Embun yang Tak Pernah Menetap
Karier yang runtuh bukan akhir dunia; sering kali itu hanya cara hidup menepikan yang bukan jatah kita, agar kita berani berjalan ke arah yang lebih sejati.
.
Malam baru saja diusir lampu-lampu kota ketika Panji Narawangsa tiba di rooftop kafe itu. Jakarta di bawahnya berkilau seperti sisa pesta yang tak mau bubar: deretan gedung kaca, jalan tol layang, dan lampu kendaraan yang bergerak seperti garis-garis neon di papan EKG raksasa.
Udara masih basah. Pada pagar kaca, titik-titik embun menempel, bergetar pelan ditiup angin pagi. Panji menyentuhnya dengan ujung jari. Rasa dingin itu mirip sekali dengan pesan singkat yang ia terima dua jam lalu.
We regret to inform you…
Kalimat bahasa Inggris yang sopan, rapi, dan memutus sebelas tahun hidupnya sebagai konsultan di firma itu. Divisi mereka ditutup. Pasar menyusut. Restrukturisasi. Paket kompensasi. Semua alasan yang terdengar profesional, tetapi di telinganya hanya terdengar sebagai satu kata: gagal.
“Mas Panji?”
Suara barista memecah lamunannya. “Latte satu, seperti biasa?”
Panji mengangguk. Ia sudah terlalu lelah untuk mengganti kebiasaan sekecil apa pun. Di meja kecil dekat pagar, ia duduk sendiri. Dari sini ia bisa melihat gedung tempat kantornya berada, hanya berjarak tiga blok. Lantai dua puluh tujuh; ruang meeting dengan jendela besar tempat ia dulu mempresentasikan strategi miliaran rupiah dengan suara mantap, kemeja putih licin, dan jas abu-abu.
Sekarang, kartu aksesnya sudah tidak aktif.
Teleponnya bergetar. Nama yang muncul di layar: Sekarjati.
“Sudah sampai?” suara Sekar, hangat tapi waspada.
“Sudah. Di rooftop langganan,” jawab Panji.
“Aku habis visit pasien. Jam sembilan aku nyusul, ya?”
“Ngapain? Pagi-pagi begini kamu belum tidur.”
“Aku tahu kamu kalau diam kelamaan, nanti isinya drama di kepala,” Sekar tertawa pelan. “Tunggu aku. Kita obrolin pelan-pelan.”
Panji tak bisa menolak. Sejak mereka kuliah di Bandung, Sekar selalu jadi orang yang paling mampu membongkar satu per satu simpul di kepalanya. Tapi bahkan Sekar pun, pikir Panji, mungkin akan kesulitan menemukan kata yang tepat untuk kehilangan sebesar ini.
Ia menatap lagi embun di kaca. Beberapa mulai menguap, hilang tanpa pamit.
.
Panji tumbuh di keluarga kelas menengah mapan di Malang. Ayahnya, Raden Panaraga, adalah dosen teknik sipil yang kemudian menjadi konsultan proyek infrastruktur. Ibunya, Rengganis, guru bahasa Indonesia di SMA favorit.
Sejak kecil, Panji sudah diajari bahwa pendidikan adalah jalan paling lurus menuju masa depan. “Orang lain boleh punya warisan tanah,” kata Panaraga suatu malam ketika listrik padam dan mereka duduk diterangi lilin. “Kita warisannya cuma satu: otak. Jadi kamu harus jaga baik-baik.”
Panji percaya. Ia belajar sungguh-sungguh, langganan juara kelas, masuk universitas negeri ternama di Bandung lewat jalur prestasi. Di sana, hidupnya seperti katalog kehidupan kelas menengah ke atas Indonesia: kos dekat kampus, komunitas debat, kopi susu sachet yang pelan-pelan naik kelas menjadi cold brew di kafe modern.
Di kampus itulah ia bertemu Sekarjati, mahasiswi kedokteran yang aktif di organisasi bakti kesehatan. Nama Sekar mengingatkan Panji pada cerita wayang Menak yang sering didongengkan neneknya: kisah Panji dan Sekartaji yang tak kunjung bertemu karena tertukar takdir. Setiap kali melihat Sekar, Panji merasa seolah cerita itu tiba-tiba melompat dari halaman buku ke bangku kantin tempat mereka duduk berdiskusi.
