Kalau Lelah, Pulang Saja
“Di kota, kita belajar mematikan notifikasi hati agar bisa bertahan. Tapi hidup baru benar-benar dimulai ketika kita berani menyalakannya kembali.”
.
Mode Pesawat di Atas Kota
Malam menetes seperti kopi hitam dari bibir cangkir langit. Jakarta, dilihat dari ketinggian jendela apartemen Kuningan, adalah gugus bintang palsu: lampu jemawa yang menyala tak pernah letih, klakson yang menolak tidur, ambisi yang berjalan sendirian. Di kaca yang dingin, bayangan Ratna menyatu dengan neon—seolah wajahnya adalah wajah kota itu sendiri: berkilau sedikit, letih lebih banyak.
Ratna mematikan ponselnya ke mode pesawat. Sudah tengah malam. Notifikasi kerja masih berdentang—revisi deck, koreksi copy, “percepat sprint”, “pitch jam sepuluh.” Sejak promosi jadi manajer kreatif di agensi periklanan multinasional, hari-harinya seperti maraton yang garis finisnya selalu dipindah.
Ia menatap stiker kecil di sudut laptop: “Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.” Ibunya menulis itu di secarik kertas bertahun-tahun lalu, di Pamekasan. Sejak Ratna pindah ke Jakarta, kertas itu ia laminating, ia tempelkan sebagai jangkar agar ingat pulang.
Di bawah, suara LRT melintas bagai garis tipis. Jakarta seperti kue lapis: rel, jalan tol, trotoar sempit, pedestrian yang kadang diusir warung dadakan, lalu-lalang anak muda dengan earphone dan kopi literan. Semua mengejar sesuatu; tak ada yang benar-benar tahu apa.
.
Kopi 24 Jam dan Pertemuan yang Tak Direncanakan
Kedai kopi 24 jam di sudut Setiabudi itu menjadi halte sunyi bagi mereka yang tak ingin pulang terlalu cepat. Baristanya hafal pelanggan yang datang dengan mata bengkak, juga yang datang dengan jas mahal dan sepi panjang.
Malam itu, pintu kedai berbunyi nyaring. Seorang pria berjas hitam masuk, dasi merahnya longgar, langkahnya lurus namun pundaknya condong. Amir. Pengacara muda, alumni kampus besar, kartu nama tebal, mobil Eropa, apartemen menghadap barat yang kemerahan tiap senja. Dunia melihatnya sebagai definisi keberhasilan.
“Espresso, tanpa gula,” katanya. Suaranya seperti seseorang yang sudah lama tak bicara jujur pada dirinya sendiri.
Ia menatap sejenak. Di meja ujung, ada perempuan dengan rambut dikuncir seadanya, menatap layar yang memantulkan cahaya putih. Ratna. Jemarinya cepat, matanya lambat—mencari kata yang tepat untuk klien yang minta produk peluntur noda diberi narasi healing.
“Boleh nebeng colokan?” tanya Amir.
“Silakan,” kata Ratna, menggeser adaptor, menyisakan satu lubang. “Kota besar, colokan lebih langka dari cinta.”
Amir tersenyum tipis, duduk. Hening. Dua orang tak saling kenal, didekatkan listrik dan kelelahan.
“Di kota, yang paling mahal sering bukan ruang, melainkan tenang.”
Mereka mulai mengobrol seadanya. Tentang jam kerja yang memanjang seperti permen karet. Tentang tawaran gaji yang datang dengan catatan kaki. Tentang ambisi yang membara, tapi kadang malah membakar dada sendiri. Ratna menyebut dirinya “tukang jahit cerita”. Amir menyebut dirinya “pemadam kebakaran legal”—datang saat semua sudah meledak.
Satu jam, dua jam. Mereka menemukan bahwa kesepian memiliki dialek yang sama.
.
