Jejak yang Tertinggal di Jakarta
“Hidup tak menjanjikan ulang, hanya kesempatan yang berlalu.
Bila punya sedikit saja kebebasan, pakailah—sebelum jam habis.”
.
Malam Jakarta seperti kaca retak yang memantulkan ribuan wajah. Hujan baru saja berhenti; jalan Sudirman berkilat seperti sisik ikan raksasa, dan di bawah jembatan penyeberangan, orang-orang menunggu waktu: menunggu ojek daring, menunggu pesan yang tak kunjung dibalas, menunggu gajian. Di celah gedung yang menyala, bau gorengan dan bensin bercampur seperti masa kecil yang tak pernah benar-benar pulang.
Di belakang sebuah pusat perbelanjaan, gang sempit menuntun ke rumah-rumah kontrakan yang ditempeli kalender obat kuat dan jadwal posyandu. Di ujung gang itu tinggal Wirya—lelaki dua puluh tujuh tahun, petugas parkir siang, penjaga rasa takut malam. Gitar kayu peninggalan ayahnya tergantung miring di dinding, dikelilingi foto-foto buram: ibu yang tersenyum dengan kebaya lusuh, gubuk di Pulau Madura, dan dirinya kecil memegang layang-layang di pematang garam.
Setiap subuh, Wirya bangun oleh azan yang pecah di toa mushala. Ia menanak nasi, menggulung celana, menyiram lantai yang menampung sisa hujan malam. Ia menatap gitar itu—selalu menatap, jarang menyentuh. “Nanti,” ia menunda, “nanti kalau ada waktu.” Lalu ia mengunci pintu dan kembali ke kota yang selalu punya alasan untuk menunda.
.
Kota yang Mengajari Merelakan
Di pos parkir, panas aspal memantul ke muka. Sirene ambulans melintas, lalu bunyi klakson menggantikan akal sehat. Wirya serupa tokoh minor dalam film panjang: berdiri, memberi tiket, mengangkat palang, menunduk pada kaca-kaca gelap. Namun sesekali, hidup melempar adegan tak terduga—seorang lelaki paruh baya dengan rambut memutih, wajah keras seperti patung di alun-alun Pamekasan, setiap sore pulang larut. Ia dikenal di gedung sebagai Patih Aria, manajer operasi yang jarang bicara tetapi pandai melihat.
“Masih muda,” kata Aria suatu malam ketika hujan menipis menjadi gerimis. “Jangan habiskan hidup hanya menjaga portal.”
Wirya tertawa kikuk. “Portal ini yang bikin saya makan, Pak.”
“Kau makan, ya. Tapi apakah kau hidup?” Aria menatapnya seolah hendak menimbang sesuatu di balik kemeja kumal itu. “Aku dengar kau bawa gitar ke kontrakan. Mainlah. Kalau malu, main untuk dirimu sendiri dulu.”
Kalimat itu tinggal, seperti jejak lampu di retinanya. Malam itu, sepulang kerja, Wirya menyalakan kipas angin yang bunyinya seperti motor butut. Ia mengelap gitar; debu berkumpul di kain seperti musim yang ditunda-tunda. Jemarinya menyentuh senar—“cling” sumbang—lalu “cling” lagi. Ia mengulang akord sederhana yang diajarkan ayahnya sebelum merantau: G—D—Em—C. Nada-nada itu membuka pintu kecil di dadanya; ia merasa ada angin yang lama terkunci akhirnya beredar.
Di warung pojok terminal, ada Siti Rahmah yang menjual nasi uduk. Wirya pernah menaruh suka; mereka tertawa atas hal-hal kecil: sendok yang menyatu di ujung, sambal yang kepedasan, seekor kucing belang yang selalu mengintai telur dadar. Tetapi suatu hari, Rahmah memakai cincin. “Doakan ya,” katanya. “Aku mau ikut suami ke Tegal.” Wirya mengangguk. Kota ini pintar sekali mengajari cara merelakan.
.
Adipati dan Trotoar yang Menyanyi
Sore lainnya, di bawah jembatan layang, Wirya bertemu Adipati—pengamen dengan suara serak dan mata yang menanggung masa lalu. Adipati menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals yang robek di tepinya, mendendangkan hujan dengan kaleng kopi sebagai cajon. Ada luka di nadanya yang tak bisa disembunyikan.
