Di Ujung Hening Berdenyut Sebuah Awal

“Kadang-kadang, diam bukan kekalahan. Diam adalah jeda yang memperkenalkan kita pada arah baru.”

“Ada kalanya hidup tampak sepi dan tak bergerak. Namun di balik diam, kadang semesta sedang menata ulang jalan yang lebih baik.”

.

Pagi kota menyala dari kaca-kaca tinggi: siluet gedung yang berganti warna seperti ganti kulit, dari biru pucat menuju keperakan. Di kawasan bisnis yang dipenuhi kafe berlogo minimalis dan parkiran yang selalu sempit, Jayeng Sawunggaling—teman kampus biasa memanggilnya “Jayeng”—menatap wajahnya di lift yang memantulkan sinar matahari pertama. Kemeja katun tipis, celana chino, sepasang oksford yang mengilap. Ia seperti potongan kecil dari orkes perkotaan menengah ke atas yang sudah hafal rute MRT, “third-wave coffee,” dan diskon akhir pekan untuk keanggotaan pusat kebugaran.

Di tangannya, ponsel berkedip: Board Meeting: 09.30. Ia menarik napas panjang. Bukannya gugup—ia terlatih untuk menghafal angka, menguraikan data, menimbang ROI—namun pagi ini terasa berbeda, seperti ada jeda tak terlihat di antara detik. Diam, tapi mengembang.

“Pagi, boss,” sapa Madi—rekan divisi pengembangan bisnis yang lebih suka memanggil siapa pun dengan nada bercanda. Nama lengkapnya Umar Madi, tapi kartu namanya hanya menulis Madi. Temannya yang satu lagi, Maya—Umar Maya—mengikut sambil menenteng cold brew.

“Lo malam lembur lagi?” Maya menguap. “Timeline properti di Kelapa Gading itu buas, Jay.”

Jayeng mengangguk sambil tersenyum tipis. “Bukan buas. Hanya lapar. Dan kita hobi memberinya makan.”

Mereka tertawa kecil. Pintu lift terbuka di lantai dua puluh enam. Lobi kantor menyambut dengan anyaman rotan bermotif kontemporer, artinya mahal tapi ingin tampak merakyat. Di balik kaca bening ruang rapat utama, sosok Retna Laksmini sedang memeriksa slide di layar. Rambutnya dicepol rapi, kemeja gading, dan tatap mata yang tidak pernah terburu-buru. Retna masuk tim perencanaan wilayah yang ditempatkan langsung di bawah direktur; semua orang tahu ia tajam pada detail, setenang arus bawah di sungai kota yang diam-diam memahat tebing.

Jayeng menelan ludah. Ada sesuatu dari Retna yang membuat sunyi menjadi kalimat lengkap. Mungkin karena ia tidak suka pamer cerdas, tapi semua keputusan menjadi masuk akal ketika mengalir dari bibirnya. Atau mungkin karena ia berkali-kali menolak “makan siang kerja bareng” tanpa menjadi dingin—menolak tanpa membuat orang merasa ditolak. Di kota yang suka mengundang bising, gaya hening seperti itu laksana halaman kosong yang ingin diisi.

.

Rapat dimulai dengan derak kecil kursi, denting gelas, dan clicker yang berpindah. Wiram—Wiramenggala, kepala divisi operasi—memaparkan grafik, menggerakkan laser pointer mengikuti garis yang naik-turun seperti nyala jantung. “Kita perlu menggeser fokus residensial premium ke mixed-use dengan sumbu publik yang lebih ramah pejalan kaki,” katanya. “Orang-orang kelas menengah atas sekarang membeli cerita, bukan hanya luas bangunan.”

Retna mengangguk. “Cerita yang bisa disentuh, bukan hanya dibaca. Jalan kita bukan sekadar koridor mobil; harus bisa dilintasi kaki, stroller, kursi roda, sepeda lipat, dan mata anak-anak.”

Jayeng menambahkan proyeksi: “Jika tenant mix kita kurasi untuk brand lokal yang punya nilai pelestarian, margin mungkin turun satu sampai dua persen, tapi footfall bisa naik stabil. Nilai jangka panjang lebih sehat.” Ia jeda sebentar. “Orang membeli ketenangan yang terencana. Bukan ramai yang kebetulan.”

