The Untold Hotelier Stories – Service Culture
Apa indikasi adanya service culture di suatu perusahaan pada saat proses perekrutan karyawan?
Saya bisa memastikan, di lembar surat edaran lowongan kerja, perusahaan mencantumkan daftar kualifikasi dan persyaratan. Kemudian di kalimat barisan paling bawah tertulis we will contact only shortlisted candidates for further process.
Pernah membaca kualifikasi misalnya: Male, maximum 25 years old, Consider good looking, Height 175 cm, Without visible tatoo when wearing uniform?
Menurut Anda, ini kualifikasi yang diskriminatif atau selektif?
Silakan dijawab sendiri setelah tuntas membaca naskah tulisan ini.
Service culture di dalam hospitality
Pertama-tama mari kita mendalami makna kata Hospitality Industry. Akar kata dari hospitality adalah host atau dalam terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia adalah tuan rumah.
Maka hospitality dapat diartikan; kita sebagai tuan rumah menciptakan persepsi ramah terhadap tamu, ringan tangan bersedia membantu memenuhi keperluan tamu kapan saja, dan melakukan pendekatan terhadap tamu untuk mengantisipasi permintaan lainnya.
Kemudian, bagaimana tamu dapat merasakan hospitality tuan rumah dengan service culture-nya?
Mari, selanjutnya kita memahami kata Service Culture yang adalah perihal implementasi visi, misi dan core value di suatu hotel, atau perusahaan pada umumnya. Bisa dikatakan, perusahaan menciptakan konsep hospitality tentang customer service yang harus terjadi di dalam perusahaan kita. Terms & Conditions (peraturan perusahaan) dibuat dan dikontrol untuk dijalankan oleh semua yang terlibat di perusahaan. Dengan performa service culture yang positif, kita akan dengan suka hati memberdayakan diri dengan cara mengutamakan tamu. Saya sendiri punya tambahan kata kunci omotenashi; ilmu customer service dari Jepang yang memberikan pengertian “saya akan happy kalau Anda happy”
Service culture ini adalah mentalitas yang berkontribusi pada identitas citra perusahaan. Konsep yang memberikan dasar untuk pengambilan keputusan dalam pekerjaan operasional sehari-hari. Dalam menguraikan sikap yang diinginkan, service culture menetapkan paduan yang tepat misalnya intonasi suara pada saat berbicara, memilih kata-kata yang tepat sesuai kelas kategori bisnis perusahaan dan proses bertingkah laku. Ya, panduan ini akan tercantum dalam materi perusahaan yang disebut code of conduct.
USP
Ketika konsep service culture sudah kuat dan terbentuk dijadikan identitas perusahaan. Maka tugas tim marketing adalah menulis daftar Unique Selling Propositions disingkat USP. Guna USP tentunya akan sering dipresentasikan sebagai solusi memenangkan bisnis pada saat masuk berkompetisi di dalam target-target pangsa pasar. Dikarenakan konsep service culture adalah salah satu dari sales promises. Ini, pada gilirannya akan menjadi ekosistem yaitu membentuk reputasi perusahaan, menentukan posisinya di pasar dan membuka jalan bagi rujukan (referrals), rekomendasi, ulasan yang bagus, dan bisnis yang berulang.
Personalia dan Pelatihan
Di masa-masa awal saya memasuki hospitality industry, tepatnya berkarir di hotel, kualifikasi perekrutan untuk front-liners/ garda depan sangat ketat. Terutama berlaku di hotel-hotel jaringan internasional bintang 5 dan 4. Jabatan tertinggi di Divisi Human Resources adalah Personnel Manager dan Tambahan Training Manager. Belum zamannya Director-Director-an. Manajer Personalia dituntut menjalankan manning guide secara disiplin dan ketat untuk mendukung keperluan operasional.
Misalnya untuk Receptionist di Front Office
Tinggi badan diukur 175 – 180 cm.
Mengapa? Karena harus seimbang dengan tinggi counter Front Office, dan melayani sambil berdiri.
Berat badan ideal 75 – 80 kg.
Mengapa? Karena ukuran seragam adalah X, M atau L. Para Designer baju seragam tidak perlu melakukan pengukuran terhadap karyawan satu per satu. Istilah saat itu adalah ukuran badan yang menyesuaikan seragam, bukan seragam menyesuaikan ukuran badan. Di hotel ada tailor di departemen House Keeping, untuk fitting dan pemeliharaan seragam karyawan.
