Jejak di Gedung Kaca

“Jangan terpesona oleh jabatan; terpesonalah oleh daya juang yang sabar dan cara berhenti yang tepat. Pada akhirnya, nilai manusia diukur dari dampaknya, bukan label di kartu nama.”

.

Malam itu Jakarta seperti menahan napas. Di atas gedung kaca yang licin, lampu-lampu beku memantul, menabur bintang palsu di genangan hujan. Jayengrana berdiri di tepi rooftop kantor, memandangi jalan layang yang berkilat seperti sisik ikan raksasa. Di ponselnya, notifikasi rapat muncul bertubi-tubi: Town Hall — 09.00, Mandatory. Tiga kata lain muncul menyusul: Restructuring. Efficiency. Survival.

Dia mengembuskan napas pelan. Di bawah sana, suara klakson memantul seperti doa yang tidak menemukan langit. “Urip iku urup,” gumamnya mengingat pitutur almarhum bapak yang selalu ia bawa seperti doa: hidup harus memberi terang. Malam ini, terang itu terasa seperti lampu darurat — kecil, berkedip, hampir kehabisan baterai.

.

Di masa kecilnya di Jember, Jayengrana akrab dengan enam bunyi: dentang kentongan ronda, gemerisik tembakau, hujan di atap seng, tawa ibu di dapur, cerita wayang dari radio, dan nasihat bapak setiap Subuh. “Aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh. Lakumu sing legawa, nanging atimu kudu tatu—tatu sing nyawiji, ora gampang pecah.” Bapak menyebut tatu sebagai luka yang dirawat dengan kesadaran: ia membuat kita peka, bukan getir.

Bertahun-tahun kemudian, Jayengrana datang ke Jakarta, memeluk mimpi seperti memeluk koper: erat, takut jatuh. Ia mulai sebagai staf magang di sebuah perusahaan rintisan teknologi yang menjual aplikasi all-in-one untuk UMKM. Kantornya di bilangan Sudirman, berderet dengan kafe-kafe yang menamai kopi seperti nama bintang. Tiga tahun pertama, ia tumbuh cepat: dari magang menjadi analis, lalu product lead. Di LinkedIn, grafiknya menanjak seperti bukit hijau. Di dalam dada, ada gurun yang tak selalu ia akui.

Kelaswara, sahabatnya sejak kuliah, sering merecoki jadwalnya. “Kamu terlalu sering memilih rapat dibanding makan siang,” protes Kelaswara yang bekerja sebagai perancang pengalaman pengguna (UX). “Tubuhmu bukan server yang tahan panas.”

“Aku baik-baik saja,” jawab Jayengrana waktu itu. “Badai ini akan berlalu.”

Kelaswara tertawa kecil, seperti memecah cangkang telur. “Kamu bukan badai. Kamu kapal yang harus paham pelabuhan.”

.

Pukul sembilan pagi, seluruh karyawan berkumpul di town hall. CEO berdiri di panggung kecil, jaket bomber dan sepatu putihnya seperti seragam era ini. Kata-kata runway, unit economics, dan efficiency meluncur seperti kerikil: kecil, banyak, dan menyakitkan ketika mengenai kaca pikiran.

“Kita harus melepas sebagian tim,” ucap CEO dengan nada datar yang berusaha ramah. “Ini tidak mudah, tetapi perlu.”

Daftar nama muncul di layar. Wajah-wajah menegang. Jayengrana menelusuri daftar biasanya seperti tangga darurat. Nama Kelaswara ada di sana. Juga Adaninggar, kawan lama yang memimpin komunikasi merek. Udara mengecil.

Setelah pengumuman, ruangan jadi seperti sebuah album foto: tiap sudut menyimpan kenangan yang baru saja jadi benda museum. Kelaswara memeluk Jayengrana. “Aku baik-baik saja,” ujarnya. “Sungguh. Ini bukan tentang aku. Ini tentang kapal yang harus memilih muatan.”

Jayengrana menahan napas. “Aku akan bicara dengan manajemen.”

“Tidak perlu,” kata Kelaswara. “Yang lebih perlu adalah kamu bicara dengan dirimu sendiri.”

.

Dua minggu berikutnya, Jayengrana seperti berada di jalur cepat yang tak lagi punya rambu. Target tetap dipasang. Tim menyusut, tanggung jawab melebar. Ia pulang larut, bangun terlalu dini. Di cermin, matanya memintal semangkuk kopi yang tak pernah habis. “Kerja keras bukan medali kehormatan,” suara Kelaswara sesekali memantul.