“Kenapa sih kamu ngotot banget mau masuk firma konsultasi itu?” tanya Sekar suatu sore, ketika mereka duduk di tepi Sungai Cikapundung yang sudah dipercantik.
“Karena di sana, aku bisa bantu banyak perusahaan tumbuh,” jawab Panji percaya diri. “Impact-nya besar, gajinya juga lumayan, bisa bantu adik-adik sekolah lebih tinggi.”
Sekar mengangguk, meski matanya menyimpan tanya. “Asal kamu ingat, hidup itu bukan cuma tentang upgrading lifestyle, ya. Jangan sampai kamu kerja sampai lupa bertumbuh sebagai manusia.”
Panji tertawa. “Dokter kok ngomongnya kayak filsuf.”
Sekar tersenyum tipis. “Kata dosenku, dokter itu harus mengobati lebih dari sekadar tubuh. Kita juga harus memperhatikan isi kepala dan hati.”
Panji menganggap itu romantis. Ia tak tahu bahwa kalimat Sekar akan menghantuinya bertahun-tahun kemudian, di ruang meeting ber-AC dingin dan target yang tak pernah berhenti bertambah.
.
Tahun-tahun awal di Jakarta berjalan seperti roller coaster. Panji diterima di firma konsultasi multinasional yang ia impikan. Ia masuk sebagai analis junior: level terbawah, penuh tugas remeh, tapi setiap lembur terasa seperti investasi.
Gaji pertamanya habis untuk menyumbang renovasi rumah orang tua, membeli ponsel baru untuk adiknya Ragil Kencana yang kuliah desain grafis, dan mentraktir Sekar makan di restoran rooftop—yang kelak menjadi tempat favorit mereka.
Perlahan, hidupnya naik kelas. Ia pindah dari kos sederhana ke apartemen kecil di Kuningan, mencicil mobil, rutin ikut kelas bahasa asing dan sertifikasi profesional. Secara finansial, ia naik ke tangga yang sering dibicarakan influencer motivasi: upper middle class dengan kemampuan traveling setahun sekali, menabung untuk DP rumah, dan punya asuransi kesehatan yang baik.
Namun seiring naiknya tangga itu, jam tidurnya turun drastis. Panji mulai terbiasa pulang lewat tengah malam, bangun sebelum subuh, hidup dari kopi dan presentasi PowerPoint.
“Mas, kapan terakhir kamu lihat langit tanpa plafon kantor?” tanya Ragil suatu malam ketika ia menginap di apartemen Panji.
Panji meringis. “Tiap kali aku naik rooftop, kok.”
“Naik rooftop buat ngerokok pas jam lembur, itu namanya lari sebentar, bukan hidup,” jawab Ragil. Adik bungsunya itu baru saja memulai bisnis desain kreatif bersama beberapa teman, bekerja dari co-working space dan kafe-kafe kecil. Penghasilannya belum stabil, tapi matanya selalu berbinar saat bercerita.
“Yang penting kamu bisa tidur,” lanjut Ragil. “Karier juga butuh jam istirahat.”
Panji tak membantah, tapi juga tak mengubah apa pun. Target proyek terus datang, promosi demi promosi menggeser namanya naik di tangga jabatan. Di usia tiga puluh dua, ia menjadi associate partner termuda. Di pesta kantor merayakan pencapaian itu, bos besarnya menepuk bahu Panji dan berbisik, “You are our rising star.”
Malam itu, di balkon gedung pertemuan hotel bintang lima, Panji menatap lampu-lampu kota dan mengira ia akhirnya menggenggam pagi di telapak tangannya.
.
Lalu datanglah tahun ketika dunia tiba-tiba rem mendadak. Pandemi, krisis, disruption; istilah-istilah yang selama ini hanya ia temui di slide presentasi tiba-tiba menjadi kenyataan yang menyusup ke setiap ruang makan, tiap grup WhatsApp keluarga.
