Jalan yang Tak Pernah Sepi
“Persahabatan yang paling jujur lahir dari kebiasaan sederhana: menyapa, mendengar, dan menunggu giliran untuk mengerti.”
“Kamu boleh mengejar langit, tapi jangan lupakan tangan yang menahanmu saat kamu hampir jatuh.”
.
Langit Jakarta masih dilapisi mendung tipis ketika Jokotole berdiri di balkon kosannya yang sempit di bilangan Karet Kuningan. Dari ketinggian lantai tiga, ia bisa melihat jalan raya yang sudah sesak sejak fajar. Klakson bersahutan seperti orkestra tak beraturan. Aroma gorengan dari warung pojok bercampur dengan bau solar yang terbawa angin. Di tangannya secangkir kopi sachet yang hangatnya mulai pudar, namun cukup untuk menahan kantuk dan sepi.
Ia menatap kendaraan yang berseliweran, motor-motor kurir dengan kotak hijau di punggung, bus Transjakarta yang melaju di jalur khusus, hingga sedan-sedan mewah yang kaca gelapnya menolak tatapan siapa pun. Kehidupan kota baginya terasa seperti kereta yang tak pernah berhenti di stasiun: orang datang, orang pergi, semuanya bergerak tanpa jeda.
Sudah dua tahun ia mencoba bertahan di ibu kota, mengejar karier di bidang desain komunikasi visual. Tapi sering kali, yang ia rasakan justru kesepian yang berlapis-lapis. Teman datang silih berganti—sebatas rekan proyek, kenalan kampus yang kebetulan pindah ke Jakarta, atau tetangga kos yang hanya bertahan satu musim. Setelah itu, hening kembali mengisi ruang.
Pagi itu, notifikasi dari Samba muncul di layar ponselnya. “Datanglah ke coworking space di Kuningan. Aku kenalkan dengan seseorang. Mungkin cocok buat proyekmu.”
Samba adalah kawan lama dari Sumenep, Madura. Mereka sempat sekamar saat kuliah di Surabaya, lalu berpisah jalan ketika Samba memilih bekerja di start-up logistik. Samba dikenal cerewet, penuh inisiatif, dan tak pernah segan menyeret orang lain ke dalam lingkaran pertemanan barunya.
Jokotole menghela napas, menaruh cangkir, lalu bergegas. Ia tahu, kadang yang dibutuhkan bukan jawaban atas keresahan, melainkan langkah kecil untuk keluar dari kamar yang terlalu sering mengurung pikiran.
.
Coworking space itu berada di lantai delapan sebuah gedung kaca. Interiornya modern, dipenuhi meja panjang, kursi ergonomis, dan dinding yang dihiasi mural motivasi. AC menebarkan udara dingin yang menusuk hingga tulang, membuatnya sadar bahwa ini bukan hanya ruang kerja—tapi juga ruang untuk membuktikan diri.
Di sanalah Samba memperkenalkannya pada Rengganis. Perempuan berambut cokelat kemerahan itu mengenakan kemeja hitam dengan kancing perak kecil. Gayanya sederhana, namun tatapan matanya penuh semangat. Tangannya cekatan saat menunjuk layar laptop, menjelaskan proyek desain yang sedang ia kerjakan.
“Jokotole? Kamu yang suka menunda makan siang demi menutup desain?” Rengganis tersenyum.
“Iya. Dan sering salah ukuran poster karena buru-buru,” jawabnya. Mereka tertawa bersama.
Percakapan berlanjut hingga makan siang. Mereka bertiga keluar mencari warung, memilih tenda sederhana di tepi jalan Rasuna Said. Sup buntut mengepulkan uap, nasi hangat disajikan dengan sambal yang pedasnya menyentak. Rengganis makan setengah, lalu membungkus sisanya. “Kebiasaan dari rumah. Ibu selalu bilang, yang disimpan baik-baik akan membaik.”
Kalimat itu membuat Jokotole termenung. Ia merasa baru saja mendengar pitutur yang lebih dalam daripada sekadar soal makanan.
“Setiap pertemuan membawa amanah: menjadi singgah atau menjadi rumah. Waktu yang menentukannya, kesungguhan yang mengikatnya.”
.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu. Jokotole mulai tahu bahwa Rengganis punya mimpi membuka studio desain kecil bernama Ateliér Lirih. Ia membayangkan ruangan dengan kursi rotan, tembok warna tanah, dan meja kayu panjang tempat orang bisa belajar bersama.
“Modalmu apa?” tanya Samba suatu kali, seperti biasanya, lugas.
“Kepercayaan,” jawab Rengganis mantap.
Jawaban itu lebih deras daripada hujan deras yang turun sore itu. Mereka berteduh di bawah kanopi minimarket, menyaksikan jalanan yang berubah jadi sungai kecil. Orang-orang berlarian, sepatu basah, motor-motor mogok di pinggir. Jakarta berbicara dengan bahasa menunggu dan bahasa mengalah.
Jokotole pulang malam itu dengan sepatu basah, tapi hati hangat. Ia menulis catatan di ponselnya: Ateliér Lirih — desain identitas, workshop, kopi tubruk. Ia bukan bagian dari mimpi itu, tapi entah mengapa ingin membantu.
.
Di kantor, kehidupan tetap menekan. Suatu siang, manajemen mengumumkan restrukturisasi. Kata-kata seperti “efisiensi” dan “fokus” dilontarkan dengan nada netral. Beberapa nama disebut, artinya mereka harus berpamitan. Nama Jokotole tidak disebut. Ia seharusnya lega, tapi justru ada bagian dirinya yang gusar: apa gunanya bertahan bila hatinya sudah berpamitan diam-diam?
