Harga Air Mata di Rimba Beton

“Di rimba beton, yang terkuat bukan yang tak menangis, melainkan yang tahu untuk siapa ia menangis.”

.

Di perempatan Salemba yang selalu sesak, lampu merah memantulkan warna merah bata ke permukaan aspal yang baru diguyur gerimis sore. Hamzah berdiri di tepi zebra cross seperti menimbang nasibnya sendiri: menyeberang atau kembali. Jaket denimnya menyimpan bau kopi dari warung seberang kampus, dan di ponselnya, notifikasi—yang dulu menjadi sumber degup—kini tinggal riwayat.
Nama Zubaidah tak lagi muncul di layar.

Kota, seperti biasa, bergerak tanpa hati. Transjakarta menggerung, tukang ojek daring mengacung, tukang rokok ketengan menawarkan “Satu aja, Bang?”, dan dari kejauhan suara azan magrib merembes di antara sela ruko seperti doa yang tak lagi punya kursi di ruang rapat manusia modern. Keramaian merayap dari kolong-kolong jembatan; hon, percakapan, tawa yang serak, dan peluit polisi lalu lintas membentuk orkes yang tak pernah berhenti.

Hamzah menarik napas panjang. Ada momen ketika seseorang tidak lagi menangisi kehilangan, melainkan menghitung kewarasan yang bisa diselamatkan. Ia menyentuh kepala—sekadar memastikan dirinya masih utuh—lalu menyeberang ketika warna merah berganti hijau yang pucat.

.

Pertemuan di Ruang Malam

Mereka bertemu di sebuah kelas malam tentang ekonomi perkotaan, sebuah ruang yang lebih mirip gudang buku daripada kelas: lampu neon berdesis, papan tulis yang cat hitamnya mengelupas, spidol yang selalu hampir habis. Di luar jendela, hujan awal Oktober menampar Jakarta, membikin trotoar seperti kaca. Zubaidah datang terlambat, rambutnya basah, helaan napasnya seperti seseorang yang mengejar sesuatu lebih dari sekadar waktu.

Ada cara Zubaidah duduk—tegak, mata menyapu ruangan—yang membuat Hamzah berpikir tentang orang-orang yang tak pernah betah menjadi penonton. Ia memotret materi di papan, tetapi yang tersimpan justru cara perempuan itu memperbaiki karet gelang pada buku catatannya, gesit dan teliti, seakan lembar kertas bisa menjadi jangkar.

Setelah kelas, mereka turun bersama. Hujan tinggal gerimis, dan ketoprak di trotoar menguar bau kacang yang gurih.
“Kamu ambil kelas ini buat apa?” tanya Zubaidah sambil meniup uap dari gelas teh.
“Supaya kota berhenti terasa seperti labirin,” jawab Hamzah.
“Labirin cuma menakutkan kalau kamu berdiri diam,” Zubaidah menatap lurus. “Selama berjalan, kau selalu menemukan jalan keluar.”

Sejak saat itu, mereka menjadi dua penjelajah di peta yang sama. Hamzah bekerja di biro konsultan kebijakan publik—tabel, grafik, NPV dan IRR; sementara Zubaidah jurnalis lepas—catatan tangan, perekam suara yang baterainya sering tinggal satu garis. Mereka menyusuri kios-kios kecil yang tersingkir oleh proyek; mewawancarai ibu-ibu yang bertahan dengan lapak sayur di bawah jembatan layang Pasar Senen; mencatat pergeseran harga kontrakan di kampung pinggir kali. Mereka pijak selokan yang tertutup papan, menghindari genangan, menyeberang dengan keyakinan bahwa zebra cross adalah doa yang bisa dibaca kendaraan.

“Jika kota bernapas,” kata Zubaidah di suatu sore, “ritmenya ada di langkah mereka.” Ia menunjuk penjual mie ayam yang menyiapkan mangkuk sambil bercanda dengan anaknya. “Di situ, detaknya.”

