Kentongan di Tengah Notifikasi
“Di tengah bisingnya notifikasi, suara kayu kentongan mengingatkan: teknologi bisa menggantikan cara, tapi tidak pernah menggantikan rasa.”
.
Hujan baru saja berhenti ketika Amir turun dari KRL di Stasiun Sudirman. Trotoar Jakarta seperti cermin—memantulkan lampu-lampu kota dan wajah-wajah orang yang berjalan tergesa. Di telinga Amir masih berdengung suara rapat sore tadi: target, deadline, pivot. Kata-kata yang seolah punya sayap tapi tak pernah benar-benar terbang.
Amir, tiga puluh dua, milenial yang dulu percaya lembur adalah bukti cinta pada pekerjaan. Kini ia belajar menaruh jarak. Di tas ranselnya ada payung lipat, buku catatan sudah lusuh, dan selembar kertas yang diselipkan diam-diam oleh Zubaidah—anak Gen Z di timnya—usai presentasi. “Mas, mohon maaf kalau aku terlalu jujur. Aku bukan mau menentang, tetapi mau diajak mengerti dan dimengerti.” Di bawah kalimat itu ada emotikon senyum yang agak kaku.
Malamnya, Amir melewati gang kecil menuju kos. Di ujung gang, kentongan kayu masih tergantung di pos ronda. Pak Fajar, ketua RT, menepuknya sekali dua—sekadar memastikan suaranya belum hilang ditelan era ponsel pintar. Amir berhenti sebentar. Kentongan yang sederhana itu terdengar seperti ajakan pulang. Ia jadi rindu pada suara-suara yang tak menuntut balasan segera; tidak seperti notifikasi pesan instan yang menyala tiap menit.
.
Perusahaan tempat Amir bekerja—Sagara—adalah perusahaan layanan urban: memadukan aplikasi, ruang kerja fleksibel, dan program komunitas kota. Di kantor pusat Sudirman, lift seperti mulut paus menelan orang-orang tergesa, memuntahkan mereka di lantai dua puluh lima yang dingin. Dindingnya layar-layar besar menampilkan grafik dan sprint board. Wangi kopi dari mesin espresso menyeberangi kubikel-kubikel.
Zubaidah duduk di dekat jendela, headphone menggantung di leher. Rambutnya diwarnai cokelat kemerahan. Ia datang dari keluarga pedagang buku di Pasar Senen, tumbuh besar dengan komik dan TED Talks, menabung dari kerja lepas membuat ilustrasi. Di meja kerjanya ada tempelan stiker: “Work is a place to grow, not just to go.” Ia percaya kerja mestinya punya makna—bukan sekadar daftar perintah.
Di sisi lain ruangan duduk dua sahabat: Umarmaya, yang selalu punya ide seperti petasan lontong—meledak tak terduga tapi sering menghibur—dan Umarmadi, diam-diam jenius yang menyelipkan solusi di sela gurauan. Mereka berdua adalah Tech Ops yang diwarisi reputasi tukang beresin bug dini hari.
Hari itu Sagara mengumumkan program “Harmoni”—reorganisasi budaya kerja agar sesuai realitas baru. CEO baru, Ratna, perempuan yang dulu memimpin proyek kota cerdas di Surabaya, berdiri di depan layar. Wajahnya tegas, suaranya hangat.
“Kita tumbuh dengan cepat,” katanya, “tetapi kecepatan tak selalu sama dengan kemajuan. Urip iku urup—hidup itu mestinya menyala dan menyalakan. Maka kita akan menyalakan tiga hal: empati, fleksibilitas, dan pertumbuhan.”
Di layar, angka-angka sederhana muncul: 72% karyawan Gen Z di Sagara lebih suka komunikasi teks/async; 63% milenial merasa butuh umpan balik langsung mingguan; 58% menginginkan jalur karier yang jelas; 77% menilai kesehatan mental sebagai faktor bertahan. Angka-angka itu bukan rahasia industri, pikir Amir—banyak riset menyebut hal serupa—tetapi melihatnya di layar kantor sendiri membuatnya terasa seperti cermin.
Ratna melanjutkan, “Kita akan coba jam kerja hibrida: empat hari bebas lokasi, satu hari tatap muka berkualitas; bukan rapat yang bisa di-email. Kita siapkan mentor lintas generasi. Dan kita buka ‘Ruang Rasa’: sesi olah rasa tiap Jumat, untuk bicara bukan soal pekerjaan, tapi tentang manusia di balik pekerjaan.”
