Kota yang Kita Peluk

“Cinta yang tak ditata menjadi kerja, hanya akan jadi candu yang melelahkan; dan kerja yang tak ditautkan pada cinta, hanya akan menjadi penjara yang sunyi.”

.

Pagi merembes dari sela-sela gedung kaca di bilangan Sudirman, memantul ke cangkir-cangkir kopi yang menunggu rapat pertama. Amir menatap punggungnya sendiri pada dinding lift yang mengilap, seperti memandangi aktor yang berdiri di panggung tanpa naskah. Di ponselnya, ada lima puluh dua notifikasi: dua dari klien yang meminta revisi kampanye perhotelan, satu dari Citra yang mengirim foto anak-anak program beasiswanya di Jember, delapan dari Ning yang sedang menggali riset untuk pitch “food waste to value,” sisanya dari grup keluarga besar yang riuh membahas arisan, reuni, dan rencana liburan akhir tahun.

Amir menghela napas. Di kalendernya, ada panah yang menghubungkan tiga kota—Jakarta, Surabaya, Malang—seperti tali tak kasatmata yang terus menarik-nariknya. Di ujung paling tipis tali itu, ada kampung halaman yang selalu dipanggilnya “Jember, suara yang tertinggal.” Ia pengusaha jasa konsultan hospitality, mantan GM yang belakangan terjun ke edupreneurship: pelatihan storytelling, digital salesmanship, dan manajemen citra. Kerap kali namanya muncul di poster-poster seminar, lengkap dengan jargon yang ia ramu seperti ramuan jamu: “men-JAWA-ni”—menjemput kebijaksanaan Jawa agar tetap membumi di kota-kota yang berlari.

Pintu lift terbuka. Jayeng—teman lama yang kini jadi mitra bisnis—sudah menunggu di lobby, berdiri di bawah lampu gantung yang mengguratkan cahaya seperti dupa panjang di langit-langit.

“Pitch jam sembilan mulus?” tanya Jayeng, menepuk bahu Amir.

“Kalau mulus kita makan siang, kalau seret kita puasa,” jawab Amir sambil tersenyum.

Mereka melangkah menuju ruang rapat yang dindingnya memajang foto-foto hotel butik di Nusa Tenggara, menatap pantai seperti mata yang tak pernah berkedip. Di meja, kertas-kertas proposal disusun rapi, suara AC mendesis pelan, dan manajer proyek memeriksa time-sheet dengan wajah seperti jam tangan: presisi, tapi dingin.

.

Di sisi lain kota, di kelas pascasarjana manajemen pembangunan kota, Citra—yang nama lengkapnya Citrawati—membuka slide: “Ketahanan Sosial Perkotaan dan Jejaring Kepedulian.” Di dalam ruangan, para mahasiswa—sebagian anak diplomat, sebagian anak pemilik jaringan restoran—mencatat dengan ponsel, memotret tiap tabel dan bagan, seolah-olah dunia bisa ditangkap utuh dalam empat sudut layar.

“Ada yang bilang kota adalah mesin uang,” kata Citra, suaranya tenang. “Tetapi ia juga mesin pengingat: tentang siapa yang tertinggal saat kita berlari.”

Citra adalah benang merah yang menahan Amir tidak berubah menjadi komet kelelahan. Mereka bertemu bertahun-tahun lalu di sebuah pameran fotografi kampung kota. Waktu itu, Amir berdiri lama di depan foto anak-anak bersepeda melintasi gang, sedangkan Citra menulis catatan kecil di belakang poster: “Keajaiban itu sering datang setelah kita berhenti mengeluh.” Keduanya tersenyum malu ketika tanpa sengaja bertukar pandang.

Di layar, Citra menayangkan foto yang baru ia terima: sebuah kolase dari anak-anak program beasiswa di Jember, menatap kamera dengan seragam yang kebesaran. “Mereka bukan statistik,” katanya. “Mereka nama, mimpi, dan jam belajar yang riil. Kita yang dewasa punya kewajiban menunaikan jam-jam belajar mereka.”

Di bangku ketiga, seorang mahasiswa bernama Maya—nama panggilan dari Umarmaya—mengangkat tangan. “Bu Citra, di kota yang demand-nya selalu gesit, bagaimana kita memastikan gerak cepat tak menggilas empati?”

Citra tersenyum. “Dengan memilih menjadi manusia, sebelum memilih menjadi merek.”

.

Sore, Surabaya. Jalan Diponegoro macet karena hujan sebentar lalu berhenti seperti janji yang disambar telepon. Ning—nama panggilan Adaninggar—berdiri di dapur percobaan di belakang restoran keluarganya. Ia lulusan teknik industri yang mengambil spesialisasi food engineering; di apron-nya tersemat logo kecil: nadhi: nourished & dignified. Visinya sederhana namun keras kepala: mengubah sisa makanan hotel menjadi bahan baku produk siap saji—sup krim, roti, selai—dengan proses higienis, legal, dan berkualitas. Ia menolak dikasihani dan menolak didikte, seteguh garis rahang yang ia warisi dari almarhum ibunya.

