Jam Tanpa Jarum
“Ada jam yang berdetak tanpa jarum, seperti hati yang tetap berjaga meski waktu tak lagi dihitung.”
.
Hujan Jakarta turun seperti kalimat yang tak selesai-selesai, berderai di kaca bus TransJakarta yang dinaiki Amir. Di pangkuannya, ada map bening berisi rencana pelatihan tiga bulan ke depan: Frontliner as Healers, Kitchen as Storytellers, dan Security as Gentle Guardians. Nama-nama itu sengaja ia pilih, karena ia percaya hotel bukan sekadar bangunan, melainkan biografi tak terlihat dari manusia yang bekerja di dalamnya.
Tujuannya pagi itu: Hotel Arjuna—hotel kota yang memosisikan diri sebagai urban sanctuary. Amir diminta pemilik baru, Umarmadi, mengubah budaya kerja yang sudah bertahun-tahun berdebu. “Bikinkan orang-orang ini punya sayap,” kata Umarmadi pada pertemuan pertama mereka, “tapi jangan sampai tempat ini kehilangan langitnya.”
Di lobi hotel, lampu-lampu kuning memantul di lantai marmer. Pagi masih basah. Di belakang meja resepsionis, Retna menegakkan punggung dan menyapa: “Selamat pagi, Kak.” Ada jeda tipis di antara giginya yang bergetar oleh grogi. Amir menangkap sesuatu yang jarang—ketulusan yang belum berpengalaman—dan itu selalu menjadi bahan bakar pelatihan yang baik.
“Namamu?” tanya Amir.
“Retna,” jawabnya, “shift pagi.”
Amir mengangguk. “Nanti siang ikut kelas, ya. Kita akan belajar cara menyambut tamu seperti menyambut diri sendiri yang pulang larut malam.”
Retna tersenyum kecil, belum paham, tetapi mau mencoba.
.
Di ruang serbaguna lantai dua, kursi-kursi disusun melingkar. Di tengah, Amir meletakkan jam dinding tanpa jarum. “Biar kalian ingat,” ucapnya saat semua staf duduk, “keramahan adalah hal yang tidak pakai jam. Ia terjadi saat dibutuhkan.”
Di kelas itu hadir juga kepala dapur Umarmaya, lelaki dengan bekas luka panjang di lengan—oleh minyak panas bertahun lalu—yang kini terkenal diam tapi cermat. Ada Muninggar dari housekeeping, Anomsari dari sales, Maktal dari keamanan yang tubuhnya sebesar lemari, tetapi matanya sungguh lembut.
Amir memulai dengan permainan sederhana. Ia meminta mereka menuliskan momen paling tidak terlihat yang pernah mereka lakukan untuk tamu. Muninggar bercerita pernah memunguti serpihan kaca di kamar 808 sendirian, agar tamu tidak terluka. Umarmaya menulis tentang mengganti garam dengan kaldu jamur untuk pelanggan hipertensi yang tak pernah tahu menu itu disesuaikan. Retna mengeja dengan hati-hati: “Saya menyembunyikan air mata saat seorang ibu komplain soal handuk, lalu saya minta maaf… dan saya benar-benar minta maaf, seperti minta maaf ke ibu saya sendiri.”
Kelas hening. Amir menunjuk tulisan Retna. “Di sini kita belajar,” katanya, “bahwa standar bukan angka, melainkan perasaan yang pulang dengan selamat.”
Mereka tertawa kecil, lalu berlatih. Cara memanggil nama. Cara mencondongkan badan. Cara berhenti sejenak setelah ucapan “terima kasih” agar kata itu sempat mendarat. Kelas berakhir dengan tepuk tangan yang tidak diarahkan—melainkan lahir dari sesuatu yang bergerak pelan di dada: harga diri.
.
Tiga minggu setelah pelatihan dimulai, hotel mendadak penuh. Sebuah konferensi teknologi mendatangkan ratusan peserta. Retna—yang dulu suka gugup—kini memimpin front desk seperti konduktor orkestra. Telepon berdering, kartu kunci cetak ulang, tamu marah-marah soal early check-in. Retna berdiri tegak. “Saya mengerti Anda lelah, Pak,” ucapnya pada seorang tamu. “Izinkan saya carikan ruang untuk Anda rehat sementara. Kopi atau teh?” Suaranya tidak memaksa, tidak pula meminta maaf berlebihan. Di situ, Amir mengamati, keramahan berubah menjadi keputusan.
