Keputusan Bernama Pulang

“Kita pulang bukan ke alamat, melainkan ke versi diri yang akhirnya berani.”

.

Petang turun seperti kain tipis di antara gedung-gedung kaca. Jakarta memantulkan dirinya pada jendela-jendela kantor yang belum gelap, seakan kota sedang belajar menatap balik manusia yang menatapnya. Di halaman parkir sebuah kampus bisnis yang juga menyewakan lantai-lantainya sebagai ruang inkubasi startup, Jayeng Rana berdiri dengan ransel hitam di punggung. Ia baru keluar dari kelas malam—ekonomi perilaku untuk pengambilan keputusan—kelas yang ia ambil diam-diam, karena di kantornya orang yang belajar di luar jam kerja masih dianggap “tidak fokus”.

Teleponnya bergetar. Retna Anggini mengirim foto: meja makan dengan empat piring kosong dan serbet dilipat rapi. “Sampai jam berapa? Aku menahan nasi biar tetap hangat.” Jayeng mengetuk layar, membalas: “Tiga puluh menit.” Ia berbohong—atau mungkin berharap.

Malam itu ia memutuskan naik MRT, turun di Dukuh Atas, berjalan kaki menyusuri trotoar baru, lalu menyetop ojek untuk menembus sisa jarak. Angin kota membawa wangi malam—bensin, sate, parfum pegawai bank, dan karet hujan. Di helm pinjaman, wajahnya memantul tipis. Garis di bawah matanya seperti lintasan untuk kereta yang tak berhenti—kereta proyeksi dan target yang tak kunjung datang tepat waktu.

Di apartemen lantai dua puluh, Retna menemuinya di depan pintu dengan senyum setengah cemas, setengah lega. Rambutnya dikuncir tinggi, tepung menempel di lengan—baru selesai memanggang brownies pesanan yang setiap Jumat dikirim ke kafe di Menteng. Retna bekerja sebagai food stylist paruh waktu, mengajar kelas content marketing daring pada malam tertentu, dan menulis kolom pendek di media lokal tentang cara memotret makanan dengan ponsel tanpa ring light mahal.

“Aku suka caramu mencicil masa depan,” kata Jayeng suatu kali.
“Masa depan tak bisa lunas, Yang,” jawab Retna. “Kalau lunas, kita berhenti.”

Mereka duduk makan.
“Hari ini dosenmu bilang apa?” tanya Retna.
Jayeng mengunyah pelan. “Katanya, kita tak pernah memilih dengan otak. Kita hanya berdamai dengan perasaan yang paling bisa ditanggung.”
Retna menatapnya. “Lalu kamu berdamai dengan apa?”
Jayeng menatap sketsa di dekat dinding—rancangan ruang komunitas di pinggir Kali Krukut, hasil tugas pribadi. “Dengan kota,” jawabnya. “Dengan cara kota tumbuh di dalam dada.”

.

Pekerjaan Jayeng di perusahaan konsultan besar membuatnya akrab dengan angka-angka yang seperti lagu di tabel: EBITDA, churn rate, customer lifetime value. Klien terakhirnya konglomerasi ritel yang ingin meremajakan mal-mal lama di kota-kota lapis dua: Jember, Malang, Purwokerto. Ia bepergian, memotret food court, mewawancarai penjaga eskalator yang menyaksikan lebih banyak kisah dari siapa pun.

“Aku iri pada mereka yang duduk lama di satu tempat,” katanya pada Retna sepulang dari Surabaya.
“Kamu cuma capek, Yang. Orang capek ingin jadi apa pun yang tak bergerak,” jawab Retna. “Kamu lupa, beringin pun bergerak—daunnya, akarnya mencari air.”

Kata-kata Retna seperti handuk hangat setelah hujan—membantu meski tak menyelesaikan musim.

Malam itu mereka menerima panggilan video call dari Umar Maya, sahabat lama sejak kuliah. Umar mendirikan agensi impact branding yang memadukan komunikasi, filantropi, dan desain. Ia baru saja menjalankan program Makan Gratis di Surabaya, bekerja sama dengan restoran yang menyumbangkan porsi setiap hari bagi pekerja informal.

“Aku butuh otakmu, Jay,” kata Umar. “Yang kita kejar bukan dana, tapi model yang bisa diduplikasi.”
Retna menyela, “Dan aku butuh ceritanya untuk kolomku minggu depan. Bukan angka, tapi napas.”
Umar tersenyum. Di kiri-kanannya, kota malam menyalakan diri sendiri; jujur artinya tak selalu rapi.

.