Hamzah jatuh cinta di sebuah halte yang bocor. Saat air merembes dari atap dan membentuk kolam kecil di bawah kaki, Zubaidah tertawa. “Jakarta selalu ingin menguji sepatu.” Sejak itu, Hamzah tahu: ia tidak lagi berjalan sendirian.

.

Keping Masa Kecil

Kerapuhan orang dewasa sering lahir dari sesuatu yang tak terjelaskan di masa kecil. Pada malam-malam yang panjang, Zubaidah bercerita. Ia tumbuh di rumah kontrakan dekat stasiun, ayahnya petugas kebersihan kantor kelurahan, ibunya menjahit baju sekolah tetangga. Listrik sering padam; mereka menyalakan lilin kecil. Zubaidah kecil belajar mengeja berita koran sambil mendengar bunyi kereta seperti degup yang memastikan dunia tidak berhenti. “Aku ingin menulis agar orang-orang kecil seperti Bapak punya tempat di kertas,” katanya.

Hamzah tumbuh di kampung gang sempit di Jatinegara. Ibunya guru TK, ayahnya sopir angkot yang dulu hafal nama setiap penumpang langganan. Di meja makan, ayah mengajarkan tiga hal: jangan potong antrean, jangan potong pembicaraan, jangan potong rezeki orang. “Kalau jadi orang, nak,” kata ayah pada suatu pagi, “pastikan kau tidak membuat orang lain menjadi lebih kecil.”

Mungkin karena itulah mereka mudah saling percaya. Keduanya merasa kota tidak akan adil jika tidak ada yang bersuara. Keduanya tahu suara paling lirih di kota adalah suara yang tidak didengar.

.

Retak yang Mengendap

Masalah datang bukan seperti badai, melainkan seperti gerimis yang rajin, setia, dan licik. Tenggat tulisan Zubaidah mulai tumpang tindih. Redaksi meminta judul yang “lebih menggigit”, narasumber yang “lebih trending”, angle yang “lebih bisa dijual”. “Jaga klik, jaga minat,” kata editor di telepon. “Kita ini media, bukan panti asuhan.” Zubaidah menelan kalimat itu. Ia mengurung diri di kamar kos, kipas angin tua mengaduk udara pengap, jendela menghadap tembok yang dihinggapi lumut.

Di kantor Hamzah, tender proyek mengalir bersama hal-hal yang tak lagi bisa disebut transparan. Spreadsheet tampak rapi, presentasi mengilap, bahasa manajemen mengalun bagai mantra: quick win, low hanging fruit, stakeholder alignment. Tapi di sela kata-kata itu, Hamzah mencium jejak yang tidak semestinya: angka yang terlalu pas, nama perusahaan yang mendadak muncul, tenggat yang mendesak di luar logika.

Pertemuan mereka terpangkas. Rencana Sabtu batal karena lembur. Pesan dibaca nanti. Senyum ditunda. Mereka berdua bergerak di kota, tetapi seperti menempuh jalur yang semakin berjauhan. Kota menelan jam-jam terbaik mereka dengan santai.

Di bawah neon kafe yang berpura-pura hangat, Zubaidah berkata, “Kamu tahu, Jayeng—kadang yang paling membuatku takut bukan kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan alasan.”
“Alasan apa?”
“Alasan kenapa aku menulis. Kenapa aku bangun. Kenapa aku memilih kota ini, dan kamu.”

Hamzah menatap uap kopi yang berputar seperti garis-garis nasib. “Kita masih di peta yang sama.”
“Tapi di blok yang berbeda,” balas Zubaidah pelan.

Ada orang ketiga? Tidak. Ada kesalahan besar? Tidak juga. Ada luka-luka kecil yang diulang-ulang, hingga akhirnya cinta terasa seperti arsip yang menunggu dimusnahkan. Di layar ponsel, percakapan mereka tampak seperti tangga yang berhenti sebelum mencapai lantai berikutnya.