“Bang, suaramu bagus,” ujar Wirya setelah menyisihkan dua ribu dari saku.
“Suara ini bukan bagus,” jawab Adipati. “Cuma hidup yang terlalu lama di jalan.”
“Kau keliling?”
“Dari Stasiun Kota sampai Tebet. Kadang Ancol kalau lagi rindu laut. Jakarta bikin orang lupa rasa asin angin.” Ia menatap Wirya. “Kau punya gitar. Kenapa tidak turun dan main?”
Wirya ragu. “Aku petugas parkir.”
“Parkirkan saja takutmu,” Adipati mengedip. “Trotoar selalu menerima.”
Besoknya, selepas shift, Wirya membawa gitar. Di trotoar yang basah, mereka menyanyikan “Bento” dengan semangat yang lebih sebagai doa daripada hiburan. Orang-orang menoleh—ada anak kecil menggoyang botol susu seirama, seorang ibu berhenti sebentar sebelum melanjutkan langkah. Topi lusuh di depan mereka menampung koin, senyum, juga pandang remeh. Di sela bait, Adipati berbisik, “Kebebasan sedikit lebih mahal di kota. Tapi ketika kau merasakannya, kau akan mengerti kenapa burung tidak pernah menolak langit.”
Malam-malam berikutnya, Wirya menjalani hidup ganda: siang memungut karcis, malam memungut keberanian. Ia mulai belajar memecah suara, mencari harmoni. Kadang sumbang, tapi mata beberapa orang basah ketika ia menyanyikan lagu tentang ibu. Di kepala, ia mendengar ibunya: “Bermimpilah, Nak. Mimpi itu doa yang berjalan.”
.
Panggung Pertama dan Harga yang Tak Tertulis
Suatu malam, pemilik kafe kecil di Cikini, Rangga, menawari mereka tampil: “Main dua set, lagu apa saja. Bayaran tidak besar, tapi ada makan.” Dunia mendadak punya pintu.
Malam itu, lampu panggung seukuran lampu belajar membuat jantung Wirya tak karuan. Adipati menepuk bahunya. “Ingat, kita bukan mengejar tepuk tangan. Kita mengejar diri sendiri yang pernah kita tinggalkan.”
Mereka memainkan lagu-lagu lama: “Bunga di Tepi Jalan,” “Hio di Dapur Emak,” karya-karya kecil yang lahir dari asap warung dan hiruk-pikuk KRL. Orang-orang mengangguk, beberapa ikut menyanyi. Wirya melihat Rahmah masuk bersama suaminya, tanpa sengaja, mencari tempat duduk di sudut. Ia kaku sepersekian detik, lalu memetik lebih dalam. Di akhir lagu, Rahmah menatap ke panggung, menyatukan telapak tangan pada dada, seolah bilang: “Kamu baik-baik, ya.” Wirya membalas dengan senyum yang belajar dewasa.
Tetapi panggung juga punya harga lain. Di kamar mandi, Adipati batuk lama dan berat. “Masuk angin,” katanya, menepis cemas. Wirya tidak percaya, tetapi ia diam. Di kota, orang belajar memalsukan tenang.
.
Kota yang Menguji Napas
Januari menyisakan banjir. Kontrakan Wirya dingin dan lembab; baju-baju tak kering, denah kepala mudah remuk. Adipati makin sering batuk, napas pendek seperti kain yang ditarik paksa. Suatu sore, ketika mereka bernyanyi di depan bioskop, Adipati limbung. Wirya mengangkatnya ke ojek, buru-buru menuju puskesmas. Bau disinfektan menyatu dengan doa yang tidak terucap.
Dokter berkata hati-hati: kecurigaan tumor paru. Rujukan dibuat; antrean panjang seperti ayat yang tak kunjung selesai. Adipati tersenyum tipis. “Jangan dibikin muram. Kuduga suaraku benar-benar berasal dari batu.”
Wirya menawarkan sebagian tabungan—hasil dua bulan menyanyi dan lembur parkir—untuk biaya kontrol. Adipati menolak keras. “Hidupku sudah lama menumpang pada trotoar. Jangan kau jadikan sedekah sebagai alasan memenjarakan mimpi sendiri.”