Ruang riuh oleh tepuk tangan. Umarmaya berbisik pada Umarmadi, “Kalau Ruang Rasa gratis camilan, aku daftar duluan.” Umarmadi cuma mengangkat alis, mata tak lepas dari kode yang menurutnya lebih jujur daripada kata-kata manusia.
Amir menatap Zubaidah dari kejauhan. Wajah anak itu setengah percaya setengah ragu—seperti orang yang sudah berkali-kali berharap dan mendapati harapannya ditunda. Amir tahu, program sehebat apa pun bisa berakhir jadi poster jika tidak ada yang betul-betul mendengarkan.
.
Rapat product sprint dimulai. Amir, sebagai PM, memaparkan rencana ekspansi modul community events—fitur yang menghubungkan warga kota dengan kegiatan di ruang publik: kelas yoga di taman, bazar buku kecil, pertunjukan musik jalanan. Zubaidah mengangkat tangan.
“Mas, target kita bagus. Tapi data NPS bulan lalu turun 12 poin. Banyak protes soal event yang tak ramah disabilitas. Tim partner bilang itu di luar jangkauan. Menurutku, itu jangkauan kita.”
Amir menatap layar. Data yang ditampilkan Zubaidah rapi. Video pendek testimoni seorang perempuan pengguna kursi roda yang tak bisa naik ke panggung karena tak ada jalur landai. “Tepa selira itu bukan jargon,” kata Zubaidah pelan. “Kalau kita percaya bhinneka, kita juga mesti percaya desain harus mengundang semua orang.”
Ruang sejenak hening. Umarmaya menyikut Umarmadi, siap menghibur suasana. Namun Ratna mendahului. “Catat itu,” katanya. “Masukkan jalur akses sebagai syarat event, bukan saran. Jika biaya bertambah, kita bagi beban bersama vendor. Ini bukan soal NPS saja, tetapi soal nilai.”
Amir mengangguk. Rasa hangat menyelusup di dadanya—campuran bangga dan tertampar. Bertahun-tahun ia sibuk mengejar metrik; ia lupa bahwa angka yang benar adalah yang membuat orang merasa manusiawinya dihitung.
Setelah rapat, Amir menghampiri Zubaidah. “Terima kasih,” katanya. “Kau mengingatkanku pada aja dumeh—jangan sombong dengan capaian sendiri.”
Zubaidah tertawa. “Aku tahunya dari nenek. Katanya, kalau sudah pintar jangan kuminter. Kalau sudah di atas, jangan lupa menunduk.”
“Pasang di dinding kantor, deh.”
.
Ruang Rasa perdana digelar di lantai mezzanine. Bukan ruang rapat; malah lebih mirip perpustakaan kecil dengan karpet anyaman, tanaman asli, dan jendela yang menghadap langit berawan. Ada kentongan yang sungguh-sungguh digantung di pojok—Ratna sengaja membawanya dari rumah. “Kalau ada yang ingin bicara tapi belum berani,” katanya, “pukul ini sekali. Biar kami semua mengalihkan telinga.”
Sesi dimulai dengan permainan sederhana: setiap orang menulis satu kekhawatiran di kertas tak bernama. Kertas-kertas itu dikumpulkan dalam wadah bambu. Umarmaya mengambil satu dan membaca: “Saya takut gagal membuat orang tua bangga.” Ia menatap ke sekeliling, bercanda seperlunya, lalu suaranya melunak. “Aku juga.”
Kertas lain dibuka Zubaidah: “Aku pernah mengalami burnout. Aku malu mengakuinya.” Zubaidah berhenti, matanya berkaca. “Aku yang menulis ini,” katanya. “Tahun lalu aku hampir resign. Aku bangun setiap pagi dengan dada sesak. Aku takut dianggap lemah.”
Ruang sunyi. Amir menghela napas panjang—seperti menemukan cermin yang tak sengaja memperlihatkan wajahnya sendiri.
Ratna maju. “Terima kasih,” katanya. “Di Sagara, lelah bukan aib. Kita cari ritme yang sehat. Jer basuki mawa bea—kesuksesan butuh biaya, tapi jangan sampai biayanya adalah jiwa yang patah.”
Umarmadi—biasanya pendiam—mengangkat suara. “Aku diajari bapakku: kalau marah, tidur menyamping. Maksudnya, jangan hadapi semuanya sendirian. Ada sisi lain untuk bersandar.” Semua tertawa kecil, lega.