Tolo—Kertolo, sepupu yang lebih tua dan ahli membaca peluang dengan mata yang selalu sedikit menyipit—masuk ke dapur sambil menepuk-nepuk ponsel. “Investor tanya lagi. Mereka mau exit tiga tahun. Unit cost kamu harus dipangkas. Jangan terlalu banyak SOP lah. Di Jakarta pun banyak yang ‘langsung jalan.’”

Ning meletakkan sendok ukur. “Kamu mau cepat kaya atau mau benar?”

Tolo tertawa, sebuah tawa yang tidak pernah benar-benar ikut bahagia. “Ning, dunia ini tak bertanya apakah kamu benar, ia bertanya apakah kamu bertahan. Kalau mau bertahan, ya harus luwes.”

“Luwes bukan licin,” jawab Ning. “Dan lembut bukan lemah.”

Ia menatap daftar mitra hotel di layar: beberapa bintang lima, beberapa butik, satu dua rumah makan kecil yang reputasinya bagus—semua menunggu SOP final. Di folder terpisah, ada presentasi “Impact & Dignity” yang ia susun dengan Jayeng: data, foto, standar halal, jalur distribusi, paket edukasi untuk SMK pariwisata. Ning percaya setiap produk harus membawa cerita; begitu pula sebaliknya, setiap cerita harus bisa dipertanggungjawabkan sampai dapur.

Di sudut dapur, Madi—Umarmadi—menyelesaikan desain kemasan. Ia adik Maya, gemar menggambar garis-garis bersih yang menghibur. Di wajahnya ada sisa letih shift malam freelance, tapi matanya jernih seperti air yang sudah sepakat untuk jujur.

“Kak,” kata Madi, “aku udah bikin tiga opsi warna. Minimalis, tapi hangat.”

Ning menepuk pundaknya. “Bagus. Kita bikin yang bikin ibu-ibu percaya, bikin anak muda bangga, dan bikin petugas pabean langsung paham.”

Tolo menghela napas. “Kamu ini selalu bikin semua panjang.”

“Karena yang pendek kadang menipu,” jawab Ning, menyalakan kompor lagi.

.

Malam datang seperti seseorang yang mengetuk pintu dengan ragu. Amir duduk sendirian di kamar hotel setelah presentasi yang berjalan setengah mulus dan setengah kusut. Ia memandangi foto kolase—file jpg terlampir yang dikirim Citra: anak-anak beasiswa mengangkat tangan, seperti memanggil masa depan agar lekas menoleh. Di meja, ada catatan kecil yang ditulisnya untuk tim: ‘Cerita harus berakar, baru mekar. Data harus berdarah, baru berjiwa.’

Ponselnya bergetar. “Bagaimana pitch-nya?” pesan dari Citra.

“Seperti cuaca: tak bisa dibantah,” balas Amir.

Kemudian muncul pesan dari Ning: Mas Amir, tolong baca draft SOP untuk hotel X. Tolo pengin potong beberapa tahap, aku tak setuju. Mungkin aku terlalu idealis?

Amir tersenyum lirih. Di dalam dirinya, dua suara selalu tarik-menarik: suara praktis yang ingin selesai, dan suara nurani yang ingin benar. Ia mengetik panjang, menautkan contoh kasus, aturan, dan—seperti biasa—sebaris kalimat singkat: “Kamu tidak sedang mengulur waktu; kamu sedang memberi masa depan sebuah alas.”

Sebelum tidur, Amir membuka jendela. Kota berkilau seperti karpet basah. Di kejauhan, kereta terakhir mengayun pelan—sebuah garis cahaya yang bergerak, mengingatkan bahwa esok akan datang, entah kita siap entah tidak.

.

Satu bulan kemudian, kalender seperti padang kuda: rapat, presentasi, kelas, audit. Mereka—Amir, Citra, Jayeng, Ning, Maya, Madi—bersepakat membangun sebuah pagar tak terlihat: jujur, bertanggung jawab, dan mengajak orang lain naik kelas. Mereka punya jaringan investor yang suka hasil dan publik yang suka cerita; keduanya tak selalu cocok, tetapi harus saling sapa.

Di sebuah hotel di Malang, Amir berdiri di sisi panggung mempersiapkan pelatihan “Hypnobranding for Hospitality.” Ia mengatur slide berisi studi kasus: bagaimana respons terhadap review buruk bisa menjadi testimoni terbaik, bagaimana sarapan yang tepat waktu lebih mewah daripada lobi yang megah, bagaimana staf yang tubuhnya penat tapi hatinya damai melebihi ballroom yang sempurna.

