Ketika Panggung Menjadi Rumah

“Di kota yang selalu sibuk membuktikan diri, jangan lupa merawat sunyi yang membuktikanmu.”

.

Hujan tiba di Jalan Sudirman tepat ketika shift soreku hampir usai. Lampu-lampu gedung memantul pada aspal, membentuk garis-garis neon yang seolah mengirim sinyal Morse kepada hati yang tak kunjung paham bahasa ramai. Aku Panji, seorang introvert yang memilih bekerja di dunia yang tak pernah tidur: perhotelan. Di meja resepsionis, senyum adalah seragam kedua. Di baliknya ada lembaran Excel, analitik ADR, RevPAR, dan parity rate yang harus kukunci sebelum pukul sepuluh malam. “Empati harus akurat,” kata kepala revenue-ku dulu. “Salah angka bisa memengaruhi gaji orang.” Ia benar; keramahan adalah puisi, tapi neracanya tetap prosa.

Di layar CCTV, kulihat Sekar berjalan melewati koridor lounge, menenteng map sample kain. Ia wedding-planner papan atas yang biasa menyulap ballroom jadi altar di atas awan. Sekar sering datang mendadak, mengukur ketepatan cahaya seolah matahari pun bisa ia minta bergeser satu derajat. “Pernikahan itu pertunjukan rasa yang harus terukur,” ujarnya suatu kali. Aku mengangguk, pura-pura mengerti. Yang kutahu, rasa justru paling suka kabur dari unit ukur mana pun.

Kota membesarkan kami dengan kecepatan yang sama: kompetitif, rapi, dan sering kali canggung terhadap luka. Di chat grup alumni, Gunungsari—teman lama yang kini partner di sebuah venture capital—membagikan tautan artikel tentang hotel-hotel independen yang bangkit dengan kafe bertema literasi. “Turisme berubah jadi kurasi,” tulisnya. Ragil, sahabat kami yang beralih dari chef hotel menjadi pendiri cloud kitchen, membalas dengan emoji api. Sementara Candra, dosen di fakultas pariwisata yang selalu berbicara pelan, menambahkan catatan: “Kota makin pandai menjual intimasi komunal, tetapi kesepian tetap tumbuh di sela-sela algoritma.”

Aku membacanya sambil memeriksa kamar-kamar VIP. Seorang bintang sinetron akan check-in malam ini. Staf FO mengatur SOP: sambutan di pintu mobil, welcome drink, rute khusus agar kamera ponsel tamu lain tak mengerumun. Saat semua cukup lancar, sunyi biasanya datang. Ia tidak mengetuk. Ia duduk di punggung telinga, memintaku mendengarkan napas AC sentral dan langkah-langkah housekeeping. Kadang-kadang, aku menemuinya di tangga darurat; tempat sepi dengan bau besi dan deterjen yang anehnya menenangkan.

Aku mengenal sunyi sejak kecil. Di rumah kontrakan sempit di pinggiran kota, Ayah pulang larut sebagai sopir travel, Ibu membuka warung kopi di teras. “Jangan takut sendirian,” kata Ibu, “karena kebanyakan keputusan baik lahirnya di sana.” Aku mengangguk saat itu tanpa benar-benar memahami. Butuh bertahun-tahun dan ribuan check-in untuk membuat kalimat itu berumah di kepalaku.

.

Malam itu, Sekar meminta izin menelponku setelah tur ballroom. “Panji, kamu bisa bantu cek akustik? Klienku minta saya pastikan ‘kata-kata mereka terdengar utuh’.” Ia tertawa kecil. “Apa pun maksudnya.”

Kami bertemu di ballroom Damar, ruangan dengan plafon tinggi dan panel kayu yang memantulkan cahaya seperti permukaan danau. “Ucapkan sesuatu,” katanya dari panggung. Aku berdiri di tengah, menatap kursi-kursi yang masih terbalik di atas meja. “Selamat malam, para tamu,” kataku. Suaraku menggapai langit-langit lalu kembali, lebih jernih dari yang kuduga.

