Keheningan yang Bicara di Tengah Kota
“Diam bukan berarti kalah. Ia hanya menunda, sampai waktunya tiba untuk menjawab dengan bukti.”
.
Langit Jakarta siang itu seperti menekan kota dengan telapak tangan raksasa. Awan-awan kelabu menggantung rendah, menahan hujan entah untuk siapa, sementara jalanan di bawahnya mengalir seperti sungai besi yang tersengal: mobil-mobil menumpuk, motor menyelip bagai ikan-ikan kecil yang hafal tiap celah. Di trotoar, penjual minuman dingin menyeka embun dari dinding kotak kaca dan mengatur ulang botol-botol agar terlihat rapi. Di atas semua itu, suara klakson berkelindan dengan pengumuman halte busway, memantul pada dinding gedung kaca, kembali lagi sebagai gema yang tak kunjung lelah.
Di sebuah taman kecil di Menteng—sepetak hijau yang dikelilingi pagar rendah—Pujangga duduk menunduk, jari telunjuknya menggambar lingkaran-lingkaran kecil pada permukaan bangku kayu. Headset tertancap di telinga, tapi tak ada musik menyala. Ia hanya butuh alasan untuk diam, alasan yang sahih di mata orang-orang yang gemar bertanya, “Kenapa kamu kok diam saja?”
Namanya memang Pujangga. Ibunya memberi nama itu karena suatu masa lampau ia jatuh cinta pada puisi Rendra yang dibacakannya setiap malam, ketika listrik padam dan tetangga menyalakan genset yang berderam. Ayahnya sopir taksi daring; ibunya menjahit dari rumah. Pujangga, sejak SMA, terbiasa memahami ritme kota dari balik kaca angkot: lampu merah yang berganti warna seperti nafas, gedung-gedung yang berkilau bagai janji, dan wajah-wajah yang menua cepat oleh target.
Sekarang ia desainer komunikasi visual di sebuah startup teknologi yang tumbuh cepat, seperti tanaman yang disiram terlalu sering. Kantor mereka di lantai 22 sebuah gedung baru di Kuningan, menghadap hamparan antena, atap seng, dan langit yang kadang-kadang biru. Di perusahaan itu, kata-kata lebih banyak dijadikan poster motivasi di dinding ketimbang pedoman di kepala. “Fail fast, learn faster”, “Build, measure, learn”—kalimat-kalimat yang bagus untuk diunggah, tapi sering dikalahkan oleh rapat yang tak selesai-selesai.
Pujangga terkenal tenang. Terlalu tenang, kata orang. Ketika presentasi disanggah habis-habisan oleh manajer proyek bernama Kertolo—pria tinggi dengan rambut selalu terlihat basah oleh pomade—Pujangga hanya menunduk, membuka catatan, dan menulis sesuatu. Ia jarang membela diri. Ia percaya ada waktu yang lebih baik daripada sekarang untuk bicara, dan ada alat yang lebih kuat daripada mulut untuk meyakinkan: hasil kerja.
“Kau itu aneh,” kata Kalandra, rekan satu timnya, yang datang ke Jakarta dari Jember dan membawa dalam tiap kalimatnya aksen tanjung yang hangat. “Orang yang benar itu harus bersuara. Kalau tidak, siapa yang tahu?”
“Yang perlu tahu akan tahu,” jawab Pujangga. Ia tidak sinis. Ia sungguh percaya.
.
Pagi itu, CEO mereka mengumumkan proyek baru: rebranding raksasa bagi perusahaan energi yang baru keluar dari pusaran skandal lingkungan. Anggaran besar, sorotan media besar, risiko juga besar. Tim kreatif dibagi menjadi dua sub-tim. Tim pertama dipimpin Kertolo—agresif, vokal, gemar menulis daftar keunggulan di papan tulis dengan spidol merah. Tim kedua dipimpin Pujangga—yang, lucunya, tak pernah merasa memimpin apa pun.
