Jalan yang Tuntas
“Keberanian bukan selalu tentang menaiki panggung yang lebih tinggi. Kadang, keberanian adalah turun dari panggung—untuk membangun tangga bagi orang lain.”
.
Lantai Tiga Puluh Dua
Jam digital di meja Arsya menunjukkan 06.57. Jakarta baru saja menggeliat, tapi gedung kaca di Sudirman sudah menyala seperti lilin raksasa. Dari lantai tiga puluh dua, ia memandang arus kendaraan di bawah—garis-garis merah lampu rem yang sabar menahan desak. Di layar, laporan KPI berbaris rapi, angka-angka biru yang selama bertahun-tahun menjadi altar pemujaannya.
Ia Direktur Operasional. Semua mapan, semua terkendali. Gaji nyaman, fasilitas melimpah, kartu akses yang bisa membuka pintu mana saja. Di kalendernya, rapat-rapat tersusun berlapis seperti beton: 08.00 weekly ops, 09.30 demand review, 13.00 strategic sync, 15.00 capex committee. Ia menguasai peta logistik satu negeri, dari gudang di Marunda sampai hub darat di Tanjung Priok, dari jalur rel Kiaracondong hingga truk pendingin tujuan Denpasar.
“Hebat, ya, Ar,” kata seorang kolega kemarin, menepuk bahunya di pantry. “Kamu itu panutan. Tinggal satu langkah lagi ke C-level.”
Arsya tersenyum, tapi merasakan sesuatu yang hampa. Suara kecil di dadanya makin sering mengetuk: “Apakah ini tujuan, atau hanya zona nyaman yang menipu? Untuk apa semua ini, kalau hanya berakhir di kerangka power point?”
“Keteguhan membuatmu tidak goyah. Keberanian membuatmu tidak mundur. Ketuntasan membuatmu dihargai.”
Pintu diketuk. Manggala, kepala people development, masuk dengan map berlogo perusahaan.
“Ar, kita butuh tandatangan persetujuan outsourcing untuk customer service center,” ujarnya. “Vendor baru, lebih murah 12%.”
Arsya membolak-balik dokumen. SLA rapi, script jawaban tersusun. Tetapi di matanya menyala sebuah kegelisahan lama. “Murahnya dari mana?” tanya Arsya.
“Dari potong jam pelatihan. Script-nya tinggal plug and play. Hemat,” jawab Manggala ringan.
Arsya memandang kota di kejauhan. Hujan tipis di atas atap-atap perkantoran. Ia ingat wajah-wajah muda yang pernah ia temui di gudang—mata yang sigap tapi minder, senyum yang tulus tapi mudah salah langkah, tangan yang cekatan tapi tak tahu menulis email keluhan dengan hormat.
“Kalau mereka hanya diberi script,” gumam Arsya, “kita sedang memupuk robot, bukan manusia.”
Kalimat itu menggantung di ruangan yang terlalu rapi. Ia tak menandatangani.
.
Kopi Bandara, Percakapan Pendek
Dua minggu kemudian, dalam penerbangan pagi ke Surabaya, Arsya singgah di kafe bandara Halim. Di balik mesin espresso, seorang pemuda menyapa: “Selamat pagi, mau pesan apa, Pak?”
“Satu long black,” jawab Arsya.
Pemuda itu—namanya Saka—berusaha menebak: “Sugar or not, sir?” Bahasa Inggrisnya patah-patah, tapi matanya jernih, ingin menyenangkan. Tiba-tiba antrean memanjang, seorang penumpang bule mengeluh kartu kreditnya ditolak. Saka gugup, memanggil rekan, tangannya bergetar menekan tombol. Situasi nyaris berantakan.
Arsya maju, menghela napas senyum. “It’s okay. Try this: We’re sorry for the inconvenience. Could you try another card or cash? And always add eye contact.”
Saka meniru pelan, lalu situasi membaik. Setelah pelanggan pergi, ia menunduk. “Terima kasih, Pak. Saya belajar sendiri, kadang malu kalau salah.”
“Sudah bagus,” kata Arsya. “Kamu punya niat baik. Tinggal fondasi—etika, adab dalam melayani, dan sedikit alat digital untuk menolongmu.”
“Alat apa, Pak?”
