Itu Bukan Drama, Itu Penyelamatan Diri

“Meninggalkan bukan berarti membenci; kadang itu satu-satunya cara untuk tetap hidup, dan menemukan kembali diri yang hampir hilang.”

.

Malam di Jakarta bisa terasa seperti kaca yang dipoles berulang—mengilap, dingin, dan memantulkan siapa pun yang berani menatap terlalu lama. Pukul dua dini hari, Hamzah berdiri di atas jembatan penyeberangan orang, menatap aliran kendaraan di bawahnya seolah melihat arus sungai di kampungnya di Pamekasan. Angin malam mengibaskan kaus hitamnya yang basah keringat, sisa shift di rooftop bar hotel tempat ia bekerja. Dari kejauhan, lampu-lampu bundaran menyusun lingkaran seperti gelang emas di pergelangan kota. Ia menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya pelan, seperti orang yang hendak mengucap salam pada diri sendiri.

“Kalau besok aku hilang dari grup itu, itu bukan drama,” gumamnya, “itu karena aku mau menyelamatkan nyawa.”

Di ponsel Hamzah, notifikasi meletik seperti minyak panas: Wongso Agung—bosnya yang semua orang panggil Agung—menulis panjang tentang target acara peluncuran merek minuman energi. “Jam dua siang rapat. Pastikan semua vendor hadir. Jangan ada alasan.” Di bawahnya, Umarmaya, yang biasa dipanggil Maya, menanyakan kabar Hamzah dengan kalimat pendek, “Bro, lu kuat?”

Hamzah mengetik, “Kuat,” lalu menghapusnya. Ia memilih diam. Ada jenis kelelahan yang tidak bisa disembuhkan dengan kata-kata penguat; jenis lelah yang paling tajam adalah lelah yang kau rawat sendirian agar tidak menyakiti orang lain. Seperti malam ini.

.

Hamzah tiba di Jakarta tiga tahun lalu dengan dua koper, satu baju batik warisan bapaknya, dan satu saku doa ibunya: “Sing sabar, Zah. Ojo isin, ojo kemrungsung. Dhasar wong apik, mesti ketemu dalan.” Ia menyeberang dari Surabaya dengan bus malam, turun di Terminal Pulo Gebang, dan bertemu Maya di warung soto pinggir jalan. Maya—berkulit sawo matang, rambut selalu dicepol asal, logat campuran Betawi dan Madura—pernah jadi rekan kerja Hamzah di event kecil kampus. Dialah yang menghubungkan Hamzah ke Agung, seorang lelaki separuh baya dengan senyum lebar dan kebiasaan menepuk bahu orang lebih keras dari yang perlu.

“Di kota ini,” kata Agung waktu itu, “yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling bisa ngerti maunya pasar. Lu dua bulan ikut gue, lu ngerti ritme Jakarta. Deal?”

Hamzah mengangguk, terlalu cepat. Dua bulan jadi dua tahun, lalu tiga. Ritme Jakarta menempel di tulangnya: rapat mendadak, revisi desain spanduk pukul satu pagi, vendor yang tiba-tiba batal, klien yang mendadak berubah cita rasa, jam kerja tanpa jam pulang. Dan di antara peluh dan lampu, ada Retna Sari—perempuan yang pertama kali memanggil Hamzah “Zah” dengan nada yang membuat namanya terdengar lebih ringan.

Retna bukan rekan kerja; dia talent sekaligus konten kreator yang sering disewa Agung untuk mempromosikan acara. Hamzah bertemu Retna di gudang dekor saat mereka sama-sama mengikat bunga plastik ke rangka besi. “Cantik itu butuh industri,” kata Retna, tertawa. Hamzah tertawa juga, lalu memperbaiki simpul ikatkan kabel ties di tangannya; beberapa hal terlihat rapuh karena memang harus terlihat rapuh dulu agar kita merasa beruntung saat menyelamatkannya.

Hubungan mereka berjalan seperti kota saat fajar: pelan, lalu tiba-tiba ramai. Retna bercerita tentang mimpinya jadi produser sendiri, punya studio kecil, dan memilih klien yang dia mau. Hamzah bercerita tentang bapaknya yang dulu nelayan di Pamekasan, ibunya yang membuka warung kecil di teras rumah, dan kedua adik yang sedang sekolah di Jember. Mereka seperti dua sepeda di gang sempit: kadang sejajar, kadang satu melaju lebih dulu, kadang berhenti karena ada mobil parkir di jalan.