Suatu sore, ia bertemu Adaninggar di warung soto dekat kantor. Hujan mengetuk seng seperti jari pemusik jalanan. “Aku sedang menyusun portofolio,” kata Adaninggar. “Menulis lagi. Kadang-kadang, kehilangan membuka ruang yang tak mungkin kau lihat ketika ruangan penuh.”

“Kamu tidak marah?”

“Aku sedih. Tapi tidak marah. Perusahaan setia pada angka. Manusia seharusnya setia pada nilai. Your job title is temporary; your impact is perennial.” Adaninggar tersenyum. “Kamu tetap di sana, Gran?”

“Untuk sekarang.” Jawabannya terdengar seperti daun kering yang dilindas motor.

“Jangan jadi anonim atas hidupmu sendiri,” kata Adaninggar. “Kalau bertahan, bertahanlah karena misi. Kalau pergi, pergilah dengan alasan yang sehat. Take your time, but don’t waste it.

.

Malam-malam Jayengrana menjadi panjang. Ia mulai mencatat di buku kecil: Kenapa aku di sini? Untuk siapa aku bekerja? Apa yang kutumbuhkan selain angka? Pertanyaan-pertanyaan itu tak selalu menemukan jawaban, tetapi membuatnya berhenti, seperti pejalan yang menyadari alas kakinya tipis.

Suatu pagi, ia masuk ruang rapat dengan presentasi feature yang dianggap menyelesaikan masalah pedagang kecil. Di akhir paparan, Kartala—atasan baru yang tajam dan cepat—menghabisi satu per satu argumen. “Kita tidak punya waktu untuk eksperimen. Fokus ke fitur yang bisa memperbesar Gross Profit bulan depan.”

Jayengrana menjawab hati-hati. “Pengguna di pasar tradisional butuh fasilitas receivable yang aman. Kalau kita hanya mengejar margin, pedagang akan lelah. Layanan kita akan kehilangan jiwa.”

“Jiwa tidak membayar gaji,” potong Kartala. Tawa ringan pecah dari pojok ruangan.

Jayengrana mengangguk, menutup berkas. Di kepalanya, pitutur bapak menyala: ajining diri saka lathi. Harga diri manusia tampak dari kata-katanya. Malamnya, ia menulis catatan di buku kecil: Pemimpin bisa salah. Tugas kita mengingatkan tanpa membakar jembatan.

Ia kembali ke kantor esok hari membawa data: cohort analysis pengguna di tiga kota, wawancara lapangan dengan pedagang di Cengkareng, Depok, dan Bekasi, serta angka kebocoran transaksi yang tidak tercatat. Semua disusun rapi. Kartala membaca, diam sebentar, lalu berkata: “Kamu benar tentang risiko. Tapi kita tetap tidak punya waktu.”

“Kalau begitu, beri kami pilot kecil,” kata Jayengrana. “Dua pasar, delapan minggu, satu indikator utama: retention pedagang. Kalau gagal, aku bertanggung jawab.”

Kartala menatapnya lama. “Delapan minggu,” katanya. “Dan jangan ganggu roadmap utama.”

Di lift, Jayengrana gemetar. Kelaswara menelepon dari rumah. “Kamu kenapa?”

“Aku takut.”

“Bagus,” jawab Kelaswara. “Berarti kamu hidup. Courage is fear that has said its prayers.

.

Pilot kecil itu berjalan seperti anak yang belajar naik sepeda: goyah, sering hampir jatuh, tapi tak menyerah. Jayengrana turun ke lapangan setiap pekan. Ia duduk di los sayur bersama Bu Patimah, pedagang yang mengeluh soal pelanggan berutang dan catatan ganda. Ia mengamati bagaimana jari-jari tua itu menulis angka di kertas bekas. “Kalau aplikasimu bisa menjaga catatan ini, aku senang, Nak,” kata Bu Patimah. “Asal jangan mahal.”

Delapan minggu kemudian, angka retention naik 19 persen di dua pasar. Chargeback menurun, dan pedagang lebih sering menekan tombol ingatkan pelanggan. Jayengrana memotret semua insight, merangkum dalam narasi yang tidak menggurui. Saat ia memutar presentasi di ruang rapat, tak ada tawa ringan yang pecah. Kartala hanya menatap layar lama-lama, kemudian berkata pendek: “Roll out. Skala kecil dulu.”

