Jejak Langkah di Tanah yang Mengerti Luka

“Kadang kita harus pergi bukan karena benci—melainkan karena ingin tetap utuh. Yang pulang duluan bukan selalu yang kalah, melainkan yang tahu cara merawat luka.”

“Ada luka yang harus kita rawat sendiri. Karena tidak semua orang tahu cara menggenggam hati yang pecah tanpa menyakitinya lebih dalam.”

.

Rumah yang Menyimpan Banyak Suara

Nama lelaki itu Panjalu. Sejak kecil ia belajar menelan udara tanpa suara di sebuah rumah yang tak kunjung berhenti berbicara. Rumah itu berdiri di lereng Pegunungan Serayu, kayu jati yang tua, cat yang mengelupas kecil di bibir jendela, dan sebuah lonceng angin dari bambu yang berbunyi pelan setiap sore. Sangesti, ibunya, terbiasa berdiri di beranda dengan punggung lurus seperti huruf I, menatap jalan tanah, menunggu Wandira pulang dengan napas yang sering seperti gemuruh musim barat.

“Laki-laki itu harus kuat. Jangan manja,” ujar Wandira, rokok terselip di bibir, tatapannya menembus tetapi tak pernah benar-benar melihat. Kalimat itu seperti payung yang selalu dibuka di dalam rumah, bahkan ketika tidak hujan. Di bawah payung itu, kasih sayang disentuh dengan tangan yang kasar, dan ketakutan tumbuh tanpa akar.

Panjalu belajar bertahan. Dari bunyi panci yang ditaruh sedikit keras, dari derit pintu yang menolak ditutup pelan, dari cara ibunya memintal tenang supaya sore-sore tetap bisa dilewati. Ia memahami bahwa suara tidak selalu sayap; kadang suara adalah pisau. Sejak muda ia mengenal luka yang tak berdarah—luka yang membiru di dalam dada tanpa seorang pun bisa menunjuk letaknya.

Di usia dua puluh, Panjalu memilih pergi ke Jakarta. Alasan sebenarnya sederhana dan pribadi: ia ingin tempat yang tidak memaksanya menjadi versi orang lain. Ia ingin semacam tanah yang bersedia mendengar tanpa menginterogasi.

Sangesti menyiapkan bekal: nasi jagung, telur dadar, dan selembar kertas kecil berisi tulisan tangan: “Jika capek, tarik napas. Jika ragu, duduk sebentar. Ibu di sini.” Panjalu menyelipkannya di dompet, di belakang kartu identitas—sebuah kompas yang hanya bergerak ketika hati bergetar.

.

Cahaya di Balik Layar

Jakarta menyambutnya dengan lampu yang tidak pernah padam. Kota yang suka membuat janji dengan jam, yang mengukur cara bernafas manusia dalam rapat, presentasi, dan deadline. Di kota itulah Panjalu menjadi penata cahaya pada sebuah rumah produksi iklan dan film pendek. Ia mengetuk-ngetuk dimmer, memastikan sorot lampu jatuh tepat pada rahang aktor, membentuk garis yang meyakinkan penonton untuk percaya.

Kerja itu seperti hidup: memperindah sesuatu yang sesungguhnya biasa-biasa saja, atau meneduhkan sesuatu yang terlalu terang. Panjalu nyaman di belakang layar. Menjadi bagian dari narasi, tanpa harus menjadi tokoh utama. Ia mengerti bagaimana mengatur terang sehingga bayang-bayang tak menyakiti mata. Ironis, karena ia sendiri sudah terlalu lama hidup di dalam bayang.

Di studio, ia bertemu Kenanga. Editor suara, rambut pendek, tawa yang mengalun seperti gitar nylon. Kenanga punya cara melihat manusia seperti menala nada: dipegang pelan, didengar, lalu disesuaikan frekuensinya agar tidak sumbang. Panjalu, untuk pertama kalinya, ingin bertahan lama dalam satu ruangan. Mereka mulai saling bicara dengan tenang: kopi hitam yang tak manis, hujan yang menunda pulang, dan film-film yang hanya diputar di festival.

Kenanga menyukai sore, Panjalu menyukai pagi. Keduanya bertemu di jam-jam abu-abu, ketika lampu kota mulai menyala tapi langit belum sepenuhnya gelap. Mereka diam di lift, tertawa di kantin, saling mengirim potongan musik dan tulisan sebelum tidur. Cinta tumbuh tanpa musik latar—hanya bernapas, wajar, sehari-hari.