“Kata-kata kembali pulang,” ujar Sekar. “Sepertinya aman.”

Aku tertawa. “Kamu minta aku jadi penguji akustik karena tahu aku suka bicara pelan?”

“Karena aku tahu kamu bicara pelan, tapi tegas. Orang tegas biasanya hemat kata. Itu baik untuk akustik.”

Sekar lalu menaruh map kain di bangku, menatapku. “Kamu pernah mempertimbangkan naik ke panggung untuk dirimu sendiri, bukan buat pekerjaan orang?” Pertanyaan itu menancap seperti peniti. Aku menutupnya dengan candaan: “Introver panggungnya di Excel.” Ia tertawa, tapi matanya tidak.

.

Bulan berikutnya hotel kami bersiap membuka rooftop baru. Rengganis—GM yang luwes dan cermat—memintaku memimpin kurasi program: yoga subuh, co-working siang, jazz akustik malam. “Kita jual waktu yang dirapikan,” katanya. “Biar tamu merasa hidupnya sempat menepi.”

Aku mengundang Ragil menaruh pop-up dessert bar setiap Jumat malam. “Tart cokelatku ini low-sugar,” katanya, “ditambah garam laut tipis banget. Biar manisnya berani berkata jujur.” Aku tertawa. Ragil selalu punya cara merangkum filosofi hidup menjadi resep.

Gunungsari ikut naik, membawa beberapa founder muda—anak-anak kota dengan sepatu putih bersih dan jam tangan yang lebih mahal daripada gajiku tiga bulan. Mereka memotret langit, memotret gelas, memotret diri sendiri berdampingan dengan kalimat motivasi. “Networking itu energi,” kata mereka. Aku mengangguk, menepuk-nepuk saku, memastikan earplug selalu siap berjaga di dalam—trik kecil agar gemuruh ramai bisa diturunkan volume-nya tanpa ada yang tahu.

Candra datang di malam pembukaan, berdiri di sudut bar sambil menatap sayap langit yang dikunyah lampu-lampu kota. “Kau tahu, Panji?” katanya. “Mahasiswa-ku meneliti generasi yang memanggil sepi sebagai musuh. Padahal kalau diajak bicara, sepi suka memberi rute pulang.”

Aku mengaduk es batu dalam gelasku. “Aku tak benci sepi. Hanya belum tahu cara memperkenalkannya kepada orang-orang yang kucintai.”

“Mulailah memperkenalkan dirimu dulu,” jawabnya.

Kata-kata itu kubawa pulang ke kamar apartemen yang rapi, di tower yang dindingnya terlalu tipis untuk rahasia. Di meja, ada buku catatan yang sampulnya sudah pudar. Aku membuka halaman baru dan menulis: “Rencana Panggung: Berbicara di ruang publik yang aman.” Lalu di bawahnya kutulis daftar: baca puisi internal staff gathering; training hospitality yang mengajarkan human factor, bukan hanya SOP; jadi tamu di kelas Candra tentang “Kesunyian dan Layanan.”

Aku menutup buku itu, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku merasa sunyi mengangguk.

.

Rapat budget triwulan memaksaku kembali pada angka. Rengganis menatap layar, jari-jarinya mengetuk pelan meja. “Tantangan Q3: weekday occupancy turun. Kita harus berani di strategi midweek—long-stay, corporate, medical tourism, edu-tourism.” Ia menoleh padaku. “Panji, kamu pimpin task force-nya. Rekrut siapa pun yang kamu percaya.”

Aku mengajak Sekar—si wedding-planner yang rupanya punya jaringan sekolah musik dan kursus public speaking. “Minggu ke-2 dan ke-4, kita adakan kelas micro-credentials di rooftop,” katanya. “Tamu corporate suka hal-hal yang bisa dibawa pulang sebagai ‘kompetensi’.”

