Kota yang Mengajari Diam
“Yang tampak besar sering menang karena yang kecil memilih diam.
Tapi diam yang jujur, kelak menemukan suaranya sendiri.”
.
Hujan datang tanpa aba-aba, seperti kabar buruk yang tak sempat kita siapkan payungnya. Dari balik kaca atap gedung 43 lantai di Kuningan, Jakarta tampak seperti papan catur yang ditinggal pemainnya: bidak-bidak macet di simpang, benteng-benteng beton berkilau, kuda-kuda logam berlari memecah jalan. Di ruang rapat yang dinginnya disetel untuk menekan emosi, Rengganis merapikan blazer, memindahkan flashdisk dari telapak ke telapak, seperti memindahkan keberanian dari tangan kanan ke tangan kiri.
Di ujung meja, Wirabrata menutup presentasi dengan senyum yang sudah dikenal semua orang: tipis, hemat kata, penuh jaringan. Ia bicara dalam angka, grafik, dan nama-nama yang hanya lahir dari pergaulan jamuan. Di layar LED, rencana besar “Urban She–Lift”: program pembiayaan mikro bagi ibu-ibu penggerak ekonomi pinggiran, tampil seolah milik timnya, bukan milik Rengganis yang menulisnya dari bangku kafe-kafe sunyi dan perpustakaan kampus.
“Baik, kita sepakati. Eksekusi model A, kemitraan dengan konsorsium luar. Detailnya seperti yang disampaikan Pak—”
Direktur menoleh, mencari panggilan yang tepat.
“—Wirabrata.”
Tepuk tangan tipis. Notulen mengetik lebih pelan dari biasanya, seperti ikut merasa bersalah. Rengganis menarik napas, menimbang apakah ia harus mengangkat tangan atau mengangkat marah. Keduanya sama-sama berat. Ia memilih merapikan catatan, berdiri, dan tersenyum pada orang-orang yang menghindari matanya. Di teleponnya, getar pesan masuk: dari Wirabrata.
Tenang, Ganis. Bukan soal benar salah, cuma soal siapa yang bisa main cantik. Nanti kita bahas porsimu.
Ia mengetik jawaban, lalu menghapusnya. Ada kalimat-kalimat yang bila dikirim, bukan lagi jawaban, melainkan permohonan untuk dianggap.
.
Lift menurunkannya seperti menurunkan perasaan ke lantai yang lebih rendah. Di lobi granit, aroma kopi mahal bercampur parfum. Karyawan-karyawan kelas menengah atas—sepatu mengilap, tote bag kulit, jam tangan yang tak pernah telat—mengalir seperti barisan doa yang hafal ke mana harus pulang. Di luar gedung, ojek-ojek online berjejer; di antara helm dan jas hujan, kota memantulkan perbedaan yang tak pernah selesai.
Rengganis melangkah ke trotoar, memanggil taksi biru. “Kemang,” katanya. Sopir mengangguk, radio menyala pelan, memutar berita tentang indeks harga konsumen dan demo buruh yang rencananya besok akan menutup separuh Sudirman. Jakarta tetap Jakarta: menunda, menekan, lalu menanggung akibatnya.
Kafe di sudut Kemang itu masih sama: lampu pijar menyerupai senja yang dikurung, dinding bata, lagu-lagu lawas yang mengembalikan orang pada usia yang lebih muda dari KTP-nya. Di sini dulu, Rengganis sering datang bersama Prabasena—lelaki yang pernah jadi jeda di antara ambisi dan lelahnya. Mereka dulu berbicara tentang rencana hidup, bukan rencana bonus; tentang meaning, bukan semata target. Tetapi ambisi adalah mata uang yang mahal, dan cinta seringkali pecah saat dihitung dengan kalkulator.
Prabasena sekarang punya restoran di bilangan Tebet, menikahi perempuan yang ditemuinya saat mengantri beras di pasar. Ia pernah berkata, “Ganis, tak semua yang gemerlap itu terang; kadang ia cuma suara bising lampu.” Kalimat itu dulu terdengar puitis, sekarang terasa seperti pengingat yang datang telat.