Proyek-proyek klien dibatalkan. Banyak hotel dan restoran yang selama ini menjadi portofolio kebanggaan firmanya terpaksa menutup pintu. Di layar laptop, ia menyaksikan para pemilik usaha—orang-orang yang dulu ia lihat sebagai angka revenue—kini bercerita dengan suara bergetar tentang karyawan yang harus dirumahkan.
Di saat itulah Sekar, yang sudah menjadi dokter anak, bekerja bergantian shift di rumah sakit rujukan. Ia pulang dengan mata merah, membawa cerita tentang bayi yang ditinggal sendirian di ruang isolasi karena orang tuanya positif.
“Dunia lagi kacau, Ji,” kata Sekar suatu malam, duduk di lantai ruang tamu apartemen, masih memakai baju hazmat setengah terbuka. “Aku nggak punya energi untuk mendengar kamu stres gara-gara bonus tahunan berkurang.”
Panji diam, tertohok.
Sejak itu, ia mencoba lebih banyak mendengar. Ia ikut menyusun strategi CSR klien-kliennya, membantu mereka mengubah hotel kosong menjadi tempat isolasi, restoran mewah menjadi dapur umum. Untuk pertama kali, ia merasa pekerjaannya menyentuh sesuatu yang lebih dari laporan laba rugi.
Krisis mereda pelan, tetapi luka di banyak sektor belum benar-benar sembuh. Firma tempatnya bekerja merespons dengan mengubah strategi: fokus pada pasar baru, digitalisasi, dan efisiensi. Kata terakhir itu akhirnya mengetuk pintu divisi yang dipimpin Panji.
.
“Ini bukan soal performa kamu,” ujar Darsa, managing partner, dalam rapat singkat yang terasa seperti vonis. “Kamu tahu sendiri, segmen hospitality kita terpukul. Secara global, headcount harus dipangkas. Kamu dapat penawaran paket terbaik.”
Panji menatap folder biru di depannya, jantung berdegup keras. “Setelah sebelas tahun, perusahaan bilang begitu saja?” tanyanya, suara bergetar namun tetap sopan.
“Panji…,” Darsa mencondongkan tubuh, menatap penuh empati. “You are one of our best. Tapi kadang, pasar tidak berpihak. It’s not about you.”
Kalimat itu, entah mengapa, justru terdengar seperti cara halus mengatakan bahwa ada sesuatu pada dirinya yang tidak cukup.
Malam itu, ia berjalan sendirian dari kantor ke kafe rooftop. Matanya panas, bukan hanya karena lembur bertahun-tahun, melainkan karena satu perasaan: dikhianati.
Ia mengira hatinya dicuri oleh keputusan yang dibuat orang lain.
.
Sekar datang ketika matahari sudah naik sejangkal. Ia melepaskan masker, duduk di seberang Panji, dan menatap laki-laki itu lama-lama.
“Marah?” tanya Sekar pelan.
“Aku bahkan nggak tahu harus marah ke siapa,” jawab Panji. “Ke pasar? Ke pandemi? Ke diriku yang bodoh karena terlalu betah di zona nyaman?”
Sekar mengaduk kopi hitamnya. “Kamu ingat dongeng yang sering diceritakan simbahmu waktu kita pertama kali mudik ke Malang bareng?” tanyanya.
“Yang mana? Simbah punya stok dongeng satu universe sendiri.”
“Yang tentang Panji yang kehilangan Sekartaji karena salah pilih jalan. Padahal dari awal, mereka memang ditakdirkan tersesat dulu sebelum bertemu lagi.”
Panji mengernyit. “Terus?”
“Simbahmu bilang, manusia itu suka menyebut ‘kehilangan’ pada sesuatu yang memang bukan miliknya,” Sekar mengulang pelan, seolah membaca teks dari dinding tak terlihat. “Seperti menggenggam embun. Kita menyalahkan pagi padahal sejak lahir embun tidak ditakdirkan menetap.”
Panji terdiam. Bukan karena ia baru mendengar kalimat itu, tapi karena ia lupa betapa dalam artinya. Di masa kecil, ia cuma mengira itu metafora tentang cinta. Ternyata, bisa juga tentang karier.
