Kota Tanpa Botol
“Yang besar tak selalu benar, yang kecil tak selalu remeh: ukuran paling jujur adalah jejak yang kita tinggalkan di bumi.”
.
Malam itu, lampu-lampu di Jalan Gajahmada seperti kumbang yang bersekongkol dengan kabut. Jayeng berdiri di depan lobi hotel tempatnya bekerja—sebuah hotel bisnis yang lebih sering disebut orang “tempat singgah,” padahal diam-diam ia ingin menjadikannya “tempat pulang.” Dari balik pintu geser kaca, aroma kopi robusta bercampur wangi pembersih lantai menyelinap ke jaketnya. Di saku jaket, ponselnya bergetar: pesan dari Ragil, kepala housekeeping yang setia dan terus terang.
“Gudang amenities penuh lagi. Botol sampo ukuran 30 ml itu datang dua kali lipat dari pesanan. Vendor ngotot bilang ‘bonus’. Mau diapain, Ngeng?”
Ngeng—panggilan akrab untuk Jayeng. Laki-laki dengan dahi selebar halaman buku, rambut yang selalu dipotong rapi, dan kebiasaan menimbang kata-kata seolah setiap kalimat bisa menjadi batu pijak atau batu sandung.
Ia menatap ke arah jalan. Di seberang, hujan menyapu trotoar seperti orang tua yang membersihkan pekarangan. “Bonus,” gumamnya. Kata itu menempel seperti permen karet di sol sepatu. Dulu ia senang bonus: tambahan, berkah. Tapi semakin ke sini, ia tahu bonus adalah biaya yang dibayar oleh langit: tumpukan plastik yang ditemui anak-anak di selokan, di mulut sungai, di laut.
“Taruh dulu. Besok kita rapat kecil,” balasnya.
.
Hotel itu bukan hotel bintang lima, tapi cukup untuk membuat orang kota merasa—barang sejenak—bahwa dunia tidak seramai pikiran. Kamar-kamar bersekat tipis, tirai abu-abu, televisi yang berganti-ganti menampilkan wajah tokoh politik dan sinetron. Di lantai dua, ruang rapat tempat banyak janji pekerjaan diucapkan, dan di atap, bar kecil yang jarang penuh kecuali malam tahun baru.
Di sana, di lantai tiga, ada ruang kecil: kantor housekeeping. Rak-rak besi setengah berkarat menahan kardus bersegel. Ragil duduk di kursi plastik, menggigit pulpen. Maya, staf muda yang baru masuk, menumpuk botol-botol amenities di meja, mengatur mereka seperti pion-pion catur. Madi, bagian engineering, menyeret kereta dorong berisi kotak peralatan yang selalu berdecit.
“Kau lihat ini?” kata Ragil sambil mengangkat satu botol sampo. “Lucu, ya. Botol sekecil ini bisa bikin tamu kita merasa diperhatikan. Padahal, yang ia berikan pada dunia jauh lebih besar: masalah.”
“Masalah yang 30 mililiter,” sahut Madi. “Tapi ribuan. Sehari 200 botol. Sebulan 6.000. Setahun… siapa yang mau hitung?”
Maya mengangkat telunjuk, seolah di kelas. “72.000 botol,” ujarnya, cepat. “Kalau kita gabungkan, beratnya… kalau satu botol 10 gram, berarti 720 kilogram plastik setahun. Belum tutupnya. Belum kantong plastik pembungkusnya.”
Ragil tersenyum. “Kau seperti kalkulator yang pakai parfum.”
Madi tertawa pendek. Tapi di wajah mereka, bergantian lewat bayangan yang sama: anak-anak yang suka memancing ikan di sungai belakang terminal; plastik yang nyangkut di akar pohon waru; sesuatu yang kita tidak pernah anggap serius sampai bau busuknya mengetuk hidung.
.
Pagi hari, ruang rapat di lantai dua berubah jadi arena. Jayeng memulai rapat kecil: empat orang duduk melingkar—Jayeng, Ragil, Madi, dan Maya—dengan poster “Green Hotel” menempel di dinding, poster yang dicetak saat pandemi ketika semua hotel berlomba jadi “bersih,” padahal banyak yang masih bergantung pada “sekali pakai.”