Rengganis memesan kopi hitam. Di meja sebelah, dua anak muda bercakap tentang saham teknologi “yang pasti to the moon,” sambil membuka aplikasi trading; usia digital memang memudahkan rasa yakin. Ia menatap ke luar jendela: hujan menghias lampu-lampu menjadi kuntum yang patah.
Ia membuka ponsel. Ada draft pesan yang tak jadi dikirim:
“Kamu menang, Wirabrata, karena aku tak mau menjadi sepertimu.”
Ia menutup ponsel perlahan. Ada perang yang tak perlu disiarkan.
.
Malam menjemputnya di apartemen lantai 32. Dari jendela, Jakarta adalah lautan bintang palsu; di bawah sana orang-orang berlomba menjadi besar, di sini ia belajar mengecilkan suara agar bisa mendengar hati sendiri. Di meja kerja, proposal “Urban She–Lift” tergeletak. Tiga bulan lalu ia menulisnya dari data BPS, curhat ibu-ibu di Rusunawa, angka kebutuhan pokok, peta pasar daring, daftar kendala perizinan. Ia menyulamnya menjadi model pembiayaan mikro tanpa bunga, berpayung paylater syariah, melibatkan perguruan tinggi sebagai pemantau, marketplace sebagai jembatan, bank daerah sebagai sandaran.
“Tidak cukup seksi,” kata dewan komite saat uji paparan.
“Tidak menjanjikan ROI dua digit,” tambah salah satu komisaris.
“Kita perlu kemitraan asing,” pungkas Wirabrata, “lebih bankable di mata investor.”
Di layar laptop, folder “She–Lift” tetap dibukanya. Ia membaca kembali catatan-catatan tepi: ‘Tidak semua kemiskinan diwariskan; sebagian dibuat oleh keputusan orang-orang kenyang.’
Telefon berdering. Nama Prabasena muncul. Rengganis diam beberapa detik sebelum menggeser ikon hijau.
“Ganis,” suara itu masih hangat seperti dulu, “aku buka resto cabang. Masih kecil, tapi aku senang. Datang, ya?”
“Selamat, Sena,” suaranya berusaha biasa. “Aku datang. Biar pesan kita yang dulu… tetap punya kursi.”
“Ganis…” Prabasena berhenti. Di ujung jeda, ada kalimat yang ia pilih tak jadi ucapkan.
“Ya?”
“Nanti saja. Di meja makan rasanya lebih jujur.”
.
Pembukaan restoran itu sederhana, tak ada pita raksasa, tak ada MC berkemeja gemerlap. Prabasena menyingsingkan lengan, memanggul panci, tertawa, menata piring, menyapa pelanggan satu-satu. Di sudut ruangan, foto-foto dapur kecil pertama mereka tergantung. Akuarium mini di dekat kasir menampung ikan-ikan kecil yang sibuk tanpa cemas. Rengganis duduk di meja dekat jendela. Dari luar, hujan mereda, meninggalkan kaca-kaca dengan jejak yang mirip garis tangan.
“Terima kasih sudah datang,” kata Prabasena, meletakkan semangkuk rawon, nasi, dan sambal bawang yang merahnya menenangkan.
“Kau selalu membuat kuah yang jujur,” ujar Rengganis.
“Kuah jujur gampang dibuat,” Prabasena tertawa, “yang susah itu hati jujur. Jakarta suka meminjamnya.”
Mereka makan pelan. Cerita-cerita lama muncul seperti lagu yang tak sengaja dihidupkan kembali. Tentang skripsi yang selesai di stasiun, tentang kontrakan yang bocor, tentang buku-buku yang dipinjam dan lupa dikembalikan. Lalu, tentang pekerjaan yang sekarang.
“Proyekmu?” tanya Prabasena.
“Diambil,” jawab Rengganis ringan, “oleh yang lebih tahu cara masuk pintu: membawa botol lebih mahal, bicara nama yang lebih sering muncul di koran.”
“Namanya?”
“Tak perlu disebut. Kota ini makin kecil kalau kita menyebutkan orang jahatnya lebih sering dari orang baiknya.”
Prabasena menatapnya lama-lama. “Kamu akan apa?”
“Diam,” ujarnya. “Bukan diam menyerah. Diam mengembalikan napas.”
“Kamu selalu punya cara bikin kalimat terdengar kuat,” kata Prabasena. “Tapi kalau capek, bilang capek. Biar tak berubah jadi sinis.”