“Mas,” Sekar melanjutkan, “mungkin firma itu bukan rumahmu. Selama ini kamu cuma numpang belajar dan numpang bangga.”
“Lalu yang hilang dari aku apa?”
“Yang hilang cuma ilusi kendali,” jawab Sekar. “Dirimu yang sungguh-sungguh nggak ke mana-mana.”
Kata-kata itu menggema di kepalanya. Di belakang punggung Sekar, matahari memantul di kaca-kaca gedung. Embun di pagar tadi nyaris lenyap, menyisakan jejak tipis yang sulit terlihat.
Untuk pertama kali sejak menerima email itu, Panji menarik napas panjang tanpa rasa sesak.
.
Beberapa bulan kemudian, hidup Panji sama sekali tidak menyerupai template karier di brosur kampus.
Pagi hari, ia mengajar sebagai dosen tamu di sebuah sekolah bisnis, mengisi mata kuliah tentang manajemen layanan dan strategi hospitality. Siang hari, ia membantu kelola sebuah kafe kecil di Tebet yang ia buka bersama Ragil dan beberapa teman, memadukan kopi dengan ruang diskusi terbuka. Malam hari, ia mengerjakan proyek konsultasi kecil-kecilan untuk UMKM yang ingin beralih ke dunia digital.
Penghasilannya turun drastis dibanding masa menjadi associate partner. Namun anehnya, rasa bersalah yang dulu menempel tiap kali ia tidur hanya beberapa jam, kini berkurang. Ia pulang ke rumah orang tuanya di Malang lebih sering, ikut nimbrung di teras saat ayahnya diskusi dengan petani tentang irigasi, atau menemani adik sepupunya mengerjakan tugas.
“Mas ini sekarang kayak orang punya tiga karier,” komentar Ragil suatu sore di kafe mereka yang diberi nama Atap Panji. Kafe itu menempati lantai teratas sebuah ruko; dari terasnya, pengunjung bisa melihat langit Jakarta yang jarang terlihat dari jalanan.
“Dosen, konsultan, sama tukang cuci gelas,” goda Ragil.
Panji tertawa sambil menggulung lengan kemejanya. “Diversifikasi, Gil. Portofolio karier.”
“Bahasanya tetap aja ya, finansial banget,” celetuk Kelana Jayeng, sahabat mereka yang merintis startup edukasi dan menyewa sudut kafe sebagai ruang workshop. “Yang penting, kamu bahagia nggak?”
Panji menghela napas, menatap pengunjung yang mulai memenuhi meja. Mahasiswa, pekerja kreatif, ibu muda yang membuka laptop sambil mengawasi anaknya menggambar di pojok khusus anak. Di dinding kafe, Ragil melukis kutipan simbah yang kini menjadi motto mereka:
“Jangan mengira hatimu dicuri; yang pergi hanyalah apa yang tak pernah menyatu.”
“Aku belum sepenuhnya bahagia,” kata Panji jujur. “Tapi untuk pertama kali dalam hidup, aku tidak merasa berjalan di koridor orang lain.”
Kelana mengangkat gelas. “Selamat datang di dunia orang-orang yang memilih jalan memutar, Ji.”
“Padahal dulu aku paling benci nyasar,” sahut Panji.
“Kadang jalan memutar itu satu-satunya jalan yang benar,” ujar Ragil. “Tanya saja sama Google Maps.”
Mereka tertawa. Di luar, langit mulai berwarna jingga.
.
Suatu malam, Panji diundang menjadi pembicara dalam sebuah seminar karier di kampus lamanya. Tema acara itu: “Menata Ulang Mimpi Setelah Krisis.”
Di aula yang dulu menyaksikan dia tercengang mendengar pidato motivasi senior-seniornya, kini Panji berdiri di panggung, menatap ratusan mahasiswa yang duduk dengan ponsel di tangan, mata mereka bergantian menatap layar dan wajah pembicara.
