Di Meja yang Tak Lagi Kuinginkan
“Ada harga yang tak boleh ditawar: harga dirimu sendiri.
Sebab hidup yang tenang sering lahir dari keputusan yang membuatmu berdiri sendirian.”
.
Malam di Jakarta selalu tampak sibuk, bahkan ketika jam di pergelangan tangan Jayeng menunjuk lewat tengah malam. Dari rooftop lantai tiga puluh sebuah hotel butik di kawasan SCBD, lampu-lampu gedung menjelma seperti gugusan bintang yang dipaksa turun ke bumi—indah, berisik, dan melelahkan.
Di belakangnya, musik elektronik berdentum, gelas-gelas beradu, tawa berbaur dengan aroma parfum mahal. Di depannya, kaca bening memantulkan sosok lelaki tiga puluh lima tahun dengan kemeja putih sedikit kusut dan mata yang lebih letih dari usianya.
“Bro, lo ngapain di luar? Ini kan ulang tahun lo.” Umar menyelinap keluar, membawa dua gelas soda dengan irisan lemon. Ia, sahabat lama yang kini jadi founder startup logistik hijau, selalu tampil rapi dengan blazer tanpa kerut dan senyum percaya diri.
Jayeng mengangkat bahu. “Butuh napas. Di dalam terlalu bising.”
“Justru itu, menandakan lo dicintai banyak orang.” Umar tertawa pelan. “Klien lo pada datang semua. Influencer, CEO, investor… Lo hidup di mimpi banyak orang, tau nggak?”
Jayeng memandang jalanan di bawah sana. Mobil-mobil mewah berjejer, driver menunggu dengan sabar, ojek online melintas seperti semut terburu-buru.
“Mungkin mimpi banyak orang,” jawab Jayeng lirih, “tapi belum tentu mimpi gue.”
Umar menghela napas, menyandarkan punggung ke kaca. “Lo hanya lagi capek. Setelah kampanye hotel itu launching dan project kampus internasional jalan, lo akan lihat semua ini worth it. Lo cuma… perlu sedikit kompromi.”
Kompromi. Kata yang belakangan ini terdengar seperti borgol.
Di dalam ruangan, musik berhenti sejenak. Suara MC terdengar memanggil namanya. “Mana birthday boy kita? Jayeng, ke dalam dong! Ada yang mau kasih kejutan spesial!”
Umar menepuk bahunya. “Tuh, dipanggil. Rengga pasti udah siapin sesuatu tuh.”
Nama itu: Rengga. Cantik, cerdas, dokter spesialis yang juga content creator kesehatan dengan jutaan pengikut. Wajahnya sering muncul di billboard rumah sakit dan iklan vitamin premium. Di atas kertas, Rengga adalah jawaban sempurna atas doa orang tua Jayeng dan bahan iri banyak orang.
Di hati Jayeng, Rengga belakangan lebih mirip cermin mahal yang meminta ia berdiri tegak setiap saat, tersenyum dengan sudut yang tepat, supaya pantulan mereka tampak serasi.
.
Jayeng berdiri di depan kue bertingkat tiga, dihiasi topper bertuliskan “To the Next Level, Jayeng!” dengan font emas. Orang-orang bersorak, kamera ponsel diarahkan, lampu flash berkedip.
Rengga, dengan gaun hitam sederhana yang justru membuatnya tampak semakin berkelas, memegang mikrofon. Senyumnya lebar, matanya berkilau.
“Terima kasih sudah datang untuk ngerayain ulang tahun orang paling keras kepala tapi paling berbakat yang aku kenal,” katanya. “Aku kenal Jayeng bukan cuma sebagai creative director yang jenius, tapi juga sebagai… calon partner hidup yang nggak takut kerja keras.”
Sorak-sorai menggema, disertai siulan bercanda.
Jayeng menelan ludah. Ucapan itu tidak dibicarakan sebelumnya. Kata “calon partner hidup” meluncur begitu saja di hadapan klien, teman kantor, bahkan beberapa keluarga yang datang dari Malang.
“Aku cuma punya satu harapan sederhana,” lanjut Rengga. “Semoga tahun ini, kamu belajar untuk nggak lagi ragu melangkah. Dunia lagi nunggu kamu, Jeng. Jangan kebanyakan mikir, jangan kebanyakan… menunda.”