Ragil menyambung: “Aku siapkan paket makan siang ‘tenang’: porsi kecil, padat gizi, supaya tidak drowsy meeting.” Ia bercanda, “Nama menunya: ‘Jangan Kebanyakan Sosial, Nanti Lelah.’”

Gunungsari menawar lokakarya ‘pitching tanpa berisik’: “Banyak founder yang suaranya besar tapi idenya tidak. Kita latih sebaliknya.”

Candra mengusulkan sesi “merawat sunyi dalam layanan”—workshop satu jam yang mengajarkan barista hingga receptionist mendengar, bukan hanya mendengarkan. “Ada jeda kecil yang sering luput di meja pelayanan,” katanya. “Jeda itu ruang pulih.”

Rapat kami berujung pada kalender program yang terukur. Kota menertibkan impian kami dalam blok-blok waktu, spreadsheet menyulamnya menjadi proyeksi. Dan di sela sebuah kolom, aku menyimpan catatan kecil: “Berani membaca puisi sendiri.”

.

Hari peluncuran program tiba. Langit terang; Jakarta mengizinkan angin datang lebih sopan. Di rooftop, Sekar menata kursi melingkar. “Biar orang dibuat saling menatap,” katanya. “Supaya suara mereka punya arah kembali.”

Kelas pertama: “Pitching Tanpa Berisik.” Gunungsari mengajak para founder duduk di lantai, menulis satu kalimat yang benar-benar jujur tentang ide mereka. “Kalimat jujur itu biasanya paling sunyi,” ujarnya, “karena tidak sibuk meyakinkan.” Aku melihat beberapa orang menelan ludah, mungkin untuk pertama kalinya disuruh menatap ide sendiri tanpa hiasan.

Kelas kedua: “Merawat Sunyi dalam Layanan.” Candra berdiri tanpa mic. “Tutup mata sebentar,” pintanya. “Bayangkan Anda sedang check-in setelah penerbangan panjang. Apa yang Anda dengar dari tubuh sendiri?” Hening jadi metode. Aku memerhatikan staf kami; beberapa menunduk, beberapa menahan senyum gugup, sebagian diam-diam menangis.

Di sela kelas, Ragil mengeluarkan dessert bar: “Tart keju yang tidak dramatis. Ia punya integritas.” Kami tertawa. Orang-orang kota membutuhkan makanan yang bicara apa adanya.

Malamnya, jazz akustik mengalun. Aku memegang selembar kertas—puisi pendek yang kutulis di tangga darurat beberapa minggu lalu. Rengganis menyuruhku naik ke panggung setelah lagu ketiga. “Baca,” katanya, “ini rooftopmu juga.”

Aku melangkah. Lampu-lampu kota bersinar seperti huruf-huruf yang belum disusun. Suara alat musik menyisakan ruang. Aku membaca:

Bila kau datang ke meja kami,
biarkan sepatumu meletakkan jarak hari
di bawah kaki kursi.
Beri tahu namamu,
tapi sisakan satu untuk dirimu sendiri.
Agar saat kopi mendingin,
kita masih punya alasan menyebutmu pulang.

Tidak ada yang bertepuk tangan keras; justru napas menahan terdengar lebih jelas. Sekar menatapku lama. Ragil mengangguk pelan. Candra menautkan jari-jarinya. Gunungsari merekam tanpa mengunggah. Lalu, tepuk tangan muncul—kecil, terukur, hangat. Untuk pertama kali, aku merasa panggung bukan ancaman melainkan rumah dengan jendela yang sengaja dibiarkan terbuka.

.

Akibatnya lucu: program kami ramai. Weekday occupancy perlahan naik. Email corporate mulai menanyakan paket kelas—“public speaking untuk introvert,” “coaching hospitality yang tidak berisik,” “kurikulum singkat untuk customer empathy.” Ada yang menyebut kami “hotel pendidikan,” ada pula yang menulis ulasan, “tempat di mana jeda dihormati.” Rengganis tersenyum di rapat review. “Empati yang akurat bekerja,” ujarnya. “Kalian menjahitkan data dengan rasa.”

