Jalan Pulang Abimanyu

“Kadang, pulang bukan ke rumah. Kadang, pulang adalah keberanian menjemput bagian dari diri kita yang pernah hilang.”

“Yang patah tidak selalu harus luruh—kadang cukup diletakkan agar kita bisa melangkah.”

“Menang tak selalu berarti mengalahkan orang lain; kadang, itu hanya perkara berdamai dengan suara yang bergetar di dada.”

“Maaf adalah nama lain dari napas yang tenang.”

“Tidak semua cahaya menyilaukan. Ada yang sekadar menuntun jalan pulang.”

.

Jakarta, pukul 06.07 pagi.

Kabut tipis dan debu dari jalanan bercampur dengan aroma sisa hujan semalam. Stasiun Sudirman penuh sesak, wajah-wajah lelah tertutup masker; lengan mengapit tas, mata kosong mengejar waktu. Di antara kerumunan itu, Abimanyu berdiri sendiri. Tak tergesa, tak pula ingin cepat-cepat ke mana-mana. Ia menatap rel yang basah, seolah dari sana akan datang seseorang yang bisa menjawab semua gelisahnya. Suara pengeras menelan nama-nama stasiun yang akrab: Dukuh Atas—Karet—Tanah Abang. Kota seperti mengulang hafalan yang sama setiap pagi.

Lima tahun. Itulah waktu yang dibutuhkan Abimanyu untuk mengakui bahwa luka bisa tinggal lebih lama dari yang ia kira. Ia pernah pergi dari kota ini dengan dada membusung, ransel penuh semangat, dan impian yang terlalu besar untuk ukuran anak kampung. Kini ia kembali, bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai seseorang yang ingin menyelesaikan sesuatu—menutup pintu yang dulu dibiarkan menganga.

Ia turun ke peron, membiarkan arus manusia menyeretnya menuju tangga. Di puncak anak-anak tangga, langit terbuka, biru muda dengan sisa awan yang koyak. Di bawah jembatan penyeberangan, pedagang kopi keliling mengaduk gula dengan sendok aluminium. Aroma robusta bercampur dengan suara klakson ojek online yang tak sabaran. Jakarta, seperti biasa, riuh dan pura-pura tak peduli.

.

“Hidup yang belum selesai tak bisa disimpan dalam diam.”

Kalimat itu dulu ditulis Gendari di belakang struk belanja, ditempel di dinding dapur kecil rumah kontrakan mereka di Kebon Kacang. Gendari—ibu Abimanyu—menjual nasi uduk di ujung Jalan Sabang. Tangannya kasar, urat di pergelangan menonjol; wajahnya keras, tetapi hatinya penuh doa. Setiap pagi ia mengikat rambut dengan karet yang sama, memanaskan santan, menakar garam, menyuap sisa nasi untuk memastikan rasanya. “Kalau kamu mau jadi apa pun, jadilah. Tapi jangan pulang sebagai orang lain,” pesannya lima tahun lalu, ketika Abimanyu berangkat mengejar kota.

Jakarta menyambutnya dengan kontrakan sempit di Mampang yang jendelanya menghadap tembok, dan keberuntungan kecil berupa sepupu bernama Arjuna. Arjuna sudah terlebih dahulu bekerja di sebuah agensi kreatif digital. Mereka berbagi mi instan dan impian. Dunia kreatif membuka segala kemungkinan: brief yang mepet, revisi yang tak wajar, kopi saset jam dua pagi, dan euforia kecil ketika ide sederhana tiba-tiba menjadi obrolan banyak orang.

Tahun kedua, nama Abimanyu mulai beredar. Tulisannya untuk sebuah brand kecil meledak di media sosial; kampanye “pulangnya rasa” mendadak dipakai orang untuk caption foto keluarga, poster UMKM, sampai baliho di perempatan. Ia diminta ikut kampanye nasional. Karna—atasan langsungnya—pertama-tama memuji, tapi makin hari sorot matanya berubah. Kantor itu bising oleh prestasi kecil yang terus menuntut prestasi yang lebih besar; di sela-selanya, halus, tumbuh bayangan panjang yang tidak dinamai siapa pun: cemburu.

“Tidak semua yang bersinar disukai semua mata. Kadang, terang justru membakar.”