Direktur mengangkat alis. “Ketenangan yang terencana. Menarik.”

Retna melirik sekilas, seperti memberi tanda tak kasat mata. Jayeng mengangguk tipis, merasa kalimat itu sebenarnya milik bersama—lahir dari banyak dialog yang belum mereka ucapkan.

.

Malamnya, lampu-lampu kota seolah menaburi jalan layang dengan tepukan bintang. Jayeng duduk di kursi bar sebuah kafe, menatap draft masterplan yang masih membuka kemungkinan: ruang hijau diapit boutique grocer, jalur sepeda yang tumpang tindih dengan street performance, dan sebuah pocket park kecil yang ia tulis dengan nama Hening Plaza. Di tengah, sebuah kolam tipis setinggi mata kaki, air yang tidak riuh dan jernih, duduk di atas hamparan marmer kusam. Tempat orang menunggu, tanpa merasa terlambat.

“Nama yang berani,” suara muncul di sampingnya. Retna. Tanpa undangan, tapi tidak asing.

“Orang sering mencari ria. Aku ingin memberi jeda,” kata Jayeng.

Retna duduk. “Orang kota takut hening karena bisa mendengar dirinya sendiri. Tapi tetap saja, di titik tertentu, mereka akan mencarinya.”

“Di titik tertentu.”

Mereka berbicara seperti dua orang yang mengingat masa kecil yang sama padahal tak pernah bertemu. Retna bercerita bagaimana dulu ia tumbuh di kota pesisir, belajar menilai arah angin dari gerak daun ketapang. Jayeng bercerita tentang masa kecil di lereng gunung, tentang bunyi jauh lonceng sapi, tentang tanah basah yang punya aroma waktu. Mereka berdua tertawa pada diri masing-masing yang telah menjadi “perencana kota”—yang pada dasarnya adalah pekerjaan menyusun ruang bagi manusia agar bisa bertemu, berpisah, dan bertemu kembali dengan lebih ramah.

“Kau tahu kisah Adaninggar?” tanya Retna, seperti teringat sesuatu. “Perempuan yang berani menempuh jauh demi cinta dan kehormatan versi dirinya, bukan versi orang lain?”

Jayeng mengangguk samar. Ia ingat serpihan-serpihan dari kisah Menak, cerita lama yang dibacakan kakeknya. “Kita semua semacam Adaninggar yang modern,” balasnya. “Mencari makna di antara peta, zoning, dan KPI.”

Retna tersenyum. “Dan kadang kita butuh Jayengrana—bukan pangeran, cuma manusia yang cukup berani mengakui takutnya sendiri.”

Jayeng menatap Hening Plaza di layar. Di tengah kota yang terus membesar, ia merasa diam sedang meminjamkan bahunya.

.

Sepekan berikutnya, ritme kantor memadat. Proyek makin jelas, rapat makin rapat—pertemuan dengan pemerintah kota, focus group dengan warga sekitar, presentasi kepada calon investor. Di sela-sela itu, pesan singkat datang dari maya dan madi, seperti punakawan modern yang tak bosan mengubah ketegangan jadi lelucon.

“Bro, kalo pocket park jadi, nama bangku di pojok itu: Bangku Madi,” tulis Madi.

“Jangan gitu, Di. Minimal cold brew gratis sebulan buat gue,” sambung Maya.

“Bangku Madi untuk duduk, cold brew Maya untuk jujur,” balas Jayeng.

Di luar chat, heningnya sendiri makin terasa. Ia mulai mengurangi scrolling larut malam, mengganti deru timeline dengan catatan-catatan kecil yang ia tulis di kertas bergaris. Di sana, ia menulis kutipan yang kelak akan ia tanamkan di dalam ruang publik: “Di sini, kita boleh pelan. Karena terburu-buru sering menyesatkan kita pada diri yang bukan kita.”

Suatu sore, seorang perempuan paruh baya berwajah teduh datang ke kantor pemasaran proyek. “Saya Adaning,” katanya pada resepsionis, lalu tersenyum ke arah Jayeng yang kebetulan lewat. “Dulu kami sekeluarga tinggal di lahan yang sekarang jadi lokasi. Saya ingin tahu, apakah masih ada ruang untuk kenangan kami berdiri?” Pertanyaannya tidak menyalahkan, hanya menanyakan.