“Zah,” kata Retna suatu malam, “aku mau bikin program konten baru. Bantu aku, ya. Gampang kok, cuma cari tempat syuting, janjian vendor, sama bikin rundown. Aku bayar per proyek.”

Hamzah mengangguk, mengambil tugas itu di sela-sela pekerjaannya untuk Agung. Retna punya caranya sendiri membuat seseorang merasa dibutuhkan. Lama-lama, Hamzah yang menyusun semua: dari memo biaya hingga negosiasi sewa studio. “Kamu paling ngerti aku,” kata Retna. Kalimat itu seperti gula di bibir gelas teh: manis, lengket, lalu yang terasa kemudian hanya sisa pahit di dasar.

.

Kota bertumbuh dengan cara yang kadang tak bisa kita kawal: gedung baru muncul seperti jamur, kafe baru seperti anak kucing di pelabuhan, dan orang-orang baru seperti cuaca. Namun ada yang tumbuh di dalam Hamzah: kelelahan yang berubah menjadi kebisuan. Puncaknya datang saat bapaknya jatuh sakit.

Zah, bapakmu rawan.” Suara ibunya dari Pamekasan semerintih angin. “Kalau bisa pulang sebentar.”

Agung sedang menyiapkan acara besar. “Gue butuh lu, Zah. Semua file di lu. Lu pulang sekarang? Impossible lah.”

Hamzah melihat kalender: di atasnya ada tanggal-tanggal merah yang tak pernah jadi merah di hidupnya. Ia menunda pulang satu hari, lalu dua hari. Saat akhirnya naik bus malam, kabar datang seperti hujan di hari piknik: bapaknya meninggal subuh itu. Hamzah tiba dua jam setelah pemakaman. Dia menatap halaman rumah yang masih basah tanah, ibu yang mendekap kain sarung bapak, dan adik-adik yang menunduk dengan wajah lebih tua dari umur.

Di malam tahlilan, Hamzah duduk memandangi foto bapaknya yang tersenyum di pigura kayu. “Bapakmu ora pengin kowe ngongso. Bapakmu pengin kowe urip.” Begitu kata tetangga. Kata-kata itu menancap seperti paku dalam kayu jati: kokoh, tapi terasa sangat.

Pulang ke Jakarta, wajah kota berubah. Lampu-lampu seolah memalingkan muka, papan iklan yang dulu terasa megah kini terasa berisik. Agung menyambutnya dengan daftar pekerjaan yang panjang. “Lu ketinggalan banyak, Zah.” Retna menyambutnya dengan deadline dan pesan suara yang cerewet. “Zah, kamu bisa nggak? Kalau nggak bisa, aku cari orang lain.”

Maya memandangnya lama. “Lu masih orang yang sama?”

Hamzah menunduk. “Aku nggak tahu.”

.

Ada kata yang tidak kita pelajari dari buku, melainkan dari luka. Kata itu bernama batas. Hamzah belajar kata itu pelan-pelan. Pagi hari, sebelum rapat, ia berjalan menyusuri trotoar di Tanah Abang, menatap penjual mi ayam yang baru menyalakan kompor, menghirup bau bawang goreng yang menyelinap dari dapur-dapur kecil. “Hidup bukan lomba lari, Zah. Hidup itu menilai dan memilih,” kata almarhum bapaknya dalam ingatan.

Ia mulai memilih tidur. Aneh kedengarannya, tapi benar: dia menutup ponselnya pukul sebelas malam, dan mematikan notifikasi grup selain pesan dari ibu dan adik. Ia memilih makan: bukan roti manis di sela rapat, tapi nasi dan sayur dari warteg langganan. Ia memilih diam: ketika Agung marah, ia tidak membela diri panjang; ia menulis catatan pekerjaan dengan rapih, menyimpan bukti, lalu menuntaskan bagiannya.

Dan ia memilih menilai. Retna mengirim pesan pukul satu pagi: “Zah, layout belum?” Hamzah menjawab pukul delapan: “Aku bisa bantu besok.” Retna mengirim emoji marah, lalu pesan panjang yang membuat kata-kata saling menabrak. Hamzah membaca, menutup mata, lalu tidak membalas.