Namun kota, seperti biasa, menuntut bayaran. Malam yang sama ketika angka-angka terlihat stabil, aku menerima kabar: Ibu jatuh di rumah. Warung kopi di teras lengang. Tetangga menelpon, suaranya gemetar seperti gelas yang tak sengaja tersenggol. Aku cepat-cepat memesan taksi online, melaju melawan detik. Di kursi belakang, sunyi duduk lagi, kali ini menatapku tanpa berkedip.

Rumah Ibu tidak berubah sejak terakhir: kipas angin tua, kaleng biskuit berisi benang, foto Ayah yang memudar. Ibu terbaring di kamar, matanya menunggu. “Capek ya, Nak?” katanya pelan. Ada luka kecil di pelipis yang sudah dibersihkan bidan.

“Aku pulang, Bu.” Kata-kata itu sederhana, tapi rasanya seperti membuka pintu tua yang selama ini macet pada engselnya.

Aku menginap semalam. Pagi harinya, Ibu memaksaku kembali ke kota. “Tamu-tamumu menunggu,” katanya. “Dan ingat, keputusan baik lahir di sunyi. Kau sudah menjaga sunyimu dengan baik.” Aku mengecup tangannya, lalu diam-diam menaruh earplug di saku baju Ibu—sialnya kebiasaan itu seakan jimat. “Supaya Ibu juga punya tombol volume,” candaku. Ibu tertawa sampai batuk-batuk kecil.

Di kereta kembali ke Jakarta, kulihat cermin jendela memantulkan wajahku. Seorang pria yang seharusnya sudah tahu caranya pulang, tapi masih belajar menata langkah. Aku mengetik pesan pada Sekar: “Terima kasih sudah memaksaku naik panggung.” Ia balas: “Terima kasih sudah membiarkan panggung menjadi tempat pulangmu.”

.

Program kami meluas. Edu-tourism menggandeng universitas; kelas-kelas singkat di rooftop bertambah tema: storytelling untuk dokter, desain layanan untuk UMKM, manajemen konflik dengan seni jeda. Kami juga mulai mengadakan “ruang membaca sepi”—satu jam tanpa gadget di lounge, ditemani teh-kopi dan musik yang volumenya dipantau seperti tekanan darah. Anehnya, segmen kelas menengah ke atas menyukainya. Orang-orang yang terbiasa membeli kecepatan mendadak rela membeli kelambatan.

“Paradoks,” kata Gunungsari. “Aset paling langka kini bukan informasi, tapi ruang tak diisi.”

“Aku menyebutnya ruang yang tak perlu mengunggah dirinya,” sahut Candra.

Ragil menambahkan menu sup ayam kampung dengan jahe, “karena ada jenis tenang yang hanya bisa diraih lewat hangat.” Sekar mulai menawarkan paket resepsi kecil—“bukan pesta, lebih mirip janji yang bisa didengar.” Sementara aku… aku membuka kelas mikro baru: “Introvert di Industri yang Berisik.” Aku bercerita bagaimana earplug di saku bisa menyelamatkan ketenangan, bagaimana menandai batas energi, bagaimana memaknai SOP sebagai koreografi, bukan borgol; bagaimana mendengar, benar-benar mendengar.

Suatu sore setelah kelas, seorang peserta menghampiriku. Namanya Anggraini, manajer HR dari grup restoran. “Mas Panji,” katanya pelan, “saya dulu sering merasa bersalah karena tidak ‘serame’ rekan-rekan saat engagement karyawan. Kini saya tahu ada cara lain. Terima kasih.” Ia menunduk, ada sisa air di mata. Di momen itu, aku melihat pantulan diriku bertahun-tahun lalu—seorang anak yang takut dianggap kurang, padahal dia hanya berjalan di rute yang lebih sunyi. Hatiku menghangat, seperti sup Ragil yang baru diangkat dari kompor.

.

