Jalan Pulang di Bawah Lampu Kota
“Manusia itu laku, bukan kata. Jalan adalah kitab; pulang adalah tafsir.”
.
Hujan awal Desember turun secermat penjahit tua, menyulam butir-butir bening di atas kaca Transjakarta. Di halte Karet, Amongraga berdiri sambil memegang tas selempang kulit yang warnanya sudah seperti kopi basi. Di saku kemejanya, ada buku catatan kecil: hati kota disalin dengan huruf-huruf miring, potongan doa, harga ojek, rute bus, nama-nama orang asing yang pernah menghangatkan malam.
“Jakarta itu serupa serat,” gumamnya. “Panjang, berkelok, dan setiap bait menyimpan seseorang.”
Di buku itu, nama-nama dari kisah lama ikut menempel: Jayengraga—teman seperjalanan yang keras kepala; Jayengsari—bocah laki-laki yang ia temui di panti baca; dan Rancangkapti—perempuan Yogya bermata teduh yang ia kenal di depan Gramedia Matraman, ketika payungnya, entah kenapa, menolak menutup.
.
Amongraga lahir di ujung Madura, di rumah papan yang pagi-paginya selalu berbau kayu basah. Ayahnya guru ngaji yang membaca langgam macapat saban malam, ibunya penjual nasi jagung yang tak pernah menakar sambal untuk tamu. Dari kecil, Amongraga diajari bahwa hidup itu tembang—ada guru lagu, guru wilangan, guru gatra. “Kalau tak ada irama,” kata ayahnya, “kau tetap bisa berjalan, tapi orang lain tak ingin ikut.”
Pertengkaran pertama dalam hidupnya terjadi bukan karena cinta, tapi karena arah. Ayah ingin ia tinggal: mengajar mengaji, meneruskan laku yang rapi. Ibunya—yang selalu memasukkan selembar doa ke dalam bungkus bekal—berbisik: “Kadang, rumah itu bukan di titik pulang. Rumah itu kau temukan sewaktu kau nyasar.”
Maka, pada suatu dini hari, dengan bekal roti sobek dan doa beku, ia menyeberang ke Surabaya, lalu ke kereta ekonomi menuju Jakarta. Di atas gerbong, orang-orang tidur seperti tembang yang lupa tanda titik; ada bayi yang menangis, ada pedagang cilok yang menahan kantuk, ada bapak-bapak yang menyimpan surat cinta di dompet rusak.
“Semua orang sedang belajar pulang,” pikir Amongraga.
.
Jakarta menyambutnya seperti pasar pagi: bising, murah hati, dan kejam pada waktu. Ia pernah jadi tukang fotokopi di Tanah Abang; ujung jarinya hitam tertimpa toner. Pernah jadi kernet Kopaja jurusan Blok M–Kota; suara “naik-naik”nya terantuk knalpot. Pernah mengangkut bal-karung di gudang tekstil; punggungnya menjadi peta jalan yang diam-diam kebas.
Yang menahan langkahnya tetap lunak adalah orang-orang kecil: Pak Danu, supir taksi yang kehilangan anak tapi selalu menyiapkan permen; Iis, pramusaji kedai mie instan yang mencatat keinginan kuliah dalam kertas struk; dan pemilik kos di Bendungan Hilir yang menaruh sandal bekas di depan pintu setiap malam, agar ada kesan pulang bagi siapa pun yang terlambat.
Ada juga Rancangkapti—perempuan yang menyukai buku-buku tipis. Mereka bertemu karena hal sepele: Amongraga menawarkan payung, Rancangkapti menolak karena “angin Yogya selalu lebih tega dari hujan.” Obrolan berlanjut di warung kopi depan toko: bicara tentang jalanan kota yang sibuk, tentang tembang yang belum punya nada, tentang rencana yang sering gosong. Mereka tidak pernah menukar janji, hanya menukar buku dan tawa—sesuatu yang lebih aman di kota yang menelan janji seperti mulut got.
