Ketika Langit di Atas Lobi Mendung

“Terkadang yang kita tentang bukanlah tradisi, melainkan rasa kita yang dipaksa patuh tanpa diajak bicara.”

.

Langit di atas lobi selalu setia berwarna kelabu. Ia berkilat pada kaca-kaca tinggi yang mengapit pintu putar, memantulkan wajah-wajah terburu-buru: para tamu berjas tipis, tas tangan berlogo kecil yang mahal, lalu-lalang pegawai hotel berseragam yang seolah tak pernah berkeringat. Di antara ritme mekanis itu, Saka berdiri seperti patung yang—anehnya—masih bisa bernafas. Napasnya teratur, matanya waspada, jarinya sesekali menyentuh earpiece bening di telinga kanan, menandai komando tak terdengar yang melesat dari pikirannya ke jaringan tak kasatmata bernama “operasional”.

Saka, lelaki empat puluh dua, General Manager sebuah hotel bintang lima di kawasan segitiga emas Jakarta. Ia tumbuh dari disiplin: anak sulung dalam keluarga Jawa yang mengajarkan harmoni meski hati retak, menunda air mata demi wajah-wajah yang harus dijaga. Rutinitas menjadi doa, protokol menjadi injil. Dan di gedung ini, ia adalah imamnya—mengatur paduan suara agar tak ada satu pun nada sumbang.

Pagi itu, pukul tujuh tiga puluh, aroma kopi pertama naik dari bar interior yang bergaya art deco. Lampu-lampu kuningan menggantung seperti bulan-bulan kecil. Resepsionis—Kirana—menunduk memberi salam. “Pagi, Ka.”

“Pagi,” jawab Saka, menandatangani daily brief, mengecek daftar VIP yang menginap: konsultan minyak dari Doha, penyanyi pop yang baru turun dari tur Asia, seorang filantropis berambut perak yang meminta ruangan sunyi di lantai klub.

Rapat pagi bergulir seperti biasanya. Sampai Tia—Public Relations yang selama ini dikenal ceria—mendadak bukan Tia yang ia kenal. Tia menghindari mata Saka. Ketika Saka menjelaskan konsep “Heritage Dining Experience” untuk gala dinner bulan depan—busana kebaya dan batik lengkap bagi seluruh staf operasional, lawas gamelan yang disusun ulang dengan aransemen kontemporer, menu Nusantara kurasi chef Umarmaya—Tia mengangkat tangan pelan.

“Saka,” suaranya lembut, tetapi teguh, “boleh aku bicara?”

“Silakan.”

Tia menelan ludah. “Konsepnya indah. Tapi… tidak semua orang nyaman dipaksa mengenakan simbol, terutama ketika kita tidak membuka ruang untuk memahami maknanya. Banyak staf bilang, rasanya seperti dekorasi. Kita tampilkan batik, tapi tidak bicara tentang yang menenunnya. Kita minta mereka tersenyum dalam kebaya, tapi tidak menyiapkan sepatu yang tak melukai.”

Ruang rapat terdiam. Saka mengernyit. Kata-kata Tia menubruk dinding keyakinannya: program ini bukan formalitas—baginya ini usaha memeluk akar. Ia mendengar, tetapi belum memahami. “Tia,” ujarnya akhirnya, menahan ketus, “kita ini hotel. Ada standar, ada narasi yang kita bangun. Kalau semua harus dibahas, kapan kita bergerak?”

Tia mengangguk, tak menantang. “Baik. Maaf.” Ia menutup buku catatannya, menatap meja untuk menyembunyikan sesuatu di matanya—apakah kecewa, apakah lelah—Saka tak tahu.

.

Hari-hari berikutnya terasa cadas. Tia mengajukan cuti dua hari. Di layar CCTV, Saka menyaksikan tubuhnya sendiri berjalan terlalu cepat melewati lobi; langkahnya menabrak bayangan, pikirannya memantul-mantul pada kalimat Tia yang nyaris ia buang. Di lantai klub, langit tampak makin rendah. Jakarta, kota yang tak pernah benar-benar biru, meneteskan hujan yang seperti suara ibu—pelan, tetapi lama-lama menembus.

Saka memutar ingatan. Ibu, yang meninggal lima tahun lalu, pernah menatapnya lama setelah sebuah rapat keluarga yang berakhir dingin. “Ka,” katanya di dapur, sambil membalik tempe, “kamu ini bukan patung di pojok lobi. Kamu langit. Luas. Tugas langit itu mendengar, bahkan suara kecil dari gang paling jauh.”