Tetapi malam itu, Wirya tak bisa tidur. Ia menatap gitar, mendengar bunyi jam yang seperti meneteskan detik ke lantai. Ia lalu menulis bait sederhana di buku catatan: “Jika kau punya sedikit kebebasan, kau tak perlu menunggu seluruh dunia setuju.” Kata-kata itu tampak remeh, tetapi Wirya merasa sedang berbicara kepada dirinya lima tahun lalu.
.
Patih Aria dan Surat Tanpa Tanda Tangan
Suatu siang, Patih Aria tiba di pos parkir. Ia memeriksa jam tangannya, lalu berkata pelan, “Aku lihat kau main di kafe itu. Kau tahu, tidak banyak anak berani memilih. Kota selalu menawarkan gaji tetap dan ketakutan yang rapi.”
Wirya tertawa hambar. “Ketakutan yang rapi—saya paham sekali.”
Aria menatap memanjang. “Aku tak mencegahmu bertugas di sini. Tapi kalau kau mau, aku bisa merotasi: shift malam lebih pendek, honor sedikit naik. Pagi-sore bisa kau pakai untuk—apa pun yang sedang kau kejar.”
Wirya hampir tak percaya. “Kenapa saya, Pak?”
Aria menunjuk dadanya sendiri. “Dulu, sebelum aku tersangkut di gedung-gedung, aku bermain biola di kereta Madiun-Solo. Ayahku sakit, aku berhenti. Sampai sekarang, nada terakhirku tertahan di tenggorokan.” Ia menghela. “Kalau kau bisa, jangan biarkan nada terakhirmu tertahan.”
Minggu berikutnya, Wirya pindah shift. Siang hari ia menemani Adipati menjalani kontrol. Lalu mereka berkeliling Commuter Line dari Bogor sampai Jatinegara, menyanyi di peron, memindahkan derit roda menjadi reffrain. Mereka merekam satu lagu dengan ponsel rusak, mengunggah ke dunia tanpa alamat. Seseorang meletakkan komentar: “Suara kalian membuat saya berhenti mengeluh di macet.” Itu cukup. Kadang pengakuan paling jujur datang dari orang yang tak tahu nama kita.
.
Rahmah, Angin Laut, dan Senja yang Menguji
Suatu sore, Rahmah muncul di kafe, kali ini tanpa suami. “Aku kerja di toko kue dekat sini,” katanya. “Suamiku balik kampung. Kami—ya—sedang menyusun ulang hidup.” Ia tertawa kecil; suaranya seperti kertas digesek.
“Bagaimana Madura?” tanya Wirya, mengajak ngobrol tentang apa saja selain luka.
“Masih sama: garam, angin, doa. Di sini, rasanya asin hanya datang dari keringat.” Rahmah menatap panggung mini. “Kau bahagia, Ri?”
Pertanyaan itu melayang seperti layang-layang putus. “Aku… sedang belajar,” jawabnya. “Belajar memegang kebebasan sebentar—meski tangan berkeringat.”
Beberapa hari setelahnya, mereka bertiga—Wirya, Rahmah, Adipati—pergi ke Ancol. Laut di sana bukan biru, tapi kota tetap membiarkannya dipanggil laut. Adipati duduk di tepi dermaga, memejam, menghirup angin yang membawa sisa-sisa cerita nelayan. “Kalau aku pergi duluan,” katanya tiba-tiba, “naikkan asaku bersama perahu. Jangan kubur di suara yang tak dinyanyikan.”
Rahmah menunduk, menahan air mata. “Jangan bicara begitu.”
Adipati membuka mata, tersenyum nakal. “Kematian tak perlu diajak bicara untuk tahu arah. Tapi hidup perlu diingatkan.” Ia menepuk bahu Wirya. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu memercayai hal-hal yang tak terlihat: keberanian, kesembuhan, dan keberangkatan.”
Senja turun perlahan, membakar tepi langit. Mereka bertiga berdiri diam, seolah sedang berfoto di dalam hati masing-masing. Di kejauhan, gondola bergerak pelan seperti doa yang tak ingin selesai.
.
Kepergian yang Tak Meminta Izin
Musim maju cepat. Adipati kian kurus, suaranya berubah jadi bisik, tapi matanya tetap nakal. Suatu pagi, telepon berdering. Rahmah di seberang dengan suara patah: “Ri, Adi… puskesmas, bilangnya harus dibawa ke rumah sakit sekarang.”