Namun cinta, sebagaimana kota, punya cara halus untuk mendorong seseorang menjadi versi yang lebih berprestasi. Kenanga menyayangi Panjalu, tetapi ia juga menyukai kontrol. Ia memperlihatkan daftar to-do hidup versi dirinya: promosi, portofolio yang lebih mencolok, jejaring yang lebih strategis. “Kamu bisa lebih,” kata Kenanga. “Kamu terlalu biasa untuk bakatmu sendiri.”

Kata “biasa” menghantam seperti pintu lift yang menutup terlalu cepat. Di dada Panjalu, luka lama membuka mata. Ia ingat Wandira yang selalu punya ukuran. Ingat sore-sore ketika nilai raport tak cukup membuat ruang tamu lebih hangat. Kenanga tidak bermaksud melukai, tetapi beberapa kalimat lahir dengan kuku panjang—dan tak semua orang punya sarung tangan.

.

Kota yang Tidak Selesai

Kebersamaan mereka berjalan tiga tahun—cukup untuk menyulam kebiasaan, terlalu singkat untuk mengubah watak. Di tahun ketiga, Panjalu memutuskan berhenti. Bukan pada cinta, melainkan pada perlombaan diam-diam yang melibatkan standar orang lain.

Ia menulis surat dengan tangan yang agak gemetar. Ia mengerti kata-kata bisa mencederai, karena itu ia memilih menuliskan perpisahan dengan cara yang paling ia hormati—tulisan tangan. “Kenanga, terima kasih karena kau pernah menjadi rumah. Tapi aku harus pulang ke diriku sendiri. Aku tak ingin kita tinggal di rumah yang ukurannya tidak muat untuk luka-luka kita.”

Ia meninggalkan kunci apartemen di atas rak buku, merapikan selimut, dan menyimpan foto-foto mereka di folder tanpa nama. Ia membawa kamera tua—warisan Sangesti—dan sepasang sepatu yang usang. Tujuannya: Yogyakarta. Kota yang tidak terburu-buru, yang membiarkan hidangan dingin dulu sebelum diceritakan.

Pagi itu kereta berangkat dari Gambir seperti panah yang menembus peta. Panjalu duduk di dekat jendela, menghitung stasiun, menulis potongan kalimat, membiarkan Jakarta mengecil menjadi garis-garis. Di peron, ia merasa ada sesuatu yang tertinggal—bukan barang, melainkan versi dirinya yang selalu ingin membuat orang lain bahagia.

.

Tanah yang Mengerti Luka

Yogyakarta menyambut Panjalu dengan gerimis dan bau tanah. Ia menumpang di sebuah kos di Kotagede, kamar sempit, jendela menghadap pohon sawo. Pagi-paginya sederhana: teh panas, roti, dan bunyi pedagang sayur yang mengenali nama setiap ibu di gang.

Pekerjaan datang dari hal paling ia kuasai: melihat. Panjalu menjadi juru potret jalanan—memotret tangan-tangan yang sibuk, sepeda yang dinaiki pelan, wajah-wajah pasar. Ia menaruh hasil fotonya di Instagram dengan keterangan pendek, seperti haiku versi Jawa: “Senja ini disuap pelan oleh kios-kios yang menutup satu-satu.” Orang-orang pelan-pelan datang, mengirim pesan, bertanya apakah boleh memesan sesi foto keluarga. Ia tidak menolak. Ia butuh uang untuk bertahan, tetapi lebih dari itu: ia ingin tinggal lebih lama di kota yang mengajarinya menurunkan bahu.

Di kota inilah ia bertemu tiga kawan yang kelak menjadi saudara: Jaya, Kerta, dan Sekar. Nama-nama yang terasa kuno, seperti keluar dari naskah wayang Menak, tetapi mereka lahir dengan argumen-argumen modern.

Jaya (Jayengrana), lulusan arsitektur yang membuka studio desain interior, cara berjalan cepat seolah mengukur ruang. Kerta (Kertapati), pengusaha rintisan kuliner plant-based di Prawirotaman, yang menganggap dapur adalah ruang meditasi. Sekar (Sekartaji), kurator seni yang mengorganisir pameran kecil di garasi rumahnya, percaya seni bisa jadi lampu jalan bagi orang yang tertinggal.