Jayeng mengundang Adaning duduk. Mereka bercakap seperti kerabat lama yang berkumpul setelah badai. Adaning bercerita tentang pohon belimbing yang dulu menyatukan tetangga, tentang sumur kecil yang airnya paling dingin di jam empat pagi, tentang anak-anak yang main petak umpet sampai lupa diawasi. “Kami tidak melawan pembangunan,” katanya, “hanya minta ruang kecil untuk ingatan—tidak harus besar, asal tidak diusir.”

“Tidak ada ingatan yang berhak diusir,” jawab Jayeng pelan. “Kalau pun harus pindah, semoga bisa menumbuhkan akar baru.”

Keesokan hari, ia menulis ulang zoning: di ujung Hening Plaza, ia menambah community plot, sebuah kebun kecil tempat mantan warga bisa menanam apa pun yang ingin mereka rawat—termasuk satu pohon belimbing.

Retna menatap rancangan baru itu dalam diam, lalu mengangguk. “Di kota ini, belonging lebih langka daripada branding,” ucapnya. “Terima kasih sudah memilih merawat yang pertama.”

.

Musim berganti tanpa kita mengenalinya, kecuali dari jenis payung yang menumpuk di dekat pintu. Hening Plaza hampir selesai ketika insiden kecil terjadi: kebocoran pipa dari bangunan lama di sisi timur menyebabkan genangan di jalur pedestrian. Bukan bencana, hanya gangguan yang memang selalu datang ketika suatu hal hampir rampung. Namun bagi media lokal yang suka judul dramatis, itu cukup untuk menulis “Plaza Baru, Masalah Baru.”

Maya datang dengan jaket windbreaker. “Gue siap jadi duta anti panik.”

Madi sudah menggulung celana sampai betis. “Air di kota itu suka cari panggung. Kita ambil alih panggungnya.”

Jayeng tertawa dalam letih. Mereka bertiga terjun ke lokasi: membuka penutup saluran, mengukur kemiringan, memanggil tukang pipa yang entah kenapa selalu punya jawaban untuk kebingungan teknokrat. Retna tiba kemudian, menenteng helm proyek dan memegang clipboard. Ia tidak banyak bicara. Lebih banyak menatap aliran air, seolah hendak membujuknya dengan tatap.

Di pinggir genangan, seorang anak kecil menunggu ibunya yang berjualan suguhan di kios sementara. Ia menunjuk kolam tipis di tengah plaza, bibirnya berdecak kagum. “Bu, itu airnya kayak cermin. Kalo aku berdiri di situ, bayanganku bakal keliatan utuh.”

Retna menoleh pada Jayeng. “Itu dia. Air bukan musuh, asal tahu tempatnya.”

“Dan tahu kapan harus diam,” timpal Jayeng. Mereka memindahkan sebagian alur ke kolam tipis itu untuk sementara, mengajari air cara sabar.

Di malam yang basah, setelah kru bubar dan media memutuskan judul lain yang kurang seksi, Retna duduk di pinggir kolam. Ia merendam ujung sepatunya, lalu merasakan gigil kecil yang bersahabat.

“Jayeng,” katanya, “kau pernah merasa hening adalah rumah?”

“Setiap kali aku kehilangan alamat.”

“Dan hari ini?”

“Hari ini, alamatnya jelas.”

Mereka tidak berpegangan tangan. Tidak perlu. Ada jarak yang sengaja dipelihara agar rindu punya tempat untuk bernafas.

.

Peresmian Hening Plaza berlangsung pada hari Sabtu yang terang. Orang-orang berdatangan: keluarga muda dengan anak balita, pekerja kantoran yang ingin rehat dari pendingin ruangan, pasangan lansia yang masih memegang tangan satu sama lain, foodies yang sudah mengincar tenants baru. Di sebuah sudut, Adaning berdiri di bawah pohon belimbing yang baru ditanam. Ia menepuk batang tipis itu seperti menepuk punggung cucu.

Retna membuka acara dengan kalimat yang tidak mewah: “Terima kasih sudah datang, terima kasih sudah mau pelan.” Tepuk tangan—pelan juga, seolah takut mengganggu sesuatu yang baru saja dibangun.