Di meja depan, ibu Jayeng menyeka sudut mata. Ayahnya duduk diam, rahangnya mengeras, entah karena haru, entah karena lega.
Jayeng tersenyum. Senyum yang sudah tahu betul di sudut mana harus berhenti.
Dalam hati, ia mendengar kalimat lain yang bergaung: Hidup yang dibebani ekspektasi adalah hidup yang berat.
Ketika lilin dinyalakan, semua lampu diredupkan. Orang-orang mulai menghitung mundur, suara mereka memenuhi ruangan.
“Tiga… dua… satu… tiup!”
Jayeng memejamkan mata. Di antara hiruk pikuk itu, suara ibunya beberapa bulan lalu terngiang.
“Kamu itu dikasih nama Jayeng bukan asal, Nak,” katanya di ujung telepon. “Bapakmu dulu penggemar cerita Menak. Jayengrana itu ksatria yang kalau sudah memilih jalan, dia bertanggung jawab sampai akhir. Kamu harus begitu juga. Jangan terus sendirian. Rumah kita ini nggak abadi. Nanti kalau kami sudah nggak ada, kamu pulang ke siapa?”
Lilin-lilin padam ditiupnya. Tepuk tangan pecah.
Tak ada yang tahu bahwa di balik keinginan tulus banyak orang agar ia “naik level”, ada pertanyaan lain yang sejak lama mengendap: Kalau semua ini level baru, kenapa dadaku terasa makin sesak?
.
Di apartemen minimalisnya di kawasan Kuningan, Jayeng duduk di depan laptop yang layarnya penuh notifikasi email dan pesan.
Pitch deck untuk rebranding hotel di Seminyak. Draft konsep kampanye “New Elite Living” untuk apartemen mewah di Bekasi. Storyboard video pendek untuk kampus internasional di Serpong yang ingin menampilkan “life-changing experience” anak-anak muda.
Semuanya berbicara tentang hidup ideal: networking, lifestyle, mobilitas global. Semua menuntut narasi yang menjual mimpi.
Ia menguasai bahasa itu. Sejak kuliah di Malang—anak rantau dari keluarga guru dan pegawai koperasi—Jayeng belajar cepat. Menulis jadi jalan keluar dari segala serba-mepet. Ia menulis copy untuk kafe, kampus, hotel murah; ia menang lomba esai; ia magang di agensi. Nama “Jayeng” mulai melesat, bukan lagi sebagai tokoh cerita Menak, melainkan sebagai orang di balik kata-kata yang membuat orang meng-klik, membeli, hadir.
Namun malam itu, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.
Kalimat yang baru saja ia tulis untuk kampanye apartemen mewah terasa memuakkan: “Karena hidup terlalu singkat untuk kamu habiskan di tempat yang tidak mengangkat namamu.”
Ia menatap kalimat itu lama-lama, lalu menghapusnya pelan.
Di sisi lain meja, ponselnya bergetar. Notifikasi dari Rengga masuk, voice note berdurasi dua menit.
“Jeng, aku lihat tadi kamu agak… dingin waktu aku bilang soal partner hidup di depan teman-teman. Aku kan cuma mau kasih sinyal baik, ya. Apa sih susahnya keliatan yakin dikit? Kamu tuh harus belajar liat bigger picture. Dengan branding kita berdua, kita bisa bikin banyak hal — klinik, konten, foundation, apa aja. Tapi kamu harus bisa main di level yang tepat. Please jangan bikin aku kayak ngejar kamu terus, aku capek loh…”
Suara itu manis, tapi di telinga Jayeng terdengar seperti daftar tuntutan yang dibungkus kata sayang.
Notifikasi kedua masuk. Kali ini dari Umar.
“Bro, lo beruntung banget, sumpah. Kalo gue jadi lo, gue sikat semua tuh kesempatan: lo, Rengga, klinik, agensi lo, plus investor-investor yang tadi dateng. Kita bisa merge layanan kita buat bantu brand-brand hospitality. Bayangin, ekosistem kita: gue urus tech, lo urus cerita, Rengga urus kredibilitas. Itu bukan cuma pasangan hidup, itu pasangan bisnis. Lo nggak mau hidup biasa-biasa aja kan?”