Mereka bertemu di sebuah diskusi di Nitiprayan, bicara tentang kota dan tubuh. Panjalu duduk di belakang, seperti biasa, mencatat. Seusai acara, Sekar mendekat. “Fotomu menggigit pelan,” katanya. “Tidak menyakiti, tapi meninggalkan bekas. Mau pameran kecil di garasiku?”

Pameran itu sederhana—prints hitam putih yang dipaku pada panel kayu, lampu track seadanya, meja teh dengan kue cucur. Orang-orang datang: mahasiswa, seniman, ibu-ibu yang kebetulan lewat karena suara musik. Di dinding, foto-foto Panjalu berbaris seperti kalimat yang tidak ingin diakhiri titik.

Malam itu, ia melihat seorang lelaki tua berhenti lama di depan sebuah foto: tangan seorang tukang narik becak yang memegang payung bocor. Lelaki itu menatap lama, matanya berair. “Tangan bapak saya,” katanya pelan, tanpa menunjuk. Panjalu tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu, beberapa hal hanya perlu diberi kursi.

Tiga hari kemudian, sebuah komunitas kreatif mengundangnya mengisi sesi berbagi. “Tak perlu teknik,” kata panitia. “Ceritakan saja bagaimana kita bisa menyalakan cahaya dari luka.”

Panjalu menolak sekali. Menolak dua kali. Ia bukan pembicara. Tetapi Sekar menyentuh bahunya, “Kau tidak akan bicara untuk mengajari. Kau akan bicara untuk menemani.”

Di ruang kecil yang dipenuhi 20 orang itu, Panjalu bercerita tentang masa kecil—secukupnya. Tentang Jakarta, tentang Kenanga, tentang kereta yang membelah peta. Ia tidak dramatik; suaranya datar, tetapi kata-katanya memegang tangan. Ruang itu seperti menghela napas bersama. Ada yang menunduk. Ada yang memejam. Ada yang menulis. Ada yang menangis tanpa suara. Ketika sesi selesai, seorang perempuan menghampiri, “Terima kasih. Aku tidak sendirian.”

Ucapan itu, lebih dari honor, mengubah arah hari-hari Panjalu. Ia mulai menulis lebih tekun di blognya: Menyalin Luka, Menyalakan Cahaya. Tulisan-tulisan itu menyebar ke mana-mana. Di timeline, di grup WhatsApp keluarga, di newsletter komunitas. Ia tidak tahu bagaimana algoritma bekerja—ia hanya tahu, ia mulai diperlukan.

.

Di Atas Trotoar, Kota Menawarkan Rasa

Kehidupan Panjalu menjadi ritme yang bisa ia ikuti: pagi memotret, siang mengedit, sore menulis, malam berdiskusi. Kadang ia membantu Jaya memotret proyek, kadang ia menata cahaya untuk pameran Sekar, kadang ia memotret menu baru Kerta—bakwan jagung yang renyah, soto jamur yang hangat, sambal tomat yang memaafkan hari buruk.

Di sela pekerjaan, Panjalu belajar hal-hal kecil: bagaimana menyeduh kopi tanpa tergesa, bagaimana menata kursi supaya orang mau duduk lebih lama, bagaimana musik pelan bisa menjadi selimut. Ia mulai merancang sebuah ruang: tempat orang datang bukan untuk dihakimi, melainkan untuk dibiarkan.

Dari tabungan yang terkumpul pelan, bersama Jaya, Kerta, dan Sekar, lahirlah sebuah warung kopi kecil di pojok Kotagede. Dindingnya bata ekspos, lantainya semen halus, beberapa pigura foto menempel tanpa bingkai berlebihan. Di sudut, ada cermin tinggi dengan tulisan di atasnya, ditulis tangan Panjalu sendiri: “Kalau hidup terasa terlalu berat, mungkin kamu sedang mengangkat standar orang lain, bukan hatimu sendiri.”

Malam pertama pembukaan, gerimis datang. Orang-orang tetap muncul, tertarik oleh lampu kuning yang lembut, oleh aroma kayu manis, oleh kabar bahwa tempat itu tidak menjual sukses, melainkan memberi tempat untuk duduk. Karena tak lagi ingin berada di balik layar sepenuhnya, Panjalu belajar hadir. Mengobrol. Mengingat nama. Menghafal selera. Menjadi barista yang paham bahwa suhu susu bisa memengaruhi cara orang bercerita.