Nama-Nama yang Diambil dari Kisah Lama
Keesokan harinya, di kantor, Prabu—atasan Ratna yang senyumnya tak pernah terlihat sampai mata—mendorong pintu ruang rapat. “Deck pitch jam sepuluh, Rat. Jangan terlalu puitis. Klien pengin yang straight to the point tapi moving.”
“Straight yang moving gimana, Bu—eh, Pak?” seloroh Maktal, rekan kerja Ratna yang selalu jadi pengurai suasana. Maktal gemar menyimpan humor di saku. Ia mengatakan humor adalah helm di jalan raya pikiran.
“Ya… ya pokoknya bikin mereka nangis tanpa sadar,” jawab Prabu. “Dan jangan lupa, angka. Angka itu doa—klien cuma percaya angka.”
Ratna mengangguk. Di layar, ia menabur kata, menyetrika kalimat, membentangkan grafis. Ia seperti penjual jamu yang menakar pahit-manis; terlalu pahit ditolak, terlalu manis bikin eneg.
Di sisi lain kota, Amir menatap berkas kasus penggusuran kampung yang akan dibawa ke pengadilan. Sebuah proyek raksasa, memindahkan manusia bagai pion di papan catur. Pada draf tuntutan, ada nama Harun—partner senior—yang percaya “progres selalu butuh korban.” Amir menandatangani dokumen, tapi tangannya ragu. Sejak adiknya, Dewi, tewas di flyover delapan tahun lalu—kecelakaan yang tak adil pada malam lembur—ia alergi pada kalimat “korban.”
Ia menutup map, menatap kaca. Dewi, kalau kau masih hidup, apa kau bangga dengan kakakmu yang sekarang?
“Yang paling menakutkan dari ambisi adalah ketika ia meminta tumbal yang kita cintai.”
Nama-nama yang mengelilingi mereka seperti berasal dari kisah lama: Prabu, Maktal, Harun, Dewi, Amir, Ratna. Seperti bayang-bayang dari Serat Menak yang ditarik ke trotoar modern. Ada keperwiraan yang diselewengkan menjadi target; ada kecantikan yang diukur dari paket data.
.
Hari-Hari yang Melipat Kita Seperti Surat
Hubungan Ratna dan Amir tak meledak seperti kembang api; ia menyala seperti kompor minyak, kecil tapi tahan lama. Mereka bertemu di jam aneh—antara rapat dan rapal doa, antara putusan hakim dan putus asa klien, antara berkabung dan berangkat kerja.
“Kadang pengin pindah kota,” kata Ratna, di malam ketika hujan turun menggambar garis-garis di kaca. “Atau pindah profesi. Buka perpustakaan kecil di kampung. Sewa bangku plastik, gelar tikar, pinjamkan buku.”
Amir tertawa. “Kau pengin mengevakuasi dirimu sendiri.”
“Bukan kabur,” Ratna membetulkan. “Mencari versi diriku yang lebih manusia.”
Mereka menonton pekerja malam membongkar panggung event, menatap ojol yang jas hujannya bau petir, mendengar adzan subuh dari mushala kantor yang lampunya suka kedip-kedip. Ada keindahan kecil di sela-sela kelelahan: teh hangat di gelas kecil, kursi plastik yang tidak diserobot, gagang pintu yang tidak macet.
“Bahagia sering datang saat kita lupa sedang mencarinya.”
Namun hari-hari juga pandai melipat manusia seperti surat. Suatu pagi, Ratna menerima telepon. Ibunya dilarikan ke rumah sakit di Pamekasan. Sakitnya memanjang. Dokter berkata banyak hal—tensimeter, gula darah, “jangan lelah pikiran.” Ratna memesan tiket, menekan confirm dengan tangan gemetar.
“Pulanglah,” kata Amir. “Presentasi bisa diganti orang. Ibu cuma satu.”
“Kalau aku kehilangan klien, Prabu bisa cari pengganti. Kalau aku kehilangan Ibu—” kalimat Ratna putus sendiri.
