Halaman Berikutnya

“Jangan berhenti membaca hanya karena satu halaman membuatmu menangis.
Sebab kadang air mata adalah tinta yang paling jujur untuk menulis bab baru.”

.

Kopi Pahit dan Buku yang Tak Pernah Selesai
Di sudut warung kecil dekat jembatan Kali Serayu, seorang pria duduk menatap hampa. Secangkir kopi hitam yang sudah dingin diam di tangannya. Namanya Manggalayuda, lelaki yang kini lebih dikenal sebagai pemilik kios kelontong kecil, namun dulunya—di masa lalu yang gemilang—adalah penggerak komunitas sosial muda lintas kota.

Di pangkuannya tergeletak buku catatan lusuh. Halaman terakhir tertulis: “Bab 23: Kehilangan.” Sejak itu, tak ada satu pun paragraf baru. Seakan hidup berhenti di sana. Angin dari sungai merayap di sela-sela papan warung, membawa suara truk melintas di jalan nasional, bagai jeda panjang yang tak berani disela.

Manggalayuda menatap tinta yang memudar. Di atasnya ada bekas lingkaran kopi, seperti gerhana kecil yang tak pernah tuntas. Ia ingat, dulu setiap bab ditulis dengan ritme kota: rapat-rapat kecil di kafe pinggir jalan, proposal disusun larut malam di co-working space, kalender digital yang penuh titik biru.
Kini kalender itu seperti langit kosong, hanya sekali-sekali tersilang oleh burung layang-layang.

.

Dewi Sanggalangit dan Riwayat yang Tertinggal
Sanggalangit, perempuan yang dulu pernah mengisi hari-hari Manggalayuda, kini berdiri di hadapannya. Mereka bertemu kembali dalam acara Networking CSR Nasional di sebuah hotel di Semarang, gedung kaca setinggi enam belas lantai yang memantulkan senja. Waktu seolah melipat jarak lima belas tahun menjadi lima belas detik.

“Manggalayuda? Astaga… lama banget, ya.” Sanggalangit tertawa pelan, suara yang Manggalayuda hafal dari puluhan rapat dan perjalanan. “Kita nggak pernah benar-benar punya waktu untuk ngopi sejak dulu. Yuk, bahas sinergi sekalian temu kangen.”

Ada getir di matanya. Dan hening yang menggantung terlalu lama di udara. Di meja registrasi, lencana nama bergesekan. Di seberang, poster proyek-proyek sosial berdiri tegak dengan jargon rapi. Mereka berdua berdiri agak miring dari arus orang—seperti dua tanda koma yang lupa diakhiri titik.

Sanggalangit kini bekerja di sebuah yayasan internasional, menempati apartemen di koridor SCBD, naik turun pesawat seperti orang lain naik turun Transjakarta. Ia tampak mapan, rapi, dengan sepatu yang mengilap dan kalender yang padat. Tetapi di balik rapi, ada sesuatu yang melengkung: kelelahan yang disembunyikan kosmetik, kekosongan yang didandani agenda. Sementara Manggalayuda memakai kemeja yang dijahit tetangga kampung, sepatu kain yang mulai tipis, dan sebuah senyum yang jarang keluar.

Mereka saling menatap; di bawah lampu hotel, cerita-cerita lama kembali menuntut halaman.

.

Bab yang Tak Pernah Dibuka
Malam itu, di rooftop hotel yang dingin dan tenang, mereka duduk berdua. Kota di bawahnya gemerlap, Simpang Lima berkilau seperti gelang yang dikenakan seseorang yang sedang ragu-ragu untuk pergi ke pesta. Angin mencium ujung rambut Sanggalangit, membawa aroma kolam renang dan aspal basah.

“Aku masih ingat malam terakhir kita rapat di basecamp,” ucap Sanggalangit pelan. “Kamu pergi tanpa pesan. Kami semua menunggu. Aku menunggu…”

Manggalayuda menunduk. “Aku takut membuka bab selanjutnya,” katanya nyaris tak terdengar. “Takut gagal lagi. Takut kecewakan kamu. Aku pikir dengan diam, aku bisa melindungimu dari diriku sendiri.”