Di luar jendela, lampu mobil meninggalkan garis-garis panjang. Malam memanggil jalan pulang, tapi kadang yang kita sebut ‘pulang’ hanyalah lingkaran lain dari berputar.
.
Kantor keesokan harinya tidak berubah: jam absen, lobi berkilau, orang-orang yang berpura-pura sibuk atau betul-betul sibuk—kadang tak bisa dibedakan. Rengganis melewati pantry, mengambil air, mengirim email follow-up yang tanpa emosi. Notifikasi rapat menyala. Di grup WhatsApp internal, ada ucapan selamat untuk “keberhasilan tim Wirabrata mengamankan kemitraan strategis”.
Sekitar pukul tiga, kabar beredar seperti bau kopi yang tumpah: Komisaris meminta klarifikasi; Kejaksaan Tinggi mulai memantau; ada red flag di laporan due diligence. Rengganis menutup laptop. Ada kegaduhan yang tak layak dirayakan. Ia menatap ke luar jendela, tempat langit merunduk pelan. Dalam hati, ia mengucap kalimat yang selalu diajarkan ayahnya: Jadilah adil bahkan saat kau kalah.
Malamnya, ia membuka dokumen kosong. Di baris paling atas, ia menulis: Kerahe Project.
Nama itu lahir dari pepatah yang ia dengar sejak kecil—asu gedhe menang kerahe. Dalam banyak cerita, ia selalu ditempatkan di sisi yang kalah: bagian dari yang kecil, tak punya kuasa, tak punya suara. Kalau harus kalah, pikir Rengganis, biarkan kekalahan menemukan bentuknya yang berguna.
Ia mulai menyusun rancangan: inkubator bisnis untuk perempuan kepala keluarga; mentoring digital; kolaborasi dengan kampus untuk riset pasar; magang bagi anak-anak mereka; kerja sama dengan koperasi-koperasi di pinggiran kota; pendidikan finansial; pemasaran lewat live shopping; logistik via mitra ojek; dana bergulir yang didampingi, bukan disyarati.
Tujuannya: bukan membuat nama masuk koran, tetapi membuat dapur berasap.
.
Berbulan-bulan kemudian, kantor tetap menggeliat dalam ritme yang sama. Tetapi di tempat-tempat yang jarang disebut siaran radio, “Kerahe Project” pelan-pelan bertunas. Di rusun Jatinegara, seorang ibu bernama Sanzilawati berhenti berutang ke rentenir dan mulai menjual sambal lewat siaran langsung di ponsel, dibantu anaknya yang belajar menyusun kata-kata promosi dari video kuliah daring. Di Pasar Kramat Jati, Bu Sumaeni memodernkan lapaknya: pakai QRIS, pakai katalog digital yang dibuat dengan kanva gratisan. Di Tanah Abang, Mbok Khotimah mengajari tiga tetangga cara menghitung HPP yang benar agar tidak lagi rugi karena “malu menaikkan harga”.
Rengganis menggerakkan itu semua dari apartemennya yang mahal—kemewahan yang kini terasa seperti hutang pada keberuntungan. Ia mengajar setiap Kamis malam via Zoom, membahas hal yang tak diajarkan kampus: cara menolak orang yang menawar seenaknya, cara memotret produk dengan cahaya matahari, cara meminjam tanpa dihina. Di chat Zoom, nama-nama muncul seperti doa: Marni, Rapina, Sukainah, Nur, Juminten. Di sela suara bising kipas angin, mereka bertanya hal-hal yang praktis, bukan jargon.
Ada juga yang bertanya hal yang membuat tenggorokan tercekat: “Kalau suami melarang jualan, Mbak?”
Rengganis menutup mata sesaat. “Kita ajak dia ikut kelas. Biar dia merasa bagian, bukan tersaingi. Kalau tetap melarang, kita cari jalan yang lebih aman. Keamanan Ibu nomor satu. Dagang bisa ditunda, luka jangan.”
Sementara itu, kabar dari kantor merangkak seperti siput di pasir panas. Wirabrata bolak-balik dipanggil rapat audit. Satu per satu sponsor kemitraan asing perlahan mengendurkan janji. Ada email panjang yang beredar tentang “ketidakpatuhan prosedur internal”—istilah manis untuk menyebut strategi jalan pintas.