“Lu berubah,” kata Retna saat mereka bertemu di kafe. “Dulu lu paling sigap. Sekarang kayak nggak butuh aku.”

Aku butuh diriku sendiri dulu,” jawab Hamzah. Ia kaget dengan kalimatnya sendiri, seperti menemukan kunci yang selama ini disimpan orang lain di sakunya.

Retna menatapnya, lama. “Kalau gitu kita profesional aja.” Kalimat itu dingin, tapi juga jujur. Ada jujur yang melegakan karena akhirnya kita tahu di mana berdiri.

.

Pekerjaan puncak tahun itu: peluncuran minuman energi. Agung menginginkan grand entrance: motor gede masuk panggung, lampu tembak menyilang, influencer berteriak slogan, dan band indie membakar suasana. “Ini harus gila,” kata Agung. “Jangan kasih ampun.”

Maya mengangguk. “Gila yang aman, Boss. Jangan sampai vendor listrik nyetrum penonton.”

Hamzah tertawa kecil. Mereka bertiga duduk di pinggiran panggung yang masih rangka. Di bawah, para pekerja menaikkan rigging dengan pulpit carry, memaku lantai panggung, merapikan kabel. Ada pola yang tak mungkin salah: sebelum pesta, kota ini selalu punya jam-jam ketika semuanya menahan napas.

Hamzah memeriksa daftar: jalur evakuasi, APAR, kapasitas gedung, load-in band, waktu pengecekan kabel, jarak penonton dari pirotechnic. Ini pekerjaan yang ia kuasai. Tapi di dadanya, ada detak lain: detak untuk pergi.

Malam sebelum acara, Agung mengumpulkan tim. “Besok semua tangan di atas. Tidak ada cuti, tidak ada telat. Yang telat, potong fee.”

Hamzah mengangkat tangan. “Pak, izin. Besok jam sembilan pagi aku harus ke Puskesmas. Kontrol. Sudah janji sebulan lalu.”

Agung menatapnya seperti menatap meja yang tiba-tiba bicara. “Lu bisa atur ulang, kan? Ini acara terbesar kita.”

Hamzah menatap Agung, lalu menatap Maya. Maya menggeleng pelan, tidak untuk melarang, tapi untuk bertanya: apa yang paling penting? Hamzah menegakkan punggungnya. “Nggak bisa. Aku harus ke sana. Aku bisa gabung jam sebelas.”

“Lu pikir ini usaha lu?” Agung menaikkan suara. “Lu itu siapa? Kalau bukan gue, lu jadi apa di Jakarta?”

Kalimat itu menampar tanpa tangan. Di ruangan itu, semua orang diam. Hamzah menelan ludah. Di kepalanya, suara ibunya: “Anak baik, ojo nganti kowe nyawisno awakmu dadi korban tumindak wong liya.”
Di mulutnya keluar kalimat yang bahkan ia tidak tahu pernah beliau simpan: “Kalau saya bukan siapa-siapa tanpa Bapak, berarti saya bukan siapa-siapa di tempat ini.”

Agung mendesis. “Ngancem?”

“Bukan,” kata Hamzah. “Penyelamatan diri.

Maya menutup mata sebentar, lalu menatap Hamzah dengan pandang yang tidak lagi menahan. “Kalau lu butuh gue, lu tahu di mana cari.”

.

Esoknya, Hamzah datang ke Puskesmas. Ruang tunggu penuh anak kecil, bau antiseptik, poster ibu hamil, suster yang berjalan cepat. Dokter memeriksa tekanan darahnya, bertanya pola tidur, menanyakan apakah Hamzah merasa sedih berkepanjangan.

“Ada duka,” kata Hamzah, “tapi ada juga keputusan-keputusan kecil yang membuat saya… lebih waras.”

Dokter tersenyum. “Itu kabar baik. Orang sering menyangka sehat berarti menahan semua. Padahal sehat itu juga berani memutus yang menyakitkan.”

Saat keluar dari Puskesmas, pesan masuk dari Maya: “Gue cover lu dulu. Selesai kontrol, datang ya.”

Hamzah mempercepat langkah. Di jalan, ia melihat ayah dan anak menyeberang sambil tertawa. Jakarta—dengan segala macet, debu, dan manusia yang bergegas—tetap punya sisinya yang lembut. Ia menyeberang, naik angkutan kota, dan melaju ke venue.