Panji mengawali dengan cerita yang jujur: tentang lembur-lembur yang dulu ia banggakan, tentang gaji besar yang ia pakai untuk membeli barang-barang yang jarang ia nikmati, dan tentang email pemutusan kerja yang datang tanpa aba-aba.
“Waktu itu, aku merasa dunia bersekongkol melawan aku,” katanya. “Seolah-olah, ada tangan jahat yang mencuri masa depan yang sudah susah payah kubangun.”
Ia berhenti sebentar, mengingat embun di pagar kaca pagi itu.
“Sampai akhirnya, aku teringat nasihat simbahku,” lanjut Panji. “Simbah bilang, kadang kita menyebut ‘kehilangan’ pada sesuatu yang sejak awal nggak pernah berpihak pada kita. Seperti menggenggam embun, lalu menyalahkan pagi atau sinar matahari, padahal embun memang tidak ditakdirkan menetap.”
Beberapa mahasiswa menatapnya lebih serius.
“Teman-teman,” Panji melanjutkan, “kalau suatu hari kalian kehilangan pekerjaan, kesempatan beasiswa, atau bisnis yang kalian bangun dari nol, tolong jangan langsung menyimpulkan bahwa hidup membenci kalian. Bisa jadi, kalian memang sedang dipaksa melepaskan sesuatu yang hanya numpang lewat.”
Seorang mahasiswa mengangkat tangan. Namanya Angling Darma, mahasiswa tingkat akhir yang sudah tiga kali gagal seleksi magang di perusahaan besar.
“Mas Panji,” tanyanya, “kalau yang hilang itu bukan cuma pekerjaan, tapi juga rasa percaya diri, gimana cara menemukannya lagi?”
Pertanyaan itu menggantung di aula, berat dan jujur.
Panji tersenyum kecil. “Percaya diri itu bukan hadiah yang diberikan perusahaan atau jabatan, Ling,” ujarnya. “Itu hasil dari mengenali diri sendiri, termasuk mengakui bahwa kita pernah jatuh. Waktu aku kehilangan kerja, aku sempat merasa nggak berguna. Tapi pelan-pelan aku sadar, kemampuan menganalisis, berkomunikasi, dan membangun relasi tidak ikut di-PHK.”
Ia menatap ke arah pintu masuk, di mana Sekar berdiri diam, tersenyum bangga.
“Aku mulai dari hal kecil,” lanjut Panji. “Menawarkan bantu UMKM menyusun strategi pemasaran, mengajar kelas online gratis tentang manajemen usaha kecil. Dari situ, aku lihat wajah-wajah yang terbantu. Ternyata nilai diriku tidak sesempit kartu nama.”
Angling mengangguk pelan. Aula hening.
“Intinya,” Panji menutup, “jangan biarkan satu pintu tertutup membuat kalian lupa bahwa kalian punya kaki untuk berjalan mencari pintu lain. Kadang, kehilangan itu justru peta baru.”
.
Malam itu, selepas seminar, Panji dan Sekar berjalan menyusuri koridor kampus yang mulai sepi. Pohon-pohon besar di kanan kiri terasa lebih tua, atau mungkin memang mereka yang kini membawa usia.
“Kamu hebat,” kata Sekar tiba-tiba. “Tadi kamu bikin banyak anak muda merasa nggak sendirian.”
Panji tertawa pendek. “Padahal aku sendiri masih sering takut.”
“Takut itu nggak apa-apa,” jawab Sekar. “Yang penting kamu nggak berhenti melangkah. Takut jalan sendirian? Ya sudah, kita jalan bareng.”
Panji menoleh, menatap perempuan yang delapan tahun lalu ia ajak makan di kantin dengan uang hasil kerja paruh waktu. Sekar kini sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya, kadang praktik di klinik, kadang memberi webinar kesehatan, kadang ikut bantu di kafe Atap Panji mengisi kelas parenting.
Mereka pun hidup dengan diversifikasi kariernya sendiri-sendiri: dokter, edukator, pebisnis kecil. Tidak ada satu pun yang rapi seperti diagram di buku teks, tapi semuanya nyata.
“Kamu pernah menyesal nggak, Kar?” tanya Panji pelan. “Milih jalan ini, bukan jalan yang lurus dan aman?”