Suatu malam, ketika hujan memukul aspal seperti penabuh gamelan, Rancangkapti mengabarkan: ia akan menerima kontrak kerja di luar negeri. “Bukan karena kau tak cukup,” katanya, “tapi karena hidup ini gudang yang harus kita susun ulang.” Di stasiun Gambir, mereka berpisah dengan cara paling sederhana: “Jangan berhenti berjalan. Tapi jangan benci peta.”
Amongraga mengangguk. Dalam hidup, ada orang yang datang untuk menjadi alamat, ada yang datang untuk menjadi arah.
.
Setelah itu, hidup Amongraga terbelah menjadi babak-babak: Surabaya dengan angin asin, Bandung dengan jalan menanjak, Makassar dengan matahari yang akrab. Ia bekerja sesaat di toko roti, di perusahaan kurir, di kios pulsa yang memintanya membaca kode-kode rahasia. Di setiap kota ia menghafal ritme: jam berapa pasar dihidupkan, kapan tukang sayur lewat, berapa lama lampu merah di perempatan menahan semua orang untuk menelan sabar.
Pada suatu subuh di Semarang, surat dari adiknya datang. Tulisannya miring tergesa:
Bapak sakit. Sore-sore ia duduk di serambi, menatap jalan tanah. Seperti menunggu seseorang, padahal setiap orang sudah lewat.
Kata-kata itu seperti hujan yang tak sempat siap-siap. Amongraga pulang naik bus malam, duduk di sebelah ibu-ibu yang membawa kardus berisi sarung dan doa. Di sepanjang jalan ia menghitung kilometer, bukan untuk mendekati desa, melainkan untuk terus memperkecil jarak antara seorang anak dan ayahnya yang menunggu.
Ia tiba ketika ayam baru menimbang suara. Rumahnya lebih sempit dari ingatan. Di serambi, kursi tua berdiri kosong. Ayahnya telah dimakamkan semalam; liang ditutup dengan tanah yang mudah diingatkan bahwa manusia memang cepat berubah alamat. Ibunya memeluknya—erat yang tidak menanyakan apa-apa, karena di pelukan, tanya selalu kalah oleh temuan.
Di kamar lamanya, Amongraga menemukan buku catatan ayah. Di halaman terakhir ada tiga baris:
Jalanmu panjang, Nak.
Kalau capek, duduklah. Kalau buntu, dengarlah.
Doa tak punya jarak—ia sampai di mana pun.
Malam itu, di langit-langit kamarnya, Amongraga melihat peta lain. Peta yang tak memakai nama jalan, melainkan nama orang.
.
Ia kembali ke Jakarta sebagai orang yang baru: bukan lagi pelarian, melainkan penemu. Ia memutuskan menyalin kota ke dalam kalimat. Dengan modal telepon bekas dan sinyal yang sering lelah, ia menulis kisah Pak Danu, kisah Iis, kisah pemilik kos, kisah pedagang cilok yang menyimpan cincin kawin di kantong plastik rokok. Tulisan-tulisannya dimuat di media daring; pembaca datang seperti jam kerja—tepat, banyak yang menguap, tapi selalu meninggalkan remah-remah perhatian.
“Mas Among,” kata seorang redaktur saat mengundangnya mengisi diskusi di TIM, “tulisan Anda seperti tembang jalanan. Orang kecil jadi tokoh utama. Kami rindu bentuk yang begitu.”
Amongraga senyum, ingat langgam ayahnya: guru lagu, guru wilangan, guru gatra. Ia merasa diizinkan menulis karena pernah ditempa di jalan.
Diskusi itu penuh. Di barisan belakang, ada seseorang yang setengah bersembunyi di balik masker. Mata itu—Amongraga mengenalnya meski Jakarta memelihara banyak mata—Rancangkapti. Usai acara, di kafe kecil dekat parkiran, mereka duduk. Rancangkapti baru kembali enam bulan lalu, bekerja di penerbitan. Mereka bercerita tanpa memoles babak yang payah atau yang indah. Di antara dua cangkir hitam, kota seperti mengurangi jaraknya.