Jayeng tersandar. Biasa-biasa terdengar seperti hinaan di lingkaran mereka.
Baginya, biasa-biasa justru mulai terdengar seperti kemewahan: bisa makan di warung pinggir jalan tanpa takut disorot, bisa menolak project tanpa harus menjelaskan panjang, bisa pulang tanpa merasa harus posting sesuatu.
Ia mematikan layar laptop, meraih jaket, dan keluar.
.
Jakarta di jam dua dini hari punya wajah lain. Lampu-lampu kantor mulai padam, hanya menyisakan beberapa lantai yang masih terang—mungkin ruang kerja orang-orang yang juga terlambat pulang dari ambisi dan tekanan.
Jayeng menyetir tanpa tujuan pasti. Mobilnya meluncur lewat jalan-jalan yang dulu ia kenal ketika masih tinggal di rumah kontrakan kecil di Tebet. Kontrakan lembap, temboknya mengelupas, tapi di sanalah ia pertama kali merasakan kebebasan: meracik kata, mengerjakan project kecil, berjalan kaki ke stasiun, makan nasi uduk pinggir jalan.
Tanpa sadar, mobilnya berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil yang buka dua puluh empat jam. Namanya sederhana: Kedai Singa Malam.
Ironis, pikir Jayeng. Di masa kecil, ia sering mendengar cerita Menak Malangan tentang Singa Barong, makhluk yang gagah sekaligus menakutkan. Kini, ia berdiri di depan neon kecil bertuliskan “Singa Malam” dengan huruf miring yang agak goyah, seolah menandai tempat para manusia letih datang bersembunyi.
Ia masuk. Aroma kopi tubruk dan rokok kretek menyambut. Hanya ada tiga pelanggan lain: sopir taksi yang tertidur di sudut, mahasiswa dengan hoodie lusuh, dan seorang perempuan muda yang sibuk menggarap slide presentasi.
Di balik meja, seorang pria berambut mulai memutih sedang menuang air panas ke V60. Wajahnya tenang, garis-garis halus di sekitar mata menandai usia dan cerita.
“Pesan apa, Mas?” tanyanya ramah.
“Hitam aja, Pak. Yang paling pahit di sini,” jawab Jayeng.
Pria itu tertawa pelan. “Yang paling pahit bukan kopi, Mas. Yang paling pahit itu biasanya pikiran pelanggan yang datang jam segini.”
Jayeng terkekeh lirih, pertama kalinya malam itu.
“Nama saya Singa,” lanjutnya, mengulurkan tangan. “Iya, beneran. Orang tua saya dulu juga penggemar cerita Menak. Katanya biar saya jadi pemberani. Eh, malah buka kedai kopi, jadi tempat curhat orang-orang.”
“Saya Jayeng, Pak. Kayaknya kita satu aliran orang tua.”
“Wah, Jayeng itu pasti dari Jayengrana,” sahut Singa. “Berarti Mas ini lahir dengan ekspektasi besar.”
Kata ekspektasi itu meluncur begitu saja, tepat mengenai titik yang sejak tadi berdenyut di kepala Jayeng.
Ia duduk di kursi kayu, menerima secangkir kopi panas. Asapnya mengepul pelan.
“Pak Singa,” katanya tanpa basa-basi, “kalau seseorang punya hidup yang kelihatannya ideal, tapi setiap hari dia merasa… bukan dirinya sendiri, itu wajar nggak sih?”
Singa menatapnya, tidak kaget sama sekali. Seperti sudah puluhan kali mendengar kalimat senada.
“Wajar,” jawabnya sederhana. “Yang nggak wajar itu kalau kita pura-pura nggak ngerasa apa-apa.”
Jayeng mengaduk kopi tanpa gula itu. “Kadang saya merasa, kalau saya jujur, saya bakal kehilangan banyak hal. Teman, kesempatan, mungkin pasangan, mungkin juga restu orang tua.”
“Pertanyaan balik, Mas.” Singa menyandarkan kedua tangannya di meja. “Kalau Mas nggak jujur sama diri sendiri, apa yang sebenarnya Mas pertahankan? Teman yang cuma kuat kalau Mas lagi berhasil? Kesempatan yang datang karena Mas memalsukan diri? Pasangan yang sayang pada citra, bukan jiwa? Restu yang dibangun dari kebohongan?”