Di hotel, suara-suara kecil itu berloncatan di sela pintu: Ninis dari housekeeping dengan tumit memar karena sepatu baru; Jayeng dari keamanan yang tak punya batik lengan panjang seukuran dadanya; Umarmadi, sous-chef yang wajahnya keras tetapi matanya cair, bimbang bagaimana menjelaskan ke kru dapur muda bahwa rawon bukan sekadar hitam, tetapi peta lada dan kluwek, dan tidak semua orang betah memakainya di lidah tamu asing.

Ketika hujan paling deras turun—rintik-rintik memaku kaca jendela rooftop lounge seperti jarum jam yang menegaskan sesuatu—Saka menghentikan rapatnya sendiri. Ia keluar dari ruangan, menatap ke kota yang retak-retak oleh lampu. Langit menggantung seperti payung bolong.

Ia menulis pesan: “Tia, besok aku ingin bertemu. Bukan sebagai atasan.”

.

Di unit apartemen servis yang menempel pada bangunan hotel, Tia membukakan pintu dengan mata yang sedikit bengkak. Ruang tamunya kecil, rapi, ada cangkir-cangkir dengan noda kopi yang mengering cantik—sejenis jejak kehidupan yang tidak untuk dipamerkan di lobi.

“Aku tidak datang untuk membenarkan idenya,” ucap Saka, menaruh topinya di meja, “aku datang untuk belajar.”

Tia tertawa kecil, tidak yakin. “Belajar dari PR? Kita biasanya belajar sapa-senyum, bukan sains.”

“Belajar tentang rasa,” balas Saka.

Percakapan itu mengalir seperti teh panas di cuaca basah: menenangkan, kadang menyengat. Tia bercerita tentang ibunya yang penjahit kebaya di Pamekasan: bagaimana jarum menari bersama doa, bagaimana kain bisa menjadi baju pengikat atau sayap pembebas. Ia bercerita tentang seorang teman, Ratnawulan, yang dipuji pelanggan karena “cantik berkebaya” sementara kaki kirinya melepuh sebab pantofel pinjaman.

“Kita sering memajang simbol,” kata Tia, “tapi tidak membiarkan simbol itu bicara. Kita memaksa orang patuh kepada rupa, bukan pada makna. Rasanya seperti… disuruh berdiri gagah, tapi lututnya kita ikat.”

Saka menatap jemari Tia yang memegang cangkir. “Aku kira aku sudah mendengar,” ujarnya, jujur, “ternyata aku hanya memerintah. Aku kira aku merangkul, ternyata aku mendorong orang agar pas dalam bingkai fotoku.”

Tia menggeleng, pelan, seperti takut mengecewakan. “Niatmu baik. Tetapi niat baik itu seperti kain mahal—tanpa pola, ia bisa menutup mata.”

Hening. Di luar, hujan menipis menjadi sisa yang bersiul pelan di atap seng tetangga. Saka menatap langit-langit, mengingat lagi suara ibunya: langit mendengar, bahkan suara paling kecil.

“Ajari aku,” kata Saka, akhirnya.

.

Perubahan itu tidak datang sebagai revolusi. Ia merayap sebagai hal-hal kecil yang diizinkan hidup.

Saka memulai dari rapat paling sakral: morning briefing lintas departemen. Alih-alih memaparkan daftar tugas, ia mengeluarkan secarik kertas. Semua menoleh, separuh bingung, separuh penasaran. Saka membaca pelan puisi yang ditulisnya semalam:

“Bukan karena batikmu yang mewah aku hormat,
melainkan karena tangan-tangan yang kauingat
ketika jarum menari seperti doa
yang menjahit luka agar tak lagi membuka.”

Suara Saka tidak indah. Tetapi kata-kata itu seperti membuka jendela lain di dalam ruangan. Jayeng—yang selama ini hanya bicara jika ditanya—mengangkat tangan. “Pak—eh, Saka—bolehkah seragam batik Satpam tidak lengan panjang semua? Di pos depan panasnya lain. Kami bisa tetap rapi, tapi perlu bernafas.”

“Boleh,” kata Saka, cepat, mencatat, “pilih yang membuatmu bangga, bukan sengsara.”

Ninis mengungkap soal pantofel. “Kami bisa pakai kebaya, Saka. Tapi sepatu kami… apa bisa hotel bantu? Kami tak ingin mengeluh di depan tamu.”

“Tiap kebaya berhak sepasang sepatu yang adil,” jawab Saka. “Vendor akan kita ubah, fitting akan kita ulang.”