Sejak itu Ruang Rasa tak pernah sepi. Ada yang membaca puisi, ada yang memutar lagu campursari, ada yang hanya menatap jendela dan mengatakan, “Terima kasih sudah mendengar.” Kentongan dipukul sesekali—cukup untuk mengingatkan bahwa ada suara yang menunggu giliran.
.
Program Harmoni berjalan beberapa pekan. Jalur akses di event pertama berhasil dipasang. Seorang anak kecil mendorong kursi roda neneknya menyusuri jalan landai, dan Zubaidah menangkap momen itu dengan kamera ponsel. Video itu sederhana, tapi ditonton ratusan ribu orang. Di kolom komentar, seseorang menulis: “Saya tidak datang, tetapi merasa diundang.”
Namun badai tak memilih waktu. Suatu Kamis malam, server aplikasi down tiga jam—terpanjang selama dua tahun. Media sosial panas. Grup Slack menyala seperti jalur kembang api. Amir memimpin war room. Umarmaya dan Umarmadi menyelam ke lautan kode. Zubaidah mengurus komunikasi pengguna. Ratna datang membawa kopi, menaruhnya diam-diam di tiap meja.
“Gara-gara migrasi modul pembayaran,” gumam Umarmadi, jarinya menari di keyboard. “Ada variabel environment yang ketuker.”
“Bisa di-rollback?” tanya Amir.
“Bisa. Tapi butuh waktu. Kita harus bereskan cache di tiga region.”
Di layar besar, grafik pengguna turun seperti rem mendadak. Amir merasakan udara di paru-parunya berat. Suara hatinya berdebat: Menyalahkan tim vendor? Menyalahkan dirinya? Ia menatap Zubaidah yang sibuk mengetik.
“Zuba,” katanya, “kita jujur saja. Tulis status page: terjadi gangguan, ini sebab sementara, ini perkiraan waktu perbaikan. Jangan putar kata.”
Zubaidah mengangguk. “Keterbukaan adalah tepa selira buat pengguna,” ujarnya. “Kalau mereka tahu apa yang terjadi, mereka bisa menyiapkan plan B.”
Dua jam kemudian, sistem kembali bernapas. Amir menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit Jakarta yang mulai terang. Ratna duduk di sampingnya. “Kau memimpin dengan kepala dingin,” katanya.
Amir tersenyum letih. “Sejujurnya, aku takut.”
“Takut itu bukan lawan dari berani,” jawab Ratna pelan. “Takut adalah undangan untuk eling—ingat siapa dirimu, ingat siapa timmu.”
.
Kabar buruk datang lewat email HRD: biaya operasional meningkat, arus kas menurun, investor meminta efisiensi. Sagara harus menyusutkan tim di beberapa divisi. Kata-kata di email itu netral, rapi, dan dingin—seperti jas hujan plastik yang melindungi tubuh tapi tidak menghangatkan.
Ruang kantor seperti menahan napas. Zubaidah menggigit bibir. Umarmaya bercanda lebih sering dari biasanya—pertanda leluconnya sedang menambal retak hati. Umarmadi menatap meja kosong yang dulu diduduki Luthfi, seorang back-end yang baru saja dicoret dari daftar aktif.
Rapat darurat digelar. Ratna berdiri di depan. “Ini keputusan yang paling aku benci,” katanya jujur. “Tapi ini juga cara supaya kapal tetap mengapung. Kita beri kompensasi layak, surat rekomendasi, akses job placement jaringan mitra. Bagi yang tinggal, kita fokus menyusun ulang beban kerja agar manusiawi.”
Selesai rapat, Zubaidah menemui Amir. “Mas, apakah kita jahat?”
“Kenapa?”
“Kita bicara pitutur, kita bicara empati. Tapi teman-teman harus pergi.”
Amir menghela napas. “Ada pepatah: angeli ananging ora keli—bergaul tanpa hanyut. Kita hidup di realitas bisnis. Keputusan pahit bukan berarti kita berhenti manusiawi.”
Malam itu, tim mengadakan perpisahan sederhana di warung tenda dekat kantor. Luthfi datang membawa senyum yang kelihatan dibuat-buat. “Maaf kalau selama ini cerewet,” katanya. “Biarpun begitu, aku bangga pernah jadi bagian dari Sagara.”