Di dapur, Umarmaya mengubah menu prasmanan menjadi jalur satu arah agar antrian bergerak cepat. Ia melatih dua anak magang baru, Jaka dan Sulastri—keduanya pengagum Chef YouTube—cara menanamkan “kenapa”. Kenapa bawang harus masuk terakhir. Kenapa sayur harus tetap mendesis saat dipindah. “Masaklah,” katanya, “dengan imajinasi bahwa piring terakhir ini akan dimakan oleh orang yang paling kamu cintai.” Jaka mengangguk-angguk; Sulastri menundukkan kepala—menyembunyikan matanya yang basah.
Hotel Arjuna seolah berubah menjadi organisme yang bernapas serempak.
.
Suatu malam setelah konferensi usai, Amir memanggil semua kepala departemen untuk evaluasi. Di ruang rapat, selain laporan angka, ada hal lain yang harus dibicarakan: surat pengunduran diri.
Retna mengetukkan jari pada map. “Saya diterima di hotel bintang lima, Kak,” ucapnya pelan. “Di kawasan SCBD. Gaji dua kali lipat. Saya… minta izin.”
Ruang rapat menjadi sunyi seperti halaman perpustakaan. Muninggar menutup mulutnya. Umarmaya menatap meja, sementara Anomsari menggigit bibir.
Amir menghela napas pelan. Di kepalanya, kalimat yang ia tempel di dinding kantor sejak awal program berputar: Latihlah orang sampai mampu pergi; perlakukanlah mereka sampai tak ingin pergi. Ia menatap Retna. “Selamat,” katanya. “Kamu sudah membuat pilihan yang berani.”
Retna menunduk. “Artinya, saya mengecewakan teman-teman di sini?”
“Orang yang tumbuh,” jawab Amir, “tak pernah mengecewakan tempat ia bertumbuh. Ia justru menjadi bukti bahwa tempat ini benar.”
Umarmadi yang sedari tadi diam, menyilangkan tangan. “Kamu benar-benar akan melepasnya?” tanya pemilik hotel itu, suaranya serak.
“Bukan melepas,” kata Amir, “memberangkatkan.”
Malam itu mereka membuat rencana transisi: siapa yang akan menggantikan, bagaimana penyerahan akun, bagaimana handover pengetahuan yang masih “di kepala” Retna. Juga apa yang dibutuhkan Retna untuk memulai hidup barunya. “Tunjangan sepatu kerja yang layak, Pak?” seloroh Maktal, mencoba mencairkan suasana. Mereka tertawa.
Tapi pulang ke kamar mess, Amir duduk lama memandangi lampu kota dari jendela. Kepergian seseorang selalu meninggalkan sunyi di kursi yang ditinggalkannya. Namun ia belajar dari perjalanan: sepi itu harus diberi kursi baru, agar tak menghalangi pintu berikutnya.
.
Seminggu kemudian, di hari terakhir Retna, hujan jatuh lagi. Kali ini lebih deras, menggila, membuat selokan meluap dan jalan kota berubah menjadi sungai-sungai kecil. Di basemen, genset bersin-bersin. Listrik padam beberapa detik yang terasa panjang.
Di lobi yang remang, seorang tamu lansia—Mahbub, peserta reuni perguruan tinggi—tiba-tiba limbung. Retna yang sedang mengambil check-out form berlari, menangkap bahunya sebelum jatuh. “Bapak sudah makan?” tanyanya. Mahbub menggeleng. Di kota yang bising, lapar bisa jadi senyap.
Amir memeriksa CCTV yang bergrains besar karena listrik naik turun, lalu mengambil keputusan cepat. “Emergency kitchen,” katanya pada walkie-talkie. Umarmaya menyalakan kompor gas portable, memasak bubur ayam darurat dengan kaldu yang selalu ia simpan. Sulastri memotong daun bawang dengan tangan sedikit gemetar. Jaka membawa panci pelan-pelan melewati lobi yang licin.
Di kursi panjang dekat jendela, Mahbub menyuap bubur hangat. Retna duduk di samping, bercerita tentang hujan masa kecil di kota pantai yang selalu membawa bau tanah basah. Mahbub tersenyum, wajahnya mereda. “Anak saya di Singapura,” gumamnya. “Jarang pulang. Entah kenapa bubur di sini rasanya seperti… pulang yang tertunda.”
Hujan di luar seperti menepuk-nepuk kaca. Ping… ping… ping…
Amir berdiri beberapa langkah, memotret situasi itu dengan matanya: keramahan yang mewujud sebagai bubur darurat. Dalam kepalanya, ia menulis satu kalimat: Tidak ada “kurang staf” saat hati sudah memutuskan untuk cukup.