“Kalau begini,” kata Zubaidah, “yang kita rawat tinggal ingatan bahwa kita pernah baik.”

Hamzah ingin membantah, tetapi yang keluar hanya diam. Diam yang berat, yang mengandung sejenis keikhlasan pahit—atau mungkin kelelahan.

.

Rehat: Kata Manis untuk Patah

Malam itu, di depan lift apartemen lantai tujuh, mereka saling memeluk tipis. “Bukan karena aku berhenti sayang,” Zubaidah menulis di pesan terakhirnya, “tapi karena aku ingin sayang pada diriku yang tersisa.” Hamzah membaca berulang kali. Kata-kata seperti pil pahit yang dilarang digigit.

Ia berjalan dari Sudirman sampai Dukuh Atas. Langkahnya menyusuri jalur yang pernah mereka tapaki bersama; gedung-gedung mencakar langit dengan ambisi yang dingin, trotoar baru yang lebih lebar tapi tetap penuh, selasar MRT yang berkilat. Jakarta bergerak; ia ikut bergerak; hanya satu yang diam—namanya, yang pernah dipanggil dengan rindu, kini senyap.

Di kepalanya, Hamzah mendengar gema pitutur lama, semacam serat yang dibacakan ayah di masa kecil: ksatria yang sigap bukan yang tak pernah kalah, melainkan yang tak memohon pada pintu yang sudah ditutup dari dalam. Ia menggenggam ponsel, nyaris mengirim “Jangan pergi.” Ia menghapusnya. Sebab kasih sayang bukan penjara, dan seseorang yang tinggal karena dikunci hanya akan mencari jendela.

.

Pasar yang Hendak Dikosongkan

Tiga bulan kemudian, proyek besar datang: revitalisasi pasar tradisional di pinggiran Bekasi. Rapat-rapat di ruang kaca, pendingin ruangan menusuk kulit, slide mengilap meluncur di layar: masterplan, zonasi, ROI. Bosnya tersenyum lebar. “Bagus. Kamu orang kita.”

Di lapangan, Hamzah melihat perkara yang tidak tercantum di slide: mata-mata kecil yang cemas. Emak Munah, ibu paruh baya pemilik kios bumbu; Ina penjual kain perca; Halim si tukang kunci; Sardi yang sudah tiga puluh tahun mengasah pisau dapur di sudut. Di antara mereka, rumor beredar seperti kabut: pengosongan, kompensasi, relokasi—semua terdengar bagai kata-kata asing yang belum punya padanan rasa.

“Nak,” kata Emak Munah sambil menyalakan kompor kecil untuk merebus air, “kota ini besar, tapi jangan bikin hati saya kecil.” Tangannya bergetar ketika menuang teh. Di belakangnya, poster dangdut kusam, kalender bengkel motor, dan foto keluarga yang tersenyum canggung.

Kalimat itu menabrak dada Hamzah. Malamnya ia menulis memo internal: rekomendasi transisi yang manusiawi, kompensasi adil berdasarkan masa sewa dan pendapatan, area relokasi sementara yang benar-benar layak, konsultasi publik yang tidak cuma formalitas untuk laporan. Ia menambahkan catatan tentang cara berkomunikasi, contoh di kota-kota lain, daftar risiko sosial jika dipaksa cepat.

Memo itu ditolak. “Terlalu idealis,” komentar atasan. “Klien butuh cepat. Pasar lama kotor, kumuh. Kita datang untuk membaikkan.” Hamzah menatap huruf-huruf di email seperti menatap hujan yang turun ke sungai yang sedang penuh: mengalir, tak bisa ditahan, berpotensi banjir.