Di kantornya, Rengganis menerima telepon dari seseorang di divisi hukum.
“Kami tahu proposal asli itu punyamu,” katanya pelan. “Maaf ya.”
“Tak apa,” jawabnya. “Saya lebih takut kehilangan tidur daripada kehilangan kredit.”
.
Suatu Minggu pagi, Prabasena mengirim pesan singkat: “Temani aku ke pasar?”
Mereka berjalan menembus kerumunan, menawar daun jeruk yang teramat hijau, tertawa melihat ayam kampung yang tiba-tiba kabur dari keranjang. Di lapak bumbu, seorang ibu mengenali Prabasena dan meminta foto. Sambil menunggu, Rengganis memandang langit—biru, tanpa agenda. Ada saat-saat ketika Jakarta kelihatan lucu, bukan menakutkan.
Di pojok pasar, seorang anak menjajakan es lilin. “Seratus lima puluh ribu untuk sedus, Kak,” katanya dengan berani. Rengganis membeli dua. Anak itu tersenyum lebar, giginya belum semua lengkap. “Makasih, Kak. Aku nanti pengin sekolah kuliah.”
“Kuliah jurusan apa?” tanya Prabasena.
“Jurusan yang bisa bikin Ibu berhenti jualan jamu keliling,” jawabnya cepat. Mereka tertawa, lalu diam, sama-sama mengerti kalimat itu bukan bercanda.
“Kadang,” kata Prabasena saat mereka berjalan lagi, “kejadian buruk cuma cara semesta menandai jalan yang harus dilewati.”
“Seringnya, kita membacanya sebagai larangan, bukan petunjuk,” sahut Rengganis.
Ia lalu menceritakan rencana Kerahe Project. Prabasena mendengar tanpa menyela, sesekali mengangguk, sesekali mengajukan pertanyaan yang tepat. “Aku bantu urusan dapur,” katanya pada akhirnya. “Masak untuk pelatihan. Aku juga bisa ajari pengolahan bahan murah jadi menu layak kirim.”
“Terima kasih,” ucap Rengganis. “Bukan karena aku butuh pria dalam proyekku, tapi karena aku butuh sahabat yang ingatkan cara pulang.”
.
Kabar buruk jarang datang sendiri, tapi syukur juga tak pernah berdiri sendirian. Ketika kasus kemitraan asing makin riuh, divisi internal memetakan ulang tim. Rengganis ditawari jabatan baru: Head of Community Investment—posisi yang dulu dianggap “tidak seksi”, sekarang tiba-tiba penting setelah publik mempertanyakan arah perusahaan.
“Ini kesempatanmu memimpin dengan caramu,” bisik seorang kolega yang diam-diam kagum padanya.
“Aku akan ambil,” jawab Rengganis, “dengan satu syarat: proyek yang menyebut perempuan harus didesain bersama perempuan—bukan sekadar untuk mereka.”
Direksi terdiam sejenak. Di dunia yang digerakkan slide deck, kalimat itu terdengar seperti permintaan menambah durasi presentasi. Tetapi tekanan publik memang musuh yang lebih ditakuti ketimbang argumen idealis. Syarat itu disetujui.
Rengganis pun bekerja: membentuk forum ibu-ibu pasar yang bertemu saban Rabu sore; mengundang kampus membuat kelas mikro-credential; bernegosiasi agar biaya admin turun; mengupayakan tempat penitipan anak selama pelatihan; menggandeng komunitas fotografi untuk mengajari sudut pandang. Ia memilih orang-orang bukan karena nama belakangnya, melainkan karena caranya menyebut nama orang lain.
Di sela itu semua, ia rajin menulis. Bukan status media sosial yang meledak-ledak, melainkan catatan harian yang basah oleh ingatan: tentang Mbok Sarini yang mengirim kue bolu ke kantor dengan pesan “Maaf, ini rasa terima kasih yang murah”; tentang Sari yang pertama kali naik lift dan memegang tangannya karena pusing; tentang Lailatul yang membawa bayi ke kelas karena pengasuh batal datang, dan semua orang bergantian menggendong.
Catatan itu ia beri judul kecil-kecil: “Hal-Hal Baik yang Tak Masuk Laporan Tahunan.”
