Jembatan yang Tak Pernah Benar-Benar Hilang

“Jangan bakar jembatan yang belum tentu tak akan kamu lewati lagi. Di kota, yang jauh bisa tiba-tiba dekat; yang dekat bisa tiba-tiba hilang.”

.

Hujan turun seperti jarum-jarum halus dari langit Surabaya, menusuk neon, memantul di aspal, lalu pecah menjadi serpih-serpih cahaya. Jaya berdiri di bawah kanopi hotel kecil di bilangan pusat kota, menunggu jeda hujan yang tak kunjung datang. Di balik kaca, lobi “Kandhang Wulan”—hotel butik berlantai delapan yang ia rawat sejak masa rebranding—berkilau sederhana. Aromanya campuran kopi robusta yang diseduh Roro di pojok bar, karbol yang baru dipel, dan entah apa lagi—sesuatu yang membuat orang merasa disambut pulang walau belum pernah tinggal.

Malam itu, ponsel Jaya bergetar. Nama yang menyalak di layar membuat napasnya mengerut: Rengganis.

Jaya membiarkan ponsel bergetar lagi, lalu lagi, sebelum akhirnya mengangkat. “Halo.”

“Jaya…” suara di seberang terengah, tertahan. “Kalau kamu ada waktu… aku di lobi.”

Jaya menoleh. Di balik kaca, di ujung sofa, duduk seorang perempuan berbaju hujan transparan. Rambutnya basah menempel di pipi. Rengganis. Rengga. Teman seperjuangan sejak mereka sama-sama mengelola “Kandhang Wulan” tiga tahun lalu, sebelum sebuah perkara rapat, sebuah kalimat yang melesak seperti peluru, membuat Rengga pergi ke jaringan hotel lain dengan pintu yang terdengar dibanting di belakang.

Mereka tidak bertemu lagi.

“Masuk,” kata Jaya pada hujan—padahal pada dirinya sendiri. Ia melangkah.

.

Rengganis berdiri. Mata mereka bertemu seperti dua orang yang pernah menyusun hidup dari jam-jam lembur, tumpukan linen, dan laporan pendapatan yang hanya sedikit di atas garis cemas. “Aku minta maaf datang tiba-tiba,” katanya.

Jaya menangguk. Dalam hati, kata-kata yang dulu menyengat di rapat itu muncul kembali: ‘Kamu terlalu menggurui, Ja. Tim butuh pemimpin yang bukan sekadar pandai bicara.’ Dan ia membalas: ‘Kalau kamu tak suka, pintu ada di sana.’ Jembatan pun terbakar, hangus oleh dua kalimat yang sama-sama benar dan sama-sama buruk.

“Kamu minum dulu,” ujar Jaya. “Roro, tolong teh jahe satu, kopi tubruk satu.”

Rengga meremas telapak tangannya yang dingin. “Aku datang bukan sebagai pesaing. Aku datang sebagai orang yang rindu rumah. Dan… butuh bantuan.”

Jaya duduk. “Katakan.”

“Hotel tempatku sekarang—‘Grana City’—baru saja dilanda badai ulasan. Videonya viral. Tamu menemukan jamur di kamar mandi, sarapan dingin, wifi putus-putus. Kamu pasti lihat.”

Jaya memang lihat. Ia menontonnya semalam sambil menelan air liur yang pahit. Viral seperti itu ibarat air bah menghantam tembok rapuh. Sekali retak, suara akan mencari celah baru.

“Owner menyalahkan semua manajer,” kata Rengga. “Tim babak belur. Aku… kehabisan cara. Dan aku ingat kalimatmu dulu, ‘rukun agawe santosa.’ Kamu selalu bilang, mulai dari manusia dulu, baru prosedur. Aku datang… memohon. Ajari kami membangun jembatan, yang tidak kami jaga dulu.”

Jaya menunduk. Hujan tampak lebih tebal. Di balik pilar, seorang tamu—Pak Umar, pelanggan lama—membetulkan payung. Dunia meneruskan kegiatannya, sementara di lobi, dua orang menimbang masa lalu.

“Rengga,” ujar Jaya pelan, “kamu ingat satu lagi pitutur? Ngunduh wohing pakarti. Kita menuai buah dari laku.”

“Aku tahu,” sahut Rengga, suaranya patah. “Maka aku datang untuk menanam.”

.