Di dinding paling sunyi, ia memasang foto Sangesti—mata yang selalu seperti menahan sesuatu. Di bawah foto itu ada kursi kayu tua yang tidak ditata rapi. Beberapa malam, Panjalu menaruh secangkir teh di atasnya. Kursi itu ia sebut “Kursi Ibu.” Tidak semua pengunjung paham, tapi yang paham duduk lebih pelan.

.

Jakarta, Kembali sebagai Tamu

Lima tahun setelah ia pergi, sebuah festival literasi di Jakarta mengundang Panjalu. Ia diminta berbicara tentang “menulis dari luka.” Undangan itu ia baca sambil berdiri, seperti dulu ia membaca nilai raport. Ia tersenyum: kota yang dulu menjadi panggung yang menakutkan, kini memanggilnya sebagai tamu.

Ia datang. Jakarta masih serupa: riuh, percaya diri, dan sering lupa mematikan TV. Di ruang festival, ia bertemu banyak orang: penulis, pembaca, para content creator yang memegang gimbal seperti memegang tongkat sihir. Panjalu membuka sesi dengan kalimat sederhana, “Saya menulis untuk tetap bernapas.” Ruangan sunyi, lalu pelan-pelan menjadi hangat.

Usai sesi, seorang panitia menyapa: “Kenanga titip salam.” Nama itu menyentuh Panjalu seperti angin membuka pintu. “Ia datang tadi, duduk di belakang. Ia sudah menikah, punya anak satu.” Panjalu mengangguk. Di dadanya, sesuatu bergeser. Bukan sakit. Lebih mirip kursi yang ditarik supaya ada orang lain bisa duduk.

Malamnya, ia berjalan ke studio lamanya. Nama perusahaan sudah berganti. Logo baru menggantikan nama lama. Ia berdiri di depan pintu kaca, melihat pantulan dirinya. Ia mengetuk kaca—sekali, pelan—seolah menyapa hantu masa lalu. Lalu berbalik, melangkah. Tidak ada yang perlu diambil. Tidak ada yang perlu dikembalikan.

.

Yang Merawat, Bukan Menyelamatkan

Kabar tentang warung kopi di Kotagede menjadi semacam bisik-bisik: ada ruang tempat orang boleh gagal tanpa malu. Pelan-pelan, tempat itu menjadi kelas menulis tanpa papan tulis, kelompok dukungan tanpa daftar hadir. Panjalu menyebutnya “healing-writing”—cara menata kalimat untuk menata napas.

Ia tidak mengajarkan gaya bahasa; ia mengajarkan cara duduk. Cara memegang pena. Cara memulai kalimat dengan jujur. Di mejanya, ada kartu kecil bertuliskan: “Yang kita cari bukan kalimat paling indah, melainkan kalimat paling jujur yang membuat tubuh kita mengangguk.”

Banyak kisah singgah. Seorang perempuan yang kehilangan pekerjaan, seorang lelaki yang ditinggalkan tunangan, seorang ibu yang kelelahan menahan kuat di depan anak. Beberapa datang hanya untuk diam. Panjalu mengerti: diam juga kalimat.

Suatu sore, gerimis turun lagi. Panjalu duduk di beranda, menatap jalan kampung yang tahu kapan harus sepi. Seorang anak muda mendekat, memperkenalkan diri sebagai Jingga—nama yang membuat Panjalu tertawa kecil, mengingat tokoh Menak yang keras kepala. Jingga bercerita tentang ayahnya: sukses, terpandang, tetapi di rumah selalu berdebat dengan bayang-bayangnya sendiri. “Aku capek jadi cermin, Mas,” ujarnya. “Aku ingin jadi jendela.”

Panjalu menatap Jingga seperti menatap cermin yang menatap balik. Ia bicara pelan, tanpa resep, tanpa jaminan. “Jendela tidak selalu menunjukkan pemandangan, kadang hujan deras. Tapi jendela mengizinkan udara masuk.” Mereka tertawa tipis. Di atas meja, dua cangkir kopi mendingin bersama.

.

Surat yang Tak Dikirim

Suatu malam, setelah kelas selesai dan kursi-kursi ditumpuk, Panjalu menemukan selembar kertas di bawah cermin. Surat tanpa nama:

“Aku tidak ingin membenci kota tempat aku dibesarkan, tapi aku juga lelah memaafkan hal-hal yang tidak akan pernah minta maaf. Terima kasih untuk ruang duduk yang tidak menanyakan prestasi. Aku akan pulang, bukan ke alamat lama, melainkan ke diriku yang dulu sempat kutinggalkan.”