Tentu tidak semua mulus. Di rapat berikutnya, seorang investor tamu—temannya temannya Gunungsari—menawarkan “ekspansi cepat” ke tiga kota. “Paketkan saja semua ini,” ujarnya, “jadikan franchise of feelings. Keputusan 48 jam.” Rengganis menatapku. Aku menatap kota. Sekar menggigit bibir. Ragil pura-pura berkutat dengan daftar belanja. Candra menegakkan punggung.

“Kami akan jawab tiga hari lagi,” kata Rengganis.

Tiga hari kami isi dengan diam yang bekerja. Kami memeriksa kapasitas, menimbang manusia, bukan hanya model. Malam sebelum jawaban, aku berdiri di atap parkir, memandang jalan layang. Teleponku bergetar: pesan video singkat dari Ibu. Ia duduk di kursi plastik, memegang earplug yang pernah kuberi. “Nak,” katanya sambil terkikik, “Ibu pakai ini kalau tetangga ribut. Ampuh.” Lalu nada suaranya berubah lembut. “Tapi untuk doa, Ibu lepaskan. Karena doa harus mendengarmu.”

Aku menahan tawa dan tangis sekaligus. Di bawah, kota terus menukar jam menjadi jarak. Aku tahu keputusanku.

Keesokan harinya, kami menjawab: tidak. Bukan karena mimpi kecil, tapi karena ingin memastikan setiap ruang tetap punya telinga. Empati yang akurat bukan pabrik; ia kebun. Investor itu mengangkat alis, lalu merapikan jasnya. “Baik,” katanya singkat. Di lift, hening yang menuruni lantai-lantai seperti hujan yang sopan.

Keputusan itu membuatku lega sekaligus takut. Tapi justru ketakutan itulah yang terasa manusia. Malamnya, aku membaca puisi lagi. Bukan karena berani, melainkan karena rindu pada versi diriku yang ada ketika kata-kata pulang.

.

Bertahun-tahun kemudian, orang mungkin mengingat hotel kami sebagai tempat jeda yang dibikin serius. Mereka mungkin lupa detail angka—berapa ADR saat itu, berapa okupansi di Q4. Tapi semoga mereka ingat bahwa suatu malam, di atas kota yang masih sibuk membuktikan diri, sekelompok orang duduk melingkar, membiarkan kata-kata kembali pulang ke dada masing-masing.

Aku mengajar lebih sering kini—di kelas Candra, di pelatihan perusahaan, di sesi-sesi kecil yang disiapkan Sekar. Ragil membuka dua dapur satelit dengan ritme yang tetap pelan; ia menolak aplikasi yang ingin memesan “viral.” Gunungsari—anehnya—mulai berinvestasi pada bisnis yang menukar skala dengan marwah: perpustakaan kecil, studio suara, kios teh. Dan Rengganis? Ia diundang berbicara ke asosiasi hotel tentang “menghitung ruang hening.”

Pada ulang tahun program kami, Ibu datang. Ia berjalan pelan, memegang earplug seperti menggendong cucu. Saat musik jeda, ia berbisik, “Ruang yang baik adalah ruang yang memberi kita keberanian pulang.”

Malam itu, aku menutup acara dengan kalimat yang dulu kutulis di halamanku sendiri:

“Kita belajar memberi layanan pada orang lain, tapi hari ini—di kota yang menempelkan label harga pada segalanya—marilah kita membayar hutang layanan kepada diri sendiri: mendengar sunyi, menamai lelah, merapikan harap. Kalau nanti kau ke meja kami, datanglah apa adanya. Tidak perlu menjadi versi yang ramai. Karena kami percaya, yang paling berharga dari seorang tamu adalah ruang kosong di dalam dadanya—tempat kita, bersama-sama, belajar pulang.”

Di kejauhan, lampu-lampu kota tampak lebih tenang. Seperti kata-kata yang akhirnya tahu arah.

.

.

.

Jember, 3 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #Hospitality #Pariwisata #Kota #Introvert #Storytelling #Empati #UrbanLife #Indonesia

Leave a Reply