Umarmaya—head chef dengan tangan selembut periuk tanah—mengusulkan meja cerita di sudut ballroom: tempat di mana tamu bisa membaca kisah singkat pembuat kain, petani rempah, tukang kayu yang merakit gamelan. “Jika harus ada simbol, izinkan simbol itu memperkenalkan asal-usulnya,” katanya.

Dari pintu belakang dapur, Umarmadi menambahkan ide “sesi makan sunyi”—sebuah jeda tiga menit sebelum hidangan utama turun, lampu diredupkan, narator menceritakan perjalanan satu menu. “Orang kota jarang diam. Mungkin sunyi itu yang membuat hidangan bicara.”

Tia tersenyum tipis di pojok ruangan; matanya berkaca-kaca, bukan karena menang, melainkan karena melihat sesuatu bergerak ke tempat semestinya: makna.

.

Jakarta tidak tahu-menahu soal rapat yang bisa mengubah suhu. Kota ini terlalu sibuk menghitung detik lampu merah. Namun ada yang terasa lain menjelang gala dinner itu. Di hari fitting, tawa terdengar dari ruang seragam: Ninis memamerkan pantofel baru yang tidak memagut tumit; Jayeng memamerkan baju batik lengan pendek yang mengikuti garis bahunya; Kirana duduk melipat kain sambil membaca secarik kertas kecil—cerita singkat tentang pengrajin batik dari Sumenep yang anaknya baru bisa sekolah karena musim lalu motif “ombak satater” laris.

Di dapur, Umarmaya mengajari kru muda mencium kuah rawon bukan hanya dengan hidung, tetapi dengan ingatan. “Ini bukan hitam,” katanya, “ini kenangan pohon kluwek yang menua, ini sabar, ini panas yang kita atur. Jangan terlalu cepat, jangan terlalu lambat. Kematangan macam apa yang mau kau rayakan?”

Umarmadi, yang jarang retoris, tiba-tiba puitis. “Kematangan seperti hati Saka,” katanya sambil tertawa. “Keras di luar, hangat di tengah.”

Saka mendengar dari pintu. Ia tidak ikut menasihati. Ia hanya menyaksikan sebuah orkestra yang dulu ia pimpin dengan tangan mengepal, kini bergerak dengan tangan yang membuka.

Di media sosial, poster gala dinner itu tidak lagi menampilkan model berpose di tengah ballroom kosong. Mereka memotret sepatu Ninis, jari-jemari Umarmaya yang berlumur bumbu, tatapan Jayeng yang waspada tetapi lembut, kain batik di jemuran rumah kecil di Pamekasan. Tia menulis caption: “Tradisi bukan kostum, melainkan suara. Kami akan menyiapkan ruang untuk mendengarnya.”

.

Malam itu, langit menggulung awan kelabu yang tebal. Hujan menggoda, menahan diri tepat sebelum acara dimulai. Lobi disesaki parfum halus, sorot kamera, derik halus roda koper. Di panggung kecil, empat pemain gamelan berbaur dengan cello dan klarinet. Nada pertama seperti pintu yang dibuka dari dalam.

Saka berdiri di belakang, menyaksikan tamu-tamu berkulit terang dan sawo matang, pria dengan jam tangan mahal dan perempuan dengan tatapan lelah tetapi bersemangat, semuanya menyelaraskan diri dengan ritme yang tak mereka kenal pasti. Ia menyaksikan cara Kirana menyapa tamu—bukan sekadar “selamat malam”, tetapi “kami berharap malam ini Anda pulang membawa cerita.” Ia menyaksikan Jayeng meletakkan telapak tangan kanan di dada, memberi salam kepada seorang kakek yang berjalan pelan sambil mengelus motif di dinding.

Lampu meredup. “Sesi makan sunyi” dimulai. Narator—Ratnawulan, suara halus dari tim PR yang dilatih Tia—berkisah tentang sepenggal perjalanan: “Di sebuah rumah yang dindingnya bernafas, seorang ibu menjahit kebaya sambil bersyair. Jarum di tangannya menari, bukan melukaimu, melainkan menutup jahitan masa lalu. Malam ini, ketika kain menyentuh kulitmu, semoga kamu menyentuh ingatanmu sendiri.”

Tiga menit. Sunyi. Tidak ada sendok yang mengetuk piring. Tidak ada notifikasi ponsel yang berani menusuk. Hanya napas bersama.

Ketika lampu kembali menyala, rawon datang seperti gerimis yang disambut senyum. Ada tamu yang mengangkat mangkuknya sedikit—gestur kecil, entah doa, entah hormat. Saka menunduk tanpa alasan yang jelas, merasakan sesuatu berdesir di tenggorokannya.