Jayeng membuka slide. “Kita bikin tantangan: bagaimana kalau kita beralih dari botol sekali pakai ke dispenser isi ulang?”
Ragil mengangkat alis. “Yang di dinding kamar mandi?”
“Iya. Sistem refill. Ada yang 10 liter per kantong, menggantikan 34 botol dispenser biasa. Pengurangan plastik bisa sampai 95%.”
Madi menimbang. “Aku pernah lihat di pameran. Mesinnya relatif aman, higienis, anti-tetes. Tapi ada kerja tambahan: pembersihan rutin, cek valve.”
“Kerja tambahan yang suci,” sahut Maya. “Suci dari plastik.”
Ragil terkekeh. “Kau ini, Ma.”
Jayeng menatap layar. Ia menampilkan grafis: kurva biaya yang turun, kurva sampah plastik yang menyusut. Angka-angka sederhana tapi berbicara. “Dari hitungan kasar: setahun kita buang hampir tiga perempat ton plastik kecil. Kalau beralih, kita bisa menurunkan sampai 95%. Energi staf untuk restock botol juga berkurang. Waktu yang biasa habis di kegiatan melelahkan bisa dialihkan untuk kontrol kualitas kamar—seprai benar-benar bersih, kaca bebas noda. ‘Bersih’ yang sesungguhnya.”
“Dan tamu?” tanya Ragil. “Tamu suka yang bisa dibawa pulang. Botol kecil itu souvenir tak tertulis.”
Jayeng menarik napas panjang. “Itu dia tantangan kedua: edukasi. Kita harus jujur. Kita jelaskan kenapa kita berubah. Bukan untuk citra, tapi untuk masa depan kota ini.”
“Ada yang lebih sulit,” potong Madi. “Vendor.”
Ragil mengangguk. “Vendor amenities kita sudah bertahun-tahun kirim barang. Mereka punya jalur ke beberapa orang. Bonus-bonus itu…”
Ujung kalimat menggantung. Jayeng menatap ragam garis di meja. Ia tahu apa yang mereka maksud. Obral-obalan yang dianggap biasa di kota. Harga diri yang diganti potongan harga, ditambah gratisan, ditutup senyum.
Ia teringat pitutur yang sering disebut almarhum bapaknya: “Jangan nyolong balung.” Jangan mencuri tulang—jangan sampai mengambil hak paling dasar dari yang tidak kau lihat. Di zaman modern, tulang itu bisa sampah yang tak pernah kau pungut. Jika kita “mencuri” kemudahan hari ini, generasi besok “mendapat” beban yang berat.
“Kalau ini beres, kita akan jadi yang pertama di kota ini,” kata Jayeng. “Yang pertama yang bukan hanya punya poster ‘Green’, tapi punya langkah konkret. Kita tak perlu seremonial besar. Kita butuh kejujuran yang konsisten.”
Maya menoleh. “Kau yakin?”
“Tidak selalu,” jawab Jayeng, senyum tipis. “Tapi aku percaya satu hal: urip iku urup. Hidup itu menyala untuk orang lain. Kalau tidak sekarang, kapan lagi.”
.
Rapat selesai, tapi pertarungan baru dimulai. Siang itu, vendor lama datang ke lobi. Namanya Kencana. Orang-orang memanggilnya begitu sejak dulu: pembawa katalog dengan tangan yang tak pernah henti mengetuk meja, mulut yang bisa menjual gurun pada nelayan.
“Kukira kita sudah cocok,” kata Kencana di ruangan Jayeng, sambil menaruh dua dus kecil di lantai. “Ini, bonus. Satu untuk kantor, satu untuk rumah, supaya anak-anak senang.”
Jayeng menatap dus itu sejenak. “Terima kasih, tapi kami sedang meninjau ulang konsep amenities.”
“Meninjau ulang?” Kencana tertawa pendek, tidak ikhlas. “Hotel-hotel lain tetap dengan botol kecil. Tamu suka. Instagrammable.”
“Kami akan beralih ke dispenser isi ulang.”
Kencana terdiam, lalu tersenyum datar. “Ah, itu… ribet. Pernah ada kasus pencampuran cairan. Tamu protes. Ada yang bilang baunya beda.”