“Kelak kamu akan pakai AI untuk menyusun kalimat, menganalisis keluhan, bahkan melatih intonasi. Tapi sebelum alat, hatinya dulu.”
Saka mengangguk. Percakapan itu cuma dua menit, tapi menempel di benak Arsya seperti aroma kopi yang tak lekang.
“Skill bisa diajarkan cepat. Adab butuh keteladanan. Keduanya adalah kembar yang tak boleh dipisah.”
Di kursi pesawat, Arsya menatap awan. Ia mendengar suara lain yang lebih keras: Kalau kamu bisa membangun sistem miliaran, kenapa kamu tidak membangun manusia?
.
Rapat Terakhir
Ruang rapat berkarpet tebal, layar 85 inci, kopi yang dituangkan tanpa diminta. CEO menatap tim dengan antusias. Laporan tumbuh. Proyeksi cerah.
“Arsya,” katanya, “kamu presentasi penutupan?”
Arsya berdiri. Slide pertama kosong, hanya satu kalimat: “Mengukur Pertumbuhan yang Tak Terlihat.”
Ia bercerita tentang Saka di kafe bandara, tentang vendor murah tapi pelatihan dipangkas, tentang customer service yang menjawab cepat tapi tak mengerti manusia. “Kita mengejar persen,” ucapnya, “tapi mengabaikan detik—detik di mana orang merasa didengar.”
Hening. Beberapa pasang mata saling melirik.
“Saya mengundurkan diri,” lanjut Arsya, suaranya bening. “Saya akan mendirikan lembaga yang mengajarkan fondasi: adab melayani, etika kerja, dan literasi digital—termasuk AI—untuk generasi pencari kerja. Ini bukan keputusan emosional. Ini keputusan tuntas.”
“Kenapa harus kamu?” CEO bertanya, separuh kaget, separuh tersinggung.
“Karena saya sudah belajar naik,” jawab Arsya, “kini giliran saya belajar menunduk.”
Di ujung ruangan, Manggala menahan napas. “Ar… ini gila.”
“Mungkin,” kata Arsya, tersenyum. “Tapi ada kegilaan yang menyembuhkan.”
Ia menyerahkan kartu akses. Pintu tertutup pelan. Lift turun—angka 32, 31, 30… setiap kedipan seperti satu lapis baju nyaman yang ia lepaskan.
“Keberanian itu bukan tidak takut. Tapi melangkah meski gemetar.”
.
Ruko Tiga Pintu, Sebuah Nama
Dua bulan setelahnya, sebuah ruko tiga pintu di Tebet Barat disulap menjadi ruang pelatihan. Cat putih bersih, papan nama sederhana: EduServe Institute. Motto di bawahnya: “Keteguhan, Keberanian, Ketuntasan.”
Di ruang 01, meja lipat, kursi plastik. Di dinding, poster flow percakapan pelanggan: Dengar → Validasi → Klarifikasi → Solusi → Tuntaskan. Di ruang 02, komputer bekas yang dipasangi software speech-to-text, chat assistant, dan sentiment tracker buatan open source. Ruang 03: mock-up loket pelayanan, meja resepsionis, headset, bel kecil.
Hari pertama, 18 peserta. Latar macam-macam: anak SMK perhotelan, lulusan ekonomi menganggur, ibu rumah tangga yang ingin kembali bekerja, mantan barista yang keteteran. Arsya memperkenalkan diri tanpa jabatan.
“Saya Arsya. Kita di sini mau belajar jadi manusia dulu, baru jadi profesional.”
Ia menulis di papan:
-
Keteguhan: hadir tepat waktu, commit pada proses, tidak mencari pintasan.
-
Keberanian: mengakui salah, bertanya saat tidak paham, memberi saran dengan hormat.
-
Ketuntasan: menyelesaikan pekerjaan sampai yang dilayani merasa selesai—bukan sampai jam kerja selesai.
Renggan mengangkat tangan.
“Pak, kalau semua diajarkan cepat lewat AI, untuk apa repot belajar adab?”
Arsya tersenyum tipis.
“Skill bisa diajarkan cepat, Renggan. Adab butuh keteladanan. Keduanya adalah kembar yang tak boleh dipisah.”
“Teknologi membuat kita cepat. Adab membuat kita tepat. Ketuntasan menyatukan keduanya.”