.
Keesokan harinya, Retna berpamitan. Semua berkumpul di back corridor, tempat biasa mereka bercanda sambil mengikat rambut atau merapikan serbet. Umarmaya menghadiahi Retna pisau kecil ukir—bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengingat bahwa yang tajam tak harus melukai. Muninggar memberikan selembar kain saputangan, dijahit tangan, bertuliskan: Sungguh-sungguhlah, nanti sisanya ikut.
Amir hanya memberikan satu kartu pos, bergambar peta kota yang tak lengkap. Di belakangnya ia menulis: Pergilah sejauh keberanianmu, lalu kirimkan berita. Rumah ini akan menjaga mejamu tetap hangat.
Retna melangkah keluar lobi, melewati suara koper-koper gesek di lantai, melewati kaca pintu otomatis yang membuka tanpa drama. Di bawah kubah langit yang tampak lebih ringan setelah hujan, ia mengawali versi baru dari dirinya.
.
Waktu bergerak seperti eskalator—pelan tapi pasti. Kabar tentang Hotel Arjuna pelan-pelan melebar: tentang resepsionis yang memanggil nama tamu seperti tetangga lama, tentang dapur yang menyimpan kaldu “penolong” di rak paling depan, tentang satpam yang mengantar ojol menunggu di tempat teduh, tentang housekeeping yang menaruh bookmark berisi kalimat pendek di atas bantal: Selamat beristirahat. Kami menjaga sunyi Anda.
Suatu sore, sebuah email masuk ke inbox Amir. Dari: Retna. Subjek: Rumah yang Saya Ingat. Isinya:
Kak, saya belajar banyak di tempat baru. Fasilitas serba canggih, sistemnya rapi. Tapi ada yang hilang yang belum saya temukan: rasa saling menjaga. Saya tidak menyesal pindah. Saya sedang bertumbuh. Tapi saya ingin bilang terima kasih. Saya ingin membawa sesuatu dari sini ke sini—bahwa kerja adalah upaya membuat orang lain aman menjadi dirinya sendiri.
Amir tersenyum, lalu membalas singkat: Bahagia melihatmu bertumbuh. Jika sempat, pulanglah sebentar. Bukan untuk kembali, tapi untuk berbagi.
.
Undangan itu menjadi kenyataan tiga bulan kemudian. Retna kembali ke Arjuna bukan sebagai staf, melainkan pengajar tamu untuk kelas Frontliner as Healers gelombang berikutnya. Ia bercerita tentang tamu-tamu yang menuntut, tentang sistem yang memudahkan sekaligus mendinginkan, tentang keseimbangan antara kecepatan dan kelembutan.
Di ujung kelas, seorang peserta baru bertanya: “Kak, bagaimana jika saya dilatih bagus lalu saya jadi ingin pindah?”
Retna tertawa kecil, menoleh ke Amir yang duduk di belakang. “Kalau tempatmu melatihmu dengan baik,” katanya, “maka kamu punya dua pilihan yang sama mulianya: pergi membangun dirimu, atau tinggal membangun tempatmu. Jangan biarkan dunia memaksamu memilih karena takut. Pilihlah karena cinta.”
Mata banyak orang berkaca-kaca, termasuk Umarmadi, yang sejak Retna pergi diam-diam menyimpan kegelisahan: betulkah “melatih orang sampai bisa pergi” itu cara memelihara tempat? Jawabannya, seperti dilihatnya siang itu—adalah ya.
.
Musim berikutnya, kota menghadapi krisis: harga bahan bakar melonjak, orang menunda liburan, tingkat hunian hotel menurun. Arjuna pun ikut merasa. Rapat demi rapat berlalu, angka-angka tak gampang memberi kabar baik. Di ruang makan karyawan, Amir menyimak keluhan yang tertahan di suara tawa.
“Kalau tamu sedikit,” kata Jaka, “kita memasak untuk siapa?”
Umarmaya menatap panci kosong. “Untuk disiplin kita,” jawabnya. “Untuk selalu siap ketika pintu diketuk.”
Amir terdiam lama. Di dadanya, ada gerak yang mirip dengan rasa takut. Sebagai pemimpin pelatihan, ia bertanggung jawab bukan hanya pada metode, melainkan pada harapan. Ia berjalan ke lobi, berdiri di depan pintu kaca. Hujan tak turun. Langit seperti menahan sesuatu yang berat.