Panjalu melipat surat itu, menyimpannya di laci bersama potongan-potongan tiket kereta dan catatan kecil Sangesti. Ada semacam garis yang menghubungkan semua tulisan itu—garis yang tidak lurus, tetapi cukup untuk menuntun manusia pulang.

.

Hujan yang Mengerti Doa

Di Yogyakarta, malam jarang benar-benar gelap. Ada lampu-lampu kecil di teras, ada senter motor yang melintas, ada doa yang bukan suara. Pada suatu malam seperti itu, warung Panjalu penuh. Jaya baru selesai mempresentasikan proyek adaptive reuse rumah tua. Kerta memperkenalkan menu baru: wedang yang menenangkan lambung. Sekar membuka pameran foto polaroid yang diambil pengunjung dengan satu instruksi: “Potret sesuatu yang ingin kau jaga.”

Ruang menjadi museum kecil untuk keinginan-keinginan. Ada foto mata sendiri, foto tangan ibu, foto helm ayah, foto pintu kamar, foto langit-langit yang retak, foto SMS yang screenshot-nya dicetak, foto sepatu yang mulai miring. Orang-orang memandangi foto-foto itu pelan, seperti membaca buku harian orang lain—dengan hormat.

Dalam gerimis, seseorang mengetuk bahu Panjalu. Ketika ia menoleh, Kenanga berdiri di sana. Waktu telah menambahkan ketenangan pada wajahnya. “Aku di Jakarta dengar kabar tempat ini,” katanya pelan. “Kau tampak… utuh.” Kata terakhir meluncur seperti doa. Mereka duduk di kursi pojok, memesan minuman, menyusun kalimat rindu yang matang, bukan rindu yang minta kembali.

“Maaf,” kata Kenanga, bukan untuk masa lalu, melainkan untuk banyak hal yang dulu tidak punya nama. “Terima kasih,” jawab Panjalu, bukan untuk perpisahan, melainkan untuk keberanian yang lahir dari perpisahan. Mereka tertawa kecil ketika menyadari, banyak yang ingin dikatakan, tetapi malam memiliki kesabaran sendiri. Sebelum pamit, Kenanga menatap dinding yang memajang foto Sangesti. “Ibuku juga suka berdiri diam di sore hari,” katanya. Kalimat itu cukup. Mereka berpelukan seperti saudara yang lama tak bertemu, bukan seperti kekasih yang ingin kembali.

Kenanga pulang. Panjalu memandangi hujan. Di dada, ada ruang lapang yang dulu tidak ada. Ia berterima kasih, bukan kepada takdir atau waktu, melainkan kepada dirinya yang dulu berani naik kereta.

.

Lentera Kecil di Ujung Gang

Warung itu tumbuh. Bukan menjadi lebih besar, melainkan lebih akrab. Orang datang bukan karena review, melainkan karena cerita. Di sudut paling sunyi, Panjalu menaruh frame kecil berisi tiga baris tulisan:

“Jika hari ini terlalu bising, duduklah di sini.
Jika dadamu terlalu sempit, titipkan sebentar.
Jika kau ingin pulang, kami punya peta.”

Peta itu tidak memuat nama jalan. Peta itu hanya berisi titik-titik napas: tarik, tahan, lepas. Orang-orang menirunya, dan menyadari bahwa napas bisa menjadi jembatan yang melampaui kata.

Suatu pagi, Panjalu menerima kabar: Wandira sakit. Ia pulang ke Serayu, menempuh jalan yang dulu mengantar masa kecilnya. Rumah jati masih berdiri, lebih tua, lebih jujur. Di ranjang, Wandira tampak lebih kecil dari suaranya dulu. Mata mereka beradu, mencari kalimat yang bisa menjembatani bertahun-tahun yang kebanyakan diisi hening.

“Bagaimana Jakartamu?” tanya Wandira, suara pelan, seperti meminta izin. “Yogya,” jawab Panjalu, tersenyum. “Aku menemukan caraku di sana.” Wandira mengangguk. Ada sesuatu runtuh di matanya—bukan bangunan, melainkan pagar. Di malam kedua, mereka duduk di beranda. Lonceng bambu berbunyi. Wandira meremas remang-remang.