Kertolo menyusun strategi yang keras: kampanye permintaan maaf dengan balutan CSR, video testimoni, konferensi pers, dan kalimat-kalimat panjang tentang komitmen. Pujangga memilih pendekatan sebaliknya: sebuah kampanye sunyi. Ia menggambar visual peta sungai yang membentang menjadi urat-urat tangan manusia, menuliskan satu kalimat kecil di pojok: Kami tak akan bicara banyak. Kami akan bekerja.
“Terlalu minim!” pekik Kertolo pada sesi internal review. “Klien butuh penjelasan. Dunia butuh penjelasan!”
Pujangga tidak membantah. Ia hanya menggeser kursor, mengganti tipografi, lalu mengubah warna latar menjadi abu-abu cenderung biru. Ia membayangkan sungai Citarum pada pagi hari, sesudah hujan semalam yang mengguyur.
“Pu, kau tidak akan selamat kalau begini,” bisik Kalandra di pantry, di sela suara mesin kopi menggerinda. “Setidaknya… jelaskan kenapa.”
Pujangga menatap cangkir kertasnya. Uap kopi naik, menghilang ke udara seperti kata-kata. “Kalau ada yang sungguh ingin tahu, ia akan bertanya di waktu yang tepat. Sebelum itu, diam.”
.
Dua minggu berlalu menjadi tiga. Timeline terasa seperti tali yang digesek-gesek: mengencang, mengencang, siap putus. Lembur berlapis lembur, delivery makanan datang dalam kardus sekali pakai. Di jam-jam yang sisa, Pujangga turun ke lobi dan memandang keluar jendela. Lampu-lampu mobil berjalan lambat seperti kunang-kunang yang sabar. Di warung kopi sudut, seorang bapak tua memutar radio dangdut lirih. Di kejauhan, gedung setengah jadi berdiri seperti kalimat yang belum diberi titik.
Pada hari presentasi utama, klien memenuhi ruang rapat besar yang salah satu dindingnya kaca setinggi langit-langit. Di luar, Jakarta siang: terang, panas, bergerak. Di dalam, lampu putih dingin. Kertolo maju lebih dulu, dengan slide penuh metrik, dua case study dari luar negeri, dan tagline yang menggebu. Tepuk tangan sopan terdengar.
Giliran tim Pujangga. Ia tidak berdiri. Ia tetap duduk, menyodorkan remote pada Kalandra untuk menggerakkan slide. Layar menampilkan sungai yang berubah menjadi urat-urat tangan. Hening. Slide berganti memperlihatkan foto-foto pekerja lapangan dengan wajah di balik masker. Hening lagi. Lalu muncul kalimat kecil di pojok bawah: Kami tak akan bicara banyak. Kami akan bekerja.
Seorang wanita muda dari tim klien berdeham. Seorang pria paruh baya, mungkin direktur komunikasi, bersandar di kursi. CEO mereka, lelaki dengan uban rapi dan mata letih yang jernih, memejamkan mata sejenak, lalu membuka. “Bisa kembali ke slide pertama?” katanya pelan.
Slide kembali. Sungai menjadi urat tangan.
CEO itu mengangguk sekali. “Kita mulai dari sini.”
Ruang rapat menjadi sangat sunyi sehingga bunyi AC terdengar seperti ombak jauh. Kertolo memutar kursi, menatap Pujangga. Ada sesuatu dalam tatapan itu: kaget, marah, tak percaya. Tapi tatapan itu segera hilang; rapat kembali bergerak. Perwakilan klien membahas logistik, jadwal, dan hal-hal yang bisa dilihat.
Setelah rapat bubar, CEO klien menahan Pujangga. “Kamu tahu,” katanya, mengamati layar ponsel yang sudah mati, seolah mencari kata-kata di sana. “Ada saatnya kita berhenti minta dipercaya, lalu mulai bekerja saja. Skandal kemarin membuat kami belajar bahwa penjelasan bisa menjadi kebohongan yang lebih rapi. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Pujangga menunduk. “Sama-sama, Pak.” Itu saja.
.