.
Pada suatu sore, Rengganis diundang menjadi narasumber sebuah diskusi di perpustakaan kota yang sunyi. Tema diskusi: Etika dalam Ekonomi Perkotaan. Panelis lain: pengacara pasar modal, antropolog yang meneliti warteg, dan seorang pemilik start-up logistik. Di tengah-tengah paparan, moderator memintanya menceritakan sejarah “Kerahe Project”.
“Kata orang, ‘asu gedhe menang kerahe’,” ujar Rengganis, suaranya tenang. “Saya pernah berada di sisi kerahe—yang kecil, yang memilih diam—dan saya kira semua orang di kota ini pernah ada di tahap itu. Pertanyaan saya: setelah kalah, mau jadi apa? Saya memilih menjadi pintu kecil yang bisa dibuka orang lain.”
Seseorang di barisan belakang mengangkat tangan. “Kalau orang yang menyalin ide Anda itu akhirnya jatuh, apakah itu membahagiakan?”
Rengganis tersenyum tipis. “Sedihnya, pertanyaannya terasa wajar. Kota mengajari kita menikmati kejatuhan. Tapi saya tidak merayakan kejatuhan siapa pun. Saya merayakan bangkitnya mereka yang pernah ditindas.”
Tepuk tangan terdengar tulus, bukan ramai. Di bangku depan, seorang perempuan berkerudung menatapnya sambil menahan air mata. Seusai acara, perempuan itu mendekat, menggenggam tangan Rengganis. “Saya Sanzilawati, peserta pelatihan batch satu,” katanya pelan. “Suami saya sekarang mau jagain anak kalau saya siaran langsung jualan. Bukan karena saya menang debat, tapi karena saya ajak dia nonton kelas yang Ibu isi. Terima kasih.”
Rengganis memeluknya. “Kamu yang kerja keras. Saya cuma menyalakan lampu.”
.
Malam itu, di apartemennya, ia menata ulang rak buku. Di sisi kiri, buku-buku ekonomi; di tengah, kumpulan esai; di kanan, novel-novel yang dulu menemaninya lewat malam-malam kehilangan. Ia mengambil sebuah frame kosong dan memasukkan selembar kertas yang ditulisnya cepat:
“Tidak semua kemenangan pantas dirayakan,
dan tidak semua kekalahan harus ditangisi.
Kita memilih cara pulang.”
Ketika ia menempelkan frame itu di dinding, telepon bergetar. Nomor tak dikenal.
“Selamat malam, ini dari redaksi harian,” suara di seberang formal, “kami membaca catatan Anda yang beredar di platform komunitas. Apakah Anda berkenan menulis esai untuk rubrik Minggu?”
Rengganis menatap jendela. Lampu-lampu kota menari takzim. “Dengan satu syarat,” jawabnya.
“Apa itu?”
“Boleh ada nama-nama ibu yang layak disebut.”
“Boleh,” kata suara di seberang. “Nama-nama yang membuat kota ini bertahan.”
.
Di hari tulisan itu terbit, pagi terasa seperti musik pembuka film yang baik: tidak keras, tapi menyiapkan hati. Di meja sarapan, Rengganis membaca ulang esai yang dimuat dengan judul yang dipilih editor: Kota yang Mengajari Diam. Di bawahnya, ada kutipan kecil yang ia minta untuk dipasang:
“Kadang yang besar tampak menang karena yang kecil memilih diam—
tetapi diam yang jujur, kelak menemukan suaranya sendiri.”
Pesan masuk berdatangan: dari perempuan-perempuan yang tak pernah ia temui, dari mahasiswa yang baru belajar ekonomi politik, dari seorang bapak yang malu mengaku menangis. Ada pula pesan pendek yang membuatnya menutup mata sejenak:
“Aku membaca tulisanmu di warung, sambil menunggu kuah mendidih.
Terima kasih sudah membuat kata-kata yang tidak memalukan jika dibacakan pada anak-anak. —Prabasena.”
Ia membalas singkat: “Kuahmu menguatkan banyak orang. Kata-kataku cuma bumbu.”
.