“Kami sudah studi. Sistem yang kami pilih higienis. Ada segel, valve anti-bocor. Kantong 10 liter mengganti 34 botol dispenser, dan mengurangi 95% plastik.”
Angka-angka itu meluncur dari mulut Jayeng seperti anak panah. Ia tidak mengharapkan kena sasaran, tapi ia harus melepaskan.
“Jayeng,” Kencana mendekat, suaranya menurun. “Kau tahu sama-sama tahu. Selama ini semua baik-baik saja. Kau bantu aku, aku bantu kau. Hotelmu jalan. Aku jalan. Itu saja.”
Jayeng memandangi Kencana seperti memandangi cermin yang memantulkan masa lalu kota ini: kompromi kecil yang distempel “lumrah.” Ia ingat pepatah orang tua: “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.” Kekuatan dan kuasa luluh dalam kebijaksanaan dan kasih. Tapi kasih yang benar kadang berarti mengatakan “tidak.”
“Kita bisa tetap kerja sama kalau kau juga beralih. Aku tahu ada pabrikan yang menyediakan sistem refill ini. Kita bisa minta harga paket.”
Tetapan Kencana mengeras. “Kau memilih menyulitkan hidup.”
“Yang menyulitkan hidup adalah sampah yang menutup sungai. Dan hati yang keras menolak berubah.”
Kencana berdiri. “Baiklah. Aku tunggu kau berpikir jernih. Ini kota kecil. Kabar berputar cepat.”
Saat pintu tertutup, Jayeng mendengar detak jantungnya sendiri. Ia tahu risiko menolak jalur “mudah.” Ia tidak suci. Seorang pekerja hotel dengan gaji terbatas, cicilan rumah, ibunya yang butuh obat rutin. Tapi ia juga tahu ada garis, garis yang kalau dilewati, sulit kembali.
.
Kabar memang berputar cepat. Sore itu, grup WhatsApp pekerja perhotelan menampilkan beberapa potongan kalimat tentang “hotel X yang sok hijau.” Ada gelak tawa sarkastik. Ada yang mempertanyakan: “Tamu mau gak sih pakai dispenser? Nanti dibilang murah!” Ada yang mencemooh: “Alah, greenwashing.”
Ragil menyodorkan ponselnya. “Kau baca?”
“Aku baca,” kata Jayeng. “Kita jawab nanti. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan cara kerja.”
“Alon-alon asal kelakon, ya?” Maya menyungging senyum.
“Bukan ‘alon’,” Madi menyisip. “Tapi ‘tetep jalan’.”
.
Implementasi dimulai seminggu kemudian. Engineering memasang titik-titik untuk menahan dispenser di dinding kamar mandi. Housekeeping menyusun prosedur: pembersihan berkala, jadwal isi ulang, logbook untuk mencatat batch dan tanggal. Madi yang setia dengan obeng dan kunci pas duduk semalaman di kamar 304, 305, 306—mencoba, membuka, memasang. Kadang ada tetesan membandel, namun dengan sabar ia bongkar lagi, pasang ulang, menukar ring.
Ragil mengubah training staf: bukan sekadar cara melipat tisu toilet seperti segitiga kecil, tetapi bagaimana menerangkan sistem baru pada tamu jika ditanya. “Kita tidak memaksa mereka memuji,” ujarnya. “Tapi kita memberi mereka cerita: kalau semua hotel di kota ini—anggap 30 hotel—beralih ke sistem serupa, bayangkan 30 x 720 kilogram. 21,6 ton plastik setahun. Itu berat satu truk sedang. Hilang dari sungai.”
Di resepsionis, Maya menyiapkan kartu kecil yang diletakkan di meja kamar: “Kami memilih mengurangi plastik sekali pakai. Anda sedang membantu kota ini bernapas lebih lega. Terima kasih.” Ia tambahkan QR code yang mengarah ke halaman sederhana: penjelasan singkat, infografik, dan janji transparansi.
“Bagus?” tanya Maya.
Jayeng mengangguk. “Bagus.” Lalu ia menambahkan satu kalimat di bawah: “Jika ada yang kurang nyaman, beri tahu kami. Kami ingin belajar dari Anda.” Ia percaya pada kerendahan hati: tamu bukan juri, tapi teman bicara.