Sanggalangit menatapnya lama. “Kamu tidak mengecewakan aku,” katanya datar. “Kamu hanya menghilang.”

Kata “menghilang” jatuh di antara mereka seperti kunci yang tergelincir dari saku, hilang di celah-celah gelap lantai rooftop. Tak ada yang buru-buru memungut.

.

Hidup yang Tidak Harus Megah
“Dulu aku pikir, kemewahan itu adalah posisi tinggi di lembaga donor internasional, undangan gala dinner, dan paspor penuh stempel,” kata Sanggalangit sambil menyesap teh hangat. Lampu-lampu kota menaburkan bokeh di pupil matanya.

“Tapi sekarang aku tahu, kemewahan itu… bangun pagi tanpa terburu-buru, bisa memilih ingin ke mana, bisa tertawa tulus tanpa protokoler, dan pulang ke rumah dengan hati yang damai.”

Manggalayuda mengangguk pelan. Kata-kata itu seperti kunci untuk pintu yang selama ini ia segel rapat. “Aku belajar menghitung ulang,” jawabnya. “Dulu aku menghitung capaian—jumlah proposal, jumlah penerima manfaat, jumlah publikasi. Sekarang aku menghitung napas: berapa kali aku menarik napas tanpa beban hari ini.”

Sanggalangit tersenyum. “Berapa?”

“Dua. Malam ini mungkin jadi tiga.”

.

Sisa Kota, Sisa Diri
Pagi berikutnya mereka berjalan kaki menyusuri trotoar Semarang. Becak berlalu, ojek daring berhenti, warung bubur menguapkan sarapan. Mereka melewati deretan pertokoan yang baru buka, lampu-lampu neon yang padam tapi masih menyisakan hangat.

Di perempatan, seorang anak menjual tisu. Sanggalangit merogoh dompet, memberi lembaran ribuan. Manggalayuda menahan—bukan karena pelit, tetapi karena rindu pada cara lama mereka membantu: menyapa, mendengar, lalu mengajak duduk.

“Kita dulu penuh rencana,” kata Sanggalangit, “tapi lupa menyiapkan cadangan untuk rasa.”

“Rasa apa?”

“Rasa kehilangan saat rencana gagal.”

Mereka berhenti di halte bus kecil. Di kaca, poster promosi perumahan kelas atas di pinggiran. “Rumah impian.” Manggalayuda tertawa kecil. “Rumah impian itu juga butuh ruang kosong, ya.”

“Ruang untuk menaruh yang belum bisa dijelaskan,” jawab Sanggalangit. “Ruang untuk beristirahat.”

.

Halaman yang Harus Dibaca
Sebelum Sanggalangit kembali ke Jakarta, ia meninggalkan sesuatu: buku catatan bersampul hitam polos. Kosong. Baru.
“Lanjutkan menulis, Galayuda. Tentang siapa pun, tentang apa pun. Tapi jangan berhenti di Bab 23. Hidupmu lebih dari satu bab kehilangan.”

Manggalayuda memegang buku itu erat. Di matanya, ada kilau air yang tak jatuh. Ia tahu, inilah awalnya. Perpisahan di lobby hotel terjadi tanpa drama: hanya pelukan singkat dan janji yang tidak dipaksa.

Di parkiran basement, suara mesin-mesin mobil seperti kalimat yang ditutup rapat—sementara di tangan Manggalayuda, buku itu seperti halaman yang menunggu kata pertama.

.

Di Antara Tol dan Sawah
Perjalanan pulang menjeratnya di tol. Truk-truk berat, suara radio, bau kopi sachet dari rest area, serta langit yang setengah mendung setengah terang. Di kejauhan, sawah membentang. Ia teringat pada ibu yang dulu mengajarinya menulis dengan sabar, pada ayah yang mengukur musim dengan tanaman di halaman, pada dirinya sendiri yang pernah yakin bahwa dunia bisa diatur oleh kemauan yang baik.

Saat lampu-lampu tollgate mendekat, sebuah kalimat muncul: Kebaikan tidak selalu memenangkan panggung, tapi selalu memenangkan jarak pulang. Ia tersenyum sendiri. Seperti itulah baris pembuka yang lama ia cari: bukan yang keras, bukan yang berteriak, melainkan yang tenang dan percaya.

.