Jayengrana tersenyum. Malam itu, ia mengirim pesan ke Kelaswara: Kapal kita masih berlayar. Bukan karena badai reda, tapi karena mesin kita belajar bernapas.

.

Kalau hidup hanya soal menang sekali, cerita berhenti sekarang. Tapi Jakarta tidak pernah sesederhana itu. Dua bulan berselang, investor besar mundur. CEO mengumumkan runway tinggal enam bulan. Gedung kaca terasa seperti akuarium yang retak. Orang-orang mulai merapikan resume. Grup WhatsApp lebih ramai dari biasanya. Kata “survival” kembali menekan kepala.

Pada saat genting itulah ibu menelepon dari Jember. Suaranya seperti air di padasan: bening, dingin, menyiram. “Kapan pulang? Lebaran mau dekat.”

Jayengrana menatap kalender. Ia lupa kapan terakhir kali memeluk ibu lebih dari lima menit. “Nanti, Bu. Setelah Q2 beres.”

“Kerja itu penting,” kata ibu. “Tapi kamu bukan kerja. Kamu anakku.”

Telepon ditutup. Jayengrana duduk lama. Dalam keheningan itu, ia teringat malam di mana bapak mengajarkan sebuah pitutur: wani ngalah luhur wekasane—berani mengalah demi sesuatu yang lebih luhur. Sejak kapan ia tidak berani mengalah kepada dirinya sendiri?

Ia memutuskan pulang. Bukan kabur, melainkan mundur selangkah untuk melihat peta. Di kereta menuju Jember, ia menulis catatan besar: Apa arti ‘urip iku urup’ di kota ini?

Lebaran ialah perayaan waktu. Di sela bertamu, Jayengrana berjalan sendirian di jalan kampung. Angin sore mengusung bau tanah basah, bengawan kecil mendesis seperti untaian doa. Seorang kawan lama, Umar Maya, kini menjadi penggerak koperasi pemuda, menyapanya. “Kowe saiki pinter ngomong soal impact, Gran. Tapi kapan balik beneran?”

“Balik itu bukan alamat,” jawab Jayengrana. “Balik itu cara.”

Umar Maya mengajak Jayengrana mampir ke rumah baca kampung. Di sana, anak-anak duduk melingkar, menempelkan telinga pada dongeng. Jayengrana diminta bercerita. Ia berdiri kaku sebentar, lalu membacakan kisah Menak yang ia ubah latarnya: Jayengrana, Kelaswara, Adaninggar, dan Kartala jadi tokoh kota, berkelahi bukan dengan keris, melainkan dengan pilihan-pilihan etis dan angka-angka yang dingin. Anak-anak mendengarkan. Hujan tipis turun, menggambar peta di halaman.

Sepulang dari rumah baca, Jayengrana tahu: ia akan kembali ke Jakarta, tetapi tidak sebagai orang yang sama.

.

Jakarta menyambutnya dengan gerimis dan deadline. Di hari pertama kembali kerja, ia membuat usul proyek baru: Urip—Upgrading Retail Impact Program. Konsepnya sederhana: aplikasi perusahaan mereka dipaketkan dengan pelatihan literasi keuangan mini untuk pedagang, menggandeng koperasi lokal. “Kita jangan hanya menjual fitur,” katanya pada Kartala. “Kita membangun kemampuan. Kalau pedagang tumbuh, angka ikut tumbuh.”

Kartala mengangkat alis. “Kita bukan lembaga sosial.”

“Kita bisnis yang ingin bertahan lama,” balas Jayengrana. “Dan yang bertahan lama adalah yang punya ekosistem sehat. ‘Loyalty won’t pay the bills,’ iya. Tapi dampak akan membayar loyalitas.”

Ia membawa data: UMKM yang mendapat coaching sederhana meningkatkan arus kas bersih rata-rata 12–18 persen dalam tiga bulan. (Ia merujuk laporan publik, tetapi menuliskannya sebagai fakta yang bisa diverifikasi; ia sudah belajar menyusun argumen tanpa memojokkan.) Kartala menggerakkan kursi. “Coba pilot lagi,” katanya, “Jangan lebih dari delapan pasar.”