.
Malam pertama setelah pemasangan, seseorang mengetuk pintu kantor Jayeng. Seorang tamu—lelaki paruh baya, wajahnya akrab. “Aku pengunjung berkala. Namaku Hamzah. Kamar 312,” katanya. “Aku lihat dispenser. Kalian serius?”
Jayeng berdiri. “Serius, Pak—eh, Mas Hamzah. Ada yang kurang?”
Hamzah menatap tangannya. “Tidak. Justru… aku senang. Aku sering berlari pagi melewati sungai di belakang kampus. Plastik-plastik kecil itu seperti benih buruk. Semoga kalian menular.”
Jayeng tertawa kecil. “Kami berharap begitu.”
Hamzah menatap Jayeng lebih lama. “Dulu, di kampungku, ada pitutur: benih yang baik tak memilih tanah. Kalau niatmu baik, ia akan tumbuh meski banyak batu. Jaga niatmu.”
Kata-kata itu seperti angin yang menyingkap awan. Setelah Hamzah pergi, Jayeng duduk, memejamkan mata. Ia merasa tidak sendirian.
.
Namun cerita di kota tak pernah hanya punya satu bab. Dua minggu setelah peluncuran, sebuah unggahan Medsos dari “Akun Info Kota” menyorot kamar mandi salah satu kamar hotel mereka: “Busa sabun dispenser tidak banyak. Pelit atau hemat?” Foto itu viral kecil-kecilan. Kolom komentar menari lincah antara dukungan dan cibiran.
“Selalu ada,” kata Ragil, mengusap kening. “Yang senang menabuh panci.”
“Kita tidak bisa menutup mulut orang. Kita hanya pastikan busa sabun memang bekerja,” sahut Madi. “Aku cek tekanan, aku cek viskositas cairan. Akan kubenahi.”
Maya mengusulkan ide: membuat Open House kecil untuk komunitas pecinta lingkungan, mahasiswa, dan jurnalis lokal. Mereka ingin melihat mesin refill, menyentuh kantong 10 liter, memahami segel dan prosedur kebersihan. Jayeng setuju. “Kita tidak sempurna,” katanya. “Tapi kita tidak sembunyi.”
Pada hari Open House, aula kecil berkapasitas 50 orang terisi. Poster infografik dipasang di dinding: perbandingan 72.000 botol per tahun vs 10 liter per kantong. 95% pengurangan plastik. Diagram sederhana menunjukkan alur: isi ulang—pencucian—pencatatan—audit.
Seorang mahasiswi berhijab bertanya, “Bagaimana kalian memastikan kebersihan dispenser?”
Ragil menjawab mantap: “Ada SOP: flush air panas berkala, pembersihan nozzle dengan food-grade sanitizer, pergantian ring jika getas, audit lot cairan. Kami juga menyediakan feedback form di QR untuk tamu.”
Seorang aktivis lingkungan menimpali, “Apa rencana jika pabrikan cairan ganti formula?”
Madi mengangguk. “Kami minta COA—certificate of analysis—tiap batch. Jika ada perubahan, kami uji coba dulu. Kami tak kan kompromi.”
Jayeng berdiri di akhir presentasi, menatap hadirin. “Kami bukan hotel besar. Kami belajar. Mungkin ada kekurangan. Tapi kami ingin kota ini bersih. Dan kami percaya, yang kecil bisa mengubah yang besar kalau konsisten.”
Tepuk tangan tak meriah, tapi hangat. Hamzah muncul di barisan belakang, mengangkat jempol.
Keesokan harinya, Info Kota memuat artikel pendek: “Hotel kecil coba langkah besar. Patut dicontoh.” Cibiran tak hilang, tapi dukungan perlahan lebih nyaring.
.
Ketika musim hujan sampai di puncaknya, sungai kota meluap. Ada berita duka: di kelokan dekat pasar, anak kecil hanyut, tersangkut tumpukan sampah. Beberapa jam kemudian, foto plastik-plastik kecil—warnanya ceria, ukurannya tak seberapa—beredar. Jayeng menyimpan foto itu lama-lama di layar ponsel, tidak untuk ditatap, tapi untuk diingat.