Di ruang IGD, monitor berkelap-kelip seperti kota dalam miniatur. Perawat mondar-mandir; dunia mengecil menjadi bunyi mesin dan napas yang dihitung. Adipati menoleh kepada Wirya. “Nyanyikan satu. Yang pelan saja.”
Wirya menahan tangis, memetik gitar pada volume yang hanya didengar Tuhan. Ia menyanyi tentang anak yang mencari pulang, tentang trotoar yang menampung langkah. Adipati menutup mata—lalu setengah tersenyum. “Itu dia,” bisiknya, “nada yang tidak lagi kutahan.”
Ia tidak bangun lagi.
Pemakaman sederhana berlangsung di pinggir kota. Tanah merah baru, bunga yang cepat layu, awan yang entah menyimpan hujan atau tidak. Wirya berdiri kaku; Rahmah menggenggam tangannya seperti satu-satunya pegangan yang tersisa. Dalam hening, Wirya berjanji: ia tidak akan membiarkan suara Adipati menyusut menjadi kenangan pendek. Ia akan bernyanyi, menulis, menempelkan lagu-lagu mereka di dinding-dinding gelap kota.
Malam itu, di kontrakan, Wirya menyalakan lilin pendek. Ia membuka buku catatan, menulis:
“Beberapa orang tidak pernah punya kesempatan melihat dunia. Bukan karena tidak mau, tapi karena hidup tak memberinya pilihan. Maka jika kita punya seujung kuku kebebasan, pakailah hari ini. Pergilah melihat laut—meski airnya keruh. Kejar senja—meski lampu kota menawari gemerlap palsu. Buatlah kenangan yang lebih lama dari tubuh.”
.
Peta Baru, Langkah Lama
Patih Aria mengajaknya bertemu di kedai kopi pagi hari. “Kupikir kau butuh cuti seminggu,” katanya. “Ambil. Perjalanan pendek—Bromo, Semarang, apa saja. Bawa gitar. Kembali sebagai dirimu yang baru.”
Wirya tertegun. “Kenapa Bapak begitu… baik?”
Aria menatap ke luar jendela, ke jalan yang mulai ramai. “Karena aku ingin tahu rasanya memberi seseorang kebebasan yang dulu tidak kumiliki.” Ia menyodorkan amplop cokelat. “Bukan pinjaman. Sumbangan dari masa lalu.”
Perjalanan itu sederhana: kereta ekonomi ke Semarang, bus malam ke Malang, naik ojek ke Wonokitri, berdiri di lautan pasir saat fajar menyayat. Di puncak Penanjakan, angin memukul wajah, dingin memotong telinga; tetapi matahari naik seperti janji yang ditepati. Wirya memetik gitar pelan; orang-orang merapat, beberapa merekam. Seorang anak kecil bertanya siapa namanya. “Wirya,” jawabnya, “dan ini lagu untuk orang yang mengajariku bernapas.”
Video itu beredar tanpa rencana. Ada komunitas seni yang mengundangnya tampil di perpustakaan kota. Ada relawan yang memintanya mengajar anak-anak jalanan bernyanyi rapih. Di panggung-panggung kecil itu, Wirya bercerita tentang Adipati: tentang trotoar yang lembut, tentang bagaimana suara bisa menjadi selimut untuk malam yang menggigil.
Rahmah kerap hadir; setelah shift toko kue, ia duduk di barisan belakang, menyimak diam. Suatu malam, usai pertunjukan, ia berkata, “Kau telah menjadi rumah bagi banyak orang yang tak punya alamat.” Wirya menunduk—pujian terasa seperti beban yang baik.
.
Surat untuk Ibu, yang Dikirim oleh Angin
Di sela kesibukan barunya, Wirya menabung untuk pulang ke Madura. Jalanan desa menyambutnya dengan bau daun jambu yang basah. Ibunya menua, tetapi senyum itu tetap menyalakan rumah. Mereka makan soto garam, tertawa atas ingatan yang tidak utuh. Di halaman, Wirya memainkan lagu baru—lagu untuk ibu, untuk tanah, untuk Adipati yang kini mungkin sedang mengamen di pasar bintang.