Malam beranjak semakin larut. Rengga memaparkan detail: occupancy turun, calon kontrak korporat ragu, review satu bintang berdatangan. Ia mengaku salah—tak menjaga kebersihan rutin, tak merawat jembatan komunikasi dengan housekeeping, terlalu fokus pada angka. “Aku lupa bahwa angka lahir dari rasa dihargai,” katanya. Mata Rengga berkaca-kaca; Jaya merasakan sesuatu di dadanya—sejenis rasa iba yang campur hangat.

“Aku bukan konsultan,” kata Jaya kemudian. “Aku teman lama yang cerewet. Kamu siap menerima cerewetku?”

Rengga mengangguk.

“Baik. Besok pagi, aku ke sana. Tapi satu syarat: Kamu pertemukan aku dengan seluruh lini, dari security, steward, hingga sales. Semua. Kita mulai dari mendengar.”

Rengga menatapnya lama, lalu tersenyum. “Terima kasih, Jaya.”

“Jangan berterima kasih,” Jaya mengelak. “Ini bukan sedekah. Ini upaya membalas kota, yang selalu memberi kita tempat kembali meski kita suka membakari jembatan.”

Rengga tertawa pendek, seperti menyalakan lampu yang lama mati.

.

Pagi berikutnya, Surabaya berembun. “Grana City” berdiri di perlintasan jalan, kaca-kacanya penuh sisa hujan. Jaya memasuki ruang rapat yang hening. Belasan orang menunggu: Wirapati, kepala engineering yang tampak letih; Angreni dari housekeeping yang menggenggam buku catatan usang; Lesmana dari security dengan seragam yang terlalu pas di bahu; dan yang lainnya—orang-orang yang memutar sebuah hotel setiap hari dengan tangan yang jarang terlihat.

“Selamat pagi,” kata Jaya.

Mereka membalas pelan.

“Terima kasih sudah meluangkan waktu. Saya Jaya dari Kandhang Wulan. Saya datang bukan membawa pasal-pasal. Saya datang membawa telinga.” Ia berhenti sebentar. “Sebelum bicara tentang SOP dan CSAT, saya ingin dengar: Apa yang paling membuat kalian lelah?”

Hening sejenak—hening yang biasanya diisi ketakutan. Lalu Angreni angkat tangan. “Pak… jadwal bersih kamar sering berubah mendadak karena late check-out yang tidak diinformasikan. Kami menunggu di koridor, disebut lambat. Padahal kami… menunggu.”

Wirapati menyusul: “Filter AC lantai lima sudah minta diganti sejak bulan lalu. Ada di daftar pembelian, tapi ditolak karena ‘bukan prioritas.’”

Lesmana: “Kami kekurangan orang di malam minggu. Tamu komplain karena parkir penuh, dan kami dikata-katai.”

Satu persatu, suara keluar seperti air yang menemukan parit. Jaya menatap Rengga; Rengga menunduk, menuliskan semuanya. “Terima kasih,” kata Jaya. “Sekarang bagian pahitnya. Apa yang menurut kalian harus kami—manajer—perbaiki duluan?”

Seorang steward bernama Umarmawi—dipanggil Umar—berdehem. “Pak, kami ingin dihargai waktu dan makan. Kadang shift lewat jam makan, tapi kita disuruh tunggu. Kalau disediakan roti dan teh, kami sudah senang. Kami bukan mesin.”

Rengga menutup mata sekejap. Jaya mengangguk. “Baik. Ini daftar pertama: dengarkan, beri ruang, beri makan.”

Rapat itu berubah menjadi obrolan panjang. Mereka mencatat prioritas: kebersihan kamar mandi, suhu makanan sarapan, kestabilan wifi, AC lantai lima. Jaya mengusulkan “meja darurat harian”—pertemuan sepuluh menit setiap awal shift, di mana siapa pun boleh menyebut satu masalah dan satu apresiasi. “Satu hal yang bagus, satu yang mengganggu,” katanya. “Kita seimbangkan agar tak tenggelam dalam cacat dan lupa pada yang baik.”

Ia juga memperkenalkan “Rumah Tamu”—pojok kecil di lobi dengan kursi tambahan, infused water, dan buku saran yang benar-benar dibaca. “Kalau kita ingin dikasihi, kasihi dulu,” ucapnya. “We are humans serving humans. Kita bukan robot saling menilai output.”