Suatu siang di kantor, atasan Jayeng, Adaninggar, memanggilnya. Perempuan tajam itu dikenal ambisius seperti bilah penggaris baru.
“Klien ingin kita memimpin proyek re-branding mal di Semarang,” katanya tanpa basa-basi. “Kamu yang lead. Tiga bulan di lapangan, mulai pekan depan.”

Jayeng menelan ludah. Ia memikirkan kelas malam, rancangan Krukut, dan janji pada Umar.
“Tiga bulan,” ulang Adaninggar, seperti palu mengetuk batu.

Di rumah, ia ceritakan pada Retna.
“Kalau kau pergi,” katanya pelan, “aku dukung. Tapi aku ingin tanya, ini langkah atau lari?”
Jayeng menatap lampu kota. “Aku tak tahu.”
“Kalau tak tahu,” Retna berkata lembut, “jawab besok setelah kau sendirian dengan kota.”

Malam itu, Jayeng keluar sendiri. Ia duduk di bangku taman literasi, memutar catatan suara dari kunjungan lapangan ke sekolah kejuruan di Manggarai:
“Anak-anak ini bukan emas mentah. Mereka sudah emas. Kita yang sering lupa menimbang dengan timbangan yang betul.”
Kalimat itu melekat di pikirannya.

Pesan dari ibunya masuk:
“Bapakmu agak lelah. Kalau bisa pulang, bagus. Kalau belum, tak apa. Kami tahu kamu mengejar sesuatu yang kami tak mengerti.”
Ia terdiam. Pulang kadang lebih menakutkan daripada pergi.

.

Kabar buruk datang tanpa mengetuk. Retna pingsan di kelas daring. Rumah sakit, lorong dingin, formulir. Dokter berkata lembut:
“Stres kronis memantik autoimun. Butuh rehat panjang.”

Hari berganti minggu. Retna menolak disebut pasien; ia tetap ingin mengajar, membuktikan bahwa gigih bisa mengusir sakit. Jayeng belajar mencintai dengan menahan diri untuk tidak menyelesaikan semua hal. Ia membantu pesanan kue yang menumpuk, gagal di dua resep, berhasil di tiga. Di setiap kotak ia selipkan catatan:
“Maaf atas ketidaksempurnaan rasa. Kami sedang belajar menemukan ritme baru.”

Umar datang membawa sup.
“Aku dulu kira dampak itu angka besar,” katanya. “Ternyata dampak adalah cara kita gantian menanggung beban orang lain.”

Pekerjaan di Semarang? Jayeng menunda. Adaninggar kirim email dingin: “Aku kecewa. Kau menukar panggung besar dengan balkon sempit.”
Jayeng menatap layar lama. Momentum, pikirnya, kadang seperti arus: mengajak pergi bahkan saat kita ingin menetap.

Di balkon apartemen, Retna berkata, “Kalau kau pergi, jangan pulang sebagai orang asing.”
“Aku tak akan pergi,” jawab Jayeng. “Bukan karena kamu. Karena aku. Karena aku ingin belajar menyelesaikan, bukan hanya memulai.”

.

Hari-hari berikutnya bergerak seperti film dokumenter: repetitif, tapi penuh makna. Pagi, Jayeng mengantar Retna terapi. Siang, ia mengajar kelas tamu di kampus: desain kota partisipatif dengan studi Krukut. Malam, ia membantu Umar menghitung model program makan gratis agar bisa direplikasi.

Ia menulis email panjang pada ayahnya di Salatiga, menceritakan segalanya. Balasannya datang dua hari kemudian:
“Orang yang pulang paling utuh adalah orang yang berangkat dengan niat yang jelas. Kami menunggu tanpa rapor.”

Suatu sore, Retna menunjukkan foto di ponselnya: siluet laki-laki berdiri di jendela, langit senja di belakang.
“Kalau suatu hari kamu merasa buntu,” katanya, “ingat cahaya seperti ini. Ia tak selalu terang, tapi selalu ada.”
Jayeng menyimpannya sebagai latar ponsel.

.

Krukut akhirnya bukan sekadar sketsa. Warga menyumbang cerita, mahasiswa menyumbang jam kerja, hotel sekitar menyumbang kursi bekas. Di atas beton yang dulu diabaikan, kini ada panggung kecil tempat musik indie sorean. Retna duduk di tangga, memotret ibu-ibu yang jualan minuman rumahan.
“Kuliner terbaik,” katanya, “lahir dari dapur yang tahu menakar sedih dengan gula.”