Puncaknya, sebuah proyek besar dituduhkan padanya sebagai hasil plagiarisme. Abimanyu seperti ditarik ke dasar sumur: sunyi, lembap, dan dingin. Ia menonton reputasinya runtuh tanpa bisa menyela. Bukti-bukti diedit. Tangkapan layar dibuat seolah menuduh. Ia dipanggil rapat dadakan, dipersilakan bicara, lalu suaranya dipotong oleh tatapan dingin. Arjuna diam. Ia menatap meja, anak-anak kayu yang tergores, dan tetap diam. “Maaf, Mim. Aku tak tahu harus bagaimana,” katanya usai rapat, suaranya pecah di ambang pintu.

Abimanyu dipecat. Teleponnya sunyi. Grup kantor mengeluarkannya. Di sebuah senja yang terasa lebih cepat gelap, ia menatap bayangannya sendiri di kaca MRT dan tidak mengenali siapa yang memandang balik.

Ia pergi.

.

Di sebuah kota kecil di utara Jawa, Abimanyu mengecilkan suaranya menjadi nama baru: Bayu. Ia tinggal bersama bibi, membantu menjaga warung kelontong yang berbau kapur barus dan minyak kayu putih. Pagi menghitung kembalian, siang mengangkat galon, malam menulis puisi di kertas struk bekas. Ia hidup, tetapi tanpa warna.

“Patah hati karena cinta bisa sembuh. Tapi patah karena pengkhianatan… bisa jadi abadi,” tulisnya suatu malam, lalu dilipatnya kertas itu kecil-kecil dan diselipkan ke dalam dompet. Ia bukan pengkhotbah; hanya seseorang yang ingin membuat napasnya pelan.

Hingga satu malam di awal musim hujan. Abimanyu membuka Instagram di ponsel tuanya dan melihat sebuah kampanye besar yang viral. Desainnya… garisnya… struktur narasinya… mirip sekali dengan konsep yang pernah ia susun lima tahun lalu. Ia menatap layar lebih lama. Di bawah modulasi visual yang paling ia kenal, ada nama yang juga paling ia kenal: Arjuna — Lead Creative Director.

Perutnya mual. Dada sesak. Tetapi nyala yang lama padam tiba-tiba menyala. Bukan nyala amarah, melainkan nyala ingin menyelesaikan.

Ia mengambil kereta malam ke Jakarta. Dompet tipis. Ransel berisi dua kemeja, satu celana panjang, sepasang sepatu yang solnya hampir lepas. Di saku dalam, kertas kecil yang bertahun-tahun memegangnya tetap waras.

.

“Memaafkan bukan melupakan. Tapi meletakkan beban yang tak lagi sanggup kau bawa.”

Ia kembali ke kota yang dulu menelannya. Ia tidak datang untuk menuntut ganti rugi. Ia tidak ingin uang. Ia ingin bicara—kepada Arjuna, kepada Karna, kepada dirinya sendiri.

Pertemuan mereka berlangsung di sebuah kedai kopi di Cipete, tempat yang dulu sering mereka datangi saat semua masih utuh. Lampu kuning temaram, musik jazz pelan, meja kayu yang sama, noda kopi di sudut yang sama. Barista menggiling biji kopi, aroma memukul ingatan.

Arjuna datang pertama. Wajahnya lebih tirus. Matanya menua. “Aku menyesal, Mim,” katanya, menatap meja. “Waktu itu aku takut. Kalau aku bela kau, aku ikut tenggelam. Aku… terlalu ingin berhasil.”

Abimanyu mengangguk. “Aku mengerti. Tapi mengerti tak selalu berarti memaafkan. Ada jarak antara dua kata itu.”

Karna datang lima belas menit kemudian. Bahunya melorot, rambutnya menipis. Ia duduk tanpa nyaman, meletakkan amplop cokelat di antara mereka. “Itu pengakuan. Kronologi komplet. Aku akan kirim ke dewan etik industri. Kau berhak atas kebenaran, Mim. Aku… minta maaf.”

Tak ada pelukan. Tak ada drama yang layak viral. Yang ada hanya udara yang berubah suhu. Ada sesuatu yang jatuh di dalam, mungkin batu yang lama disimpan tubuh—dan akhirnya dilepas.

Di trotoar Cipete yang lembap, Abimanyu berdiri menatap langit yang berkilat. Hujan seperti ingin turun, tetapi tidak jadi. Ia menarik napas begitu dalam hingga dada terasa hangat. Kebenaran tidak memutar waktu, tetapi memberinya ruang untuk berdiri tegak.

.