“Ibu dulu menunggu ayahmu di beranda,” ujar ibunya, “Ia pulang membawa gitar dan kabar baik yang sederhana.” Ia mengusap kepala anaknya. “Kau sekarang membawa kabar baikmu sendiri.”
Wirya kembali ke Jakarta dengan dada ringan dan tas yang tidak bertambah. Di kotak ponsel masuk, pesan dari Patih Aria: “Ada festival kecil di taman kota. Tampil saja. Tidak perlu sempurna.” Dan pesan dari Rahmah: “Aku mungkin pindah kerja. Kalau tidak bisa hadir, tetap nyanyilah. Dunia butuh orang yang berani gentar.”
.
Festival Kecil dan Jejak yang Disepakati
Festival itu seperti pasar malam tanpa bianglala: stan makanan, buku murah, panggung kayu. Wirya tampil menjelang senja. Ia membuka dengan lagu Adipati tentang jalan yang lebih sabar dari manusia. Di tengah lagu kedua, angin membawa aroma hujan dan lampu-lampu mulai menyala. Ia berhenti sebentar, menatap langit yang berwarna ungu keemasan—warna yang membingungkan hati.
“Teman-teman,” ucapnya, “aku belajar satu hal dari kota ini: bahwa hidup tak pernah menjamin ulang. Kita hanya punya kesempatan yang tidak kembali. Kalau kalian punya sedikit saja kebebasan—bahkan hanya satu jam di sore hari—pakailah. Telepon orang tua, ajak teman lama bertemu, atau berdiri diam di tepi laut yang keruh. Karena ketika jam berhenti, hak istimewa itu ikut padam.”
Penonton hening. Beberapa menatap tanah, beberapa memeluk diri. Wirya melanjutkan—kali ini suaranya lebih pelan, seperti membacakan doa. Di barisan belakang, Rahmah menutup wajah; air mata keluar seperti hujan pertama yang lega.
Selesai penampilan, seorang anak remaja menghampiri. “Bang,” katanya gugup, “kalau saya ingin mulai bermusik, tapi Bapak saya ingin saya kerja pabrik, bagaimana?”
Wirya tersenyum. “Bekerjalah untuk hidupmu—tetapi sisakan tempat kecil untuk mimpimu. Rawatlah ia setiap hari, meski cuma lima menit. Kebebasan itu bisa tumbuh dari celah yang tak disangka.”
Malam semakin dalam. Wirya membereskan gitar, menatap panggung kosong. Ia merasa tidak lagi sendirian. Kota yang dulu mengajarnya merelakan, kini mengajarnya menjemput.
.
Kenangan yang Mengalahkan Tubuh
Tahun-tahun berjalan. Wirya tidak terkenal, tetapi nama kecilnya menempel di gang-gang tempat ia pernah bernyanyi. Ia mengajar anak-anak jalanan setiap Minggu pagi; sebuah komunitas membantunya menyusun kelas. Kadang, di pos parkir tempatnya dulu, petugas baru meminta tanda tangan di tiket, sekadar kenang-kenangan.
Pada satu malam yang wangi oleh hujan, Wirya naik ke atap rumah susun. Dari sana ia melihat Jakarta seperti lautan lampu yang tak bersuara. Ia memetik gitar dan mengucapkan terima kasih: kepada ibunya, kepada Patih Aria yang memberi ruang, kepada Rahmah yang setia menjadi pendengar, dan terutama kepada Adipati—yang menjadikan trotoar sebagai sekolah keberanian.
Ia menutup matanya dan mengulang kalimat yang dulu ia tulis dalam gelap: “Jika kau punya sedikit kebebasan, pakailah hari ini. Kejar senja. Raba laut. Buatlah kenangan yang lebih lama daripada tubuh.”
Angin mengangkat nada terakhir, membawanya ke langit yang sudah kehabisan senja. Di bawah sana, kota terus berlari. Tapi di dada Wirya, sebuah jam berhenti berdetak—bukan karena waktu habis, melainkan karena ia akhirnya berjalan seirama.
.
“Sebagian orang tak diberi pilihan untuk melihat dunia. Maka bila engkau punya seujung kuku kebebasan—pakailah hari ini, sebelum jam berhenti dan hak istimewa padam.”
.
.
.
Jember, 7 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #SastraPerkotaan #JakartaStories #KebebasanHidup #PengamenJalanan #KisahEmosional #Inspiration