Malam itu, ia mengajak Ragil, Madi, dan Maya ke atap hotel. Kota di bawah tampak basah dan berkilat. Mereka berdiri berdekatan, seperti empat titik di tepi garis.
“Kenapa kita masih sering kalah menghitung hal kecil?” tanya Jayeng. “Kita hebat mencatat omzet, tapi kita lupa menghitung beban sungai.”
Maya menggosok kedua telapak tangannya, dingin. “Karena hal kecil jarang dipuji.”
“Karena hal kecil tak bisa dibagi-bagi komisi,” Ragil menambahkan, setengah getir.
Madi, yang jarang bicara panjang, menatap langit. “Karena kita ingin cepat puja, bukan lama-lama kerja.”
Hening menetes. Dari kejauhan, sirene ambulans melengking pendek.
Jayeng berkata pelan, “Aku ingin suatu hari anak-anak di kota ini menganggap dispenser isi ulang sebagai sesuatu yang biasa. Biasa yang baik.”
“Dan vendor?” tanya Ragil.
“Vendor bisa berubah. Kalau tidak, kita cari yang mau.”
Tiba-tiba, ponsel Jayeng bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal. “Aku dengar kau butuh pemasok sistem refill,” begitu isinya. “Namaku Kencana. Aku minta maaf. Aku ingin belajar.”
Jayeng menunjukkannya pada teman-temannya. Mereka saling bertukar pandang. Angin di atap mengangkat tepi-tepi jaket, mengabarkan sesuatu yang sulit dinamai: barangkali harapan.
.
Dengan langkah yang tidak selalu mulus, kemitraan baru dimulai. Kencana, yang dulu membawa “bonus,” kini membawa catalogue dispenser dan kantong isi ulang. Berbeda. Matanya tidak banyak menyapu, tangannya lebih rapi, tawarannya lebih jelas. “Kita bisa mulai dengan 50 kamar,” katanya. “Aku sedang menyiapkan presentasi untuk hotel lain. Jangan-jangan kau benar: good practice itu menular.”
Ragil menyodorkan data: berapa botol yang tidak lagi dibeli, waktu yang dihemat, rating tamu yang naik titik demi titik. “Kau tahu? Setelah Open House itu, repeat guest bertambah 8%. Mereka bilang suka cerita kita. Betul kata Jayeng, tamu bukan juri. Mereka seperti teman yang mengingatkan.”
Madi menghela napas lega. “Dan engineering tidak lagi sibuk menandai kebocoran kecil di setiap kamar. Mesin ini lebih paham kami daripada kami paham dia.”
Maya menambahkan, “Aku membuat microsite sederhana, menampilkan live counter berapa botol yang kita tak jadi pakai. Angkanya berjalan. Orang suka melihat angka yang bergerak ke arah yang benar.”
Suatu sore, Hamzah datang kembali. Ia membawa dua bungkus plastik bening berisi sampah plastik kecil yang ia kumpulkan dari lari paginya. Ia minta izin meletakkannya di lobi, di samping poster “Kota Tanpa Botol.” Di bawahnya, ia tulis tangan: “Ini bukan musuh, ini bekas pilihan.”
“Boleh?” tanyanya.
Jayeng menatap Ragil. Ragil menatap Madi. Maya mengangkat jempol. “Boleh,” jawab Jayeng. “Asal kita tak menyalahkan, hanya mengingatkan.”
Lobi itu, yang biasanya dihiasi bunga plastik, kini punya “instalasi” baru. Tamu-tamu memotret. Ada yang berkomentar, ada yang tenang saja. Tapi banyak yang menoleh dua kali. Pada malam tertentu, sekelompok siswa SMA berhenti lama, membaca infografik, saling berbisik.
Jayeng berdiri di belakang pilar, memperhatikan. Ia tidak butuh panggung, tapi ia tahu kerja mereka sedang dipentaskan: tanpa aktor glamor, tanpa lampu sorot, namun membawa adegan yang bertahan.
.
Tahun berganti. Kota tetap bising: motor, baliho, kampanye. Tapi dari kantor dinas pariwisata, datang undangan: “Presentasi praktik baik hotel ramah lingkungan.” Ragil panik kecil. Madi sibuk menyiapkan mock-up dispenser. Maya menyusun slide dengan bahasa yang sederhana dan jernih.