Di jeda, seorang peserta—perempuan muda berhijab dengan nama penanda ‘Saras’—menghampiri. “Pak—eh, Mas. Saya anak pertama, ayah pedagang di Pasuruan. Saya ingin naik kelas. Tapi saya takut. Saya takut kota akan memakan saya.”

Amir menatap wajah Saras: ada garis keberanian yang belum sempat diberi nama. “Kota hanya memakan mereka yang melupakan rasa,” katanya. “Kalau kamu ingat rasa—rasa hormat, rasa tahu terima kasih, rasa ingin belajar—kota jadi meja, bukan mulut.”

Saras menunduk, mengangguk. “Kalau suatu hari saya tersesat?”

“Dengar anak-anak di foto ini,” jawab Amir, menunjukkan kolase Citra di layar ponselnya. “Mereka menunggu orang dewasa pulang membawa kabar baik.”

.

Di Surabaya, Ning menghadiri rapat dengan investor. Tolo duduk di sebelahnya, rapi, membawa angka-angka yang berkilau di Excel. Investor menekan pertanyaan yang sama: “Kenapa harus serumit ini? Kenapa harus melibatkan SMK, audit halal, dan program edukasi? Bikin dua jalur saja—satu untuk citra, satu untuk laba.”

Ning menatap mereka, sambil mengingat wajah ibunya yang pernah berjualan gudeg di sudut kampung. “Karena kalau dua jalur itu dibuat, biasanya jalur laba akan menelan jalur citra sampai tak bersisa. Dan kita tidak sedang menjual kata ‘dignity’ hanya sebagai label.”

Hening sesaat. Lalu seorang investor wanita—rambut digelung, mata teduh—berdehem. “Saya lulusan SMK. Dulu tidak ada yang mau ajak kami masuk dapur hotel. Jadi saya paham maksud Anda. Baik, jalankan. Tapi buktikan di tiga bulan pertama. Dan tolong, Tuan Kertolo, jangan minta kami ‘tutup mata’ bila ada yang tak sesuai.”

Tolo berpura-pura tersenyum. “Tentu. Kita semua warga yang baik.”

Usai rapat, di parkiran, Tolo menyalakan rokok yang tak pernah benar-benar menyala. “Ning, kamu menang hari ini. Jangan lupa, hidup ini maraton.”

“Maratonku ada garis finish-nya,” kata Ning. “Bukan labirin.”

Maya mengirim pesan ke grup: Kita perlu kampanye cerita: “Yang Sisa, Yang Berharga.” Madi menambahkan: Dan desain stiker: “Jangan Malu Jadi Baik.”

Amir memberi jempol digital. Citra menambahkan ayat kecil di caption: ‘Ilmu yang manfaat itu seperti air yang jujur; mengalir, menghidupkan, tidak menenggelamkan.’

.

Musim hujan datang lagi, jalan raya seperti jendela yang ditutup kabut. Di Jakarta, Amir sedang mempersiapkan sesi mentoring gratis untuk pekerja hotel yang terkena PHK. Di layar, 47 wajah muncul pelan-pelan. Ada yang sambil menjaga anak, ada yang duduk di mushala kecil, ada yang menahan air mata.

“Teman-teman,” kata Amir, “saya tidak membawa mukjizat. Saya membawa peta. Kita gambar rute bersama: skill apa yang sudah ada, skill apa yang bisa disetel, jalan mana yang bisa ditempuh—F&B rumahan, event kecil, kelas digital, atau magang kilat. Kota besar bukan hanya hotel besar.”

Seorang lelaki paruh baya mengangkat tangan. “Mas, saya bagian breakfast. Saya bisa apa kalau hotel saya menutup dapur?”

“Bapak bisa jadi breakfast on wheels,” sahut Amir. “Bikin paket sarapan untuk kantor-kantor kecil yang tetap buka. Gandeng UMKM roti, kerja sama dengan kopi tetangga. Kita kasih nama, kita kisahkan, kita jaga kebersihan. Saya bantu branding. Citra bantu cari akses bantuan. Ning bantu SOP higienis. Jayeng bantu rute dan ongkos.”

Satu per satu wajah di layar menegak. Ada harapan yang berdiri, bukan cuma duduk.

.

Pada suatu Sabtu pagi, mereka berkumpul di Malang untuk uji pasar: paket sup krim “nadhi,” roti gandum hasil kolaborasi, dan selai buah yang harum. Di pelataran hotel butik yang bersahaja, stan-stan kecil berjejer. Musik akustik mengalun ringan, anak-anak berlarian membawa balon, dan langit menampakkan biru yang rajin.