Sejak hari itu, proyek berputar cepat seperti roda raksasa yang tiba-tiba diberi pelumas. Mereka turun ke lapangan: pabrik di pinggir kota, bantaran sungai, klinik kesehatan desa. Tim dokumenter merekam wajah-wajah tanpa skrip. Tidak ada pengakuan mewah di konferensi pers. Tidak ada iklan prime time yang penuh slogan. Hanya jadwal kerja, daftar target, dan catatan ketercapaian yang diunggah rutin tanpa narasi berlebihan.
Di kantor, justru badai kecil muncul. Beberapa senior menyindir Pujangga seolah ia sedang memamerkan kesalehan. Grup internal di aplikasi obrolan rame dengan stiker menyindir: gambar ikan yang menutup mulut, caption: “Kita kerja aja yah.” Kertolo tidak meniru gaya bercanda. Ia memilih diam yang lain: diam yang menyimpan bara.
“Kau harus hati-hati,” peringat Kalandra. “Ada yang bilang kau tidak kooperatif. Kau terlalu percaya pada caramu sendiri.”
Pujangga mengangkat bahu. “Kalau caraku salah, hasilnya juga akan salah. Dan itu lebih keras suaranya daripada fitnah.”
Kalandra mendesah. Ada kekaguman di sana, juga cemas. “Kau seperti batu, Pu. Tetapi sungai juga butuh batu.”
.
Pada suatu Senin, insiden terjadi. Sebuah folder berisi rancangan harga—sensitif, jelas—dikirim ke alamat email yang salah: bukan ke klien, tapi ke kompetitor. Jejak digital mengarah pada komputer Kalandra. Kantor menjadi kapal yang goyah; orang-orang berlarian membawa berkas dan asumsi.
Kertolo memanggil rapat darurat. Wajahnya tampak tenang, terlalu tenang, seperti seseorang yang akhirnya mendapatkan pembuktian. “Ini fatal,” katanya, suaranya lembut namun dingin. “Siapa yang bertanggung jawab?”
Semua mata menoleh ke Kalandra. Pria itu menatap meja. Tangannya gemetar kecil.
Pujangga menatap jam dinding, lalu menatap Kertolo. “Kita periksa dulu log-nya. Jangan putuskan sebelum memeriksa.”
“Tak perlu,” sergah Kertolo. “Jejaknya jelas.”
“Jejak itu bisa dipindahkan,” kata Pujangga pelan. “Aku tidak menuduh siapa pun. Aku hanya minta waktu.”
Kertolo tertawa kecil. “Ah, Pujangga yang bijak akhirnya bicara. Baiklah. Dua jam.”
Pujangga dan Kalandra masuk ke ruang kecil dengan dinding kaca yang setengah buram. Mereka membuka log, menelusuri IP, melihat waktu, menyusun potongan-potongan. Ada sesuatu yang janggal: timestamp unggah dan timestamp akses Kalandra tidak sinkron. Beberapa menit setelah unggah, ada akses jarak jauh. Sembilan menit kemudian file terkirim ke alamat asing, lalu dihapus. Akses jarak jauh itu dari komputer ruang rapat, komputer yang hanya digunakan ketika presentasi.
“Siapa yang terakhir pakai komputer itu?” tanya Pujangga.
Kalandra menatapnya. “Kau dan… Kertolo.”
Pujangga menghela nafas. “Jangan menyimpulkan. Bawa ini ke tim TI. Biar mereka yang bicara.”
Tim TI masuk, bekerja singkat, teliti. Dua jam kemudian, fakta bicara sendiri: komputer ruang rapat diremote oleh akun admin yang hanya dimiliki tiga orang, salah satunya Kertolo. Tidak ada bukti langsung bahwa dialah pelakunya, tetapi pola akses selama sebulan menunjukkan kebiasaan yang mengarah. Kertolo memerah, lalu pucat, lalu tenang lagi. “Ini fitnah,” katanya. “Kalian memutarbalikkan.”
Pujangga tidak menjawab. Ia mempersilakan tim TI melanjutkan. Kepala TI, perempuan bertudung yang lihai memotong kalimat dengan bukti, menutup rapat dengan sebuah pernyataan: investigasi akan dilanjutkan, sementara itu akses admin akan dicabut.