“Servant leadership ya?” tanya Rengga.

Aja dumeh,” balas Jaya sambil tersenyum. Jangan mentang-mentang.

Mereka merencanakan kurun perbaikan tujuh hari. Jaya tahu, reputasi digital bergeraknya cepat. Tapi ia percaya satu hal: ketulusan punya cara sendiri untuk bocor ke dunia maya.

.

Di sisi lain kota, di sebuah kos-kosan tua di Dinoyo, Roro menata ransel kecil. “Kamu yakin?” tanya ibunya lewat telepon, dari Jember. “Kerja di Surabaya saja sudah berat.”

“Aku bukan pindah, Bu,” kata Roro. “Aku hanya menolong sementara. Jaya butuh barista yang bisa memasak jahe hangat untuk staf yang lembur. Aku akan bolak-balik.”

“Dan hatimu?”

Roro tertawa. “Hati juga bolak-balik, Bu.”

Ia menutup telepon, lalu menatap cermin. Sejak bergabung di Kandhang Wulan, Roro merasa menemukan keluarga baru. Jaya memperlakukan semua orang seperti rekan sebaya—bahkan saat memarahi. ‘Kamu salah di proses, bukan salah sebagai manusia’, begitu katanya. Roro menyimpan kalimat itu seperti sebaris mantra.

.

Hari ketiga perbaikan, blackout menimpa lantai empat. Tamu yang menginap untuk seminar kecil panik. “Ini?” ujar panitia, Jangran—anak pengusaha konveksi dari Kertajaya—tidak menyembunyikan kesalnya. “Kami sudah bayar lunas. Masak listrik mati?”

Jaya muncul dengan kepala sedikit basah—habis mengecek ruang panel. “Maafkan kami,” ucapnya. “Ada jalur yang overheating. Kami butuh dua jam. Sementara itu, izinkan kami pindahkan Bapak/Ibu ke ballroom lantai dua. Kami siapkan kopi, camilan, dan proyektor portable.”

“Dua jam?” Jangran menatap tajam.

“Jika lebih cepat, kami beri kabar. Jika lebih lama, kami beri kompensasi berupa diskon 40% dan voucher menginap.”

Jangran tersendak. “Kenapa kamu… langsung menawarkan diskon?”

“Karena kesalahan kami adalah kesalahan kami,” jawab Jaya tenang. “Ngunduh wohing pakarti. Buah yang kami petik pahit, kami bagi sama rata supaya tidak tersembunyi di mulutmu saja.”

Roro dan tim F&B bekerja seperti pasukan kecil: air panas bergantian, toples kue kering, kopi tubruk. Umar membantu mengangkat kursi. Lesmana mengatur parkir agar mobil panitia dekat pintu samping. Di tengah hari yang serba ‘darurat’, semacam kehangatan tersebar. Orang-orang tak lagi mengeluh keras; beberapa malah menawarkan bantuan. Ada yang bertanya resep sambal matah.

Dua jam kemudian, listrik kembali. Tepuk tangan pecah seperti hujan reda. Jangran menepuk bahu Jaya. “Berani kamu, tawarin diskon dulu baru kami minta.”

“Lebih baik kami mengakui sebelum dimaki,” sahut Jaya, separuh bercanda.

Di malam hari, postingan Jangran muncul di media sosial. Alih-alih memaki, ia menulis panjang tentang bagaimana Grana City menghadapi gangguan listrik dengan manusiawi: “Mereka tak sempurna, tapi tulus. Rukun agawe santosa terasa di koridor.” Postingan itu disukai ribuan orang. Di bagian komentar, ada yang bilang mau mengadakan arisan di sana; ada pula yang bercerita pernah diusapkan minyak kayu putih oleh Roro saat migrain.

Rengga membaca semua itu sambil menahan napas. “Terima kasih,” katanya pada Jaya.

“Terima kasih pada tim,” Jaya membalas. “Kau hanya memutar kunci. Mereka yang menggerakkan pintu.”

.

Malam ketujuh, saat jadwal evaluasi, hujan kembali. Mereka berkumpul di pantry karyawan yang sempit. Di papan tulis, Jaya menempelkan kertas-kertas tempel warna-warni. “Ini hasil satu minggu,” katanya.

  • Kamar mandi: 38 unit sikat sambung, 12 kloset diperbaiki flush-nya, 4 kamar diberi sealant baru.