Kelas terdiam. Kata-kata itu menempel, seperti mantra yang sederhana namun membakar.
Arsya mengangguk. “Cepat itu penting. Tapi coba pikir ini: Anda cepat menolak keluhan, pelanggan pindah—perusahaan kehilangan bertahun lifetime value. Ketepatan adab adalah akselerator jangka panjang.”
Ia membuka sesi role play. Skenario: pelanggan hotel mengeluh AC tak dingin. Nila, peserta yang pendiam, maju. Tangannya gemetar.
“Selamat sore… ada yang bisa dibantu?” suaranya terlalu kecil.
“Ulangi,” kata Arsya lembut, “dengan tatapan mata dan nada yang hangat, bukan takut.”
Nila menarik napas. “Selamat sore, mohon maaf atas ketidaknyamanan. Saya segera cek AC-nya, dan bila perlu, kami tawarkan kamar pengganti. Apakah Ibu bersedia menunggu lima menit?”
Seluruh ruangan berubah: kalimat yang sama, tapi dengan keberanian. Arsya memberi cue: “Sekarang tambahkan AI sebagai asisten. Minta AI merangkum keluhan, usulkan phrasing sopan, lalu Anda pilih mana yang paling manusia.”
Di monitor, chat assistant menampilkan tiga opsi kalimat. Nila memilih satu, menyesuaikan intonasi. Teknologi di tangan yang beradab: bukan mengganti, melainkan memperhalus.
“Alat adalah pisau. Hati adalah tangan. Masa depan ditentukan oleh siapa yang memegangnya.”
.
Hari-hari Panjang, Uang yang Menipis
Bulan pertama, cashflow menipis. Biaya sewa ruko dan internet serat optik lebih besar dari pemasukan. Ada hari ketika hanya lima peserta datang. Ada malam saat listrik trip karena komputer bekas menyala bersamaan. Arsya menjual mobil keduanya. Beberapa mantan kolega mengirim pesan bernada kasihan.
“Balik saja, Ar,” tulis salah satu. “Di sini masih ada slot direktur.”
Arsya menolak halus. Ia menulis di buku catatan:
“Yang lebih mahal dari kembali adalah berhenti menuntaskan.”
Suatu pagi, hujan lebat menutup langit. Di teras ruko, Arsya melihat seorang pria berteduh sambil memeluk map plastik. “Mau daftar?” sapa Arsya.
Pria itu, Sastra, bekas security pusat perbelanjaan, mengangguk ragu. “Saya lulusan SMA. Bahasa Inggris pas-pasan. Saya sering dimarahi pelanggan, padahal sudah sopan.”
“Coba masuk,” kata Arsya. Kelas dimulai. Sastra terbata-bata saat role play, tapi ia tegas berdiri, tak kabur dari panggung kecil itu. Keteguhan memantul dari matanya.
Di akhir hari, Sastra menghampiri. “Pak, saya tidak pandai bicara. Tapi saya bisa menjaga pintu dengan baik.”
Arsya menepuk bahunya. “Di sini, kita belajar menjaga ‘pintu hati’ dulu. Sisanya menyusul.”
.
Tujuh Janji
Pada bulan ketiga, Arsya menyusun Tujuh Janji Pelayan Pelanggan yang ditempel di setiap ruang:
-
Saya hadir tepat waktu—karena ketidaktepatan saya mencuri waktu orang lain.
-
Saya melihat manusia, bukan tiket—setiap keluhan punya cerita.
-
Saya berbahasa hormat—lisan dan tulisan.
-
Saya mengakui salah—tanpa dalih.
-
Saya mencari solusi hingga tuntas—bukan sekadar menutup tiket.
-
Saya belajar alat digital dengan amanah—AI membantu nurani, tidak menggantikannya.
-
Saya menjaga rahasia—karena kepercayaan adalah mata uang paling mahal.
Setiap janji bukan poster basa-basi. Arsya mengikatnya dengan aksi. Ia mengantar peserta magang ke hotel-hotel di Sudirman, memperkenalkan mereka ke front office manager yang dulu ia kenal. Ia juga mendekati call center sebuah bank ritel, menawarkan bootcamp “Etika + AI untuk Lini Depan.”