Kertolo menatap Pujangga tajam. “Kau pikir diam membuatmu suci? Diam membuatmu licik. Kau sembunyikan pisau dalam senyum.”
Pujangga tetap diam. Ia merasa capek, bukan marah. Di dadanya ada ruang kosong yang ditiupi angin panjang: tidak dingin, tidak hangat, hanya bersih.
Malamnya, Kalandra datang ke kos Pujangga, membawa dua bungkus nasi padang. Hujan rintik-rintik, menulis garis-garis tipis pada kaca jendela. “Maaf, Pu,” katanya sebelum duduk. “Aku ikut menyebar gosip tentangmu minggu lalu. Aku pikir kau sok suci. Tapi hari ini… aku lihat kau hanya menunggu bukti bekerja.”
Pujangga mengangkat alis. “Tidak apa-apa. Gosip hanya berbahaya kalau kita mengundangnya duduk.”
“Kalau begitu, biarkan dia berdiri di luar,” Kalandra tersenyum lemah.
.
Proyek rebranding memasuki bulan ketiga. Mereka mengunjungi desa-desa di pinggir sungai yang lama menjadi korban. Di satu desa, seorang ibu-ibu membuka kios sabun ramah lingkungan. Di desa lain, anak-anak belajar menanam pohon di lahan bekas tumpukan limbah. Kamera merekam tanpa suara pengarah. Narasi ditulis tipis saja, seperti garis horizon.
Di sela-sela perjalanan, Kalandra menceritakan kisah-kisah Menak yang ia dengar dari kakeknya: Umarmaya yang setia, Umarmadi yang licik, Dewi Retna yang sabar. Ia menertawakan betapa tokoh-tokoh masa lalu itu hidup kembali dalam dirinya sendiri: ia pernah menjadi Umarmadi; ia ingin belajar menjadi Umarmaya.
“Kau siapa, Pu?” tanya Kalandra pada suatu sore di tepi sungai yang airnya mulai jernih.
“Aku bagian yang tak disebut,” jawab Pujangga. “Yang berdiri di tepi panggung.”
“Tetapi panggung akan miring kalau tepinya tidak kuat,” balas Kalandra. Mereka tertawa. Kamera kecil di tangan kru merekam tawa itu dari jauh, tanpa sengaja.
.
Sementara itu, di Jakarta, rumor tentang Kertolo beredar pelan-pelan seperti asap yang mencari celah. Ia tidak dipecat—perusahaan masih menyelidiki—tetapi kewenangannya dikurangi. Yang berubah bukan hanya struktur, melainkan cuaca: orang-orang lebih hati-hati memakai kata-kata. Yang dulu mudah menyalahkan, kini lebih sering bertanya. Yang dulu berapi, kini belajar bersuara rendah.
Suatu sore, Pujangga dipanggil ke ruang direksi. CEO mereka, perempuan muda dengan car mentereng namun tatapan yang tidak main-main, menyodorkan selembar kertas: promosi. “Bukan karena kau menang melawan siapa pun,” katanya. “Tapi karena kau menang melawan dirimu sendiri. Kau tidak menyerang ketika bisa. Kau menunggu bukti bicara. Di perusahaan ini, itu bahasa yang ingin kita pelajari.”
Pujangga menerima kertas itu, menempelkannya di atas meja, menatap sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih.”
“Kau tidak akan bicara banyak, ya?” canda sang CEO.
“Aku akan bicara secukupnya.”
.
Di luar jam kerja, Pujangga punya kebiasaan baru: berjalan kaki menyusuri trotoar yang baru diperbaiki, melewati halte yang kini lebih lapang, berhenti di bawah jembatan penyeberangan tempat lampu-lampu LED memantul pada badan bus. Ia mengumpulkan potongan kalimat di kepala, seperti anak kecil mengumpulkan batu warna-warni.