Jayeng terdiam.
Singa melanjutkan, pelan-pelan, seolah bicara pada seseorang yang baru saja tiba di tepi jurang.
“Saya ini dulu manajer di sebuah hotel besar, Mas. Seragam, jabatan, kartu nama—semua lengkap. Tiap hari rasanya berdiri di tengah panggung. Tapi semakin lama, saya sadar, saya nggak punya panggung lain selain itu. Saya nggak punya diri selain seragam itu. Waktu saya memutuskan keluar, banyak yang bilang saya bodoh. Pangkat bagus ditinggal buat buka kedai di pinggir jalan.”
Ia mengangkat cangkirnya, menyesap pelan.
“Di awal-awal, saya kesepian. Teman-teman yang dulu sering ngajak saya rapat di restoran mahal, hilang pelan-pelan. Tapi di kesepian itu, saya ketemu lagi sama diri saya. Kesendirian yang dipilih itu ternyata bukan hukuman, Mas. Itu ruang. Ruang buat dengar diri sendiri ngomong apa.”
Jayeng menatapnya, dada bergetar.
“Jadi,” kata Singa, menatap balik dengan sorot mata yang lembut, “Mas takut kehilangan apa, tepatnya? Atau jangan-jangan yang Mas takutkan itu bukan kehilangan, tapi mengakui bahwa selama ini Mas menjual sedikit demi sedikit harga diri Mas demi kelihatan cocok di meja yang salah?”
Kata-kata itu menembus pertahanan yang selama ini Jayeng bangun dari jargon dan presentasi.
Ia menunduk. Untuk pertama kalinya, ia berani mengakui dalam hati: ya, ia takut. Takut dihakimi gagal, takut dianggap manja, takut dipanggil egois oleh orang yang ia sayangi. Tapi di balik semua itu, ada rasa takut yang lebih jujur: takut menua sebagai orang yang tidak pernah benar-benar hidup sebagai dirinya sendiri.
“Kalau saya berhenti sekarang,” suara Jayeng lirih, “itu berarti saya mengecewakan banyak orang.”
Singa tersenyum tipis. “Kalimat yang sama saya ucapkan dulu ke mentor saya. Dan dia jawab begini: Lebih baik mengecewakan orang lain sebentar, daripada mengecewakan diri sendiri selamanya.”
Jayeng mengangkat kepala.
“Mas,” lanjut Singa, “Jangan pernah menjual harga diri Mas demi sekadar diterima orang lain. Sebab kesendirian lebih mulia daripada kebersamaan yang memenjarakan. Pergi dari meja yang salah, itu bukan berarti Mas anti kebersamaan. Itu berarti Mas sedang menyiapkan kursi yang tepat untuk orang-orang yang mampu duduk bersama tanpa menekan napas Mas.”
Hening menggantung di udara, hanya tersisa suara sendok menyentuh cangkir dari meja lain.
Jayeng meneguk kopinya. Pahit. Hangat. Nyata.
Untuk pertama kalinya, rasa pahit itu tidak ia tolak.
.
Malam itu menjadi titik patah yang perlahan berubah jadi titik balik.
Jayeng tidak langsung mengirim email resign keesokan harinya. Hidup, bagaimanapun, bukan caption motivasi yang selesai dalam tiga kalimat.
Ia mulai dengan hal yang lebih kecil dan sunyi: menulis di jurnal setiap pagi sebelum membuka ponsel. Mengizinkan diri datang terlambat ke pesta-pesta yang mengharuskannya tampil sebagai versi terbaik secara visual. Berlatih bilang, “Aku perlu waktu mikir,” ketika orang lain mendesak keputusan besar.
Ia juga mulai terapi, diam-diam. Menghabiskan satu jam seminggu di ruangan dengan sofa abu-abu dan tisu di meja kecil, belajar memberi nama pada perasaan yang selama ini hanya ia sebut “capek” atau “engap”. Di sana ia belajar bahwa memisahkan diri dari ekspektasi bukan berarti mengkhianati orang tua, tapi berhenti mengkhianati diri sendiri.