“Kau terlihat sehat,” kata Rancangkapti.
“Seperti tembang yang menambah satu larik,” jawab Amongraga. “Tidak makin panjang, cuma makin bisa dinyanyikan.”
Mereka tidak membicarakan kembali. Kota telah cukup panjang untuk segala kemungkinan, juga cukup dewasa untuk memahami bahwa tidak semua yang bertemu harus menjadi satu.
.
Pada suatu pagi Minggu, Amongraga menjemput Jayengsari—bocah dua belas tahun yang ia kenal dari panti baca dekat rel kereta. Bocah itu datang saban Sabtu untuk meminjam buku komik dan kamus kecil; ia menyukai kata-kata yang terasa seperti kerikil di mulut: kalandara, sarwasamaya, prasaja. “Kata-kata itu seperti kelereng,” katanya, “bisa kau gulirkan dan berbunyi.”
Mereka berdua berjalan kaki menyusuri gang yang dindingnya penuh mural. Amongraga mengajari Jayengsari melafalkan larik-larik yang ia kunyah dari Serat Centhini—bukan sebagai ajaran yang berat, melainkan sebagai permainan yang menghibur.
“Laku itu berjalan, Sar,” katanya. “Kalau kita berhenti, bukan berarti kalah. Kadang berhenti itu caramu mengatur napas. Laku bukan lomba.”
Jayengsari mengangguk, matanya yang mudah percaya menyimpan sesuatu yang terang. Mereka mampir ke warung soto langganan; penjualnya, perempuan Bojonegoro yang cekatan, mengoles julukan pada semua pelanggan: Pak Kepala 7 untuk pensiunan kepala sekolah, Mbak Batu Bata untuk kuli bangunan perempuan, dan Mas Tembang untuk Amongraga. “Soalnya ini mas tiap makan nyanyi sendiri,” candanya. Semua tertawa; tertawa adalah jembatan termurah di kota.
Di situ, di antara daun bawang yang menari, Amongraga menyadari: mungkin inilah rumah—panci yang mendidih, sendok yang berpindah, orang-orang yang saling memberi tempat untuk menaruh lelah. Kota yang dulu menelannya kini memberinya meja.
.
Namun, manusia yang merasa akan tiba justru kerap diuji. Sore itu, telepon dari ibu masuk: pendek, gelisah. “Rumah kita mau digusur, katanya tanahnya masuk proyek. Ibu bingung, Nak.” Kata-kata ibunya mengayuh jarak dengan panik. Amongraga pulang ke Madura malam itu juga. Di terminal, ia bertemu Jayengraga—teman lama yang kini menjadi sopir bus antarkota. “Aku antar,” katanya. Ada kelegaan yang tak sempat ditawar.
Di kampung, berita itu benar: patok-patok berdiri seperti gigi raksasa. Orang-orang berkumpul di surau, membawa air minum dan sabar. Amongraga menahan marahnya dengan menyalin semuanya: suara, tatapan, gemetar, doa. Ia datang ke kantor kelurahan, mengetuk setiap meja, menanyakan dasar keputusan, memperlihatkan fotokopi sertifikat. “Kami akan periksa,” kata pegawai yang terlalu rapi. Waktu berubah menjadi karet—memanjang, memantul, kehilangan bentuk.
Rancangkapti mengirimkan tautan: panduan advokasi warga. Redaktur menawari: “Tulis. Biarkan orang kota membaca nasib kampung.” Amongraga menulis sepanjang malam. Ia bukan lagi anak yang bingung arah, ia adalah pengantar kabar.
Tulisan itu viral—kata yang belakangan membuat manusia lupa menghitung diri. Ada relawan yang datang membawa kotak nasi, ada pengacara publik yang membantu mengajukan gugatan, ada donasi yang menutup biaya keliling kantor ini-itu. Proyek itu berhenti sementara; patok-patok dicabut. Orang-orang menghela tidur yang lama. Ibu menyalakan tungku dan merebus kopi. “Doa itu, Nak,” katanya, “kadang datang lewat tulisan.”