Amir mengantar Ratna ke bandara. Dalam perjalanan, Ratna menyalakan mode pesawat bahkan sebelum masuk pesawat. “Biar benar-benar diam,” katanya.
“Biar kau bisa mendengar yang penting,” Amir menambahkan.
Di rumah sakit, Ratna memegang tangan yang dulu memandikannya kecil. Bau antiseptik tak bisa menutupi bau minyak telon masa lalu yang tiba-tiba datang: memori punya cara sendiri untuk menghibur. Ibunya membuka mata, tersenyum kecil, menyebut nama Ratna dengan pelan, seolah memanggil dari jauh.
“Anak, kalau kau lelah, pulanglah. Kau selalu punya pulang.”
.
Kantor, Doa, dan Rasa Bersalah
Jakarta tanpa Ratna adalah kantor yang berjalan lebih cepat tetapi bernapas lebih pendek. Maktal mencoba menambal; Prabu berkhotbah tentang ownership; klien menanyakan kemasan healing yang “lebih gen Z.” Di layar laptop Maktal, catatan Ratna tentang “narasi tanpa kebohongan” membuatnya menggigit bibir. Ia tahu, di kota seperti ini, jujur adalah semacam aksi akrobat.
Amir datang ke pengadilan dengan setelan abu-abu, menyandang perkara yang bising. Media hadir; koalisi warga menahan spanduk; perwakilan perusahaan duduk dengan tutup termos. Di notulensi batinnya, Amir mencatat: Hidup seperti ini mengikis pelan-pelan. Setiap argumen adalah batu yang harus ia tenteng sepanjang hari, setiap putusan adalah hujan batu.
Sore itu, Harun memanggil Amir ke ruangan kaca. “Kita main di kelas berat, Mir. Jangan bawa perasaan. Kita disewa untuk menang.”
“Kalau menang berarti ada yang dipaksa kalah?” Amir menatap lurus. “Kalau yang kalah itu orang-orang kecil?”
Harun menghela napas, memasang senyum yang dibuat dari rapat-rapat. “Dunia ini… bukan dongeng wayang, Mir. Serat Menak boleh jadi bacaan, tapi kita hidup di pasal dan ayat. Kau mau naik, ikuti prosedur.”
Amir keluar dengan kepala berat. Di lift, ia memijit pelipis. Tiba-tiba wajah Dewi muncul seperti lampu di hujan—kecelakaan, ambulans, helai rambut basah. Rasa bersalah menyalakan kembali api yang ia simpan. Ia menulis pesan ke Ratna: “Maaf kalau aku sulit dihubungi. Aku sedang belajar jadi manusia yang lebih baik.” Pesan itu tidak terkirim; ponsel Ratna masih di mode pesawat.
“Kadang yang paling kita butuhkan bukan kemenangan, melainkan keberanian mengaku salah.”
.
Pamekasan, Rumah, dan Kata yang Tidak Selesai
Di Pamekasan, malam lebih jernih. Bintang-bintang tak perlu izin gedung bertingkat untuk tampil. Ratna menemani ibunya melewati hari-hari yang berubah ukuran. Ada hari yang panjang bagai jalan pantura; ada hari yang pendek seperti salam.
Ratna duduk di teras, menatap langit yang dingin. Ia menulis untuk dirinya sendiri—bukan untuk klien, bukan untuk pitch. Ia menulis tentang masa kecilnya: tentang sepeda mini yang pernah merajuk, tentang suara kentongan ronda, tentang rasa tempe goreng yang tidak pernah bisa dibuat ulang di restoran mahal. Ia menulis dan untuk pertama kali setelah lama, kata-kata terasa seperti pulang.