Tentu saja, tidak semua orang mengerti.
Ketika Jayeng mengatakan pada Rengga bahwa ia ingin menunda pembicaraan tentang joint bisnis dan pernikahan, wajah perempuan itu mengeras.
“Jadi selama ini kamu cuma manfaatin momentum konten kita?” tanyanya, nada suaranya tipis tapi tajam. “Aku udah pasang nama kamu di narasi hidupku, Jeng. Kamu nggak bisa seenaknya tarik diri.”
“Aku nggak lagi tarik diri,” jawab Jayeng pelan. “Aku cuma nggak mau kita membuat keputusan besar karena semua orang bilang ini kombinasi sempurna. Kalau di dalamnya aku merasa sesak, aku yakin kamu pun nantinya ikut sesak.”
Rengga menghela napas keras. “Kamu terlalu dramatis.”
Malam itu, mereka tidak berfoto bersama. Tidak ada story Instagram dengan caption mengharukan. Hanya dua orang dewasa yang duduk saling diam di dalam mobil, ditemani bunyi hujan di kaca.
.
Puncaknya terjadi beberapa minggu kemudian, dalam bentuk sebuah makan malam yang seharusnya berjudul “Silaturahmi”, tapi dalam praktiknya terasa seperti sidang.
Restoran fine dining itu berada di lantai atas sebuah gedung perkantoran, dengan pemandangan kota yang memamerkan keberhasilan. Di meja panjang, orang tua Jayeng duduk berhadapan dengan orang tua Rengga, ditemani Umar dan beberapa orang yang mereka sebut “rekan strategis”.
Obrolan pertama berjalan manis: tentang cuaca, tentang macet, tentang makanan.
Sampai akhirnya, salah satu rekan strategis, seorang pria berkemeja biru muda bernama Agung—mantan klien Jayeng, pemilik jaringan properti—mengeluarkan map presentasi.
“Jadi begini,” katanya. “Kita semua tahu Jayeng ini punya bakat luar biasa di bidang cerita dan brand. Rengga punya kredibilitas dan audience. Umar punya teknologi. Kami ingin menawarkan ekosistem yang menguntungkan semua pihak.”
Kertas-kertas itu dibagikan. Di atasnya, logo-logo bersusun: klinik premium, platform edukasi digital, agensi kreatif, dan beberapa fitur lain yang menjanjikan.
“Kalau semua ini jalan,” lanjut Agung, “dalam lima tahun, kalian akan jadi couple paling berpengaruh di bidang kesehatan dan gaya hidup di Indonesia. Kami siapkan modal, network, semua. Satu syaratnya hanya satu: komitmen. Komitmen bisnis dan, tentu, komitmen personal.”
Ibu Jayeng menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Ayahnya menggenggam sendok dengan kuat. Rengga menunduk, pipinya merona.
“Bagaimana, Mas Jayeng?” tanya ayah Rengga pelan. “Ini kesempatan langka. Tidak semua orang diberi pintu seperti ini.”
Jayeng menatap map di depannya. Di sudutnya, ia melihat namanya dijadikan bagian dari brand: Rengga x Jayeng Life Institute. Di slide lain, ada proyeksi pendapatan, subscriber, skema partnership dengan perusahaan farmasi dan hotel-hotel besar.
Semuanya tampak rapi, logis, menggiurkan.
Yang tidak tampak di slide itu adalah dirinya yang beberapa bulan terakhir belajar berdamai dengan sunyi. Dirinya yang menemukan kebahagiaan sederhana di Kedai Singa Malam, di jurnalnya, di langkah-langkah kecil menolak memaksakan diri.
“Boleh aku… jujur?” suara Jayeng terdengar pelan di tengah ruangan.
Semua kepala menoleh.
“Aku berterima kasih,” lanjutnya. “Kesempatan ini besar sekali. Aku menghargai kepercayaan yang kalian letakkan di atas namaku.”
Ia berhenti, mengambil napas panjang.
“Tapi aku nggak siap menjual diriku sebagai paket lengkap. Bukan cuma jasaku, tapi juga waktuku, cara hidupku, bahkan hubungan personalku. Aku nggak mau hubungan kami, aku dan Rengga, dijahit di atas meja negosiasi.”