Pertemuan demi pertemuan, banyak yang menolak. “Terlalu ‘humanis’, Pak. Kami butuh handle time cepat,” kata seorang manajer. Arsya tersenyum, mengeluarkan data kecil hasil uji coba: customer satisfaction naik 18% di pilot dua minggu, repeat contact turun 12%. Ia tak menawar harga. Ia menawarkan ketuntasan.
Proyek percontohan pun datang.
.
Simulasi yang Mengguncang
Hari pertama pilot project bank ritel. Ruang pelatihan disulap jadi mini call center. Di layar, sistem keluhan dummy terhubung ke generator skenario. Arsya menjelaskan: “Kalian akan menghadapi caller yang marah karena transaksi ganda. Ingat lima langkah. Dan ingat: manusia dulu.”
Nila angkat headset. Skenario memuntahkan suara marah: “Uang saya hilang dua kali! Bank apa ini?!”
Nila hampir terpancing. Arsya memberi isyarat dengan telapak tangan: turunkan bahu, tarik napas, validasi.
Nila: “Ibu, saya mengerti ini membuat Ibu kesal. Saya minta maaf. Izinkan saya cek dalam dua menit—selama itu, Ibu tetap di line. Setelah itu, saya akan jelaskan langkah pengembalian dana.”
Sistem mencatat nada suara, kecepatan bicara, jeda. Di sisi lain, AI menyalakan lampu kecil saat kalimat empati tersampaikan. Setelah empat menit, kasus dummy tuntas. Nila menepi, matanya berkaca-kaca—bukan karena sedih, tapi karena sesuatu yang lama ia cari akhirnya klik di tempat yang benar.
“Terasa seperti orang beneran,” katanya pelan. “Dan ternyata saya tidak harus jadi orang lain.”
“Benar,” kata Arsya. “Kamu harus jadi manusia. Itu saja.”
Sementara itu, Sastra yang tadinya minder, melayani skenario pelanggan yang mengancam viral.
Sastra menghadapi skenario pelanggan marah. Suaranya gemetar, namun ia menuntaskan percakapan sampai pelanggan tenang.
“Kenapa kamu tetap berdiri, padahal tadi kamu hampir salah langkah?” tanya Arsya setelah sesi.
Sastra menunduk sebentar, lalu berkata pelan,
“Karena Bapak bilang: keberanian itu bukan tidak takut. Tapi melangkah meski gemetar.”
Kelas serentak mengangguk, seolah mengulang doa.
Kelas senyap; yang terdengar hanya hujan yang mulai mereda. Arsya menandai papan: keteguhan + keberanian + ketuntasan = dipercayai.
.
Jebakan Murah, Pelajaran Mahal
Suatu sore, telepon berdering. Seorang pemilik start-up delivery makanan menawarkan kontrak besar. “Kami butuh pelatihan kilat, tiga hari, 200 orang. Tapi tolong buang sesi adab-adab itu, ya. Langsung AI semua. Kami kejar efisiensi.”
Arsya menatap proposal. Angkanya menggoda. Ini bisa menyelamatkan cashflow dua kuartal. Di kepalanya muncul bayangan ruko yang catnya mulai kusam, komputer bekas yang merengek, gaji kecil tim mentor yang menunggu dibayarkan.
Ia menutup mata, mengingat janji nomor enam: AI membantu nurani, tidak menggantikannya.
“Maaf,” kata Arsya. “Saya hanya ambil proyek yang menempatkan manusia di depan alat.”
Lawannya tertawa kecil. “Idealistis, Pak. Bisnis ini butuh pragmatisme.”
“Benar,” jawab Arsya. “Dan pragmatisme paling tahan lama adalah yang menjaga martabat manusia.”
Telepon ditutup. Arsya duduk lama. Ada lelah yang menggerogoti, tetapi di baliknya, ada damai yang tak bisa dibeli.
“Integritas itu biaya di depan, dividen di belakang.”
.
Buah yang Datang Pelan
Kabar menyebar. Hotel-hotel yang pernah menolak datang kembali: “Bisa bantu latih guest relation kami? Ada kasus-kasus sensitif.” Sebuah BPO besar menghubungi: “Kami butuh modul tone of empathy—yang itu, yang bikin repeat contact turun.”