Ibunya membaik lalu menurun, seperti ombak yang ragu-ragu menepi. Pada suatu subuh, ketika suara ayam masih menawar udara, ibunya berpulang dengan senyum yang tidak lelah. Ratna mencium kening yang hangat sebentar, lalu pelan-pelan dingin. Ia menangis tanpa suara, seperti kota yang tiba-tiba mati lampu.
Pemakaman berlangsung sederhana. Sanak saudara mengelus punggungnya. “Sabar, Nduk. Orang baik selalu ketemu jalannya.” Ratna tidak berjanji apa-apa pada siapa pun. Ia hanya menyimpan satu kalimat ibunya seperti batu akik di saku: “Jangan lupa pulang.”
.
Setelah Duka, Jakarta
Beberapa minggu kemudian, Jakarta masih di tempatnya—penuh, terburu, berisik. Ratna kembali. Di kantor, ia diberi tumpukan proyek, bujukan lembur, ucapan duka cita yang standar. Maktal menyisipkan sebatang cokelat di meja: “Untuk gula darah di hari-hari pahit.” Ratna tersenyum. Hal-hal kecil adalah penawar.
Amir mengajak bertemu, tapi mulanya Ratna menolak. Bukan karena marah; ia hanya ingin menata. Duka, seperti lemari, perlu dilipat agar muat. Setelah tiga kali ajakan, Ratna akhirnya setuju: kedai kopi yang sama, sudut yang sama.
“Bagaimana Ibu?” tanya Amir.
“Sudah jadi bagian dari langit,” jawab Ratna. “Kadang terasa dekat, kadang jauh sekali.”
Mereka diam lama. Amir ingin bercerita tentang Dewi, tentang kasus penggusuran, tentang dilema menjadi orang baik di sistem yang digerakkan orang giat. Tapi kata-kata, kalau terlalu lama berdiam di tenggorokan, sering berubah jadi batu.
“Kita kehilangan dengan cara yang berbeda, tapi kita sembuh dengan cara yang mirip: pelan-pelan.”
Amir akhirnya mengaku, suaranya seperti anak kecil yang pulang terlambat. Tentang malam kecelakaan Dewi. Tentang telepon tak terjawab. Tentang rasa bersalah yang membuatnya belajar jadi pahlawan pada dokumen, bukan pada manusia.
Ratna menatapnya lama. “Kau tidak perlu jadi pahlawan. Kau perlu jadi saudara yang memaafkan diri.”
“Kalau memaafkan berarti lupa?”
“Tidak,” kata Ratna. “Memaafkan berarti mengizinkan hidup maju tanpa menunggu penjelasan yang tidak datang.”
.
Kota Menguji dengan Cara Lain
Proyek penggusuran mencapai puncaknya. Di pengadilan, Amir terlihat berdiri tegak. Kata-katanya meluncur tanpa pingsan. Ia mengutip pasal, menghadirkan saksi, menyodorkan alternatif: relokasi dengan martabat, transisi dengan penghidupan, kompensasi yang bisa benar-benar makan. Harun menatapnya seperti menatap anak didik yang tiba-tiba punya pikiran sendiri.
Usai sidang, di parkiran, Harun menghampiri. “Kau tampil baik. Tapi ingat, kita dibayar untuk hal tertentu.”
“Aku juga dibayar oleh nurani yang tak pernah terlambat menagih,” jawab Amir pelan.
Harun tersenyum—senyum orang kota yang sudah lama berhenti terkejut. “Kalau begitu, semoga nuranimu punya rekening yang cukup.”
Di kantor Ratna, Prabu meminta presentasi yang “lebih trending”. Ratna menolak satu usulan yang meminta mengeksploitasi duka publik untuk menaikkan brand love. “Kita bisa emosional tanpa memeras air mata. Kita bisa membekas tanpa jadi benalu,” katanya.
“Rat, idealisme seperti itu tidak menutup tagihan listrik,” Prabu mengingatkan.