Lalu giliran Jayeng. Ia melangkah ke panggung kecil yang terbuat dari papan kayu. Suaranya tidak perlu keras, sistem tata suara sudah canggih. “Kota kita sibuk mencatat laju,” ujarnya, “tapi jarang menulis ulang jeda. Plaza ini lahir dari kebutuhan akan ruang yang tidak mengejar kita, melainkan menunggu kita kembali menjadi manusia.”

Ia berhenti sebentar, memandang kolam tipis yang memantulkan langit. “Kalau suatu saat nanti hidup terasa padat seperti trotoar di jam pulang, datanglah. Langkahkan kaki, duduklah. Di sini, hening bukan kekosongan; ia adalah awal yang berdetak.”

Di sela tepuk tangan, mata mereka bertemu. Retna menunduk sekilas, lalu tersenyum. Ada sesuatu yang dekat, seperti huruf-huruf yang tidak tampak tapi kita yakin ada di antara dua kata.

.

Usai peresmian, kota masih sama saja: berita politik bergerak cepat, ekonomi memutar angka-angka yang kadang tidak memikirkan manusia, grup WhatsApp keluarga masih bertengkar tentang kue apa yang sebaiknya dibawa saat arisan. Namun di sumbu kecil itu—Hening Plaza—waktu seperti diatur ulang. Orang datang tanpa topeng urgent, duduk sebentar, melipat ponsel, lalu menatap orang yang mereka cintai seakan waktu memanjang.

Pada suatu sore, Jayeng mendapati Retna duduk sendiri, menulis sesuatu di buku catatan. “Menulis apa?” tanya Jayeng.

“Sebuah daftar,” jawab Retna. “Hal-hal yang tak perlu diburu.”

“Contohnya?”

“Maaf, syukur, dan jawaban.”

“Jawaban?”

Retna menutup buku. “Ada kalanya jawaban baru lahir kalau kita berhenti memaksanya. Hening bukan sekadar sunyi; ia adalah ruang bersalin.”

Jayeng duduk di sampingnya. “Mungkin itu sebabnya kita bertemu di sela-sela rapat; kota meminjamkan kita ruang bersalin yang aneh.”

“Dan kita berdua terlalu keras kepala untuk merusaknya.”

Mereka tertawa, seperti dua orang yang tahu betapa mudahnya kota ini membuat orang melupakan kebahagiaan sederhana.

.

Namun hidup, seperti arsitektur yang baik, tidak lengkap tanpa ujian. Beberapa bulan setelah plaza buka, investor besar yang sejak awal bersyarat memutuskan meninjau ulang dukungan. Alasannya klasik: yield tidak secepat proyeksi. Ia meminta penyesuaian: mengurangi area hijau, memperlebar akses kendaraan, menambah bangku komersial untuk iklan digital.

“Ini bukan pengurangan, ini amputasi,” kata Wiram di rapat internal. “Kalau kita setuju, ‘hening’ tinggal jadi merek.”

Suasana menegang. Direktur memandang satu-satu. “Kita perlu opsi—jalan tengah.”

Retna menatap Jayeng. “Kau tahu, kan?”

Ia tahu. Jalan tengah bukan berarti memotong hati menjadi dua. Ia mengetuk meja pelan. “Kita tawarkan metrik yang berbeda,” katanya. “Kuantifikasi dwell time, repeat visit, dan community activation yang berdampak pada nilai properti sekitar. Bukan hanya tenant sales langsung.”

“Metrik lembut untuk keputusan keras,” gumam Maya.

“Lembut yang disertai data,” tambah Madi.

Mereka bekerja seminggu tanpa banyak tidur. Tim survei menyusun kuesioner, tim analitik menyilang-cek data parkir, tim komunitas merekap acara mingguan yang sudah berjalan: kelas membaca untuk anak, buskers yang dikurasi, sesi tai chi subuh. Di sinilah Adaning menjadi kunci: ia menggerakkan bekas warga untuk mengajar anak setempat menanam di community plot. Foto-foto mulai beredar: tangan kecil di tanah, senyum yang tidak disetting.