Ia pulang dengan hati berat. Di kamar, ia membuka pesan lama Zubaidah: “Menulis itu menolak lupa. Bekerja pun harusnya begitu.” Ia menyalakan lampu meja kerja, mengeluarkan buku catatan. Dalam hati ia berkata pelan, “Baiklah, aku menolak lupa.”

.

Memilih Tidak Berkhianat pada Diri

Esoknya, Hamzah kembali ke pasar. Ia duduk di bangku plastik Emak Munah; mendengar, bukan menjelaskan. Mengukur bukan dengan meteran proyek, melainkan dengan jarak antara lapak dan hidup. Ia menggambar peta sirkulasi, menandai jalur yang tak boleh diputus karena di situlah rezeki mengalir setiap pagi. Ia menemui Pak RT, pemilik tanah kosong di belakang pasar, pengurus mushola. Ia menyadari kota bukan bangunan; kota adalah jaringan persetujuan.

Hamzah kemudian menemui Umaraya—teman kuliahnya yang kini bekerja di lembaga bantuan hukum. Mereka bertemu di warkop tepi jalan; kopi tubruk dan suara siaran pertandingan sepak bola memenuhi ruang. Umaraya membaca draft yang disodorkan Hamzah: opsi transisi yang lebih manusiawi, timeline realistis, skema keterlibatan pedagang, model kios sementara, kanal pengaduan yang benar-benar menjawab.

“Ini bagus,” kata Umaraya, menekan jemari ke dahi. “Tapi kamu siap dianggap pengkhianat oleh kantormu?”
“Aku bukan hendak mengkhianati,” jawab Hamzah, “aku cuma tak ingin berkhianat pada diriku.”

Rapat darurat digelar. Di ruangan dengan dinding kaca, orang-orang bicara di atas data, di bawah jam. “Kamu mau jadi pahlawan?” tanya bosnya setengah mengejek.
“Tidak,” jawab Hamzah, suaranya stabil. “Saya mau jadi manusia.”

Ia kehilangan proyek; jabatan tak berubah tapi udara di sekitarnya menjadi tipis. Ada kursi-kursi yang tak lagi menoleh, ada obrolan yang berhenti ketika ia datang, ada grup chat yang tiba-tiba sunyi untuknya. Namun di dadanya ada sesuatu yang tidak lagi menggigil: keputusan. Sejenis pilar yang tidak tinggi tapi kokoh, ditanam diam-diam.

Pada malam-malam sepi, Hamzah kembali berjalan dari halte ke halte seperti dulu ketika baru patah. Namun kali ini ia tidak mengirim pesan pada Zubaidah. Ia menulis untuk dirinya sendiri: catatan tentang pilihan kecil yang menunda perkara besar; daftar hal yang bisa ia lakukan tanpa perlu izin; rencana untuk kembali ke pasar sebagai relawan yang tak perlu kartu nama. Ia menyimpan catatan itu seperti orang menyimpan lilin—tidak untuk dipamerkan, hanya untuk saat lampu padam.

.

Banjir di Cipinang

Jakarta masuk musim hujan yang benar-benar hujan. Awan menumpahkan air seperti seseorang menumpahkan isi ember di balkon. Di Cipinang, air naik setinggi paha orang dewasa. Warna cokelat susu, bau lumpur dan solar bercampur. Warga berlarian menyelematkan bantal, ijazah, dan panci warisan. Di ujung gang, seorang anak kecil tersenyum karena bisa berenang di halaman rumah.

Notifikasi yang tak lagi ditunggu tiba-tiba muncul: Zubaidah.
“Kamu lihat live report banjir Cipinang? Aku di sana,” tulisnya. Hamzah membuka tautan. Wajah Zubaidah—letih tapi tegap—mengabarkan angka pengungsian, stok logistik, celah di tanggul yang belum ditutup. Kamera goyang; suara reporter lain menerobos; namun sebelum siaran ditutup, Zubaidah berkata:
“Yang paling berat dari bencana bukan airnya, melainkan bagaimana kita kembali percaya pada darat.”