Hari peresmian, Umar berdiri di pinggir panggung.
“Kamu tahu,” katanya pada Jayeng, “model makan gratis ini jalan di tiga kota.”
Jayeng tertawa. “Aku tahu dari anak magangmu yang salah kirim spreadsheet.”
Umar menepuk pundaknya. “Sok tahu. Tapi makasih.”

Malam turun. Anak kecil berlari memegang balon biru. Musik beralih ke lagu pelan. Jayeng merasa kota yang dulu tumbuh di dadanya kini hidup di luar dirinya. Mungkin inilah pulang.

.

Kabar dari kantor datang lagi.
“Klien Semarang mau pendekatan baru, partisipatif. Mau pitch lagi?” tulis kolega.
Jayeng membaca lama. Retna meletakkan dua cangkir cokelat panas.
“Masuklah kalau kau yakin, bukan karena takut ketinggalan.”

Mereka menulis deck sederhana: bukan parade data, tapi cerita manusia—penjaga eskalator, siswa SMK magang, petugas kebersihan yang hafal jam hujan. Di halaman terakhir mereka tulis:
“Mal yang ingin hidup kembali harus belajar menjadi rumah bagi orang yang tak sanggup pulang terlalu cepat.”

Klien diam lama setelah presentasi.
“Ini bukan yang biasa kami lihat,” katanya akhirnya. “Tapi mungkin ini yang kami butuh.”

Jayeng menutup laptop. “Apapun hasilnya, pekerjaan kita sudah mulai—bahkan tanpa mereka.”
“Kota bukan proyek,” jawab Retna. “Kota itu cara kita saling menahan agar tak jatuh.”

.

Beberapa minggu kemudian, Jayeng benar-benar pulang ke Salatiga. Kereta Argo melaju seperti kalimat yang akhirnya tahu ujungnya. Di stasiun, ayahnya menunggu dengan kemeja kotak, ibunya melambai dengan tangan kecil. Di rumah, mereka sarapan sayur lodeh dan tempe garing.

“Kau kelihatan lain,” kata ibunya. “Bukan di wajah, tapi di langkah.”
Jayeng tersenyum. “Aku belajar dari kota. Kota mengajariku pulang ke diri.”

Sore itu ia berjalan ke lapangan tempat dulu belajar sepeda. Angin menggulung daun kering; bunyinya seperti tepuk tangan. Retna mengirim foto brownies gosong di pinggir. “Kita belajar menakar ulang,” tulisnya. “Resep, tenaga, mimpi.”

Ia menulis pesan untuk dirinya sendiri:
“Berhenti memilih masa depan yang jauh hanya agar tak ditagih oleh masa kini.”

.

Seminggu kemudian, kabar datang: klien menyetujui proposal partisipatif. Kontraknya kecil, tapi cukup untuk memutar mesin yang bersuara manusia. Umar mengirim gif orang melompat, Retna stiker kue menari.
Jayeng tersenyum. Di dadanya, kota bergeser tempat—bukan lagi menekan, tapi menguatkan.

Malam itu, di balkon sempit yang pernah disebut pengganti panggung besar, mereka makan mi rebus dengan telur setengah matang.
“Kemenangan rasanya seperti ini,” kata Retna, “hangat, sederhana, dan tak perlu difoto.”
Di bawah, ojek daring menunggu. Di atas, langit menutup seperti buku yang pantas diberi penanda.

Dan di antara semuanya, pulang bukan lagi alamat, melainkan keputusan.

.

Solusi yang Bertumbuh

Umar menggandakan program makan gratis ke lima kota, bukan lewat kampanye besar tapi playbook terbuka. Retna memperlambat hari, mengajar dua kali seminggu, mengajari muridnya menakar exposure dan menakar diri. Jayeng, yang dulu berlari demi diakui hidup, kini berjalan cepat dengan arah yang terlihat.

Di Krukut, kursi lobi bekas hotel makin aus pertanda sering diduduki. Di Semarang, mal lama membuka perpustakaan kecil bagi pengunjung yang menunggu. Di Salatiga, ayahnya menanam pohon alpukat yang dinamai “Balkon”. Dan di ponsel Jayeng, foto siluet di jendela tetap tersimpan—pengingat bahwa cahaya tak selalu terang, tapi selalu cukup untuk menemukan kunci.

“Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang, tapi kita bisa membuat tempat yang membuat orang menyelamatkan dirinya sendiri.”
Dan mungkin itulah keputusan bernama pulang.

.

.

.

Malang, 21 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #KotaDanDiri #KeputusanBernamaPulang #UrbanIndonesia #SastraKontemporer #CerpenKompas #StorytellingFilmis #MenakMalangan #NamakuBrandku

Leave a Reply