EduServe pelan-pelan tumbuh. Arsya mengangkat Manggala—ya, kolega lama—sebagai advisor lepas untuk menyusun kurikulum bersertifikat. Mereka memperkenalkan modul baru: “Menulis Email Profesional 7-12-7”—7 kata pembuka empatik, 12 baris inti jelas, 7 kata penutup yang mengundang balik. Ada juga “AI Prompt for Service”—prompt yang etis: menyebut konteks, tujuan, nada suara, dan batasan kerahasiaan.
Di kelas, Arsya sering mengulang:
“Kecakapan teknis memenangkan hari ini. Kecakapan adab memenangkan esok.”
Saka, pemuda kafe bandara, suatu hari muncul di ruko dengan seragam baru: pegawai ground handling. Ia memeluk Arsya. “Pak, saya lulus assessment. Mereka bilang nada bicara saya enak, tulisan laporan saya rapi. Saya pakai AI buat rapikan paragraf, tapi isi dan hatinya dari saya.”
Arsya tersenyum. Tuntas satu, bertunas banyak.
.
Malam Lampu Padam
Sebulan berikutnya, listrik padam di ruko saat kelas malam. Suara gerimis di luar seperti ribuan jemari mengetuk genting. Kelas dalam gelap. Arsya mengajak mereka tetap berlatih.
“Kenapa masih lanjut, Pak?” tanya Nila.
Arsya menjawab sambil menyalakan lilin kecil,
“Integritas itu biaya di depan, dividen di belakang. Kalau kita berhenti hanya karena gelap, bagaimana kita bisa dipercaya di terang?”
“Lanjut,” jawab Arsya. “Pelayanan tidak selalu di ruangan terang.”
Mereka melanjutkan pelatihan offline: latihan kontak mata, berdiri dengan bahu sejajar, senyum yang tidak memaksa. Mereka bermain peran menulis surat keluhan di kertas, memperbaiki kata kerja agar tidak menyalahkan. Arsya mengajak merefleksikan case nyata—tentang ibu muda yang anaknya alergi makanan hotel, tentang lansia yang tersesat di self check-in bandara. Dalam gelap, mereka belajar melihat.
Lampu kembali menyala. Wajah-wajah itu tampak lebih hangat. Ada pelajaran yang hanya bisa ditemukan saat listrik padam.
.
Audit Terbuka
EduServe mengadakan Audit Terbuka: setiap lulusan mengundang satu “pelanggan” dari keluarga atau tetangga untuk dilayani. Ada yang datang dengan keluhan palsu, ada yang membawa kasus betulan.
Seorang bapak, marah-marah karena paket e-commerce tak kunjung datang. Sastra menghadapi. “Pak, terima kasih sudah datang. Saya akan cek rutenya, dan jika paket tersesat, saya bantu buat laporan kehilangan. Saya paham Bapak membeli untuk ulang tahun anak. Saya mohon waktu sepuluh menit.”
Di belakang, dashboard AI menganalisis kata kunci: ulang tahun, tersesat, cepat. Sistem memberi saran prioritas. Tetapi keputusan tetap di tangan Sastra: ia memilih meminjam sepeda motor kantor training untuk mengecek drop point terdekat. Kembali dengan kabar: paket jatuh ke gateway salah. Solusi: ambil langsung besok pagi, plus voucher kecil.
Bapak itu menyalami Sastra, air matanya meleleh setitik. “Saya merasa dihargai,” katanya.
Arsya berdiri di sudut, merasakan sesuatu di tenggorokan yang menebal. Masa lalu—ruang rapat dingin, senyum politis—terasa jauh. Di sini, hangat benar-benar punya suhu.
.