Ia tidak kembali ke kantor lamanya. Ia menolak tawaran “reputasi” dari agensi besar yang ingin memperbaiki citra mereka dengan mempekerjakannya. Ia memilih meja lipat di pojok kos Karet, dan nama yang sederhana untuk kerja barunya: Pulang Branding.

Di Pulang, ia menampung anak-anak muda yang disisihkan oleh narasi “prestasi” yang sering terlalu bising: Umar yang keluar dari kantor karena tak tahan melihat jam lembur dipalsukan; Madi yang memilih berhenti setelah ide-idenya diambil supervisor tanpa kredit; Citra yang menangis sendirian di toilet setelah komentar “kamu cuma admin” menamparnya berkali-kali. Ada pula Jaya—anak Magetan yang suka menggambar di kertas bungkus nasi—datang membawa map plastik, malu-malu menyerahkan sketsa. Mereka, diam-diam, adalah adaptasi baru dari tokoh-tokoh lama: Umar dan Madi yang setia, Citra yang bening, Jaya yang tabah. Abimanyu tahu, hidup selalu meminjam nama-nama untuk menulis ulang nasib.

Di bulan-bulan awal, Pulang bertahan dari proyek kecil: poster posyandu, kalender mushola, visualisasi kampanye bersih sungai. Mereka meminjam kamera teman, mengetik outline di laptop bekas, menunda gaji mereka sendiri. Tapi setiap karya dikerjakan dengan rapi, dengan catatan akuntabilitas disematkan bersama file final. “Kita boleh kalah cepat, tapi jangan kalah benar,” kata Abimanyu, mengingatkan. Di dinding, ia menempel tiga kalimat yang ia bawa dari luka:

  1. “Kreditan waktu tidak sama dengan kreditan kesetiaan.”

  2. “Bukti harus lebih terang dari pujian.”

  3. “Kita tidak memakan anak-anak kita sendiri.”

Suatu hari, sebuah UMKM sambal rumahan bernama Ninggar datang. Pemiliknya, seorang perempuan muda dari Tegal, gugup sambil memeluk map. “Mas, kami cuma punya uang segini. Tapi kami pengin brand kami punya cerita.” Abimanyu tersenyum. “Uang bisa menyusul. Cerita harus jujur dulu.”

Mereka membangun kampanye “Pedas yang Menjaga Rumah”—mengangkat ingatan tentang dapur yang selalu menyala, ibu yang bangun sebelum fajar, tangan yang menakar cabai sambil menakar harapan. Mereka membuat video sederhana: kamera duduk di meja makan, mengikuti tangan membuat sambal, suara latar bercerita: “Setiap takaran adalah doa.” Video itu menyeberang dari WhatsApp keluarga ke TikTok, dari TikTok ke toko online, dari toko online ke jaringan minimarket lokal. Ninggar tumbuh. Perempuan itu datang lagi, membawa kardus berisi sambal. “Mas, kalau bukan karena Pulang, saya sudah menyerah.” Abimanyu hanya menunduk; kadang, syukur yang baik adalah sunyi.

Namun kota tak pernah kehabisan ujian.

Sebuah perusahaan besar menawari Pulang proyek nasional. Angkanya membuat Umar menatap langit-langit, menghitung tiba-tiba berapa lama hutangnya dengan kos bisa lunas. Mereka bersemangat sampai file brief masuk: konsep yang diinginkan klien meniru persis kampanye luar negeri—dengan foto yang sama, tone yang sama. “Pokoknya bikin mirip. Nanti kami urus kalau ada apa-apa,” kata orang klien di ujung telepon.
Abimanyu mematikan panggilan, menatap timnya satu per satu. “Kalau kita ambil ini, besok kita harus menatap cermin yang sama.”

Madi mengangkat tangan. “Mas, kalau ditolak… kita mungkin gajian telat.”

Abimanyu mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita mendirikan Pulang karena kita tak mau lagi menjadi bagian dari kebiasaan yang menyakiti orang lain dan diri sendiri. Kalau hari ini kita ikut, kita hanya ganti baju dari korban menjadi pelaku.”

Mereka menolak. Hari itu, mereka pulang lebih cepat. Uang tetap tipis. Tapi di meja makan kos, nasi bungkus terasa hangat untuk alasan yang tepat.

.