“Justru idealisme yang membuat listrik ini tidak menyetrum sembarang orang,” kata Maktal, ikut menyenggol percakapan. Mereka tertawa kecil. Tawa kecil kadang lebih gagah dari tawa keras.
.
Mati Lampu, Menyala Hati
Suatu malam, Jakarta benar-benar padam. Mati listrik massal memadamkan neon, spanduk digital, iklan raksasa. Kota mendadak kembali jadi kampung berukuran raksasa—orang menyalakan lilin, suara gitar akustik muncul dari balkon. Langit menampakkan bintang yang selama ini ditutupi banner promo.
Ratna menuruni tangga darurat, duduk di pelataran. Amir menyusul, entah bagaimana selalu tahu di mana Ratna menepi. Mereka berbagi roti tawar yang sedikit basi, berbagi cerita yang masih hangat.
“Di gelap begini, kota terasa jujur,” kata Amir. “Kita jadi tahu siapa yang kita cari pertama.”
“Dan siapa yang berani duduk di samping kita tanpa sinar lampu,” tambah Ratna.
“Gelap bukan musuh kalau kita membawa tangan yang mau menggenggam.”
Malam itu mereka tidak membicarakan rencana besar. Mereka hanya menghafalkan suara masing-masing. Amir bercerita tentang kliennya—ibu-ibu yang takut pindah karena khawatir lapak lontongnya hilang pelanggan. Ratna bercerita tentang anak-anak magang yang takut meminta upah.
“Kau akan menang?” tanya Ratna.
“Aku ingin menang dengan cara yang tidak membuatku kalah sebagai manusia,” jawab Amir.
.
Keputusan Kecil, Jalan Panjang
Keesokan hari, Amir mengirim memo internal: menawarkan terms baru pada lawan perkara—skema relokasi dengan kios pengganti, pelatihan usaha, jeda pajak. Harun tidak senang, tapi tidak bisa menolak karena memo Amir ditembuskan ke banyak pihak dan mendapat simpati publik. Perusahaan, melihat risiko reputasi, memilih bernegosiasi. Kemenangan itu bukan kembang api; ia lebih seperti lampu belajar yang menyala semalaman untuk ujian esok.
Ratna menutup satu proyek campaign besar tanpa menjual duka orang banyak. Ia memilih menampilkan hal-hal kecil yang memulihkan: anak bercerita dengan kakeknya, ibu menanam cabai di kaleng bekas, bapak memperbaiki lampu tetangga. Klien yang awalnya ragu akhirnya mengangguk: “Ternyata bisa ya, menyentuh tanpa memaksa menangis.”
Di meja, Maktal menaruh catatan: “Kalau kau pergi, aku jadi siapa?” Ratna tertawa. “Kau tetap Maktal, penjahit humor. Dan kalau aku pergi, itu artinya aku menepati janji pada Ibu: pulang tiap kali lelah.”
.
Surat yang Akhirnya Dibuka
Amir mengajak Ratna ke makam Dewi. Di sana, angin tak pernah menjanjikan apa-apa, tapi selalu datang tepat waktu. Amir meletakkan bunga melati, menceritakan detail yang selama ini ia sembunyikan dari siapa pun. Ratna tidak memberi solusi, hanya mendengar sampai habis. Itu kadang lebih penyembuh dari seribu rapat.
“Kalau kota ini adalah orang,” kata Amir, “aku ingin dia berhenti pelit pada pelukan.”
“Kalau kota ini adalah orang,” balas Ratna, “aku ingin dia berhenti merasa bersalah kalau lelah.”
“Yang kita cari bukan akhir yang rapi, melainkan perjalanan yang tidak memalsukan kita.”
Di perjalanan pulang, Ratna memegang ponsel yang sudah tidak lagi sering di mode pesawat. Ia menghapus beberapa aplikasi yang membuatnya sibuk tanpa tujuan, menambah satu aplikasi untuk mengingat minum air, dan satu lagi untuk mencatat syukur.