Suasana mendadak berat.
“Mas,” potong Agung, sedikit tersenyum, “ini bukan soal menjual diri. Ini soal leverage potensi.”
Jayeng menatapnya tenang. “Kalau potensi itu mengharuskan aku berhenti jadi diriku sendiri, itu bukan leverage. Itu penyerahan.”
Di sampingnya, Rengga menggigit bibir. “Jadi kamu mau bilang, aku dan orang tuaku lagi… memaksa kamu?”
“Aku bilang, selama ini aku yang memaksa diriku sendiri untuk memenuhi ekspektasi kalian,” jawab Jayeng. Suaranya mulai bergetar, tapi tetap jelas. “Dan aku capek. Aku nggak mau lagi hidup dengan standar orang lain yang membuatku terus merasa kurang, padahal di luar aku terlihat lebih dari cukup.”
Ayah Jayeng batuk kecil, mencoba menyela. “Nak, jangan keras kepala. Hidup itu butuh kompromi.”
“Bapak,” kata Jayeng, menoleh pada orang tuanya, “aku jadi seperti ini juga karena Bapak dan Ibu ajarkan untuk bertanggung jawab pada pilihan sendiri. Sekarang aku memilih untuk nggak menjual harga diriku demi sekadar diterima di meja yang semua aturan mainnya ditentukan orang lain. Kalau itu bikin aku terlihat egois malam ini, aku terima.”
Hening yang turun kali ini berbeda. Bukan lagi jeda canggung, tapi semacam pengakuan bahwa sesuatu sudah bergeser dan tidak bisa dikembalikan ke posisi semula.
Jayeng membuka kotak kecil di sakunya: cincin yang baru seminggu lalu ia beli setelah dibujuk banyak pihak, lebih karena “sudah waktunya” daripada karena hatinya benar-benar yakin.
Ia meletakkannya pelan di meja, di antara gelas-gelas kristal.
“Maaf, Rengga,” ucapnya, menatap mata perempuan itu. “Kamu perempuan baik. Kamu pantas dapat seseorang yang bisa berlari sekencang kamu menuju panggung yang kamu impikan. Aku bukan orang itu.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Rengga. “Kamu pengecut, Jayeng.”
“Mungkin,” kata Jayeng. “Tapi lebih pengecut lagi kalau aku pura-pura sanggup hanya supaya tetap duduk di sini.”
Ia berdiri, memikirkan ucapan Singa malam itu: lebih baik mengecewakan orang lain sebentar, daripada mengecewakan diri sendiri selamanya.
Jayeng menunduk hormat pada kedua orang tua, pada orang tua Rengga, pada Umar yang tampak kebingungan, pada Agung yang wajahnya sulit dibaca.
Kemudian, ia melangkah keluar dari restoran itu.
Di luar, hujan baru saja turun, membasahi kaca-kaca kota. Jakarta kembali pada wajahnya yang semula: bising, terang, tapi tiba-tiba terasa lebih jujur.
Ia berjalan tanpa payung, membiarkan dingin menempel di kulit. Di dalam dadanya, sesuatu runtuh, tetapi di saat yang sama sesuatu yang lain tumbuh: ruang.
Ruang yang sudah lama ia rindukan.
.
Setahun setelah malam itu, hidup Jayeng tidak berubah menjadi kisah sukses yang biasa dipajang di video motivasi. Ia tidak mendadak kaya raya karena keputusan berani, tidak tiba-tiba mendirikan perusahaan yang mengguncang industri.
Yang berubah justru tampak biasa, tapi terasa nyata.
Ia pindah dari apartemen tinggi di Kuningan ke rumah kontrakan dua lantai di dekat kampus di bilangan Rawamangun. Di lantai bawah, ia membuat studio kecil untuk menulis dan mengajar kelas storytelling bagi mahasiswa, pelaku UMKM, dan pekerja layanan—barista, front office, staf rumah sakit. Di lantai atas, ia hidup sederhana: kasur, rak buku, beberapa tanaman di balkon.
Ia masih mengerjakan project brand, tapi kini memilih klien. Beberapa kali ia menolak tawaran besar yang meminta ia merangkai kata-kata indah untuk menutupi praktik yang tidak ia percaya. Keuangannya naik turun; ada bulan-bulan di mana rekeningnya membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Tapi ia belajar bernapas di antara angka-angka itu, alih-alih tenggelam dalam malu.