Pada suatu malam, ia lewat sebuah gang di Kebon Sirih dan tertegun. Di tembok kusam berlumut, ada mural baru: wajah seorang lelaki berkacamata yang samar-samar mirip dirinya. Di bawahnya, sebuah kalimat ditulis rapi:
“Jangan mengeluh. Jangan menjelaskan. Jalanlah dalam diam, dan biarkan dunia membaca langkahmu.”
Tidak ada tanda tangan. Hanya cat minyak yang masih basah pada ujung huruf “m”. Pujangga menatap sejenak, lalu melanjutkan langkah. Ia merasa bukan dirinya yang dilukis, melainkan ide yang kebetulan menghuni tubuhnya. Itu melegakan.
.
Pada penghujung tahun, proyek mereka memasuki fase terakhir: laporan ketercapaian. Alih-alih konferensi pers, klien mengundang perwakilan warga dari desa-desa, LSM lokal, dan wartawan yang bersedia datang ke pabrik tanpa dijemput. Mereka berjalan menyeberangi jembatan di atas sungai yang mulai bening; di bawah, alga menggoyangkan tubuhnya pelan.
Seorang wartawan bertanya pada CEO klien, “Kenapa kampanye Anda sangat… sunyi?”
CEO itu mengangkat bahu. “Karena kami sedang mendengar.”
Wartawan menoleh pada Pujangga, yang berdiri di sampingnya memegang clipboard. “Anda konseptornya?”
“Bersama teman-teman,” jawab Pujangga. “Saya hanya mengikat tali yang sudah ada.”
Wartawan menulis. Kamera memotret. Angin bergerak pelan.
.
Beberapa bulan kemudian, badai lain mendatangi kota: resesi ringan, harga-harga merangkak, perusahaan-perusahaan beku di angka target. Di kantor, ada pengurangan tim. Orang-orang menjadi pragmatis: siapa yang tak berkontribusi, dilepas. Nama Pujangga sempat masuk dalam daftar pertimbangan—ia memang bukan tipe yang menghadiri town hall dan teriak “kita bisa!” Ia tipe yang menghapus titik koma berlebih di guideline.
Namun rapat manajemen berakhir dengan keputusan lain. Di layar, mereka memutar rekaman singkat dari salah satu video sunyi proyek: seorang ibu menutup kios sabun, menatap kamera dan berkata pelan, “Kami tak butuh penjelasan. Kami butuh air bersih. Dan lihat…” Ia menunjuk ke sungai. Kamera menyorot air yang menampakkan batu-batu di dasar. “Airnya bicara.”
Tidak ada suara tepuk tangan. Hanya hening yang mengerti. Rapat memutuskan: Pujangga tetap.
.
Suatu malam, Kertolo mengirim pesan: Bisa ketemu?
Mereka bertemu di sebuah warung bakmi yang lampunya kuning. Hujan turun tipis, seperti kapas yang ditarik-tarik. Kertolo datang dengan kemeja polos, tanpa pomade. Ia terlihat lebih muda tanpa kilap itu, juga sedikit lelah.
“Aku salah,” katanya tanpa pendahuluan. “Waktu itu aku takut. Kau, caramu, mengancam dunia yang kupahami: dunia di mana yang bersuara keras menang. Aku pikir kau akan mengambil tempatku. Aku menuding sebelum bukti bicara.”
Pujangga menatap ujung sumpitnya. “Tidak ada tempat yang bisa kita ambil kalau bukan milik kita.”
Kertolo tertawa pendek. “Kau tetap menyebalkan. Tapi… terima kasih karena tidak mempermalukanku ketika kau bisa. Itu menyelamatkan pekerjaanku.”
Mereka makan tanpa banyak bicara. Di luar, seorang pengemudi ojek daring berteduh, menatap layar ponselnya yang memantulkan hujan. Malam terasa biasa—dan justru karena itu, menenangkan.
.
Di tahun berikutnya, perusahaan mereka menang penghargaan inovasi komunikasi. Panggung kecil, lampu sedang, musik pembuka yang terlalu keras. MC memanggil nama Pujangga untuk menerima plakat. Ia naik, menyalami, menunduk. Kamera mencari-cari senyumnya; yang didapat hanya garis tipis yang tulus.