Mengapa semua itu harus dipatuhi?
Setelah saya onboard, barulah saya mengerti. Para front-liners di Front Office dan Food & Beverage Service, tinggi badannya seimbang ditambah wajah yang semua hampir mirip. Jadi rupanya yang disebut uniform itu bukan hanya busana, tetapi termasuk wajah dan tinggi badan.
Kemudian proses satu bulan pertama induction training adalah termasuk service culture, grooming, etiket dan skill-training.
Pada saat itu saya makin mengerti mengapa kita semua harus menjalani semua pelatihan dengan supervisi dan pendampingan serta penilaian yang obyektif. Masa percobaan tiga bulan berlaku!
Sebagai contoh untuk Etika Makan. Wajib hadir staff Food & Beverage Service, Sales & Marketing, juga Guest Relations.
Ilustrasi realitasnya adalah kita semua datang dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang berbeda-beda. Pembahasan terutama dari yang latar belakang keluarga terlebih dahulu. Satu waiter datang dari keluarga petani.
Pertanyaannya adalah
- Apakah waiter tersebut mempunyai kebiasaan makan bersama di keluarganya?
- Apakah waiter tersebut menata meja makan untuk keperluan makan bersama di keluarganya
- Bagaimana dengan kualitas kebersihan standar keluarga tersebut?
Maka esensi pelatihan disini adalah sinkronisasi semua perbedaan dan kemudian menyeragamkan konsep pelayanan yang harus diimplementasikan terhadap tamu.
Kemudian urusan grooming terhadap front-liner perempuan. Rambut harus dicepol dan dipasangi haarnet supaya tetap rapi sepanjang hari, panduan make-up/ tata rias, dan cara berjalan. Karyawan terseleksi harus dengan disiplin mematuhi semua peraturan perusahaan dan code of conduct. Pendidikan code of conduct ini sangat penting untuk Indonesia yang mempunyai beragam suku, kebudayaan, kebiasaan dan bahasa. Code of conduct yang diajarkan dan diimplementasikan adalah kelas internasional, netral dan bisa dipraktekkan, dipakai di seluruh dunia.
Anda sudah tahu jawabannya terhadap mengapa diperlukan semua implementasi konsep service culture ini?
Sekali lagi service culture untuk membentuk Brand Image
Karyawan dibuat menjadi Ambassador of Brand Image/ Duta Citra Perusahaan
Tujuan utamanya adalah kembali kepada pakem hospitality industry. Ini seperti ilmu hipnotis terapan. Semua penyeragaman terhadap guest contacts adalah dengan tujuan membuat tamu tidak sadar dilayani oleh orang yang berbeda-beda. Tamu hotel check-out hanya membawa pulang kenangan yang menyenangkan dan dibuat kangen untuk kembali check-in dikemudian hari.
Service oriented
Apa ciri-ciri Service Culture?
Tentunya, kita mempunyai “hati” untuk menjadikan perusahaan tempat kita bekerja, menjadi wadah yang tepat untuk mencari nafkah dan berinteraksi dengan rekan kerja di tempat kerja yang memakan sebagian besar waktu kita. Kebiasaan yang diciptakan di tempat kerja bisa membentuk karakter kita juga dengan mengikuti banyak pelatihan dan kebisaan-kebiasaan yang didisiplinkan. Daftar berikut ini bisa jadi sebagian besarnya. Antara lain
Saling menghormati / respek.
Pemberdayaan SDM .
Ritual pekerjaan.
Pemakaian bahasa yang umum dan sopan.
Keramahan-Tamahan.
Celebrations – Perayaan.
Memberikan dan mengelola feedback terus menerus.
Mempunyai kebersamaan dalam tanggung jawab (Teamwork shared responsibility)
Pendekatan service culture selalu berbeda dari bisnis ke bisnis, negara ke negara. Karena konsep bidang jasa ini adalah filosofi, bukanlah seperangkat aturan dan kebijakan. Visi service culture di perusahaan kita sangat bisa berbeda dari milik perusahaan lain di industri yang sama.
Akhir kata, apakah filosofi service culture di perusahaan Anda pada masa pandemi ini maupun pasca pandemi COVID-19 nanti?
Bali, 29 Juli 2021
Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku
Hospitality Industry Consultant Indonesia in Bali, Telu Learning Consulting, Copywriter
Juga tayang di
Hotelier Stories 2021: Service Culture, The Untold Hotelier Stories