Sekar menggeleng. “Menyesal itu buat hal-hal yang kita tahu pasti salah. Jalan kita cuma… tidak mainstream. Bukan berarti keliru.”
Panji menghela napas. “Aku masih belajar ikhlas, jujur saja.”
“Wajar,” kata Sekar. “Ikhlas itu bukan tombol on-off. Itu proses menerima bahwa yang pergi bukan milik kita. Termasuk pekerjaan, termasuk rencana, termasuk versi diri yang kita banggakan.”
Mereka berhenti di bawah lampu taman. Di atas mereka, langit kota menyisakan sedikit sekali bintang. Namun Panji merasa, kali ini, ia tidak perlu lagi menyalahkan cahaya gedung atau polusi. Ia cukup mengakui bahwa bintang-bintang di kota memang tidak seterang di desa, dan itu tidak apa-apa.
“Mas,” Sekar menepuk lengannya. “Kalau embun bisa menghadapi matahari tanpa drama, masa kita kalah?”
Mereka tertawa bersama. Tawa yang tidak sepenuhnya menghapus lelah, tetapi cukup untuk membuat langkah terasa lebih ringan.
.
Tahun-tahun berikutnya, Atap Panji berkembang menjadi ruang pertemuan berbagai dunia: pebisnis kecil, pekerja korporat yang sedang berpikir resign, mahasiswa yang bingung merancang masa depan, ibu rumah tangga yang ingin kembali bekerja. Di sana, kopi diseduh bersama cerita-cerita tentang jatuh dan bangkit.
Panji, Ragil, dan Kelana menyusun program kelas rutin: dari literasi keuangan, strategi pemasaran digital, sampai sesi berbagi tentang kesehatan mental. Sekar sesekali mengisi kelas tentang menjaga tubuh dan pikiran tetap sehat di tengah tekanan karier.
Di dinding utama kafe, selain kutipan simbah, Ragil menambahkan satu kalimat baru yang lahir dari perjalanan mereka:
“Karier bukan garis lurus menuju puncak, melainkan lingkaran-lingkaran kecil tempat kita kembali belajar menjadi manusia.”
Setiap kali Panji menatap tulisan itu, ia teringat dirinya yang dulu berjalan cepat di lorong-lorong kantor, takut ketinggalan kereta promosi. Kini ia tetap berjalan, tapi dengan ritme yang lebih pelan, memberi ruang untuk berhenti dan melihat sekeliling.
Ada hari-hari ketika ia masih merindukan kartu nama dengan logo firma internasional. Ada malam-malam ketika ia menatap laporan keuangan kafe yang pas-pasan dan bertanya dalam hati apakah keputusan ini masuk akal.
Namun di saat-saat ragu itu, ia selalu kembali ke atap, menatap embun yang setiap pagi singgah sebentar di pagar kaca sebelum menghilang. Ia belajar menyapa embun tanpa menuntutnya menetap.
Suatu pagi, saat matahari mulai naik dan karyawan-karyawan kantor di gedung sebelah bergegas menuju lift, Panji berdiri di teras kafe dengan secangkir kopi di tangan. Di belakangnya, suara tawa pengunjung bercampur dengan bunyi mesin espresso dan keyboard laptop.
Ia tahu, hidupnya tidak lagi berada di jalur yang dulu ia rencanakan rapi. Tapi untuk pertama kali, ia merasa tidak sedang kehilangan apa pun. Ia hanya sedang menemukan, sedikit demi sedikit, bagian-bagian diri yang dulu tertutup jas kantor dan presentasi klien.
“Terima kasih, embun,” gumamnya pelan. “Sudah mengajariku seni melepaskan.”
Dan di atas atap kota yang hiruk itu, embun menjawab dengan cara paling sederhana: dengan lenyap tanpa dramatis, meninggalkan permukaan kaca bening yang siap memantulkan pagi baru.
.
.
.
Malang, 29 November 2025
.
.
#CerpenKarier #KelasMenengahKota #PerjalananKarier #DiversifikasiKarier #MotivasiProfesional #LiterasiUrban #NamakuBrandku