Di sisi ruangan, Tia berdiri dengan tangan terlipat. Ia tidak menang. Ia tidak kalah. Ia menyaksikan pekerjaan yang menjadi doanya sendiri.

Malam berlanjut dengan keindahan yang tidak meledak-ledak. Tidak ada kembang api. Hanya detail yang saling menghidupkan: pita kain yang longgar agar bahu tidak pegal, jeda untuk kru dapur bernapas, penjelasan singkat tentang motif “kopiah jangkep” yang direkam dalam tiga bahasa. Rasanya seperti simfoni, tetapi kali ini Saka tidak lagi berdiri sebagai konduktor yang menuntut. Ia menjadi bagian dari orkestra—alat musik yang kadang bersuara, kadang diam, mempercayai ruang di antara not.

.

Usai tamu terakhir pulang, ballroom seperti bekas pantai setelah pasang surut: jejak langkah, serpih tawa, sisa percakapan. Di balkon kamar paling atas, Saka berdiri sendirian. Kota di bawahnya berkilau seperti sungai logam yang tersesat. Hujan akhirnya turun, pelan. Ia memejam, membiarkan rintik membasuh kening.

“Ma,” bisiknya pada langit yang tak memperkenalkan diri, “aku belajar mendengar.”

Ia tertawa kecil, bukan pada siapa-siapa, melainkan pada dirinya yang dulu. Ia ingat hari-hari ia menyamakan “rapi” sebagai “benar”, “cepat” sebagai “tepat”, “diam” sebagai “taat”. Ia ingat bagaimana ia menagih hasil dari orang yang lututnya ia ikat. Hanya demi foto yang lurus dan brosur yang kinclong.

Tiba-tiba earpiece-nya berbunyi: suara Jayeng, lirih. “Saka, ada tamu… perempuan… dia kembali ke lobi. Tidak apa-apa, hanya duduk.”

Saka turun. Di lobi, jam dinding menunjuk hampir tengah malam. Perempuan itu duduk di sofa abu-abu, menatap ke luar. Rambutnya basah. Tasnya kecil. Matanya—entah kenapa—seperti orang yang baru pulang ke rumah setelah berkelana terlalu lama.

“Kami sudah tutup untuk tamu luar, Mbak,” kata Saka, lembut, “tapi untuk hujan, kami selalu buka.”

Perempuan itu tersenyum. “Aku tamu sejak sore. Hanya… butuh duduk di tempat yang tenang.” Ia menatap ke langit kelabu. “Di atas lobi ini, langitnya seperti agak mendung, ya.”

Saka mengangguk. “Memang,” katanya, “tetapi mendung itu yang membuat lampu-lampu jadi tampak.”

Perempuan itu memperkenalkan diri: “Namaku Candra.” Bukan nama dari Madura, pikir Saka, tetapi bukankah langit tidak mengenal batas pulau? Mereka berbicara seadanya. Tentang konser yang baru ia tonton, tentang pekerjaannya sebagai arsitek interior yang mencintai ruang-ruang dengan jeda. “Ruang yang baik,” katanya, “mengizinkan manusia menjadi genting—rapuh—tanpa merasa malu.”

Saka menjawab tanpa sadar bahwa ia baru saja belajar hal itu. “Kami mengira ruang hanya perlu rapi.” Ia menatap sekeliling: lobi yang sempurna, tetapi malam ini, ada retakan halus yang membuatnya lebih manusiawi.

Candra pulang setelah hujan reda. Saka berdiri lama di bawah jam dinding, mendengar suara mesin pendingin, langkah night-shift yang ringan. Ia memikirkan bagaimana mudahnya manusia menyamar sebagai patung: cukup berdiri tegak di satu titik, menolak bising, menolak lengking, menolak rengekan—dan perlahan, menolak manusia.

Malam itu ia menulis catatan di ponselnya: “Esok, tetapkan satu jam untuk mendengar.” Ia menamai program kecil itu Poros. Bukan Pusat. Sebab poros tahu kapan harus diam, kapan harus ikut berputar.

.

Poros dimulai seperti doa siang yang jarang diingat—sunyi dan sederhana. Saka mengumumkan: setiap Rabu pukul dua sampai tiga, ruang rapat kecil dibuka tanpa agenda. Siapa pun boleh datang. Tidak ada notulen. Tidak ada keputusan wajib. Yang ada hanya mendengar.