Acara berjalan seperti mesin besar yang akhirnya hidup: suara soundcheck menumbuk dada, lampu LED menggambar semesta di panggung, penonton menumpuk di barikade. Di balik panggung, Hamzah dan Maya mengatur cue pergantian segmen. Agung berlalu-lalang dengan headset yang memperbesar suaranya sendiri.

Puncak acara tiba: motor gede masuk panggung, lampu menyala, influencer berteriak. Beberapa detik kemudian, satu lampu moving head tiba-tiba padam, listrik di sisi kiri panggung turun, dan musik tersentak putus. Penonton bersorak—sebagian cemas, sebagian mengira itu bagian dari pertunjukan. Agung marah, melompat ke control booth. “Siapa yang salah?”

Maya berusaha tenang. “Break satu menit. Nyalakan backup.” Ia menoleh ke Hamzah. “Panel A?”

Hamzah mengangguk, berlari ke belakang panggung, membuka panel listrik, mengunci breaker cadangan, dan menstabilkan arus. Di saat seperti itu, tubuh bergerak lebih cepat dari pikiran. Musik hidup lagi. Penonton kembali bersorak. Acara selesai tiga puluh menit kemudian tanpa insiden lanjutan.

Agung menghampiri mereka, keringatnya menetes seperti hujan di kaca bus. “Kerja bagus,” katanya pada semua orang, lalu menatap Hamzah. “Lu tadi sempat kabur, ya? Untung balik.”

Hamzah menatap Agung dan merasakan sesuatu di dadanya memantap. “Saya nggak kabur. Saya pulang ke diri dulu.”

Agung tertawa pendek. “Bagus. Besok rapat evaluasi jam sembilan. Hambatan hari ini gara-gara lu nggak ada.”

Hamzah mengangguk sopan, tapi di matanya sudah ada keputusan yang lain.

.

Besoknya, sebelum rapat, Hamzah mengetik surat berhenti. Tidak panjang, tidak emosional. Ia menulis terima kasih, menjelaskan alasan, dan tanggal efektif. Ia kirimkan ke Agung, tembusan ke HR. Ponselnya sunyi beberapa detik, lalu meledak: telepon Agung tak henti, pesan Retna “Serius? Kalau kamu keluar, proyek aku gimana?”, pesan Maya “Lu yakin? Gue dukung.”

Hamzah menutup suara telepon. Di atas kertas kecil, ia menulis: Siapa yang benar-benar hadir? Lalu ia menjawab sendiri: Ibu. Adik-adik. Maya. Diriku sendiri. Ia menarik napas; tiba-tiba kota lebih terang dari biasanya.

Rapat evaluasi berlangsung tanpa Hamzah. Agung mengirim surat balasan dengan nada membujuk sekaligus mengancam. “Lu pikir gampang kerja di luar? Banyak yang pengin masuk sini.” Hamzah membaca sekali, lalu menghapus. Bukan karena berani, tapi karena ia akhirnya percaya.

Malamnya, ia bertemu Retna di kafe kecil di Tebet. Retna datang dengan terburu-buru seperti biasa. “Kamu keluar? Zah, kamu pikir aku bisa jalan tanpa kamu?” Ada getir di suaranya, tetapi juga kejujuran yang sedari dulu jarang muncul.

“Kamu bisa,” kata Hamzah. “Kamu selalu bisa.” Ia menatap Retna seperti menatap seseorang yang dulu ia kira rumah, tetapi ternyata hanya halte: tempat singgah yang mengajarkan arah.

Retna menahan air mata. “Kalau aku minta kamu bertahan buat aku?”

Hamzah menggeleng, pelan tapi tegas. “Aku nggak bisa bertahan di tempat yang dulu hampir membunuh jiwaku.”

Retna menunduk, lalu mengangguk. “Baik.” Ia merapikan rambutnya, tertawa kecil untuk menutupi sepi. “Sukses, ya.”

“Jaga dirimu,” kata Hamzah.

Mereka berpisah tanpa janji kapan bertemu. Kadang perpisahan yang baik adalah yang tidak meninggalkan apa-apa kecuali doa.

.