Hubungan dengan orang tua? Tidak mulus. Ibu sempat berhenti menelepon selama beberapa bulan, hanya mengirim pesan singkat berisi ayat-ayat pendek dan pertanyaan dingin tentang kesehatan. Ayahnya, dengan cara khas generasi mereka, lebih banyak diam, memilih bertanya kabar lewat Umar.
Namun waktu dan kejujuran pelan-pelan membuka pintu.
Saat libur panjang, Jayeng pulang ke Malang. Rumah sederhana dengan halaman kecil yang dulu terasa sempit kini tampak seperti pelukan.
Di ruang tamu, di antara foto-foto lama, ada foto dirinya memakai toga, dan di sebelahnya foto keluarga tanpa ia sadari pernah ia abaikan selama bertahun-tahun.
“Kamu kurusan,” komentar ibunya, setengah protes, setengah khawatir.
“Kerja sendiri, Bu. Nggak ada ibu-ibu arisan yang kirim parcel makanan mahal lagi,” canda Jayeng, mencoba mencairkan suasana.
Mereka tertawa kecil. Lalu, di ruang makan, di antara sayur lodeh dan tempe goreng, percakapan yang selama ini tertunda akhirnya keluar.
“Kamu bahagia?” tanya ayahnya tiba-tiba, tanpa basa-basi.
Jayeng terdiam. Dulu, ia akan langsung menjawab dengan daftar pencapaian: klien mana saja, angka berapa saja, nama siapa saja. Kali ini, ia mengambil waktu.
“Capek, Pak,” katanya jujur. “Tapi capek yang aku pilih. Ada malam-malam aku takut masa depan. Tapi untuk pertama kalinya, aku nggak lagi bangun dengan perasaan aku sedang hidup di hidup orang lain. Entah ini namanya bahagia atau bukan, tapi aku merasa lebih… utuh.”
Ayahnya mengangguk pelan. “Bapak dulu juga punya kesempatan naik pangkat kalau mau pindah ke Jakarta waktu muda. Tapi Bapak milih tetap di sini, jadi guru di sekolah negeri. Banyak yang bilang Bapak nggak ambisius. Tapi kalau Bapak waktu itu ke Jakarta, mungkin Bapak nggak akan pernah punya waktu nemenin kamu nonton wayang Menak setiap malam minggu.”
Jayeng menatap ayahnya. Ada sesuatu yang menghangat di dada.
“Kadang,” lanjut sang ayah lirih, “orang tua lupa bahwa anak bukan investasi. Anak itu titipan. Bapak sama Ibu terlalu sibuk takut kamu susah nanti, sampai lupa nanya apa kamu susah hari ini.”
Ibu yang dari tadi sibuk di dapur, datang dengan nampan buah. Matanya basah.
“Maaf, Nak,” katanya pelan. “Ibu cuma takut kalau kamu sendirian. Di usia kami, kesendirian itu menakutkan. Tapi mungkin di usia kamu, kesendirian bisa jadi sahabat. Ibu belajar pelan-pelan, ya.”
Jayeng mengangguk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia memeluk kedua orang tuanya tanpa rasa bersalah di punggungnya.
.
Di suatu sore Jakarta, kembali di studio kecilnya, Jayeng berdiri di depan sekelompok anak muda yang duduk melingkar. Mereka datang dari berbagai latar belakang: seorang barista yang bermimpi buka kafe sendiri, mahasiswi keperawatan yang ingin belajar bicara di depan umum, karyawan hotel yang bosan dengan script sambutan yang kaku, dan seorang perempuan bernama Adaning—nama yang mengingatkan pada tokoh Adaninggar, tapi kini ia adalah tutor les yang mengajar anak-anak di kampung kumuh.
“Minggu ini kita bahas tentang cerita yang kita jual dan cerita yang kita hidupi,” kata Jayeng. Ia menulis di papan tulis: Harga Diri vs Penerimaan.
“Kalian semua datang ke sini karena ingin belajar cara bercerita yang menjual. Tapi saya juga ingin kalian belajar satu hal: jangan pernah menjual harga diri demi sekadar diterima.”