  • Sarapan: Jam penyajian diatur ulang, pemanas tambahan. Suhu minimal 60°C.

  • Wifi: Router lantai lima diganti, bandwith dinaikkan, password disatukan.

  • AC: Filter diganti, jadwal servis dipajang.

Di bawahnya: Ulasan bintang 5 meningkat 27% dalam tujuh hari, Net Sentiment bergeser dari -0,4 menjadi +0,2. Angka-angka kecil, tapi seperti tunas setelah musim kemarau.

“Bagian favoritku,” kata Jaya sambil tersenyum, “daftar apresiasi harian yang kalian isi.” Ia membacakannya: ‘Terima kasih, Angren, karena mengajari teknik cepat bersih kaca.’‘Terima kasih, Wirapati, sudah bantu cari spare part AC jam sepuluh malam.’‘Terima kasih, Roro, untuk jahe kayu manis yang bikin kami tahan lembur.’

Rengga menyeka mata diam-diam. “Kita lanjutkan ini jadi kebiasaan,” ucapnya. “Bukan kampanye satu minggu.”

“Betul,” jawab Jaya. “Rumah itu kokoh jika ditopang ritual-ritual kecil.” Ia menatap semua orang satu per satu. “Satu lagi. Besok kita bikin ‘open house’ untuk warga sekitar. Kita undang UMKM tetangga isi bazar kecil di lobby. Kita sebut ‘Temu Jembatan’.”

“Buat apa?” tanya Lesmana.

“Supaya warga tahu, ketika kita salah, kita memperbaiki; ketika kita baik, kita ingin berbagi. Memayu hayuning bawana.

.

Open house itu seperti musik jalanan yang tak dipaksa. Warga datang membawa rempeyek, gelato rumahan, buku-buku bekas. Ada anak-anak tertawa di tangga, ada bapak-bapak berdebat merek motor. Jaya berjalan sembari menyapa, sesekali membersihkan gelas plastik yang terjatuh.

Di sudut, Jaya mendapati seorang lelaki berusia lima puluh-an yang berdiri kikuk. Wajahnya tak asing—keriput di dahi, alis tebal, suara serak. “Bapak…” Jaya tercekat.

Lelaki itu mengangguk. “Kudengar kamu di sini. Hm.” Ia memandang sekeliling. “Hotelmu… ramai.”

“Hotel Rengga,” ralat Jaya.

“Lalu kamu apa?”

“Jembatan,” jawab Jaya, tak yakin dari mana kata itu muncul.

Mereka tertawa kecil. Di antara Jaya dan ayahnya, ada jembatan yang juga pernah dibakar. Dulu, saat Jaya memutuskan berhenti kerja di kantor pusat dan turun ke dunia hotel kecil, ayahnya mengatakan: ‘Kamu menyia-nyiakan gelar.’ Jaya membalas: ‘Aku memilih hidup yang bisa kurasakan, bukan sekadar kukoleksi.’ Sesudah itu, mereka jarang bicara. Hanya kabar lewat ibu: bapak makin pendiam, sering sakit lambung.

“Kamu masih marah?” tanya Jaya.

Ayahnya mendengus. “Kalau marah, tidak ke sini.” Ia menepuk meja, pelan. “Aku lihat video listrik itu. Kamu… menyelesaikan dengan baik.”

“Karena banyak orang baik di sini,” kata Jaya. “Bapak mau kopi? Tubruk. Panas.”

“Maunya teh. Umur.”

Jaya tertawa dan memanggil Roro. Ia memperkenalkan mereka. Roro menyalami, menunduk dengan tulus. Ayahnya terlihat canggung, lalu tersenyum. Ada sesuatu yang mencair. Seperti gula yang akhirnya larut setelah terlalu lama jadi endapan.

.

Malamnya, setelah keramaian bubar, Jaya duduk sendirian di rooftop. Kota memantulkan cahaya ke langit seperti doa yang ingin didengarkan. Rengga menghampiri, membawa dua gelas air putih.

“Aku akan meninggalkan Grana City,” katanya pada Jaya.

Jaya menoleh cepat. “Kenapa?”

“Owner minta aku jadi konsultan di jaringan mereka. Menata operasional beberapa properti. Aku ingin. Tapi aku takut… meninggalkan lagi.”