Hamzah mematung. Kalimat itu menempel di dinding benaknya. Setelah siaran, mereka bertukar pesan—pendek, hati-hati. Tidak ada “kamu di mana” yang menuntut, tidak ada “kita harus” yang memaksa. Hanya dua orang yang pernah baik, berjabat dari kejauhan.

“Aku dengar kamu ribut soal pasar itu,” tulis Zubaidah di hari lain. “Bangga.”
“Jangan bangga dulu,” balas Hamzah. “Belum tahu akhirnya bagaimana.”
“Yang penting kamu memilih.”

Pada hari ketika langit kembali biru setengah hati, Hamzah datang ke posko pengungsian. Ia menyusun kardus mi instan, mencatat daftar kebutuhan, mengarahkan truk bantuan yang bingung alamat. Dalam kerumunan, ia melihat sekelebat sosok yang ia kenal—jaket hujan plastik, rambut diikat, suara tegas mengatur pembagian selimut. Zubaidah tidak melihatnya. Hamzah memilih tetap jauh. Kadang, menjaga jarak adalah cara paling lembut untuk merawat yang pernah baik.

Malamnya ia menulis di ponsel, jempolnya pelan seperti menakik kayu:
Catatan 1: Cinta pada kota bukan mengagumi gedungnya, melainkan membela orang yang tak terlihat dari puncak gedung itu.
Catatan 2: Cinta pada manusia bukan memaksa mereka tinggal, melainkan merestui mereka memilih.
Catatan 3: Air mata mahal karena kita jarang membelinya untuk diri sendiri.

.

Hari-hari Tanpa Suara

Beberapa minggu berikutnya, hidup bergerak seperti kereta ekonomi: pelan tapi pasti, berhenti di banyak stasiun. Pagi, Hamzah menunggu KRL di peron yang lembab; suara pengumuman bercampur bau roti sobek dan minyak rem. Siang, ia duduk di ruang rapat dingin, mencatat hal-hal yang tidak ingin ia pertahankan selamanya. Sore, ia menuntaskan pekerjaan, keluar lebih awal, menuju pasar. Malam, ia menemani tim relokasi yang bergantian piket, memastikan kios sementara tak bocor, kabel listrik tak telanjang, toilet portable tak dikunci.

Ada masa ketika hidup meminta kerja manual: memindahkan krat ke tempat yang lebih tinggi sebelum hujan turun, mengikat terpal, menghitung ulang, menenangkan orang yang cemas—dan semua itu, entah bagaimana, menyembuhkan bagian-bagian yang tak bisa disembuhkan oleh nasihat.

Suatu sore, Emak Munah menawarinya teh. “Kamu ini siapa sebenarnya, Nak? PNS? LSM? Keluarga lurah?”
Hamzah tertawa kecil. “Saya… Hamzah saja.”
“Kalau gitu, makasih, Hamzah saja. Karena kamu, saya tidak merasa sendirian numpang hidup di kota orang.”

Hamzah menunduk. Ia tidak heroik; ia hanya takut suatu saat memandang cermin dan melihat orang yang berhenti menjadi dirinya.

.

Di Kafe Cikini

Takdir sering memilih tempat yang sederhana untuk menaruh pertemuan. Kafe kecil di Cikini itu pencahayaannya kuning, meja kayu dipernis tipis, lantai ubin yang pernah putih sekarang krem susu. Ada rak buku yang memajang novel Indonesia lawas, poster film hitam putih, dan kipas langit-langit yang berputar pelan.

Zubaidah datang membawa bekas hujan di ujung jilbab. Tidak ada musik dramatis, tidak ada pelukan yang mematahkan punggung.
“Kamu baik?” tanya Zubaidah.
“Belajar baik,” jawab Hamzah. “Kamu?”
“Masih menulis di tengah pasar yang bising.”