Bab Baru Bernama Damai
Di rumah kecil di sisi barat Bukit Kendalisodo, Manggalayuda kini menulis tiap pagi. Diiringi suara ayam, aroma kopi tubruk, dan angin pagi yang sederhana. Dari jendela ia melihat langit yang tidak pernah sama dua hari berturut-turut. Kadang biru padat seperti keyakinan, kadang abu-abu seperti keraguan.

Bukunya kini sudah sampai Bab 38.
Di halaman 37, ia menulis:

“Menurut masyarakat, kemewahan adalah rumah besar, mobil Eropa, dan kehidupan mewah. Tapi kemewahan sejati adalah bisa tidur nyenyak, bangun tanpa cemas, dan tahu bahwa kita mencintai serta dicintai kembali.”

Ia menempelkan kutipan itu di dinding, sejajar dengan foto-foto lama: basecamp di gang sempit, rapat kecil dengan meja lipat, wajah-wajah yang kini tersebar entah di mana. Di antara foto-foto itu ada satu yang paling pudar: Sanggalangit sedang tertawa, kepalanya sedikit menunduk, jemarinya menunjuk angka-angka di lembar excel yang tampak seperti puisi.

.

Kembali ke Kota (Tanpa Mengulang)
Undangan sebuah seminar di Jakarta datang seminggu kemudian. Tema: “Mendefinisikan Ulang Dampak Sosial di Era Overexposed.” Di panggung kecil hotel, Manggalayuda duduk bersama dua pembicara lain. Ia bukan siapa-siapa lagi di kota itu, tetapi ia diminta berbagi. Ada nama-nama lama di daftar hadir: Adipati dari korporasi, Puspawangi dari media, Arya yang kini konsultan. Nama-nama dari kisah Menak Madura yang dulu mereka pinjam untuk menyamarkan diri sendiri dalam permainan cita-cita.

Sebelum sesi, ia berjalan melewati koridor karpet tebal, mengambil air mineral, menyapa petugas yang memasang mikrofon di kerah kemejanya. Di sisi ruangan, Sanggalangit berdiri, mengangkat jempol kecil, tanda yang dulu berarti “kamu aman.”

Ketika mikrofon hidup, Manggalayuda tidak membacakan pencapaian. Ia bercerita tentang Bab 23: Kehilangan—dan bagaimana ia kira buku berakhir di sana. Ia bercerita tentang ruang kosong di antara tol dan sawah, tentang halaman-halaman yang dibuka oleh tangan gemetar.

“Dampak sosial—setidaknya bagiku—bukan hanya angka,” katanya. “Dampak adalah kemampuan manusia untuk pulang ke dirinya sendiri. Kalau program kita membuat orang bisa tidur nyenyak malam ini, itu dampak. Kalau kegiatan kita membuat seseorang berani memaafkan dirinya sendiri, itu dampak.”

Ruang yang semula dingin menjadi hangat. Ada orang yang menunduk, ada yang mengangguk, ada yang menutup mata. Moderator memotong sebelum Manggalayuda mengulang kalimatnya, tetapi beberapa kata sudah keburu menempel di dinding ruangan seperti relief kecil.

.

Makan Siang yang Tidak Ada Agendanya
Seusai acara, Manggalayuda dan Sanggalangit duduk di pojok restoran hotel. Menu yang datang terlalu banyak untuk dua orang. Mereka tertawa.

“Rasanya seperti dulu,” kata Sanggalangit, “kecuali sekarang kita tidak berlomba-lomba menaklukkan kota.”

“Kita sudah belajar membiarkan kota menjadi dirinya sendiri,” jawab Manggalayuda.

Di meja sebelah, dua eksekutif muda membicarakan tender. Di sudut lain, sepasang orang tua memperdebatkan rasa sup. Pelayan berlalu-lalang seperti paragraf yang menutup celah-celah keheningan.

“Kalau kamu bisa menulis ulang satu bab hidupmu, bab apa yang kamu pilih?” tanya Sanggalangit.

“Bab di mana aku menghilang,” jawab Manggalayuda jujur. “Aku ingin menulis surat waktu itu. Tidak panjang, hanya satu halaman: aku takut, tapi aku pamit untuk belajar berani.”