Kurikulum yang Menubuh
Kelas-kelas berikutnya makin sistematis, tetapi tidak kehilangan jiwa. Silabus ringkas yang ditempel di pintu:
-
Minggu 1: Kehadiran & Keteguhan — ritual pagi: 3 napas, 1 niat; buku catatan syukur; telepon orang tua tiap Jumat
-
Minggu 2: Bahasa & Hormat — 7-12-7 email; telepon sulit; menulis “maaf” yang tidak defensif
-
Minggu 3: Keputusan & Keberanian — mengaku salah; eskalasi tepat; berkata “saya tidak tahu” dengan bertanggung jawab
-
Minggu 4: Ketuntasan & Teknologi — AI prompt for service; sentiment tracker; post-mortem tuntas
Arsya mengajarkan ritual kecil sebelum melayani: berdiri, letakkan telapak di dada kiri, bisikkan satu kalimat: “Saya melayani manusia.” Lalu mereka mengetik prompt ke AI: “Bantu saya menyusun balasan empatik untuk keluhan keterlambatan, nada hangat, 80—120 kata, akhiri dengan ajakan tindak lanjut.” Outputnya diperiksa bersama: mana yang kaku, mana yang manusia. Mereka mengedit, memotong jargon, mengembalikan napas.
“Teknologi membuat kita cepat. Adab membuat kita tepat. Ketuntasan menyatukan keduanya.”
.
Undangan ke Gedung Lama
Suatu hari, email masuk dari perusahaan lama. Judulnya: “Keynote: Membangun Lini Depan yang Tahan Krisis.” Arsya menatap layar. Ada gemetar di ujung jarinya, seperti bertemu cermin yang tak bisa ia hindari.
Ia tiba di gedung kaca yang dulu ia tinggalkan. Banyak wajah terkejut melihatnya. CEO menyambut dengan senyum netral, Manggala berdiri di belakang sebagai panitia tamu.
Di panggung, Arsya tidak membawa slide penuh grafik. Ia menampilkan tiga foto: mata Saka yang percaya diri, tangan Nila memegang headset, punggung Sastra saat mengecek drop point.
“Bapak/Ibu,” katanya, “kita sering menilai kinerja dari dashboard—itu perlu. Tapi frontline tidak hidup di dashboard. Mereka hidup di antara napas dan tatap orang.”
Ia memaparkan pilot project yang mereka tolak dulu—data sekarang menunjukkan customer satisfaction naik, churn turun, average handling time justru membaik karena kasus tuntas di kontak pertama. “Ketika manusia dikuatkan, alat bekerja lebih cerdas. AI memberi saran, manusia memberi putusan.”
Sebuah tepuk tangan pelan merambat, lalu menggulung. CEO menghampiri usai acara. “Kami salah menilai, Arsya. Kalau bersedia, kami ingin programmu masuk ke seluruh service point kami.”
Arsya menatap wajah-wajah yang dulu satu baris dengannya. “Saya datang bukan untuk mengatakan ‘saya benar’. Saya datang untuk menuntaskan yang dulu kita mulai setengah.”
Di luar, Jakarta sore bersolek lampu. Di dalam dada Arsya, sesuatu rampung—bukan karier, melainkan niat.
.
Satu Tunas, Seribu Akar
Kontrak demi kontrak tak lagi sulit. Tapi Arsya menahan laju. “Kita tumbuh pelan,” ucapnya pada tim. “Agar akar menembus tanah.”
Ia membuka scholarship kecil: Beasiswa Adab & AI—untuk mereka yang tak mampu. Syaratnya bukan nilai, melainkan surat kejujuran: ceritakan satu kesalahan terbesar dalam pekerjaan, bagaimana Anda bertanggung jawab. Surat-surat datang: dari kasir minimarket yang keliru memberi kembalian, dari penjaga parkir yang memalsukan karcis, dari admin toko yang menutup-nutupi retur. Banyak yang menulis sambil menangis: “Saya ingin memperbaiki diri.”
Arsya membaca satu per satu. Di meja, berderet cangkir teh yang tinggal ampas. Ia mengirimkan balasan sendiri, bukan asisten: “Kesalahan Anda bukan identitas Anda. Mari belajar menuntaskan.”
.
Hujan di Dukuh Atas
Pada suatu malam, setelah kelas tambahan, Arsya berjalan menuju stasiun Dukuh Atas. Hujan turun rapi, bukan deras, tidak pula pelit. Orang-orang berlarian menuju KRL, payung-payung mendesing.
Di lorong terowongan, Saka muncul dari arah seberang. “Pak!”
Mereka duduk di bangku besi, mengamati orang-orang saling menyalip. Saka bercerita: “Saya sekarang diminta jadi shift lead. Tugas saya ngajar rekan-rekan cara menenangkan penumpang saat delay. Saya pakai modul Bapak—dengar, validasi, klarifikasi, solusi, tuntas. Saya tambahkan AI untuk simulasi.”