“Tak semua pergi berarti membakar jembatan,” ujar Jaya. “Kadang pergi justru menambah jembatan. Kalau niatnya jelas.”

Rengga menatapnya. “Kamu bicara seperti bapak-bapak di rubrik Surat Pembaca.”

“Selama isinya bermanfaat,” canda Jaya. Lalu ia menghela napas. “Kalau pergi, pastikan ada yang meneruskan. Umar bisa. Angren pun kuat. Tinggal kau pastikan mereka diberi kewenangan. Trustworthiness.

“Siap.” Rengga menepuk bahu Jaya. “Ngomong-ngomong, aku belum minta maaf yang benar untuk ucapan dulu.”

“Sudah terbayar dengan gelas-gelas jahe dan listrik yang hidup kembali.”

Rengga menggeleng. “Tetap. Maaf.” Ia menunduk, khidmat. “Terima kasih sudah membantuku mengingat apa yang penting: manusia di balik angka.”

Jaya merasakan dadanya luas. “Kita semua belajar. Kota ini guru yang keras. Tapi ia menyediakan ruang.” Ia menatap jauh. “Seperti pitutur itu: Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.

.

Beberapa bulan berselang, Grana City bukan lagi hotel yang hanya diingat karena ulasan buruk. Ia menjadi tempat arisan komunitas, lokakarya fotografi, jumpa pesepeda kota. Roro membuka kelas kecil “Kopi dan Keramahan” setiap Minggu pagi: mengajar cara menyapa tanpa kata “kak”, dan meracik kopi tubruk yang tidak pahit. Angreni membuat modul kebersihan kamar yang ringkas dan lucu; modul itu viral di kalangan housekeeping.

Jaya kembali fokus ke Kandhang Wulan. Ia tetap bertemu Rengga, yang kini berkeliling ke beberapa hotel di Jogja dan Semarang. Mereka bertukar kabar, tertawa, kadang saling menitip pesan pada staf. Kabar baik menyebar seperti pita yang menghubungkan: ‘Di tempat ini, kalau kamu salah, kamu didampingi. Kalau kamu benar, kamu diucapkan terima kasih.’ Sebuah kalimat sederhana, tetapi di kota-kota besar, itu terasa mewah.

Hubungan Jaya dan ayahnya pun membaik. Mereka belum mahir bicara panjang, tetapi sekarang ayah sering mengirim pesan: foto langit di pagi hari, tautan berita klub sepak bola, setengah gurauan tentang harga beras. Sesekali, ayah datang membawa rambutan dan cecikalak ngopi. Di cangkir yang hangat itu, Jaya belajar bahwa orang tua tak selalu minta dipahami; kadang, mereka hanya perlu tempat untuk berdiri tidak jauh.

.

Suatu malam, Jaya menerima pesan pendek dari nomor tak dikenal. Terima kasih, Jaya. Jembatannya sudah dipakai orang banyak.—Ujungnya ada emotikon jembatan kecil. Ia menduga itu Rengga. Tapi bisa jadi juga siapa saja: Angren, Umar, Lesmana, atau tamu yang tak sempat menyebut nama. Jaya membalas: Sama-sama. Jagai jembatannya, ya. Kalau retak, kabari. Kita betulkan.

Ia lalu menulis catatan kecil di buku agenda: “Jangan terpesona oleh angka sampai lupa menatap wajah.” Ia menempelkan catatan itu di komputer, di atas draft rencana employee open mic—malam di mana staf bisa membaca puisi atau menyanyi dangdut di lobi, ditemani suguhan singkong goreng. Dunia hotel tidak selalu glamor dan marmer. Ia tentang manusia yang saling mengulurkan tangan agar orang lain bisa melepas penat dengan damai.

.

Beberapa waktu kemudian, sebuah perusahaan start-up pemetaan sosial meminta Grana City menjadi tempat sesi “Kota Tanpa Jarak”—serangkaian diskusi tentang bagaimana membangun kota yang ramah. Jaya diundang sebagai pembicara tamu untuk berbagi pengalaman perbaikan krisis. Di hadapan peserta, ia menuturkan kisah listrik padam dan diskon 40%. Ada yang bertanya: “Kenapa Anda memilih menanggung rugi daripada berdebat?”