Mereka berbicara tentang ojek yang sekarang menaikkan tarif hujan; tentang liputan Zubaidah di kampung tepi tol—kampung yang menolak pindah karena makam leluhur. Tentang buku yang sedang dibaca: Zubaidah menyebut novel yang tokohnya tak pernah sampai rumah; Hamzah menyebut buku esai tentang kota yang mengajarkan cara berjalan pelan di trotoar yang ingin kau lari.

“Aku masih percaya cerita bisa mengubah sesuatu,” kata Zubaidah. “Tidak banyak, tapi sesuatu.”
“Seperti batu kecil yang mengubah arah sungai,” kata Hamzah.
“Atau seperti satu orang yang memutuskan berhenti menangis untuk yang salah,” Zubaidah menatap cangkirnya.

Di sela percakapan, ada jeda yang dulu terasa mengancam, kini memberi ruang. Jarak di antara mereka bukan tembok, melainkan trotoar: bisa dilewati, bisa juga dibiarkan. Mata bertemu, lalu memilih kembali pada cangkir kopi.

“Kadang,” kata Zubaidah pelan, “yang terbaik yang bisa kita berikan pada cinta adalah cara yang benar untuk berpisah.”
“Dan cara yang benar untuk menjadi teman,” sambung Hamzah.

Mereka pulang ke arah berbeda. Tidak ada janji besok. Tidak ada rencana untuk tidak bertemu lagi. Hanya dua manusia yang pernah baik, kini belajar menaruh air mata di tempat yang tepat.

.

Catatan untuk Kota

Di pasar Bekasi yang pelan-pelan berubah, tenda putih berbaris seperti deretan harapan yang belum tuntas. Hamzah menyaksikan pembukaan kios sementara di lahan kosong. Tidak sempurna—lantai masih tanah yang dipadatkan, bau cat menyengat, kipas angin baru setengah bekerja—tetapi ada listrik, atap tak bocor, toilet portable tak dikunci. Emak Munah berdiri di depan lapaknya; spanduk “Sementara” bergoyang.
“Kalau begini,” katanya, “saya bisa jualan sambil nunggu yang permanen. Terima kasih ya, Nak.”
“Semoga cukup.”
“Di kota, yang cukup itu anugerah.”

Hamzah mengangguk. Pada siang yang berangin, ia memotret deretan kios, lalu menyimpan ponsel. Ia tidak mengunggahnya ke media sosial. Ada hal-hal yang lebih baik disimpan sebagai ingatan, bukan tontonan.

Sepulang dari sana, ia duduk di pinggir kolam Bundaran HI. Orang-orang berlari, berfoto, bergandeng tangan. Petang jatuh seperti selimut, lampu-lampu hidup satu per satu. Hamzah mengetik di ponsel: “Aku pernah ingin memintamu tinggal. Sekarang aku berterima kasih karena kau memilih jalanmu. Terima kasih karena pernah melambat di sisiku.”

Ia tidak mengirimnya. Kalimat itu cukup menjadi doa yang tak perlu alamat.

.

Surat untuk Diri Masa Depan

Malamnya, Hamzah menulis surat untuk dirinya sendiri—tradisi kecil yang diambil dari saran seorang mentor lama. Ia menulis pelan, huruf demi huruf seperti merapikan pernapasan.

“Hamzah yang akan membaca ini, semoga kau masih percaya bahwa manusia bisa memilih tanpa membenci. Semoga kau masih ingat kau akan gagal beberapa kali, memalukan beberapa kali, tapi kau bangun kembali tanpa menukar integritas dengan tepuk tangan. Jika suatu hari kau lelah, ingat ucapan ayah: jangan potong antrean, jangan potong pembicaraan, jangan potong rezeki orang. Di kota, tiga hal itu sering tampak kalah. Tapi justru di situlah kemenangan kecilmu disimpan.”