Arsya tertawa kecil. “Kau lebih cepat dariku, Ka.”
Saka menggeleng. “Saya hanya menyalakan lilin yang Bapak titip.”
Mereka diam sebentar. Di ujung lorong, seorang lelaki lanjut usia kebingungan menatap papan jadwal. Saka berdiri otomatis. “Saya bantu dulu, Pak.” Ia berjalan pelan, menunduk sopan, menunjuk arah peron. Lelaki itu tersenyum lega.
Arsya mengikat talinya yang longgar. Ia merasa dunia tiba-tiba bertambah cahaya, bukan karena matahari—melainkan karena manusia.
“Tatag: memegang nilai di tengah bising. Keberanian: melangkah meski gemetar. Ketuntasan: memastikan orang lain sampai.”
.
Hari Penamatan, Pintu-Pintu yang Terbuka
Di Aula Kecil EduServe, hari penamatan. Para lulusan mengenakan kemeja putih seadanya, celana hitam yang disetrika pagi-pagi. Di panggung, bukan orkestra—hanya speaker murah, tapi musiknya jujur.
Nila maju. “Saya dulu takut suara sendiri. Sekarang saya bisa bicara tanpa bersembunyi. Terima kasih, karena kita dijadikan manusia, bukan alat.”
Sastra maju, berdiri tegap. “Saya pernah merasa berguna hanya karena seragam. Ternyata saya berguna karena sikap. Minggu depan, saya mulai kerja di customer care perusahaan logistik. Saya janji: saya akan menuntaskan.”
Orang-orang bertepuk tangan. Di sudut, beberapa ibu menahan tangis bangga. Arsya menatap satu-satu, tidak sebagai siswa, melainkan sebagai pewaris. Ia memberikan setiap lulusan kartu komitmen bertuliskan tujuh janji. “Ini bukan ijazah,” katanya, “ini cermin. Bawalah ke mana pun kalian bekerja.”
Setelah acara, telepon Arsya berdering. Nomor asing. “Pak Arsya? Saya Direktur Layanan Publik sebuah pemerintah kota. Kami dengar program Anda. Bisakah melatih petugas loket kami? Kami ingin layanan publik yang manusiawi—the human service, bukan hanya e-service.”
Arsya tersenyum menatap langit-langit. “Dengan senang hati.”
.
Jalan yang Tuntas
Malam itu, ruko kecil di Tebet sepi. Kursi-kursi ditumpuk, lampu dimatikan, pintu ditutup. Arsya duduk di tangga, menatap jalan raya yang tidak pernah benar-benar tidur. Ia teringat hari ia menolak vendor murah, hari listrik padam, hari rapat terakhir, hari pertama poster “Tujuh Janji” ditempel. Semua terlihat jelas, seperti film yang diputar lambat.
Ia mengeluarkan buku catatan lusuh. Di halaman terakhir, ia menulis:
“Tatag adalah keteguhan memegang nilai: manusia dulu, alat menyusul.
Keberanian adalah menjejak di tanah yang licin: jujur mengakui salah, belajar saat jatuh.
Ketuntasan adalah menyelesaikan jalan sampai yang diantar benar-benar sampai.”
Ia menutup buku, menghela napas yang panjang. Di benaknya, ia melihat ribuan wajah: Saka, Nila, Sastra, dan nama-nama lain yang akan datang. Bukan murid. Bukan bawahan. Teman seperjalanan menuju tuntas.
Di luar, Jakarta masih bising, tapi bising yang kini terdengar seperti irama. Lampu-lampu kendaraan memanjang, memantul di aspal basah—seperti barisan lilin yang tak pernah padam. Dan di dalam dada Arsya, ada api kecil yang tenang, tidak meledak, tapi konsisten: api yang menghangatkan tangan-tangan yang ingin bekerja dengan bermartabat.
“Sukses yang paling mulia bukan naik sendirian, tetapi saat turun untuk menyiapkan tangga; dan memastikan orang-orang yang kita temani—sampai.”
.
.
.
Jember, 10 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #CerpenKompas #TatagTetegTutug #EtikaKerja #CustomerService #DigitalAI #LifeHackKarier