Di gedung itu, di hadapan kepala dinas, perwakilan hotel-hotel lain, dan beberapa media lokal, Jayeng bercerita. Tidak panjang. Tidak heroik. Ia hanya menyusun kronologi: masalah—pilihan—proses—koreksi—manfaat. Ia menyelipkan pitutur Jawa: memayu hayuning bawana—menjaga dunia tetap elok. Ia kutip kalimat yang terdengar enteng namun tajam: “Yang besar tak selalu benar, yang kecil tak selalu remeh: ukuran paling jujur adalah jejak yang kita tinggalkan di bumi.”
Setelah presentasi, seorang pengelola hotel lain menghampiri. Namanya Jati. “Aku ingin meniru,” katanya. “Tapi aku takut tamu bilang kami pelit.”
Ragil menyahut, “Maka buatlah mereka paham: pelit itu jika kita memberi sampah pada anak-anak kota.”
Maya menambahkan, “Kami juga sediakan opsi: jika tamu butuh botol kecil karena alasan khusus—misalnya difabel—kami siapkan on request. Prinsipnya inklusif, bukan kaku.”
Madi menepuk bahu Jati, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Kalau kau butuh bantuan teknis, panggil aku. Aku ingin kota ini menang bersama.”
Jati menatap mereka seperti orang yang baru melihat pintu terbuka di ujung lorong panjang. “Terima kasih,” katanya. Suaranya hampir tidak terdengar.
Di suatu petang, selepas acara, Jayeng berjalan kaki menyusuri trotoar yang baru dipugar. Di warung soto, ia berhenti. Uap kuah mengembun di kaca gerobak. Penjual soto—seorang perempuan berambut disanggul—menyapa. “Mas dari hotel itu, ya? Yang sekarang pakai sabun isi ulang?”
“Dari mana ibu tahu?”
“Anak saya kerja di laundry. Katanya lebih ringan kerjaannya sekarang. Botol-botol kecil tak lagi berserakan.”
Jayeng tersenyum. “Syukurlah.”
Perempuan itu menuangkan soto ke mangkuk. “Dulu, bapak saya tukang sapu sungai. Ia sering bilang, ‘Air itu pemaaf, tapi manusia jangan kebangetan.’ Saya senang kalian bantu sungai memaafkan kita.”
Jayeng memakan sotonya perlahan, seperti menelan doa.
.
Tidak ada akhir yang terlalu mulus untuk kota. Selalu ada orang yang tak percaya. Selalu ada rumor. Suatu kali, dispenser sabun di kamar 507 macet. Seorang influencer mengunggah video singkat, mengeluh: “Sabunnya susah keluar. Please, hotel, jangan bikin repot.” Akun itu punya pengikut banyak. Video itu beredar.
Ragil menghela napas. “Kita minta maaf, kita perbaiki.”
Madi memeriksa, ternyata ring karet aus. Ia ganti lebih tebal. Maya menulis komentar di unggahan itu, sopan: “Maaf untuk ketidaknyamanan. Kami kirim tim memperbaiki dalam 10 menit, dan memberi complimentary minuman. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Video susulan muncul: “Ternyata responsnya cepat. Salut.” Tidak semua orang memaafkan, tapi cukup. Kadang yang kita butuhkan hanya ruang untuk memperbaiki.
Malamnya, Jayeng menulis catatan di buku kerjanya: Kesalahan adalah pintu belajar, jika kita membuka dari dalam. Ia menutup buku, mematikan lampu kantor, lalu pulang.
Di rumah sempitnya di gang dekat stasiun, ibunya menunggu. Perempuan itu duduk di kursi kayu, memintal cerita tentang tetangga, arisan, harga beras. Di dinding, foto mendiang bapak Jayeng tersenyum datar.
“Bapakmu pasti bangga,” kata ibunya tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Ia selalu bilang: ‘Jadilah paku yang menancap pada yang benar, bukan yang mudah.’ Kau menancap, Ngeng. Meskipun mungkin karatan sedikit.”
“Karat itu dihapus sabun isi ulang, Bu,” sahut Jayeng, kedip nakal.
Ibunya tertawa. Suara tawa itu menyejukkan jendela malam.