Seorang ibu muda mendekati stan, menggandeng anaknya. “Ini benar dari surplus hotel?”

Ning mengangguk. “Yang layak konsumsi, yang sesuai standar, yang diaudit rapi. Sisanya—yang tidak layak—jadi pakan ternak lewat mitra, bukan ke tempat sampah.”

Ibu itu tersenyum. “Berarti saya bisa beli rasa bangga juga di sini.”

Amir berdiri di belakang, memperhatikan. Ia memotret, mengunggah, dan menulis caption: ‘Di kota, yang lebih besar dari gedung adalah niat. Yang lebih kuat dari tombol elevator adalah tangan yang mau mengulurkan.’ Tangannya gemetar sedikit—bukan karena lelah, tapi karena lega.

Maya membawakan kartu ucapan untuk tiap pembeli: di dalamnya ada resep, tips penyimpanan, dan QR code menuju modul edukasi. Madi memasang poster kecil: “Makan yang baik, dengan cara yang baik, agar hidup menjadi baik.”

Di pinggir kerumunan, Tolo berdiri sendirian. Wajahnya tanpa ekspresi. Di matanya, ada kalkulator yang meraba-raba margin. Lalu, seperti menyadari sesuatu, ia menekan rokoknya ke tanah—kali ini padam. Ia menatap Ning yang melayani, Citra yang memotret, Amir yang berbicara kepada sekelompok siswa SMK. Ada jeda di napasnya.

“Saya bantu antar ke sekolah mitra,” katanya akhirnya pada Jayeng.

Jayeng mengangguk singkat. “Terima kasih, Mas Kertolo.”

.

Sore kian menua. Langit Malang berubah jingga, seperti pipi yang selesai menangis. Amir duduk di tangga pelataran, menatap anak-anak SMK yang baru selesai tur dapur. Mereka tertawa; ada minyak di lengan seragam mereka, ada masa depan di mata mereka.

“Kenapa kita selalu kembali ke anak-anak?” tanya Citra, duduk di sebelah Amir.

“Karena di mata mereka, kita belum terlambat,” jawab Amir.

Citra meletakkan kepala di bahu Amir sesaat. “Terima kasih sudah membuat kota terasa bisa dipeluk.”

Di depan mereka, Ning berdiri bersama Maya dan Madi. Ia menyodorkan selembar kertas: laporan hari pertama. Ada angka, tetapi juga kalimat: “Tidak ada komplain soal rasa. Ada pertanyaan soal cerita. Itu pertanda orang mulai peduli.”

Semua mengangguk. Di kejauhan, puncak gunung seperti bahu tua yang siap menjadi sandaran. Lampu-lampu kota menyalakan satu per satu: rumah makan, warung kopi, kamar kos, ruang rapat, kamar hotel.

Amir membuka ponselnya. Ia menulis pesan di grup: “Teman-teman, mari kita jaga tiga hal: hati kita, cara kita, dan mereka yang percaya pada kita. Sisanya mengikuti.”

Tolo menuliskan balasan yang pendek, tapi berarti: “Maaf atas sikapku kemarin-kemarin. Aku belajar pelan-pelan.”

Maya membalas dengan emotikon kupu-kupu. Madi mengirim stiker: ‘Pelan tidak apa-apa, asal benar arah.’

Citra menambahkan sebaris doa. Ning menutup chat dengan kalimat yang terasa seperti pagar dan pelukan sekaligus: “Kita ini bukan sekadar penjual produk; kita ini perawat makna.”

Malam turun, tak lagi ragu. Kota-kota itu—Jakarta, Surabaya, Malang, dan jauh di sana Jember—seperti empat nada yang akhirnya menemukan harmoni. Amir memejamkan mata, mengingat lagi kolase anak-anak itu. Ia tahu, besok akan ada rapat lagi, perdebatan lagi, tagihan lagi, juga tawa lagi. Tetapi malam ini, ia memilih percaya pada kalimat yang sering ia tulis di catatan kecilnya:

“Yang kita bangun bukan hanya usaha; yang kita tegakkan adalah cara.”

Dan cara itulah yang kelak menjadikan mereka manusia—sebelum apa pun yang lain.

.

.

.

Malang, 28 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #UrbanNarrative #Hospitality #Edupreneur #FoodWaste #SMKPariwisata #Storytelling #EtikaBisnis #KotaKotaIndonesia

.

Kutipan Tambahan

  • “Bekerja tanpa makna adalah berlari tanpa alamat; menolong tanpa ilmu adalah berjalan tanpa alas.”

  • “Kota bukan untuk ditaklukkan, tetapi untuk ditata: dengan rapi, dengan nurani, dengan sabar.”

  • “Yang sisa belum tentu hina; yang berlebih belum tentu mulia. Ukurlah dengan kejujuran.”

Leave a Reply