Di pertemuan pertama, hanya ada lima orang: Ninis, Jayeng, Umarmadi, Kirana, dan Tia. Mereka duduk melingkar, canggung. Lalu cerita mengalir: tentang anak Ninis yang butuh sepatu olahraga untuk lomba sekolah; tentang ibu Jayeng yang dirawat di kampung; tentang Umarmadi yang diam-diam menulis lirik lagu untuk gamelan—lirik yang tidak pernah ia bacakan; tentang Kirana yang selalu pulang paling larut ke apartemen kosong. Tia tidak bicara banyak. Ia menetap sebagai payung yang membolehkan hujan jatuh.

“Terima kasih,” kata Saka di akhir, “untuk suara kalian.”

Minggu berganti. Poros pelan-pelan menjadi kebiasaan. Orang datang, pergi. Ada yang hanya duduk memeluk secangkir teh. Ada yang menangis tanpa suara. Ada yang membawa ide: pemasangan keramik antiselip di area staf, ruang laktasi yang proper, penjadwalan ulang shift agar tidak ada yang selalu kebagian malam. Ada pula cerita kecil yang membuat tawa yang tidak diharuskan. Dan dari semua itu, tumbuh sesuatu yang tak bisa dicatat di Excel: rasa memiliki.

Pada gala dinner selanjutnya, Saka tidak menulis puisi. Ia meminta Umarmadi membacakan liriknya. Suara Umarmadi patah-patah, tetapi jujur:

“Jika kau minta kami berdiri
izinkan kami meletakkan beban
jika kau minta kami tersenyum
izinkan mulut kami minum
jika kau minta kami melangkah
izinkan tumit kami sembuh.”

Tamu-tamu menatap panggung. Beberapa tak mengerti. Tak apa. Tidak semua momen diciptakan untuk dimengerti—sebagian diciptakan untuk menggerakkan.

.

Bertahun-tahun kemudian—atau barangkali hanya bulan-bulan yang terasa panjang—langit di atas lobi masih tetap mendung. Jakarta tidak menjadi kota biru. Tetapi di hotel itu, ada kebiasaan-kebiasaan kecil yang bertahan ketika brosur sudah berganti desain: fitting sepatu sebelum fitting kebaya; sesi sunyi di setiap acara besar; papan kecil di pantry staf yang bertuliskan “Kau cukup manusia—istirahatlah”; dan sebuah buku tipis di lobi berjudul “Dengar” tempat tamu boleh menulis cerita singkat yang tak akan dibalas dengan promosi.

Saka tak lagi menjaga semua hal agar “nyaris sempurna”. Ia menjaga agar semua orang punya ruang menjadi tidak sempurna tanpa kehilangan martabat. Ia masih sigap, masih rapi, masih menghafal nama VIP. Tetapi ia juga menghafal nama anak Ninis, warna batik favorit Jayeng, dan cara Umarmaya meletakkan sendok agar tidak menyinggung kuah.

Suatu sore, Tia mengirimkan foto. Di Pamekasan, ibunya tersenyum memegang pesanan kebaya untuk housekeeping. Di bawah foto, Tia menulis: “Terima kasih sudah memberi ruang untuk jarum menari.”

Saka membalas: “Terima kasih sudah mengajari langit mendengar.”

Di bawah balasan itu, ia menambahkan kalimat yang kini menjadi mantranya sendiri:

“Menjaga tradisi bukan soal kostum, melainkan menyiapkan hati agar makna punya tempat duduk.”

Dan ketika malam turun, lampu-lampu hotel menyala, memantulkan diri pada langit mendung seperti bintang-bintang yang berpura-pura. Di kursi paling ujung lobi, seorang tamu baru duduk, meletakkan telepon genggamnya menghadap ke bawah, memandang sekeliling, dan—mungkin untuk pertama kalinya hari itu—menghela napas panjang, lega, dan manusiawi.

.

Catatan Saka (ditemukan di halaman terakhir buku “Dengar”):

“Jika engkau ingin menggerakkan roda, jangan jadi pusatnya—jadilah poros yang tahu kapan harus diam, kapan harus berputar bersama.”

“Hormat bukan tumbuh dari kain di bahu, melainkan dari cara kita menanggung beban orang lain tanpa menambahnya.”

“Lobi yang indah adalah lobi yang memberi tempat bagi air mata yang tidak minta maaf.”

“Tradisi tidak menuntut patuh; ia menuntut paham.”

“Pemimpin yang lupa mendengar, cepat atau lambat akan dibiarkan bicara sendirian.”

Dan langit—yang tetap mendung—akhirnya terasa seperti rumah.

.

.

.

Jember, 6 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #SastraUrban #KompasMingguVibes #Hospitality #Jakarta #TradisiDanMakna #KepemimpinanEmpatik #MenakMadura #Storytelling #KelasMenengahKeAtas

 

Leave a Reply