Dua bulan setelah itu, Hamzah bekerja lepas. Maya mengajak mengurus beberapa acara yang lebih manusiawi: festival kampung baca, seminar kesehatan di kelurahan, pasar produk UMKM. Honor tak sebesar event besar, tapi waktu terasa punya kursi untuk duduk. Di sela pekerjaan, Hamzah pulang ke Pamekasan, melihat ibunya menyiram tanaman di teras, mengantar adiknya daftar kuliah di Jember, dan membantu memperbaiki atap warung yang bocor.

Di kampung, malam-malam seperti air yang tenang. Langit menghampar tanpa kabel listrik silang. Hamzah duduk di depan rumah, mengudap jagung bakar, berbicara pelan dengan ibunya.

Urip kuwi kudu wani milih, Zah. Kadang milihku gawe wong liyo nesu. Ning nek ora milih, kowe sing entek.”
“Ngertos, Mak,” jawab Hamzah. “Aku eling.”

Beberapa minggu kemudian, Hamzah kembali ke Jakarta, tapi tidak lagi ke gedung-gedung yang membuatnya menunduk. Ia menyewa ruko kecil di gang dekat stasiun, membuka tempat yang ia beri nama “Ruang Menilai”co-working murah untuk anak-anak muda yang ingin mengerjakan proyek tanpa dikejar jam, lengkap dengan rak buku bekas, kopi hitam gratis, dan papan tulis besar. Ia membuat aturan yang sederhana: tidak ada rapat lewat jam sembilan malam, tidak ada pembicaraan dengan nada menghina, semua orang pulang dalam keadaan masih menyukai dirinya sendiri.

Orang datang dengan alasan berbeda: mahasiswa yang skripsinya berantakan, ibu muda yang ingin belajar desain untuk jualan kue, pemuda yang ingin bikin podcast komunitas. Maya datang membawa tumpukan kabel dan peralatan sound bekas. “Ini sumbangan,” katanya. “Biar ruang ini punya suara.”

Kadang Hamzah duduk di sudut, menatap mereka bekerja, tertawa, berdebat. Ada kebahagiaan yang tidak membuat keringatmu gratis untuk diambil orang lain. Ada rasa capek yang di malam hari berubah jadi mimpi ringan.

Suatu sore, Retna muncul di pintu. Rambutnya dipotong pendek. Ia melihat sekeliling, tersenyum samar. “Tempat kamu lucu.”

“Terima kasih,” kata Hamzah, sedikit canggung.

“Aku… lagi belajar menata ulang,” kata Retna. “Aku mau bikin studio kecil di rumah kontrakan. Bisa pinjam papan tulismu tiap Sabtu?”

“Bisa,” jawab Hamzah. “Bayarnya kopi untuk semua orang.”

Retna tertawa. “Deal.” Ia menatap Hamzah sebentar. “Zah, waktu itu kamu benar. Batas itu bukan benci. Itu… cara bertahan.”

Hamzah mengangguk. “Kita semua belajar.”

Retna pamit. Hamzah kembali ke meja, menuliskan jadwal program. Di bagian atas, ia menggambar garis tebal dan menulis: Jangan lupa pulang—ke rumah, ke ibu, ke diri sendiri.

.

Malam hari, setelah semua kursi dibereskan, Hamzah naik ke atap ruko. Jakarta kembali berkilat di kejauhan. Ia mengingat ayahnya, suara ibunya, tawa adik-adiknya, Maya yang tidak pernah bosan, juga Retna yang kini belajar merawat dirinya. Angin menepuk pipinya.

Di layar ponselnya, ada notifikasi bergabung ke grup lama dari Agung yang tak sengaja memasukannya lagi. Ia menatap tombol “Keluar dari Grup”. Ia tidak marah, tidak getir. Dia hanya tersenyum—seperti orang yang akhirnya menemukan pintu yang selama ini tidak diberi plang.
Ia menekan tombol itu.

Tidak ada ledakan. Tidak ada tepuk tangan. Hanya sunyi yang baik.

Hamzah memejamkan mata. Dalam hati ia membisikkan satu kalimat yang kini tak lagi sekadar penghibur, melainkan kompas: “Itu bukan drama… itu penyelamatan diri.”

.

.

.

Jember, 20 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #SelfLove #PenyelamatanDiri #Menilai #BatasSehat #Jakarta #MenakMadura #ArswendoVibes

 

Leave a Reply