Beberapa waktu berlalu. Perusahaan tempatnya bekerja merapikan struktur, memperpendek nama-nama jabatan, memperpanjang daftar tanggung jawab. Wirabrata memutuskan “rehat” untuk “mengambil peluang lain”—kalimat-kalimat yang di kota ini artinya bisa banyak. Di ruang rapat, orang-orang baru muncul dengan jargon lama; di layar, presentasi lama muncul dengan template baru. Jakarta punya cara untuk tampak berbeda padahal tetap.
Rengganis tidak lagi terkejut. Ia tahu, badai di kota ini lebih sering berupa gerimis yang tak henti-henti daripada petir yang sekali bunuh. Ia memilih ritmenya sendiri: rapat pagi, kunjungan siang, kelas sore, menulis malam. Di kantong jaketnya, selalu ada kertas kecil berisi tiga pertanyaan yang ia tulis untuk dirinya sendiri:
-
Siapa yang paling tertolong jika ini berhasil?
-
Siapa yang paling terluka jika ini gagal?
-
Seberapa jujur caraku menuju ke sana?
Suatu sore, saat matahari menyelinap di antara gedung, ia mengantar Sanzilawati pulang sampai halte bus. Anak Sanzilawati melambaikan tangan sambil memeluk buku bergambar. Di kaca halte, ada poster lama: “Kota Ini Milik Kita.” Rengganis menggambar hati kecil di ujung huruf A, lalu menoleh pada Sanzilawati.
“Kamu sudah hebat,” katanya.
“Bukan, Bu,” jawab Sanzilawati—ia menolak dipanggil “Ibu”, tapi malam itu luluh. “Saya hanya tidak menyerah. Soalnya, kalau saya menyerah, anak saya belajar menyerah juga.”
Bus datang. Mereka berpelukan singkat. Ketika bus melaju, bayang-bayang kota memanjang. Di langit, lampu-lampu mulai dinyalakan satu per satu. Di hati Rengganis, ada api kecil yang tidak menuntut tepuk tangan.
Ia berjalan pulang melewati trotoar baru, pohon-pohon trembesi muda yang ditanam rapi, pedagang minuman yang kini menerima pembayaran QR. Di persimpangan, seorang pengamen menyanyikan lagu yang liriknya tidak sempurna tetapi suaranya jujur. Orang-orang lewat tanpa menoleh; kota mengajari kita menyaring suara. Namun malam itu, Rengganis berhenti, mendengar sampai tuntas. Ia merasa, sesekali, diam juga butuh penonton.
.
Ketika pintu apartemen tertutup, hening menyambutnya seperti sahabat lama. Di meja, ada paket kecil tanpa pengirim: seikat daun jeruk, sebotol sambal bawang, secarik kertas dengan tulisan miring: “Dari kami, untuk kakak yang mengajari kami menulis harga tanpa meminta maaf.” Ia tersenyum, menaruhnya di dapur. Lalu, sebelum mengganti baju, ia duduk di depan laptop.
Jari-jarinya menulis pelan: bukan proposal, bukan esai, melainkan cerita—tentang seseorang yang tidak lagi ingin memenangkan kota, tapi ingin memenangkan sesuatu yang lebih kecil namun lebih lama: cara memandang orang lain.
Di halaman pertama, ia memulai dengan kalimat yang kelak disukai banyak pembaca:
“Aku pernah kalah bukan karena aku lemah, melainkan karena aku memilih tidak menjadi yang menang dengan cara yang salah. Dan sejak hari itu, aku berhenti mengejar panggung. Aku membangun meja panjang, agar lebih banyak orang bisa duduk, makan, dan merasa pulang.”
Ia berhenti, memandang jendela. Hujan kembali datang, tapi tidak lagi menakutkan. Di bawah sana, suara kota berubah menjadi nyanyian. Di dalam sini, diamnya sendiri tak lagi terasa kecil.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rengganis tertidur tanpa rasa kalah.
.
“Kota tidak selalu adil. Tapi kita bisa adil pada diri sendiri: menolak menang yang memalukan, dan merawat kalah yang memuliakan.”
.
.
.
Malang, 9 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #SastraUrban #KotaDanEtika #AsuGedheMenangKerahe #PerempuanBekerja #Pemberdayaan #KelasMenengah #RefleksiModern #JeffreyWibisonoV #NamakuBrandku