Sore itu, ia memenuhi ajakan Rengganis ke ruang komunitas di Tebet. Letaknya di atas bengkel kecil. Tangga besi berderak saat ia naik, suara mesin di bawah menjadi latar. Di dalam, suasananya hangat. Lampu redup, meja panjang, poster kegiatan di dinding: kelas membaca puisi, diskusi film, belajar lettering.
Di meja, ada stoples kaca bertuliskan spidol: “Semoga Jadi Jalan Pulang.”
“Setiap orang menulis satu kalimat jujur,” jelas Rengganis. “Tanpa nama. Kita tak perlu tahu dari siapa. Yang penting kita sadar, manusia lain juga sedang menempuh jalan.”
Jokotole menulis: “Aku takut jadi baik hanya kalau ada yang melihat.” Ia lipat, masukkan ke stoples. Bunyi kertas menyentuh kaca terdengar seperti pengakuan yang akhirnya diterima.
Malam itu, mereka tak banyak bicara. Mereka hanya duduk bersama, menyesap kopi tubruk, mendengar musik pelan dari ponsel Samba. Tapi Jokotole pulang dengan perasaan yang lebih ringan daripada minggu-minggu sebelumnya.
.
Kehidupan terus berlanjut. Ia semakin sering datang ke ruang komunitas itu, ikut dalam ritual kecil menulis kalimat jujur. Kadang yang tertulis lucu, kadang mengiris hati. Suatu kali, ada kertas yang berbunyi: “Aku ingin punya teman yang tidak menganggapku proyek perbaikan.” Jokotole tertegun lama. Ia sadar banyak orang hanya ingin diterima, bukan diperbaiki.
Pertemanan itu kemudian membawa mereka pada perjalanan kecil ke Bogor. Naik KRL ramai-ramai, mereka sepuluh orang dengan bekal seadanya: roti sobek, sambal bawang, buah potong. Di Kebun Raya, mereka duduk di bawah flamboyan, tawa berderai, kamera Retna menangkap pintu-pintu tua, Angling merekam video dokumenter sederhana.
Sore itu, stoples kaca kembali berputar. Kalimat jujur mengalir:
“Aku bilang santai padahal cemas.”
“Aku takut dilupakan oleh diriku sendiri.”
“Aku ingin berhenti jadi kuat sepanjang waktu.”
Mereka membaca bersama, saling menatap, dan tahu: rapuh adalah bahasa universal.
.
Perubahan besar datang ketika HR kantor menawarkan rotasi ke divisi community & brand. Jokotole melihat kesempatan ini sebagai jalan untuk bekerja tanpa kehilangan dirinya. Ia menulis email jawaban dengan hati-hati, menyampaikan keinginan mencoba masa percobaan. HR setuju.
Malam itu, ia menulis pesan ke Rengganis: “Kita bentuk tim kecil bantu Ateliér Lirih. Aku desain pitch deck, Samba hitung struktur harga. Kita mulai dari yang ada.”
Mereka pun melakukannya. Minggu-minggu berikutnya, mereka mengadakan kelas kecil untuk anak-anak sekitar. Retna mengajari menggambar, Angling membuat film pendek, Syarifah mengajarkan membuat onigiri isi abon. Anak-anak menulis kalimat jujur di kertas kecil: “Aku ingin ibu tidak capek.” “Aku mau ayah pulang lebih cepat.” “Aku suka gambar kucing.”
Stoples kaca mereka bawa ke mana-mana: ke teras mushola, ke aula rukun warga, hingga ke rooftop apartemen sewaan. Kalimat-kalimat itu menjadi pengingat bahwa manusia selalu punya alasan untuk pulang.
“Kebaikan perlu diulang hingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan baik adalah arsitek yang sabar dari rumah bernama harapan.”
.
Suatu malam, listrik padam di kawasan itu. Kota yang biasanya gemerlap mendadak gelap. Mereka menyalakan lilin di ruang komunitas, stoples kaca memantulkan cahaya kecil. Seseorang menulis kalimat jujur: “Aku merasa sendirian meskipun dikelilingi banyak orang.” Mereka membacanya bersama-sama. Tidak ada nasihat panjang. Mereka belajar menahan diri untuk tidak menjadi pahlawan, cukup hadir, cukup ada.
.
Waktu terus berjalan. Jakarta tetap riuh, macet, dan keras. Tapi bagi Jokotole, kota ini mulai memiliki makna baru. Ia menemukan rumah yang tidak berupa bangunan, melainkan kumpulan manusia yang saling menjaga.
Malam di balkon kos, ia kembali menatap jalanan yang ramai. Ia menulis di catatannya: Do you ever stop making friends? Lalu menjawab: tidak. Manusia tidak berhenti membuat kawan. Kita hanya belajar membiarkan pertemanan berubah bentuk—dari rekan proyek jadi keluarga singgah, dari tetangga kos jadi penolong darurat, dari orang asing jadi seseorang yang mengingatkan kita cara memilih diam.
Ia menutup catatannya dengan pitutur Jawa: Urip iku urup—hidup itu menyala, dan nyala paling sederhana adalah menyapa.
Kota tak pernah benar-benar sunyi. Namun kini, ia tak lagi merasa sendirian. Jalan yang ia tempuh, seberapa pun berat, tak akan pernah sepi selama ada sahabat yang mau berjalan bersama.
“Jangan takut perlahan. Takutlah pada berhenti belajar mencintai. Sebab kota ini tumbuh bukan dari gedung, melainkan dari manusia yang saling menunggu.”
.
.
.
Jember, 2 September 2025
.
.
#CerpenKompas #SastraUrban #CerpenIndonesia #Persahabatan #Jakarta #CeritaMengharubiru #MaknaPulang #RitualKopi #HidupDiKota #SelfDiscovery