Di serambi, kursi tua tetap di situ—tapi kini bukan kosong lagi. Jayengraga duduk di atasnya, memainkan ponsel murahan, memesan tiket online untuk perjalanan pulang ke Jakarta. Mereka berdua tertawa: dulu, hidup seperti menolak giliran; sekarang, mereka membagi giliran dengan rukun.
.
Jakarta menyambut lagi. Amongraga mengajar kelas kecil di panti baca: anak-anak belajar merangkai kalimat sebagai permainan. Jayengsari menjadi ketua klub kecil itu. Mereka menamai klubnya Suluk Trotoar—sebab semua pelajaran terjadi di tepian jalan: menyeberang dengan sabar, berbicara pelan saat orang lain lebih lirih, menunduk ketika hembusan angin membawa koran terbang.
Setiap akhir kelas, Amongraga menutup pertemuan dengan satu larik:
“Berjalan itu ibadah; memberi tempat itu rumah.”
Anak-anak menirukan seperti rapalan. Mereka belum mengerti seluruhnya, tapi kota akan membuatnya paham pelan-pelan. Kota selalu demikian: guru yang tidak pernah lulus, murid yang tidak pernah berhenti.
Rancangkapti, sesekali, datang membawa buku-buku. Mereka berdua menata rak-besi hadiah dari teman redaktur. “Kau tahu,” kata Rancangkapti, “dulu aku ingin punya rumah yang selalu wangi dan rapi. Kini aku lebih ingin rumah yang selalu ada tempat kosong, untuk siapa pun yang datang.”
“Rumah yang bukan alamat,” kata Amongraga.
“Rumah yang tak perlu izin,” jawabnya.
.
Suatu malam yang anginnya sedang, Amongraga duduk di balkon kos. Lampu-lampu apartemen di seberang berkelip seperti nada yang belum dipilih. Di bawah, tukang sate mengipas bara; di kejauhan, azan Isya memeluk sisa hari. Ia membuka buku catatan ayah, menyalin tiga baris lama, lalu menambah satu:
Jalanmu panjang, Nak.
Kalau capek, duduklah. Kalau buntu, dengarlah.
Doa tak punya jarak—ia sampai di mana pun.
Dan ingat: pulang bukan menolak dunia, melainkan menaruh dunia di meja makan.
Ia menutup buku. Dalam hati, ia tahu: sebagian orang memilih pulang, sebagian orang memilih berjalan. Ia memilih keduanya. Ia pulang dengan berjalan; ia berjalan untuk memelihara pulang. Kota mengerti itu, seperti hujan mengerti atap.
Ketika hujan kembali menetes, tipis dan sabar, Amongraga berdiri. Ia menatap jalan yang basah, mengirim pesan ke Rancangkapti: Besok, Suluk Trotoar belajar di halte bus. Kita belajar membaca wajah orang yang menunggu. Lalu ia menambahkan satu kalimat yang terdengar konyol, tapi ia tulis juga: Kau datang?
Titik tiga muncul lama di layar, lalu menghilang, lalu muncul lagi. Jawabannya pendek: Datang. Bawa payungmu.
Amongraga tersenyum. Di kota sebesar ini, hal paling filmis adalah dua orang yang memilih datang tanpa meminta janji. Sementara dari kejauhan, sirene ambulans, klakson truk, dan nyanyian pengamen bercampur jadi paduan suara kota: gaduh tapi tidak pernah jahat.
Malam mengatupkan tirai, pelan, seperti ibu menutupkan sarung pada anak yang tertidur. Dan Jakarta—kota yang selalu menunda pulang—untuk sekali ini terdengar seperti halaman terakhir: tenang, cukup, dan bersedia ditutup.
.
“Kita ini para pejalan. Bila kau lelah, cari pangkuan. Bila kau bingung, cari bacaan. Bila kau rindu, carilah orang. Semua itu dinamai pulang.”
.
.
.
Jember, 15 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMinggu #SastraKota #SeratCenthini #ArswendoVibes #SulukTrotoar