Di sela-sela memimpin Pulang, Abimanyu tetap menulis. Ia menulis catatan kecil, semacam surat kepada diri sendiri yang dikirim ke udara. Kadang ditujukan kepada seorang kawan lama yang tak lagi bisa diajak bertemu; kadang ditujukan kepada Gendari—sekalipun ibunya tinggal satu gang dari kosnya. “Menulis itu cara memeluk dari jauh,” tulisnya.

Gendari kian sepuh. Langkahnya lebih pelan, tetapi gerak tangannya tetap presisi ketika menakar bawang goreng di nasi uduk. Suatu sore, Abimanyu membawa poster “Pedas yang Menjaga Rumah” dan menempelkannya di salah satu tiang dekat lapak. “Biar orang tahu, Bu, bahwa rumah bukan selalu atap—kadang ia berada dalam rasa yang setia.” Gendari menatap poster itu lama. “Kau belum jadi orang kaya,” katanya, “tapi kau pulang tidak sebagai orang lain.” Airmata yang sudah susut cadangannya kembali mengisi mata Abimanyu.

Di malam yang lain, pesan masuk ke ponselnya: Arjuna. “Mim, dewan etik sudah memanggil Karna. Mereka minta keteranganmu. Aku… ingin kau tahu, aku siap bersaksi.”
Jari Abimanyu berhenti mengetik. Ia melihat jendela kecil kosnya, lampu gedung berpendar seperti jarum jam yang tak lelah menunjuk. Siap bersaksi—dua kata yang datang lima tahun terlambat, tapi masih mungkin menyelamatkan sesuatu: bukan reputasi, melainkan rasa percaya kepada orang.

“Hidup yang belum selesai tak bisa disimpan dalam diam,” gumamnya, dan ia menuliskan kronologi dengan rapi, tanpa nada menghakimi, tanpa dendam yang disisipkan di antara koma.

Sidang etik berlangsung singkat dan senyap. Hasilnya keluar satu pekan kemudian: Karna diberhentikan sementara dan diminta membuat klarifikasi publik. Nama Abimanyu dipulihkan dalam arsip asosiasi. Ada email permintaan maaf yang dikirim massal oleh kantor lama. Netizen tak peduli; tak ada trending. Tetapi di dalam diri Abimanyu, sebuah pintu tua yang sudah lama berderit akhirnya tertutup rapat.

“Mungkin keadilan memang tidak spektakuler,” tulisnya di buku catatan, “tetapi ia membuat seseorang bisa tidur tanpa mimpi buruk.”

.

Pulang tumbuh pelan-pelan. Mereka menyewa ruang kecil di tepi Kuningan, lantai dua ruko yang dindingnya awalnya lembap. Setiap sekrup dipasang bersama tawa. Mereka melatih disiplin yang wajar: jam kerja yang jujur dicatat, apresiasi yang jelas disebut, kredit nama yang lengkap. Di tengah poster storyboard, Abimanyu menggantung sebuah foto kecil: stasiun Sudirman, jam 06.07, peron basah. “Agar kita ingat dari mana kita berdiri kembali,” katanya.

Di suatu proyek, mereka berkolaborasi dengan komunitas pejalan kaki yang disebut Kelaswara, mengajak warga memotret trotoar dan menuliskan cerita pendek tentang kota. Ada remaja dari Tanah Abang bernama Citra yang memotret lampu lalu lintas persis saat hujan turun; ada pemuda dari Palmerah bernama Jaya yang merekam suara klakson lalu menulis puisi satu bait. Mereka mengisi sebuah galeri pop-up di Senopati. Papan nama bertuliskan: “Jalan Pulang Kota: Cerita yang Menginjak Bumi.” Pengunjung datang, beberapa menit menatap, beberapa menit terdiam. Kota, kali ini, tetap riuh; hanya saja, riuhnya menaruh telinga.

Suatu malam, setelah beres membereskan kabel dan tripod, Abimanyu duduk sendiri di tangga ruko. Hujan ringan turun seperti bunyi kertas dirobek pelan. Arjuna datang, ragu, berdiri dua anak tangga di bawah. Ia membawa sebungkus martabak. “Untuk malam-malam revisi yang tidak sedang kita jalani,” katanya canggung.

Mereka makan tanpa banyak bicara. Di antara mereka, ada ruang yang tak perlu dibanjiri kata. “Aku tidak meminta kembali apa pun, Jun,” ujar Abimanyu akhirnya. “Aku hanya ingin memastikan kita tidak menambah jumlah orang yang harus pulang sebagai orang lain.”

Arjuna mengangguk, matanya basah. “Aku ikut belajar, Mim.”