Umarmaya memeluknya. “Kau tak cerewet, kau nyawaku kalau jam dua pagi.”
Ketika mereka bubar, hujan turun lagi. Amir berdiri di bawah kanopi, menatap ruas-ruas jalan yang basah. Di layar ponselnya, notifikasi masuk—kali ini dari grup keluarga: “Jangan lupa besok sadranan di kampung online, video call jam tujuh.” Amir tersenyum. Dunia terus mencari cara untuk berkumpul, pikirnya—baik melalui kentongan di pos ronda, rapat tatap muka, maupun panggilan video.
.
Beberapa bulan berlalu. Program Harmoni mulai menunjukkan hasil: churn pengguna menurun; produktivitas tak turun walau jam kerja lebih lentur; jumlah event inklusif meningkat. Tetapi yang paling terasa adalah cara orang saling menyapa. Di dapur kecil kantor, orang menanyakannya sungguh-sungguh: “Kamu baik-baik?” dan menunggu jawaban yang tidak selalu “baik.”
Suatu sore, Zubaidah mengetuk pintu ruang Amir. “Mas, boleh bicara?”
Amir mengangguk. Zubaidah duduk, menatap ke luar jendela yang memantulkan lalu lintas. “Aku dapat tawaran dari perusahaan lain,” katanya pelan. “Mereka memberi proyek yang besar untuk desain inklusi publik. Aku mau ambil—tapi aku takut terlihat tidak setia.”
Amir menatap anak itu lama. Dalam matanya, ia melihat cermin dirinyai sendiri bertahun-tahun lalu ketika ia memutuskan pindah dari perusahaan lama untuk mencari ruang tumbuh. “Kau tidak sedang meninggalkan kami,” kata Amir akhirnya. “Kau sedang meneruskan api—urip iku urup. Kalau kau pergi, pergilah dengan kepala tegak. Tinggalkan catatan agar kami bisa meneruskan.”
Zubaidah menahan air mata. “Terima kasih. Aku belajar banyak di sini: dari data sampai pitutur. Aku ingin membawanya kemana pun.”
Mereka berdua tertawa kecil ketika Umarmaya muncul di pintu sambil menyeletuk, “Kalau berbicara api, aku minta korek cadangan untuk jaga-jaga listrik padam.”
.
Malam perpisahan Zubaidah diadakan di rooftop gedung. Langit Jakarta jarang punya bintang, tetapi angin di malam itu lembut. Ada proyektor memutar foto-foto: Zubaidah di rapat pertama, Zubaidah memegang kentongan, Zubaidah berdiri di samping jalur landai event. Umarmadi, yang jarang bicara panjang, menyiapkan slideshow dengan catatan ringkas: “Desain yang baik adalah yang membuat orang lupa ia sedang didesain, karena semua orang merasa diundang.”
Ratna memberikan cinderamata: selembar kain batik dengan motif pohon hayat. “Ini bukan tanda perpisahan,” ujarnya. “Ini bekal. Pohon punya akar dan cabang. Akar mengingatkan asal, cabang mengingatkan arah.”
Zubaidah mengangguk. Air matanya jatuh, tapi ia tersenyum. “Aku tidak akan lupa tepa selira dan aja dumeh,” katanya. “Kadang yang paling sulit bukan menaklukkan target, tapi menaklukkan ego. Terima kasih sudah menyiapkan ruang untuk menyimak.”
Ketika acara bubar, Amir dan Zubaidah berdiri di pinggir atap, menatap lampu-lampu kota seperti sekumpulan harapan kecil. “Mas,” kata Zubaidah, “bolehkah aku memukul kentongan sekali lagi? Untuk salam perpisahan.”
Amir mengangguk. Kentongan dibawa ke tepi. Suaranya pelan tapi tegas, seperti panggilan dari kampung ke tengah kota. Orang-orang yang hendak turun tangga berhenti sejenak; mereka paham sinyal itu—ada pesan yang ingin tinggal lebih lama.
“Terima kasih,” kata Zubaidah setelah itu. “Suara kentongan mengingatkanku, bahwa tidak semua panggilan datang dari notifikasi.”
.
Musim berganti. Sagara tak lagi sama, tetapi juga bukan berarti berubah menjadi orang lain. Jam kerja fleksibel mengajari mereka bagaimana menjaga ritme. Ruang Rasa menemukan bentuknya: kadang di kantor, kadang di taman kota, kadang di ruang virtual dengan latar belakang yang dibuat-buat: pantai, pegunungan, sawah.