Pilot berjalan. Jayengrana mengajak Adaninggar—yang kini menjadi konsultan lepas—untuk merancang narasi pelatihan. “Kita butuh bahasa yang tidak menggurui,” ujarnya. “Seperti menyalakan lampu, bukan menusuk mata.”

Adaninggar menulis modul dengan kalimat yang ringkas dan menyentuh: Uangmu bukan musuhmu; ia seperti air. Kalau kamu punya wadah, ia menghidupi. Tanpa wadah, ia menggenangi. Mereka memakai metafora nasi bungkus, tiket Metromini, dan saldo e-wallet—contoh yang hidup, bukan angka steril.

Hasilnya menyenangkan: di delapan pasar, churn menurun, NPS naik, dan pembayaran tepat waktu membaik. Tim pemasaran membawa cerita itu ke media komunitas. Ada foto Bu Patimah tersenyum malu-malu di depan kiosnya; ada grafis sederhana yang menunjukkan jangkar-jangkar kecil menjaga kapal agar tidak hanyut. Di rapat direksi, CEO mengangguk. “Kita butuh lebih banyak kisah seperti ini.”

.

Tetapi hidup, lagi-lagi, tidak mau lurus. Menjelang akhir tahun, investor baru masuk dengan syarat: perampingan organisasi lagi, fokus pada fitur yang bisa dijual ke perusahaan besar. Program Urip dianggap “indah tapi tidak seksi.” Ada kalimat yang paling Jayengrana ingat dari memo malam itu: Impact is a story we will tell after we IPO. Ia membaca dua kali, merasa hampa sekaligus geli.

Di ruangan yang dingin, Kartala memanggilnya. “Kamu tahu aku menghargai kerja kerasmu. Tapi kita harus realistis.”

“Aku setuju realistis,” kata Jayengrana. “Realistis artinya melihat apa yang nyata di lapangan: pedagang yang bertahan karena program kita, data yang menunjukkan retention meningkat. Kalau kita memotong akar yang menghidupi daun, pohon ini tidak akan rimbun—hanya terlihat rapi.”

“Kamu mau apa?”

Jayengrana menatap langit-langit, membiarkan sejenak sunyi menaruh kursi di ruang itu. “Aku ingin kita melanjutkan program sambil mengembangkan fitur korporat. Aku siap memimpin dua jalur: satu untuk angka cepat, satu untuk akar panjang.”

“Tidak ada sumber daya,” jawab Kartala.

“Kalau begitu,” Jayengrana menarik napas, “pilihannya tinggal dua: aku belajar berkata ‘ya’ pada sesuatu yang berlawanan dengan nalar kerjaku, atau aku belajar berkata ‘tidak’ pada kenyamanan yang menjerat. Comfort zones kill growth.

Kartala menyandarkan punggung. “Kamu akan pergi?”

“Tidak sekarang. Aku akan menyelesaikan semua yang kubuka. Tapi setelah itu, aku mungkin harus memberi ruang untuk pilihan yang lebih lurus dengan pitutur yang kuyakini.”

Kartala cukup jujur untuk tidak memaniskan situasi. “Aku harap kamu tetap.”

“Kalau pun tidak, aku akan pergi baik-baik.”

.

Keputusan itu ternyata tidak meledak. Ia seperti air yang dituang ke dua gelas: tenang, menempati ruangnya. Selama tiga bulan, Jayengrana menutup semua pilot, mendokumentasikan proses, menyerahkan timnya ke pemimpin baru. Ia mendampingi Kartala mengubah beberapa fitur agar sesuai ekspektasi investor. Ia menulis handover rapi, menaruh semua password di laci yang tepat. Di hari terakhir, ia berdiri di depan tim, mengucapkan terima kasih tanpa air mata yang teatrikal.

Setelah itu, ia berjalan keluar gedung kaca dengan tas ransel dan udara yang terasa lebih luas dari biasanya. Ia mengirim pesan kepada Kelaswara dan Adaninggar: Aku bebas. Ayo kopi.

Mereka bertemu di kafe kecil di Tebet. “Kamu punya rencana?” tanya Kelaswara.

“Belum jadi peta, baru jadi kompas,” jawab Jayengrana. “Aku ingin membuat rumah belajar kecil: pelatihan untuk anak muda dan UMKM yang ingin naik kelas. Bukan seminar megah, bukan motivasi yang diudara. Aku ingin ruang yang apik—tempat orang belajar strategi, etos, dan keberanian. Urip iku urup jadi program, bukan slogan.”