Ia menutup buku. Di luar, suara hujan kembali, tipis-tipis. Ia mematikan lampu meja, membiarkan satu lampu kuning kecil menyala di sudut, seperti mercusuar untuk kapal yang tidak ingin menepi.

.

Hari Peresmian

Bulan berputar. Papan proyek bertuliskan “Revitalisasi Pasar” berdiri lebih tegak. Hari peresmian kios sementara tiba. Camat datang; lurah; perwakilan pengembang; beberapa petugas keamanan; dan tentu saja pedagang. Ada tenda, kue-kue kotak, air mineral berderet, panggung kecil. Sambutan bergantian. Kata “kolaborasi” muncul beberapa kali; “akuntabel” diselipkan; “partisipatif” diulang; “inklusif” menjadi semacam rempah.

Hamzah berdiri di belakang kerumunan. Ia melihat Emak Munah yang menyeka mata dengan sudut kerudung, entah karena terharu atau kena asap sate dari lapak yang baru buka. Di tengah kerumunan, ia juga melihat sosok yang tak asing—Zubaidah—kamera kecil menggantung di leher, buku catatan di tangan, wajahnya fokus.

Acara selesai. Orang bubar pelan. Emak Munah mendekat, menepuk lengan Hamzah. “Nak, kamu tidak janji macam-macam, tapi ada.”
Hamzah tertawa kecil. “Semoga kehadiran lebih berguna daripada janji.”
“Janji itu manis saat diundang,” kata Emak Munah, “tapi yang bikin kenyang itu nasi.”

Hamzah menatap langit. Awan berarak, membuka celah biru. Ia teringat kalimat yang dulu ditempel Zubaidah di pintu kulkas: “Yang kuat bukan yang tidak menangis; yang kuat tahu kapan berhenti memberikannya pada yang salah.” Ia menaruh kalimat itu di saku, seperti jimat yang tak terlihat.

.

Kembali ke Cikini

Minggu berikutnya, ia kembali ke kafe kecil di Cikini—tanpa janji, tanpa rencana. Ia duduk di meja yang sama, memesan kopi hitam. Buku tipis terbuka. Orang datang dan pergi. Pukul empat lewat, pintu membuka, dan Zubaidah berdiri di ambang. Karena kebetulan, atau karena kota yang diam-diam ingin memeriksa apakah mereka baik-baik saja.

“Kursi ini kosong?” tanya Zubaidah.
“Silakan.”

Mereka tidak bicara banyak. Cukup beberapa kalimat tentang udara yang makin lembab, harga bawang merah, berita terbaru tentang kota di pesisir yang tanahnya turun beberapa sentimeter tiap tahun. Ada jeda-jeda yang diisi oleh suara sendok bertemu cangkir. Ada tatap yang tidak menghindar, juga tidak menuntut.

“Aku senang kamu ada,” kata Zubaidah akhirnya.
“Aku juga senang kamu ada,” sahut Hamzah.

Keduanya mengerti: ada orang yang kau doakan dari jauh, bukan karena ingin mereka pergi, melainkan karena kau ingin mereka pulang kepada diri yang lebih utuh—meski bukan pulang kepadamu.

Matahari turun. Kafe menyalakan lampu. Waktu melipat dirinya sendiri.

.

Kota Melaju

Di halte, bus datang seperti jawaban yang tak lagi ditunda. Hamzah naik, tap kartu, berdiri di dekat jendela. Kota menggeser tubuhnya pelan-pelan. Di kaca, pantulan wajahnya tampak lebih tegak. Ia tersenyum kecil, bukan karena semua menjadi baik, melainkan karena ia berhenti meminta kota berhenti menjadi kota dan cinta berhenti menjadi manusia.

Kota melaju. Dan air matanya—akhirnya—berharga.

.

.

.

Jember, 18 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMinggu #SastraUrban #Jakarta #CintaDewasa #Integritas #PasarTradisional #Humanisme #NamakuBrandku

Leave a Reply