“Aku tidak pandai menjadi ayah,” ucapnya. “Aku kira kuat itu harus keras.” Panjalu menatap jalan tanah. “Aku juga tidak pandai menjadi anak,” katanya. “Aku kira diam itu menghormati.” Keduanya tertawa—pelan, lega, serupa orang-orang yang baru saja menyelesaikan pekerjaan berat.

Sangesti, yang sedari tadi membuat teh, duduk di kursi kecil. “Kalau besok hujan, kita rebus singkong,” katanya normal sekali, seolah kalimat itulah yang mereka butuhkan untuk membuktikan: rumah bisa lahir lagi dari hal-hal sederhana.

.

Pada Jam Ketika Kota Mengantuk

Kembali ke Yogyakarta, Panjalu menulis. Bukan lagi karena ingin didengar, melainkan karena ingin memahami. Ia merancang kelas baru: Menyalin Luka, Menyalakan Cahaya—Edisi Pulang. Modulnya sederhana: mengingat sebuah pagi, menulis surat untuk kursi kosong, menghadiahi diri sendiri sebutir telur rebus yang dimakan pelan. Ya, sesederhana itu.

Suatu sesi, seorang peserta bertanya, “Mas, kalau luka kita berasal dari orang yang kita cintai, apa kita harus memaafkan?” Panjalu menghembuskan napas. “Tidak semua yang kita maafkan harus kembali kita peluk,” jawabnya. “Kadang maaf adalah cara kita melepaskan tangan kita sendiri dari jeruji.”

Di jam-jam ketika kota mengantuk, ketika cafeteria menutup kasir, ketika mesin cuci di rumah tetangga berhenti, Panjalu suka berjalan menyusuri gang. Lampu-lampu teras memantulkan cerita: baju sekolah yang dijemur telat, sepeda tanpa rantai, pot bunga yang dipindah-pindah. Ia mengingat semua, seperti juru arsip yang menyimpan potongan hidup.

Di depan cermin warung, ia menulis ulang kalimat yang menjadi jantung tempat itu:

“Tak semua yang pergi itu kalah. Kadang, yang memilih pergi adalah yang paling tahu caranya bertahan—tanpa menghancurkan dirinya sendiri.”

Kalimat itu tidak lagi terasa getir. Ia menjadi dingin, lalu hangat, seperti teh yang menenangkan lambung. Dan malam pun melanjutkan detiknya—tanpa gegap gempita. Di ujung gang, sebuah lentera kecil tetap menyala: tempat di mana seseorang pernah memilih selesai, agar bisa benar-benar mulai hidup.

.

Jejak yang Belajar Tertawa

Tahun berganti. Warung itu bertahan melewati musim yang menumpuk. Jaya menikah, menggabungkan studio dan perpustakaan kecil. Kerta membuka dapur komunitas—mengajari memasak untuk yang percaya dapur bisa menyembuhkan. Sekar menerbitkan buku foto dari polaroid para pengunjung, judulnya: Yang Ingin Kujaga. Mereka bertiga tetap menjadi tulang dan lampu bagi ruang yang sejak awal tidak ingin menjadi toko: ia ingin menjadi rumah.

Panjalu? Ia tidak lagi merasa perlu mendefinisikan dirinya di kartu nama. Ia menulis, memotret, menyeduh, mendengarkan. Sesekali ia pergi mengisi kelas di luar kota, lalu kembali ke Kotagede—karena di situlah ia belajar bahwa pulang adalah kerja harian, bukan acara tahunan.

Di suatu senja, ketika gerimis cuma seperti desas-desus, sebuah pesan masuk ke ponselnya: foto selembar kertas bekas struk, ditulisi spidol: “Terima kasih. Di warungmu, aku belajar tertawa lagi.” Pengirimnya: nomor asing. Panjalu menatap pesan itu lama. Ia tersenyum, menyalakan lampu beranda.

“Baik,” gumamnya. “Kita jaga agar lampu ini tetap menyala.”

Dan lampu itu, meski kecil, tak pernah padam.

.

.

.

Jember, 25 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#JejakLangkah #CerpenUrban #HealingWriting #KelasMenengahKeAtas #Yogyakarta #Jakarta #Kotagede #Fotografi #WarungKopi #SelfHealing #MenakMadura #LiterasiEmosional

Leave a Reply