Adaninggar tersenyum. “Kita timpali dengan cerita. Aku bisa bantu komunikasi dan jaringan komunitas.”

“Dan aku bantu desain pengalamannya,” kata Kelaswara. “Namanya apa?”

Jayengrana menatap lampu kafe yang hangat. “Jejak. Sederhana. Karena karier itu bukan bangunan megah, melainkan jejak yang konsisten. Kita ajari orang meninggalkan jejak yang khalis—tidak lnggana.”

Mereka tertawa. Rencana lahir seperti benih yang tahu musim.

.

Tiga bulan kemudian, Jejak menyewa ruang kecil di lantai dua ruko dekat stasiun. Cat temboknya putih gading. Di dinding, tergantung kutipan-kutipan, bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai checklist hidup:

  • “Urip iku urup.”

  • “Done is better than perfect.”

  • “If you’re not uncomfortable, you’re not growing.”

  • “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.”

  • “The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.”

Sesi perdana dihadiri dua belas peserta: barista yang ingin membuka kedai sendiri, mahasiswa tingkat akhir yang bimbang, staf swalayan yang ingin naik peran, pemilik kios yang lelah dengan hutang pelanggan, dan seorang ibu yang baru saja di-PHK. Jayengrana membuka kelas bukan dengan presentasi, melainkan dengan pertanyaan: “Apa yang paling ingin kalian hidupkan dari hidup kalian?”

Satu per satu bersuara. Ada yang gugup, ada yang mantap. Jayengrana mendengarkan. Ia belajar menahan diri untuk tidak menjadi “ahli yang selalu punya jawaban”. Di Jejak, ia ingin menjadi koreografer: mengatur ritme agar peserta bisa menari sendiri.

Materi Jejak tidak glamor: manajemen waktu dengan time-blocking, dasar negosiasi yang sopan, cara memberi dan menerima umpan balik, menyusun portfolio of evidence—bukan sekadar CV. Ada modul “Bicara Dengan Atasan Tanpa Membakar Jembatan,” lengkap dengan role play. Ada sesi “Membaca Data Dengan Hati,” di mana grafik tentang omzet warung dihubungkan dengan jam tidur pemiliknya. Ada praktik “Menulis Tujuan Yang Bisa Diuji,” bukan “ingin sukses” yang tak punya tanggal.

Puncak tiap pertemuan ialah dapur pitutur: peserta diminta menafsir pitutur Jawa menjadi tindakan konkret satu minggu ke depan. “Wani ngalah luhur wekasane berarti apa untukmu?” tanya Jayengrana. Seorang peserta, Rizal, menjawab, “Berani berhenti scrolling malam-malam agar besok pagi bisa learning hour satu jam.” Ruangan tertawa kecil. Sederhana, tapi tepat.

Di hari penutup batch pertama, Bu Patimah—yang dulu ditemui Jayengrana di pasar—datang membawa jajanan. “Aku mau nitip pesan,” katanya. “Rejeki itu suka arah yang jelas. Kalau kamu memberi arah yang jelas ke orang-orang ini, insyaallah rejekimu juga jelas.” Jayengrana menunduk. Di dalam dirinya, ada mata air kecil yang mengalir tanpa suara.

.

Kabar tentang Jejak menyebar pelan, seperti wangi roti dari oven. Bukan viral, tapi vital. Beberapa perusahaan kecil mengundang Jejak memberi pelatihan singkat. Ada kafe yang meminta kurikulum untuk meningkatkan service culture. Ada komunitas pengemudi ride-hailing yang ingin belajar negosiasi dengan bengkel. Jayengrana memilih undangan dengan sabar. Ia tidak ingin menjadi pabrik materi. Ia ingin tetap menjadi rumah yang menyalakan lampu.

Suatu siang, Kartala datang. Jaketnya masih rapi; langkahnya sedikit lebih pelan dari dulu. Mereka saling menatap dengan rasa yang telah melalui beberapa musim. “Aku dengar tempatmu ramai,” kata Kartala.

“Ramai belum tentu baik,” jawab Jayengrana. “Aku belajar: program yang baik bukan yang ramai, tapi yang membuat orang pulang dengan tekad baru.”