.
Jalan Pulang Tidak Selalu Pindah Alamat
Hubungan mereka tetap seperti kompor minyak: tidak berisik, tidak memaksa, menghangatkan ruang seadanya. Kadang Ratna menolak ajakan bertemu karena ingin menyetrika baju sendiri. Kadang Amir menghilang satu malam untuk menulis ulang memonya agar tak menyakiti pihak lain. Mereka belajar bahwa cinta di kota besar tidak selalu datang dengan trompet; lebih sering datang sebagai kursi plastik yang selalu ada kalau kita kembali.
Prabu suatu hari pamit—ditarik perusahaan lain yang lebih besar. Di e-mail perpisahannya, ia menulis: “Terima kasih telah mengajarkan bahwa angka bisa dikawinkan dengan rasa.” Maktal menyalakan lagu lawas, merayakan kepergian yang baik. Ratna memimpin tim kecilnya tanpa megafon, dengan daftar kerja yang bisa pulang sebelum malam.
Di pengadilan, kasus penggusuran selesai dengan kompromi: tak ada hadiah besar, tapi tak ada air mata yang tumpah percuma. Amir pulang dengan langkah yang tidak ringan, tapi tidak lagi terseok.
Malam itu, mereka duduk di balkon Ratna. Di bawah, suara kota menganyam karpet bunyi. Di atas, bintang menunggu diperhatikan.
“Kalau suatu saat aku menghilang,” kata Amir, mengulang kalimat lamanya, “percayalah itu bukan karena aku tak peduli. Mungkin karena aku harus memaafkan diriku lagi.”
“Kau tidak perlu menghilang untuk memaafkan,” jawab Ratna. “Kau bisa memaafkan di sini, sambil minum teh.”
Mereka tertawa. Teh mengepul, hati menenangkan, kota tidak tiba-tiba menjadi baik, tetapi mereka menemukan cara menyiasatinya.
“Pulang tidak selalu berarti kembali ke rumah lama; kadang ia berarti kembali ke diri yang tidak kita tinggalkan.”
.
Menyalakan Notifikasi Hati
Suatu pagi yang bersih, Ratna membungkus buku-buku dan mengirimkannya ke perpustakaan kecil di Pamekasan. Di catatan resi ia menulis: “Untuk siapa pun yang sedang belajar menjadi manusia.” Amir mengantar sampai gerai ekspedisi, lalu berangkat ke kantor dengan kemeja yang tidak disetrika sempurna—tanda ia tidur nyenyak.
Jakarta belum berubah—tetap menagih, tetap mewah, tetap ganjil. Tapi Ratna dan Amir tidak lagi berjalan sendirian. Mereka tidak memasang “mode pesawat” terlalu lama. Notifikasi hati dinyalakan: untuk sedih, untuk syukur, untuk marah yang wajar, untuk bahagia yang tidak minta maaf.
Mereka tahu, suatu hari mungkin akan berbeda arah. Siapa tahu, Ratna jadi betul-betul membuka perpustakaan kecil; siapa tahu, Amir jadi pengacara yang memilih perkara dengan tenang, kalah-menang bukan soal pangkat. Tapi hari ini, mereka cukupkan dengan satu hal: saling menunjukkan jalan pulang, tanpa peta mewah, tanpa petunjuk neon.
Jakarta, dari balkon yang sempit itu, tampak seperti kota yang sedang belajar meminta maaf. Dan manusia-manusia di dalamnya—Ratna, Amir, Maktal, bahkan Prabu—adalah orang-orang yang sedang belajar memaafkan.
“Yang menyelamatkan kita bukan lampu-lampu kota, melainkan lampu kecil yang kita jaga di dalam dada.”
.
.
.
Jember, 28 Agustus 2025
.
.
#CerpenKota #SastraIndonesia #KompasMingguStyle #CeritaUrban #Jakarta #Emosional