Sanggalangit menatap piringnya. “Kamu masih bisa menulisnya. Surat yang terlambat tidak selalu sia-sia.”

.

Surat yang Datang Setelah Hujan
Malam itu Jakarta hujan. Jalan-jalan licin, lampu-lampu memantul di aspal seperti festival kecil. Di kamar hotelnya, Manggalayuda mengambil buku bersampul hitam. Ia menulis di lembar paling belakang—bukan karena bab ini sembunyi, tetapi karena ia ingin memberinya punggung, agar tidak mudah robek.

“Kepada Sanggalangit, kepadaku yang lama, dan kepada kota yang pernah kita kira milik kita:
Aku tidak menghilang karena benci. Aku menghilang karena takut melihat diriku di matamu yang jujur. Aku takut melihat rencana yang tidak sanggup kupenuhi, dan cinta yang tidak sanggup kujaga.
Aku datang lagi bukan untuk mengulang, tetapi untuk menyampaikan terima kasih. Kalau suatu hari kita duduk di halte yang sama, biarlah kita menunggu bus yang berbeda, sambil tertawa pada hal-hal kecil yang dulu kita anggap besar.
—Galayuda.”

Ia memotret surat itu dengan ponsel, mengirimkan pada Sanggalangit. Dua tanda centang muncul, lalu “sedang mengetik…” cukup lama. Balasan datang sederhana: “Terima kasih sudah menulis. Hujan malam ini seperti halaman yang bersih.”

.

Bab 39: Menyimak
Di kereta bandara keesokan pagi, Manggalayuda bertemu seorang lelaki paruh baya yang memegang buku catatan kosong. Mereka mengobrol tanpa nama. Lelaki itu bercerita tentang anaknya yang pindah sekolah, tentang pekerjaan yang tiba-tiba berganti, tentang rencana-rencana yang mengecil seperti baju kesayangan yang tak lagi muat.

“Aku takut memulai,” katanya.

“Mulailah dengan mendengar,” jawab Manggalayuda. “Kadang kita tidak perlu menulis kalimat pertama. Kita hanya perlu menyimak sampai kalimat pertama mau menulis dirinya sendiri.”

Di jendela, bandara mendekat. Pesawat yang baru mendarat meluncur perlahan seperti kalimat yang menutup paragraf panjang.

Manggalayuda menulis di buku: Bab 39—Menyimak. Ia menambahkan catatan kecil: Tak semua cinta harus dimiliki. Tak semua cerita harus diulang. Setiap luka perlu dirawat—dan kadang, satu-satunya cara adalah membuka halaman berikutnya, meski tangan gemetar, meski hati belum siap.

.

Epilog yang Tidak Mengunci Pintu
Bertahun-tahun kemudian, kota-kota tetap berubah: kafe baru dibuka, gedung baru ditinggikan, trotoar dipugar, festival silih berganti. Sanggalangit sesekali mengirim foto-foto: tanaman di balkon apartemennya, langit pagi di antara gedung-gedung, sepiring nasi goreng yang ia masak sendiri. Dalam beberapa foto ada tawa yang tidak menuntut apa-apa.

Manggalayuda menata ulang kiosnya. Di rak paling atas ia menaruh beberapa buku catatan kosong. “Siapa tahu ada yang mau memulai,” katanya pada pelanggan yang bertanya. Di dinding, kutipan itu tetap tergantung:

“Jangan berhenti membaca hanya karena satu halaman membuatmu menangis.”

Di bawahnya, ia menambahkan sepenggal kalimat lain dengan spidol hitam:
“Karena setelah air mata, tangan kita biasanya lebih ringan untuk membalik halaman.”

Dan begitulah, kehidupan mereka tidak berakhir di bab yang mendebarkan atau di paragraf yang menuntut tepuk tangan. Mereka memilih epilog yang tidak mengunci pintu: cukup menutup buku pelan-pelan saat malam datang, lalu bangun besok pagi dengan keberanian kecil untuk membuka halaman berikutnya.

.

.

.

Jember, 21 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HalamanBerikutnya #CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #KehidupanUrban #RefleksiDiri #MoveOn #MenulisHidup #MotivasiHarian #Storytelling #EmotionalHealing

Leave a Reply