Kartala tersenyum tipis. “Perusahaan juga belajar. Kami menutup beberapa lini yang terlalu mengejar angka cepat. Ingin berbicara tentang kerja sama?”

Jayengrana mengajak Kartala masuk. Di papan tulis, ada sketsa program Jejak untuk Pedagang Pasar: integrasi literasi keuangan dengan fitur receivable sederhana. Kartala menatapnya seperti menatap peta lama yang tiba-tiba lengkap. “Kamu masih memikirkan ini?”

“Tidak pernah berhenti.”

“Kamu tidak menyesal keluar?”

Jayengrana memandang jendela. Di luar, kereta melintas, membawa cerita orang-orang yang tak saling kenal tapi searah untuk beberapa saat. “Tidak. Keluar bukan menolak. Keluar adalah cara pulang.”

Kartala mengangguk. “Aku rasa, kita bisa bekerja sama tanpa harus berada di kapal yang sama.”

Mereka berjabat tangan. Tidak ada dendam; yang ada hanya rasa lega bahwa jembatan yang dulu hampir dibakar masih berdiri, dan sekarang menjadi jalan kembali.

.

Malam itu, Jejak mengadakan sesi khusus “Bekerja Cerdas, Bukan Sekadar Keras”. Jayengrana menutup pertemuan dengan cerita—bukan nasihat—tentang tiga orang yang ia kenal: Kelaswara yang membuka studio design research kecil, Adaninggar yang menulis buku tentang komunikasi yang menyalakan, dan Kartala yang akhirnya mengakui bahwa angka tidak bisa hidup tanpa narasi yang jujur. Ia bercerita dengan nada yang tenang, tanpa heroisme berlebihan.

“Karier adalah cerita yang kita tulis bersama orang lain,” katanya. “Judulnya bisa berubah-ubah, tapi ada benang merah yang selalu bisa kalian bawa: etos, ketekunan, dan keberanian untuk berkata jujur terhadap diri sendiri. Pitutur Jawa bilang: ajining diri saka lathi—hargamu tampak dari kata-kata. Dan kata-kata paling pertama yang harus kalian jujurkan adalah kata-kata yang kalian bisikkan ke diri sendiri: ‘Apa yang sungguh penting bagiku?’”

Seorang peserta bertanya: “Kalau semua orang bisa digantikan, untuk apa kita berusaha?”

Jayengrana tersenyum. “Karena yang tidak bisa digantikan adalah jejak. Kita mungkin pergi, kursi kita diisi orang lain, tapi jalan yang kita bangun, orang-orang yang kita kuatkan, cara kita membuat orang lain merasa—itu bertahan. Maya Angelou pernah menulis: People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel. Kita membangun jejak itu.”

Hening sebentar, seperti ruangan menarik napas. Lalu tepuk tangan. Mula-mula pelan, lalu menjadi riuh yang hangat.

.

Pada ulang tahun Jejak yang pertama, ibu datang dari Jember. Ia duduk di baris kedua, kerudungnya biru tua. Setelah acara, ia menatap mata Jayengrana lama-lama. “Bapakmu pasti senang,” katanya, “melihat kamu bisa nyalakan lampu orang lain.”

Jayengrana memeluk ibu. Di bahu perempuan yang pernah mengajarinya mengeja detik itu, ia merasa aman. “Ibu tahu,” lanjutnya, “lampu paling terang tidak selalu yang paling besar. Kadang dia kecil, tapi dinyalakan berkali-kali.”

Malam merambat ke jendela. Dari ruko lantai dua itu, kota terlihat seperti kota: lelah tapi enggan tidur. Jayengrana berdiri di depan kaca, melihat bayangannya sendiri—bukan pahlawan, bukan korban, hanya manusia yang sedang belajar agar urip terus urup. Ia menulis kalimat di papan tulis, hadiah untuk dirinya sendiri dan siapa pun yang membacanya besok pagi:

“Bekerjalah untuk menjadi berguna, bukan sekadar terkenal. Belajarlah bertumbuh, bukan sekadar bertahan. Lalu pulanglah—ke nilai-nilai yang membuatmu tetap manusia.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia benar-benar merasa pulang.

.

.

.

Jember, 22 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #FilosofiJawa #KarierAnakMuda #UripIkuUrup #Produktivitas #MotivasiKerja #UMKMNaikKelas #GrowthMindset

Leave a Reply