Di hari pemaparan, Jayeng melangkah ke depan layar besar. Ia tidak menampilkan grafik rumit awalnya; ia memutar video dua menit yang memperlihatkan transformasi wajah—bukan fasad—orang-orang yang singgah di plaza. Pada detik ke-76, seorang kakek menutup mata ketika angin lewat, lalu membuka mata seperti baru melihat cucunya berjalan pertama kali. Ruang rapat hening dengan jenis hening yang sangat mereka kenal.

Kemudian data menyusul: dwell time meningkat 27%, repeat visit 41% dalam tiga bulan, indeks kepuasan warga 4,6/5. Tenant sekitar melaporkan kenaikan penjualan 9–12% dibanding area kontrol. Nilai sewa office lantai bawah—yang tak berkaitan langsung dengan plaza—naik tipis namun stabil.

“Intinya,” kata Jayeng, “hening ternyata menjual. Karena orang membeli rasa pulang.”

Investor menatap lama-lama. Lalu mengangguk kecil. “Kita beri enam bulan lagi. Buktikan kenaikan berlanjut.”

Sesudah rapat, Retna menepuk bahu Jayeng. “Kau tidak hanya menyelamatkan ruang. Kau menyelamatkan alasan kita bekerja.”

“Alasan yang sederhana,” jawab Jayeng. “Agar manusia masih bisa menjadi manusia.”

.

Waktu berjalan, dan seperti semua yang dirawat dengan sabar, plaza tidak sekadar bertahan; ia belajar tumbuh. Pohon belimbing meninggi setengah lengan, daun-daunnya menjahit bayang-bayang siang. Anak-anak kini hafal jalur sepeda; pasangan muda suka duduk di bangku yang menatap air; pekerja kantoran belajar datang tanpa headset agar bisa mendengar orang lain menyapa.

Pada suatu senja yang keemasannya seolah ditakar, Jayeng dan Retna berdiri di tepi kolam tipis. Dari arah barat, langit seperti melepaskan suara pelan—semacam puji syukur yang tidak berbicara dalam bahasa tertentu. Mereka tidak mengatakan kata “cinta”—kota sudah kebanyakan kata itu dengan cara yang murah. Tapi pada saat itu, kata itu tidak perlu diucapkan untuk menjadi benar.

“Retna,” kata Jayeng akhirnya, “ada beberapa jawaban yang tidak bisa kutunda.”

Retna menoleh.

“Aku ingin berjalan lebih pelan, bersamamu. Tidak menjanjikan apa pun selain ruang yang tidak perlu kita buru.”

Retna menghela napas ringan. “Kau tahu, selama ini aku menunggu kalimat yang tidak menjanjikan apa-apa selain ruang.”

“Lalu?”

“Lalu mari kita duduk, sebelum berdiri lagi. Dan tidak usah memberi nama pada apa pun. Karena yang bernama kadang ingin cepat terkenal.”

Mereka duduk. Air diam, tapi berdenyut. Kota bernapas bersama mereka.

.

Di malam ulang tahun plaza yang pertama, sebuah instalasi dipasang pada dinding batu dekat pohon belimbing: sebuah kalimat dari seseorang yang namanya tidak ada di koran, namun suaranya ada di banyak hati.

Terkadang keberuntungan datang saat kita berani berhenti. Terkadang cinta hadir bukan untuk memecah sepi, melainkan meneguhkan kita agar tetap berdiri.

Huruf-hurufnya sederhana, tak berlomba menjadi puitis. Orang yang lewat sering berhenti, membacanya pelan. Ada yang memotretnya. Ada yang membiarkannya memantul di dada seperti cahaya kecil yang menuntun pulang.

Dan pada malam itu, ketika lampu-lampu taman menyala satu-satu seperti doa yang diajarkan pada anak-anak, Jayeng merasa hening dalam dirinya menjelma kompas. Ia tidak lagi takut tersesat di kota yang besar, karena ia telah menemukan ruang yang tidak berisik namun selalu menunggu. Ruang di ujung hening—tempat sebuah awal, tanpa gebyar, tetap berdetak.

.

.

.

Jember, 19 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #UrbanStory #KelasMenengahKeAtas #Hening #Placemaking #RuangPublik #CintaYangTenang #MenakMadura #Storytelling #JeffreyWibisonoV

Leave a Reply