.

Jakarta selalu punya cara mencegat langkah: macet yang menjebak rencana, notifikasi yang menyalak, dan kabar yang memukul di waktu yang salah. Pagi itu, kabar itu datang dari tetangga: Gendari jatuh di dapur. Abimanyu berlari, melewati trotoar yang becek, melewati gerobak soto yang baru dinyalakan. Di rumah, ia menemukan ibunya duduk, menahan nyeri. “Aku hanya oleng,” kata Gendari, berusaha tidak dramatis. “Kau jangan panik.”

Ia membaringkan ibunya, memanggil dokter, menukar gelisah dengan tindakan. Setelah semua mereda, mereka duduk berdampingan. Di dinding, kertas struk yang telah menguning masih menempel: Hidup yang belum selesai tak bisa disimpan dalam diam. Abimanyu mengangkat kertas itu, membingkainya dengan pigura murah, dan menempelkannya kembali. “Kalau suatu hari aku lupa, tolong bacakan lagi, Bu,” katanya. Gendari tersenyum, memegang tangan anaknya yang sudah lebih besar dari dulu. “Pulanglah selalu, Mim. Kalau bukan ke rumah, pulanglah ke kata-katamu.”

Sore yang sama, Pulang menerima brief dari sebuah yayasan pengungsian kota—mereka butuh kampanye yang tidak menjual sedih, tetapi mengembalikan nama. “Boleh kita pakai judul Menamai Pulang?” tanya Citra. “Karena tidak semua orang punya alamat, tapi semua orang butuh disebut.”

Mereka bekerja. Mereka bertemu orang-orang yang kerdusnya lebih rapi daripada banyak jadwal rapat di kantor mewah; orang-orang yang tahu persis kapan lampu merah Tanah Abang paling lama, kapan gerimis datang dari arah mana. Mereka mendengarkan. Mereka merekam. Mereka menayangkan testimoni tanpa musik dramatis, tanpa slow motion yang memanipulasi rasa. “Yang tak mengharap dikasihani, hanya ingin dihormati,” kata tulisan penutup di layar.

Kampanye itu tidak viral. Tetapi satu per satu, tetangga menyapa dengan nama. Satpam mal di Slipi mengenali dua wajah yang sering duduk di emperan; ia menyisakan dua gelas air mineral untuk mereka. Seorang pengunjung tetap warteg menyodorkan tas belanja kain kepada seorang ibu yang biasanya memungut botol plastik. “Biar tidak lecet tangannya,” katanya. Hal-hal kecil, seperti benih yang tidak memamerkan diri.

.

Pada suatu malam Sabtu, Abimanyu berdiri di jembatan penyeberangan Semanggi. Kota menyalakan lampu satu per satu, seperti doa yang menyala pelan. Angin bergerak menggosok pipi, membawa bau aspal basah bercampur sate dan kayu manis dari minuman sachet yang dijual di bawah. Ia mengeluarkan kertas nota kusam dari dompet—yang memuat kalimat lama tentang strategi yang dulu ia tulis untuk dirinya sendiri, saat semuanya terasa runtuh.

Ia membacanya sekali lagi, lalu menambahkan baris penutup:

“Strategi terpandai adalah menjaga ruang di dalam dirimu yang tidak bisa dibeli oleh pujian, tidak bisa diperas oleh ketakutan.”

Kertas itu tidak ia buang. Ia melipatnya lebih kecil, menyimpannya bukan sebagai pedang, melainkan sebagai pengingat.

Teleponnya bergetar. Pesan dari seorang anak magang baru, Ning—nama yang mengingatkan pada Adaninggar dari cerita lama yang dulu diceritakan kakek di serambi. “Mas, aku takut idenya jelek. Tapi aku kirim juga ya?”
Abimanyu tersenyum. “Kirim. Di Pulang, kita menilai ide, bukan menilai orang.”

Di bawah, arus kendaraan mengalir, lampu merah menyapu pelan permukaan aspal. Abimanyu menyilangkan tas, melanjutkan langkah. Ia tahu, ada bab yang selalu menunggu ditulis ulang; tidak untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia benar, melainkan untuk menjaga agar dirinya tidak hilang lagi di dalam kebisingan yang sama.

Di ujung jembatan, ia menoleh pada kota yang, meski tak pernah ramah sepenuhnya, kini tidak tampak seperti musuh. Mungkin karena ia telah berubah: bukan lagi anak yang mengejar lampu, melainkan orang yang tahu cara menyalakan lampu kecil di saku—lampu yang cukup untuk mencari kunci di depan pintu.