“Ada yang ingin disampaikan?” tanya MC, memegang mikrofon terlalu dekat.
Pujangga mengambil mikrofon, menatap sejenak ruangan. “Terima kasih,” katanya, dan hendak pergi.
MC tertawa. “Itu saja?”
Pujangga menoleh, kembali ke mikrofon. “Kalau boleh, saya pinjam kalimat dari tembok di Kebon Sirih:”
“Jangan mengeluh. Jangan menjelaskan. Jalanlah dalam diam, dan biarkan dunia membaca langkahmu.”
Ia turun panggung. Orang-orang bertepuk tangan, sebagian karena nyaman punya kalimat untuk diunggah ke stories, sebagian karena merasa sungguh tersentuh. Dua-duanya tak masalah. Kalimat menjalani takdirnya masing-masing di tangan yang berbeda.
.
Kalandra kemudian menikah dengan seorang guru TK yang ditemuinya ketika liputan ke desa. Mereka tinggal di apartemen kecil di Cempaka Putih. Suatu sore, Kalandra menelpon: “Anak pertama akan lahir tiga bulan lagi. Namanya… Umara. Dari Umarmaya, tokoh yang kuceritakan dulu.”
“Semoga ia tumbuh jadi anak yang tahu kapan bicara, kapan diam,” kata Pujangga.
“Dan kapan memeluk,” sambung Kalandra. Mereka tertawa.
.
Pada suatu Minggu, Pujangga mengunjungi orang tuanya di Depok. Rumah kontrakan mereka menghadap lapangan kecil. Ayahnya baru pulang narik, menepuk-nepuk punggung mobil seolah menenangkan kuda. Ibunya menyiapkan teh. Di dinding, kalender bergambar pemandangan Dieng menggantung miring.
“Kau jarang muncul di televisi ya, Nak,” canda ayahnya.
“Aku juga jarang menonton televisi, Yah.”
“Tapi kami bangga. Bukan karena penghargaanmu. Karena kau tak berubah ketika bisa.”
Pujangga menatap wajah tua itu. Ada kerut-kerut yang dulu tidak ada, seperti peta baru yang setia pada arah lama. Ia mengangguk, pelan, seperti orang yang mengucap terima kasih pada angin.
.
Di perjalanan pulang, kereta komuter melaju pelan di atas sungai. Di luar jendela, air memantulkan cahaya lampu sore yang lembut. Pujangga menutup mata, membiarkan tubuhnya diayun. Ia berpikir tentang semua yang telah lewat: rapat panjang, tawa kecil, mural di gang, bakmi hujan, tangan menggeser kursor, bau cat minyak, suara mesin kopi. Semuanya seperti bead-bead kecil yang dirangkai pada tali tipis—kalau salah satu jatuh, tali mungkin tak terlihat berbeda; tetapi di ujung, bentuknya akan lain.
Ia tersenyum. Kota berdesir. Kereta menyeberang jembatan. Sejak kecil, ia percaya ada kekuatan yang tidak perlu menandai dirinya dengan volume. Keheningan bukan padang kosong; ia kebun yang tumbuh diam-diam. Dan pekerjaan manusia, mungkin, adalah merawat kebun itu—menyirami dengan tindakan, bukan dengan alasan.
Langit berganti jingga. Pujangga membuka ponsel, menulis satu kalimat di catatan—kebiasaan yang ditirunya dari ibunya: menulis untuk mengikat angin.
“Kita tidak lahir untuk membuat semua orang paham. Kita lahir untuk membuat sesuatu yang bahkan tanpa kata-kata pun, tetap bisa dimengerti.”
Ia menutup ponsel. Kereta memasuki stasiun. Orang-orang berdiri, merapikan tas, menatap ke depan. Pujangga ikut berdiri, melangkah keluar bersama yang lain, menyatu dengan arus, hilang dalam kota yang terus bergerak, seperti sungai yang akhirnya bertemu laut.
.
.
.
Jember, 25 Agustus 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #SastraUrban #DiamYangBerdaya #FilosofiJawa #Integritas #StorytellingProfesional #KotaYangBelajarDiam