Jaya menjawab: “Karena berdebat membuat jembatan makin jauh. Tanggung rugi langsung mengubah suasana: dari saling menyalahkan menjadi saling mengatasi.” Ia menambahkan, “Saya percaya pada adagium sederhana: ‘Kalau ingin dikunjungi, rawat jembatan menuju rumahmu.’

Seseorang dari belakang ruangan—seorang perempuan dengan mata cerdas—mengangkat tangan. “Apakah semua masalah hubungan bisa diselesaikan hanya dengan meminta maaf?”

Jaya tersenyum. “Tidak.” Ia berhenti sejenak. “Tapi meminta maaf membuat kita berdiri di tepi jembatan, bukan di balik benteng. Setelah itu, kita bisa mulai menapar papan satu demi satu: mendengar, memperbaiki, menata ulang kebiasaan. Selebihnya, kita titip pada waktu dan konsistensi.” Ia menutup dengan kalimat yang selalu ia ulang di dalam hati, “Success is not just about what you accomplish, but what you inspire others to do. Sukses bukan apa yang kamu raih, melainkan apa yang membuat orang lain ikut percaya bahwa mereka juga bisa.”

Tepuk tangan terdengar, bukan meriah, tapi hangat.

.

Malam itu, ketika Jaya hendak pulang, ia melihat seorang tamu berdiri ragu di lobi. Pemuda itu membawa tas besar, baju basah oleh gerimis. “Mas,” katanya kepada Roro di bar, “ada kamar paling murah? Saya baru berhenti kerja. Kontrak habis. Besok mau cari lowongan. Malam ini… butuh tempat istirahat.”

Roro melirik Jaya. Jaya menatap pemuda itu. Ia teringat pada dirinya sendiri beberapa tahun lalu—anak dengan tekad besar dan jembatan yang pendek. “Ada,” kata Jaya akhirnya. “Kita kasih harga employee rate satu malam. Dan sarapan tetap sama.”

Pemuda itu menatap mereka lama, matanya berair. “Terima kasih.”

“Rumah butuh orang yang berkunjung,” balas Jaya. “Kamu juga.”

Ketika pemuda itu pergi ke lift, Roro berbisik, “Kamu akan dimarahi akunting.”

“Biar,” Jaya tertawa pelan. “Angka yang baik akan mengejar niat yang baik.”

Roro melipat bibirnya menahan senyum. “Jangan-jangan kamu sebenarnya menulis buku motivasi.”

“Tidak. Aku hanya menambal jembatan,” balas Jaya. “Selebihnya, orang lain yang menyeberang.”

.

Beberapa hari setelah itu, Jaya menerima amplop tanpa nama. Di dalamnya ada secarik kertas dan kupon makan kecil dari warung soto samping hotel. Tulisan tangan di kertas itu miring-miring:

.

Mas Jaya, terima kasih sudah percaya. Saya diterima kerja di gudang ekspedisi. Saya akan kembali menabung untuk kuliah malam. Ini kupon soto langganan saya. Moga Mas tidak menolak.

Dari: Jayasakti. (nama yang kebetulan mirip namanya sendiri—semesta seperti mengedip.)

.

Jaya tersenyum. Ia menyelipkan kupon itu ke dompet, berniat mengajak Roro makan siang. Lalu ia menatap keluar jendela: kota yang padat dan rapuh, namun juga plipis-plipis hangat. Di seberang jalan, ada anak memegang payung bersama temannya—mereka saling menampung tetes air agar baju tidak kebasahan. Sederhana, tapi itulah makna semua ini: menampung satu sama lain agar bisa tiba di rumah dengan kering.

Jaya menutup buku agendanya. Dalam hati, ia mengucap satu pitutur lagi, kali ini sebagai doa yang sengaja: “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.” Ia tahu, hidup di kota tidak menjamin orang tidak tersesat. Tetapi kalau jembatan dirawat, orang selalu punya alasan untuk kembali—bahkan bila dulu pernah membakarnya.

Dan kota pun melanjutkan hidupnya, seperti hotel-hotel kecil yang lampunya menyala sabar: menjadi mercusuar bagi orang yang memerlukan arah.

.

“Beberapa jembatan memang terbakar, tapi selama hatimu masih ingin menyeberang, selalu ada papan yang bisa dipasang kembali.”

.

.

.

Jember, 12 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #Hospitality #PituturJawa #ServantLeadership #UrbanStory #Surabaya #Pariwisata #CeritaMengharubiru

Leave a Reply