.

Beberapa bulan kemudian, Pulang mengadakan kelas kecil di sebuah perpustakaan publik di Tebet. Pesertanya campuran: barista, satpam, admin toko daring, mahasiswa yang kuliah sambil kerja. Abimanyu membuka kelas dengan pertanyaan yang sederhana, “Apa itu pulang?” Jawaban bervariasi: alamat, ibu, bau hujan, nasi hangat, musik yang akrab. “Bagi kami,” ujar Abimanyu menunjuk timnya satu per satu, “pulang adalah kemampuan menyebut nama kita sendiri tanpa suara bergetar.”

Ia bercerita tanpa memperindah. Tentang salah paham, tentang keheningan yang memedihkan, tentang keberanian yang lahir di malam ketika semua tak ada. Ia menyodorkan alat tulis, lalu meminta peserta menulis satu kalimat yang akan mereka tempel di dinding kamar masing-masing. Citra menulis: “Tidak semua lampu harus terang; yang penting, ia menyala.” Umar menulis: “Gaji bisa ditunggu, harga diri jangan.” Jaya menulis: “Kalau ditolak, bukan berarti kita buruk; mungkin pintunya memang bukan untuk kita.”

Di akhir kelas, seorang bapak paruh baya mendekat. “Nak, aku dulu supir kantor. Dipecat karena kecelakaan yang bukan salahku. Aku malu pulang. Setelah dengar ceritamu, aku rasa aku bisa pulang, tapi pelan-pelan.”
Abimanyu menepuk bahunya. “Pelan-pelan pun tetap pulang, Pak.”

Kelas bubar. Orang-orang mengembalikan spidol dan papan klip, lalu kembali ke hidup masing-masing. Di halaman, hujan turun tanpa guntur—sejenis hujan yang mengajari kita untuk tidak selalu menakar badai dari suaranya.

.

Pada suatu pagi yang lain, pukul 06.07, Abimanyu kembali berdiri di peron Sudirman. Suara pengeras mengumumkan kereta tertahan satu rangkaian. Orang-orang menghela napas, ada yang marah kecil, ada yang pasrah. Abimanyu tersenyum kepada seorang ibu yang menggendong anak; si kecil menunjuk kereta, matanya bulat. “Pulang dari mana, Dek?” tanya Abimanyu. Anak itu menyandarkan kepala pada bahu ibunya dan menjawab entah kepada siapa, “Dari mimpi.”

Kereta masuk, pintu terbuka, orang mengalir. Abimanyu berdiri dekat jendela, melihat pantulan dirinya. Ia tampak sama, tetapi di dalamnya, sesuatu telah berubah arah. Pulang akan mendapat tantangan lagi; mungkin akan ada klien yang licik, jam yang terlalu pendek, uang yang kembali tipis. Tetapi kali ini, ia memiliki alamat yang jelas di dalam dirinya—alamat yang tak tercantum di KTP mana pun.

Ia mengeluarkan ponsel, mengetik catatan terakhir untuk pagi itu:
“Jalan pulang paling jauh adalah saat kau harus menjemput dirimu sendiri.”

Kereta merayap, kota mundur di jendela seperti pita film yang diputar pelan. Dan Abimanyu, dengan napas yang tenang, membiarkan dirinya dibawa—bukan oleh arus orang, melainkan oleh keputusan yang sudah selesai.

.

.

.

Jember, 27 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #NarasiUrbana #JalanPulang #JakartaStory #Literasi #EmotionalWriting #PulangBranding #KompasMingguVibes #SelfHealing #Mentorship

.

Quotes yang Terkait dengan Isi Cerpen

  • “Kadang, pulang bukan ke rumah. Kadang, pulang adalah keberanian menjemput bagian dari diri kita yang pernah hilang.”

  • “Hidup yang belum selesai tak bisa disimpan dalam diam.”

  • “Tidak semua yang bersinar disukai semua mata. Kadang, terang justru membakar.”

  • “Memaafkan bukan melupakan. Tapi meletakkan beban yang tak lagi sanggup kau bawa.”

  • “Keadilan tidak selalu spektakuler; ia sekadar membuat seseorang bisa tidur tanpa mimpi buruk.”

  • “Jalan pulang paling jauh adalah saat kau harus menjemput dirimu sendiri.”

Leave a Reply