Di menit itu, seorang perempuan paruh baya masuk terburu-buru, membawa kantong plastik berisi kue basah. Nafasnya putus-putus. “Maaf,” katanya kepada Retna—yang kebetulan ada karena hendak mengisi kelas tamu—“apakah saya bisa titip kue untuk adik saya yang bekerja di rumah sakit sebelah? Saya takut tak sempat mengantarnya sebelum giliran jaga.”
Retna menoleh ke Amir. Tanpa rapat, tanpa SOP yang menunggu tanda tangan, Amir mengangguk. “Boleh,” katanya. “Kami antar. Arjuna satu kawasan dengan rumah sakit, kan?”
Maka jadilah “Layanan Titip”—program spontan yang kemudian ditata jadi layanan resmi untuk lingkungan sekitar: menitip pesan, nitip obat, nitip kirim paket kecil untuk keluarga yang menunggu pasien. Maktal yang besar itu mengendarai skuter listrik hotel, membawa tas selempang bertulisan Titipan Hangat Arjuna. Anomsari mengatur jadwal pengiriman, Muninggar membuat kartu kecil bertuliskan: Semoga lekas lega. Keramahan yang semula untuk tamu mengalir menjadi keramahan untuk tetangga.
Media lokal menulis, memuji, lalu tamu pun mulai berdatangan lagi. Bukan karena diskon, tetapi karena cerita—cerita yang membuat orang percaya bahwa kota yang keras masih punya tempat yang bersikap lunak kepada yang letih.
.
Saat tingkat hunian berangsur stabil, Umarmadi mengumpulkan semua di aula. “Saya ingin bicara sebagai manusia,” ucapnya. “Bukan sebagai pemilik.” Ia menatap mereka satu per satu. “Saya dulu takut kalau staf terbaik pindah. Takut kehilangan. Rupanya kehilangan yang saya takuti justru membuat kita menemukan cara baru untuk saling menjaga.”
Ia menoleh pada Amir. “Terima kasih. Kamu mengajari kami cara melepaskan tanpa putus, cara mengikat tanpa menjerat.”
Di tengah tepuk tangan, Amir menatap dinding. Jam tanpa jarum yang dulu ia letakkan di kelas kini dipasang di aula, besar, seperti bulan yang tidak bermusim. Ia tersenyum sendiri. Keramahan memang tidak punya jam—ia hanya punya rasa berjaga.
.
Pada suatu sore dengan cahaya yang membelah debu, Amir duduk di rooftop. Kota tampak seperti lautan balok dan benang listrik. Angin membawa sisa aroma dapur—jahe dan bawang putih, hangat dan jujur. Retna duduk di sebelahnya, pulang dari kelas tamu.
“Kak,” kata Retna, “kadang saya ingin balik. Bukan karena di sana buruk, tapi karena di sini saya mengerti sebab saya bekerja.”
“Tak ada tempat yang sempurna,” jawab Amir. “Ada tempat yang menyempurnakan kita.”
Retna memejamkan mata. “Terima kasih telah memberangkatkan saya.”
Amir menepuk bahunya. “Terima kasih telah kembali—meski sekadar menitip cerita.”
Mereka diam cukup lama untuk mendengar detik-detik yang tak terdengar di jam tanpa jarum itu. Kota menyala satu per satu. Dan di bawah cahaya itu, Amir tahu: pekerjaannya belum selesai, tetapi ia telah melihat kemungkinan paling manusiawi dari sebuah bisnis: melatih agar semua orang bisa memilih dengan bebas, dan memperlakukan agar kebebasan itu menemukan rumahnya.
.
Malam menubruk jendela seperti burung yang salah alamat. Di resepsionis, telepon berbunyi. Seorang tamu mengadukan kunci kamar yang macet. Retna bangkit, Maktal mengikuti. Di dapur, Umarmaya menyimpan kaldu untuk besok. Muninggar menata amenities di troli. Amir mematikan lampu aula, menatap jam tanpa jarum sekali lagi.
Ia menggumam pelan, seperti mendoakan: “Semoga siapa pun yang datang—lelah, marah, atau takut—pulang dari sini lebih utuh dari saat ia tiba.”
Dan pada akhirnya, itulah satu-satunya KPI yang ingin ia kejar.
.
.
.
Jember, 17 September 2025
.
.
#HospitalityHumanis #BudayaKerja #LeadershipEmpatik #CeritaKota #HotelLife #ServiceFromTheHeart #IndonesiaUrban #ManajemenPerubahan