan karena mereka memilih untuk tidak menunggu lagi, hidup pun membuka pintunya.
.
“Jangan menunggu senja berhenti demi kita. Hidup terus melaju; yang berani melangkah hari ini, esoknya punya tempat.”
.
.
.
Malang, 21 Oktober 2025
.
.
#CarpeDiem #KisahPerkotaan #RuangTengah #HospitalityBranding #KelasMenulis #UMKM #Surabaya #Jember #Jakarta #HidupHariIni