Ia berhenti, menatap satu per satu wajah di hadapannya.
“Kalau suatu hari nanti kalian diminta pura-pura bahagia demi engagement, pura-pura setuju demi di-approve, pura-pura sanggup demi kesempatan yang lebih besar, ingatlah: kesendirian yang kalian pilih dengan sadar bisa jauh lebih mulia daripada kebersamaan yang memenjarakan.”
Seorang peserta mengangkat tangan. “Tapi, Mas… kalau kita nolak, apa nggak berarti kita melepas banyak kesempatan?”
Jayeng tersenyum. Pertanyaan yang sama, dirumuskan dengan kata-kata lain, sudah ia dengar dari dirinya sendiri bertahun-tahun lalu.
“Kalian mungkin melepas beberapa kesempatan,” jawabnya. “Tapi kalian juga sedang membuka pintu untuk kesempatan lain: kesempatan bertemu orang-orang yang mau kalian apa adanya, kesempatan bekerja dengan tenang tanpa ketakutan ketahuan berpura-pura, kesempatan bangun tidur tanpa merasa hidup kalian adalah panggung yang salah.”
Ia menambahkan sebuah kalimat di bawah tulisan di papan:
“Terkadang, yang harus kita tinggalkan bukan orangnya, tapi versi diri yang kita paksa demi tetap bersama mereka.”
Di pojok ruangan, cahaya matahari sore menembus jendela, menggambar bayangan lembut di dinding.
Kedai Singa Malam masih buka di suatu sudut kota. Sesekali, ketika malam terlalu bising, Jayeng masih datang ke sana. Ia dan Singa akan ngobrol sebentar, tertawa kecil, mungkin saling diam, ditemani kopi hitam dan cerita baru.
Umar kadang mampir ke studionya, membawa berita tentang pendanaan baru, krisis baru, dan kegelisahan baru. Kini, ketika Umar berkata, “Gue capek, bro,” Jayeng tidak lagi tergoda untuk menjawab dengan solusi cepat. Ia mengundang sahabatnya duduk, menyuguhkan teh hangat, dan berkata, “Capek itu boleh. Kita nggak harus selalu jadi versi paling bisa di setiap ruangan.”
Rengga? Sesekali wajahnya muncul di layar billboard kota—promosi rumah sakit internasional, kampanye hidup sehat, talk show. Ada satu kali, tanpa sengaja, mereka berada di bandara yang sama. Tatap mereka berpapasan, senyum tipis mengembang. Tidak ada dendam, tidak ada lagi “seandainya”. Hanya dua orang yang pernah hampir berjalan bersama, lalu memilih jalan yang lain.
Malam itu, di kereta yang membawanya pulang dari Malang ke Jakarta, Jayeng menatap keluar jendela. Di luar, gelap. Tapi di kegelapan itu, ia melihat pantulan wajahnya sendiri.
Bukan wajah yang sempurna. Ada garis letih, ada lingkar hitam. Tapi ada sesuatu yang dulu tidak ia kenali: ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan kartu kredit platinum, tidak bisa difoto untuk di-unggah, tidak bisa diukur dalam slide presentasi.
Ia mengeluarkan jurnal dari tasnya, menulis sebuah kalimat yang sudah lama ingin ia tulis, tapi baru hari itu terasa jujur:
“Aku memilih hidup tanpa beban ekspektasi yang menjerat. Aku mungkin berjalan sendirian lebih sering dari yang kubayangkan, tapi di kesendirian inilah aku akhirnya bertemu diriku sendiri.”
Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum bukan karena kamera, bukan karena orang tua mengharapkan, bukan karena klien menunggu. Ia tersenyum kepada dirinya sendiri.
Malam terus melaju. Kereta berguncang pelan. Di antara bunyi roda besi yang berirama, ada doa sederhana yang ia bisikkan tanpa suara:
Semoga aku selalu berani memilih jalan yang mungkin sepi, tapi tidak mengkhianati jiwaku.
.
.
.
Malang, 9 Desember 2025
.
.
#CerpenIndonesia #SastraKota #HargaDiri #KesehatanMental #UrbanMiddleClass #JanganMenjualDirimu