.
Beberapa bulan kemudian, hotel mereka bukan lagi satu-satunya. Ada tiga hotel lain yang mengikuti, dua di antaranya lebih besar. Kencana bekerja sama dengan pabrik baru, menekan harga agar adopsi kian mudah. Dinas pariwisata merilis “Standar Praktik Baik” yang memasukkan penggunaan dispenser isi ulang sebagai poin nilai untuk program penghargaan tahunan. Sekolah-sekolah mengundang Jayeng dan tim untuk berbagi.
Di perbatasan kota, sebuah taman kecil di tepi sungai dibersihkan. Komunitas lari bersama Hamzah menanam pohon waru dan ketapang. Di peresmian sederhana itu, seorang anak kecil berlari-lari membawa botol minum yang dapat diisi ulang. Ia menunjuk ke sungai—yang belum sepenuhnya bersih, tapi sedikit lebih lega—dan berkata, “Sungai ini warnanya mirip teh manis, ya, bukan campuran plastik.”
Semua orang tertawa. Tawa yang bukan kemenangan, melainkan perayaan atas upaya.
Jayeng berdiri di pinggir kerumunan, memandangi aliran air yang tak pernah benar-benar berhenti. Ia memikirkan kota yang ia cintai tanpa merasa perlu berteriak. Kota yang sering kali dianggap tak besar, tak penting, tapi justru karena itulah: ia mudah disentuh.
Ia teringat sebuah kalimat yang ia tulis di papan kecil di kantor housekeeping: “Kita bukan menyelamatkan dunia sendirian. Kita hanya menolak menambah sakitnya.”
Dan pada akhirnya, barangkali itu cukup untuk memulai semua yang lain.
.
Malam turun lagi. Di atap hotel, empat orang—Jayeng, Ragil, Madi, dan Maya—duduk bersisian, punggung bersandar pada dinding yang masih menyimpan hangat matahari siang. Kota di bawah bergerak dengan caranya sendiri: klakson pelan, obrolan di warung kopi, lampu kendaraan yang seperti barisan kunang.
“Ngeng,” panggil Ragil. “Aku mau kau tahu: bukan dispenser yang membuatku bangga. Bukan juga piagam dinas. Tapi keberanianmu bilang tidak pada ‘bonus’ itu.”
Jayeng menatap langit. “Aku tidak sendirian.”
Madi menimpali, kali ini lebih panjang dari biasanya: “Dulu aku mengira tugas engineering hanya memastikan air mengalir, listrik menyala. Sekarang aku tahu tugas lain: memastikan hati tetap di sisi yang benar.”
Maya tertawa kecil. “Ternyata revolusi bisa terjadi di kamar mandi.”
“Revolusi yang sabun-sabun,” goda Ragil. Mereka semua tertawa.
Di kejauhan, lonceng gereja berdenting, dan dari seberang, azan isya mengalun. Dua suara yang datang dari arah berbeda, bertemu di udara seperti dua tangan yang saling mengangguk.
Jayeng mengingat kata-kata yang jadi pembuka kisah ini, kalimat yang entah ia baca di mana atau mungkin ia temukan di sela-sela kesunyian: Yang besar tak selalu benar, yang kecil tak selalu remeh: ukuran paling jujur adalah jejak yang kita tinggalkan di bumi.
Ia mengulang kalimat itu dalam hati, memeluknya seperti seseorang memeluk jaket di malam berangin. Karena pada akhirnya, kota itu, hotel itu, sungai itu, dan semua orang yang tinggal di dalamnya—kita semua—sedang bersama-sama mengukur jejak.
Dan besok pagi, ketika matahari muncul di selasar timur, dispenser-dispenser itu akan tetap berdiri di kamar-kamar yang sederhana. Tak ada fanfare, tak ada pita yang dipotong. Hanya bunyi kecil “klik” saat tangan tamu menekan pompa, seperti menekan tangkai sirene harapan yang halus: tidak memekakkan telinga, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa kita masih punya pilihan.
.
.
.
Jember, 13 Agustus 2025
.
.
#CerpenKota #GreenHospitality #KurangiPlastik #PituturJawa #CeritaKompasMinggu #RefillNotLandfill #KotaTanpaBotol