Amir kembali menulis di buku catatan lusuhnya. Ia menuliskan hal-hal kecil: seorang satpam yang menolong kurir menurunkan paket besar; seorang vendor yang mengakui kesalahannya tanpa diminta; seorang pemakai kursi roda yang mengunggah foto dirinya naik jalur landai sambil menulis, “Bukan belas kasihan yang kami minta, hanya undangan yang setara.”
Suatu malam, Amir mendapati dirinya lagi-lagi berhenti di pos ronda gang. Kentongan tergantung di sana, diam. Pak Fajar duduk sambil menyeruput teh. “Mas Amir pulang lembur?”
“Tidak, Pak. Cuma pulang lebih pelan.”
“Bagus itu. Orang kota harus sering-sering pulang pelan. Biar hati tak ketinggalan.”
Amir tersenyum. “Pak, kentongannya kok jarang dipukul?”
“Sekarang warga punya grup chat,” sahut Pak Fajar. “Tapi kentongan tetap kami jaga. Kalau listrik padam dan kuota habis, suara kayu ini masih bisa menolong.”
“Seperti backup system, ya?”
Pak Fajar tertawa. “Wah, istilahmu macam IT. Ya, begitulah. Teknologi boleh maju, tapi manusia perlu cadangan kemanusiaan.”
Amir menatap kentongan itu lama-lama. Ia teringat kalimat yang pernah didengarnya: “Leadership is not about being in charge. It is about taking care of those in your charge.” Ia menepuk-nepuk pinggir celananya, seolah memastikan sesuatu yang tak terlihat ada di sana—kunci, dompet, dan niat yang belum berubah.
.
Setahun kemudian, Sagara merilis laporan dampak sosial. Angka-angka tidak sempurna, tapi jujur: 64% proyek komunitas kini memenuhi standar aksesibilitas; tingkat kepuasan karyawan stabil meski tim lebih ramping; 85% anggota menyatakan “merasa didengar” dalam survey internal; retensi talenta meningkat pada mentor-mentee pairing lintas generasi. Di halaman terakhir, Ratna menulis catatan: “Terima kasih untuk semua yang ikut menyalakan api. Urip iku urup.”
Pada hari yang sama, Amir menerima pesan di email pribadinya: dari Zubaidah. “Mas, aku kirim foto. Ini jalur landai pertama yang kubangun di kota baru. Aku beri nama ‘Lorong Selira’. Di pembukaannya, aku memukul kentongan kecil. Tidak banyak yang mengerti, tapi aku tahu Mas akan paham.”
Amir membalas singkat, “Aku paham. Teruslah menyalakan.”
Ia memandang kaca jendela yang memantulkan kota. Di kejauhan, suara azan bercampur deru kendaraan. Amir menutup laptop, mematikan lampu meja, dan memeriksa sekali lagi notifikasi ponsel. Ia lalu memasukkan ponsel ke saku dan berjalan keluar—tanpa tergesa. Di kepalanya, suara kentongan selalu ada: mengingatkan bahwa di antara notifikasi-notifikasi yang mendesak, ada panggilan yang lebih tua, lebih sabar, dan lebih jernih—panggilan untuk menjadi manusia di tengah pekerjaan.
Dan malam itu, di trotoar yang kembali memantulkan lampu, Amir merasa langkahnya ringan. Bukan karena bebannya berkurang, tetapi karena ia telah belajar membagikan beban itu. Ia teringat pitutur neneknya sendiri, yang baru terasa logis justru setelah ia jadi manajer: “Sing pinter ojo kuminter, sing luhur ojo ngluhur-luhuri, sing menangi ojo dumeh.”
Besok pagi ia akan kembali ke kantor, ke layar-layar, ke sprint board, ke rapat-rapat. Semua itu perlu. Tapi ia tahu, ada sesuatu yang harus selalu lebih dulu: tepa selira. Sisanya akan mengikuti, seperti kota yang tiap malam tetap pulang pada cahaya.
.
“Jangan mengejar sukses sampai lupa menjadi manusia; sebab di titik paling tinggi, yang dinilai bukan jabatan, melainkan cara kita saling menjaga.”
.
.
.
Jember, 20 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #GenZ #Milenial #PituturJawa #Leadership #Inklusi #KesehatanMental #BudayaKerja #Jakarta