Di Kota Yang Menguji Hati

“Kalau orang tak menghargaimu, jangan marah. Itu hanya tanda kau berada di ruangan yang salah. Bukalah pintu dengan sopan, lalu melangkahlah tanpa menoleh.”

Hujan tipis menggambar garis-garis miring di kaca jendela lantai dua puluh sebuah gedung perkantoran di pusat Surabaya. Dari balik panel kaca itu, Rengganis menatap jalan raya yang mengilap seperti sisik ikan. Mobil-mobil membentuk aransemen lampu merah, kuning, hijau, sementara gedung-gedung baru bertumbuh seperti pohon-pohon yang lupa pada tanah.

Di mejanya yang rapi, ponsel bergetar. Pesan dari Panji Asmarasaya—pengusaha muda yang beberapa tahun terakhir menyalakan rumor kemenangan dan kehancuran dalam satu tarikan napas. “Gan, revisi deck investor. Narasi bab-3 kurang ‘punch’. Malam ini jam 10 kita Zoom sama salah satu fund Singapura.”

Rengganis menatap jam dinding. Pukul 18.05. Ia baru selesai meeting dengan klien hotel yang tengah berproses mendapatkan sertifikat halal—di kepala masih berputar catatan risiko, standar kebersihan, dan strategi komunikasi untuk publik. Di sisi lain, Panji, dengan gaya “rockstar founder”-nya, selalu meminta lebih. Selalu malam ini. Selalu sekarang. Selalu seolah-olah hidup orang lain menumpang di langitnya dan harus patuh pada cuacanya.

Ia mengetik pelan: “Oke. Kirim catatan detail yang kamu mau.”

Titik-titik biru bergerak. “Kamu ngerti kok maunya aku. Seperti biasa.”

Ia menghela napas. “Seperti biasa” adalah kalimat yang diam-diam menempatkannya sebagai mesin, bukan manusia. Di luar, hujan berubah gerimis yang ramah. Dalam hati, Rengganis ingin sekali menutup laptop, memesan sate klopo di warung langganan, lalu menonton film lama di rumah. Tetapi ia memilih membuka file presentasi, memeriksa jargon-jargon yang disukai Panji: market fit, monetization funnel, omnichannel, CAC vs LTV, ESG narrative. Kata-kata yang bisa mengangkat semangat investor, namun sering mengabaikan manusia yang berdiri di balik angka-angka.

Pukul 21.53, ia akhirnya menekan Save. Di sudut layar, muncul folder foto dari Madi—sahabat lamanya yang kini membuka restoran kecil dengan konsep “comfort food” dan rooftop view di Jember. Judul file: Makan malam pertama setelah hujan. Di dalamnya: sepiring rawon iga mengeluarkan uap, sambal kluwek kecil, dan dua gelas teh hangat. Ada catatan suara Madi, “Gan, di kota yang bergerak tanpa jeda ini, orang cuma butuh dua hal: kenyang dan diperlakukan sebagai manusia.”

Rengganis tersenyum. Ia menekan tombol kirim untuk Panji, lalu menatap jendela lagi. Kota mengilap. Suara klakson menyilang seperti tali sepatu.

.

Dua tahun lalu, saat Rengganis memutuskan keluar dari perusahaan PR besar, Panji yang pertama merangkulnya. “Ayo bareng aku. Kita bikin firma kolaborasi. Kamu urus narasi, aku eksekusi bisnis. Bagianmu aman, equity-mu jelas.”

Perjanjian itu tidak pernah benar-benar tertulis. Hanya rangkaian janji di atas kertas tisu kopi mahal, disisipi tawa, selingan kisah tentang seed funding, dan rencana “‘mengubah kota’ melalui proyek-proyek kreatif”. Di awal, semua tampak indah. Proyek melimpah, banyak presentasi di kampus-kampus swasta premium, di komunitas wirausaha, di co-working space yang menjual aroma kayu manis. Mereka berbicara tentang integritas merek, hospitalitas sebagai penyembuhan, dan keberanian memulai ulang.

Namun kesibukan sering mengubah wajah manusia. Panji menjelma badai, singgah di lebih banyak rapat daripada hari dalam seminggu. Honorarium kerap telat, equity tak pernah berubah jadi dokumen, dan “seperti biasa” pelan-pelan lahir sebagai pengganti kata “terima kasih”.

Suatu siang, di café kecil kawasan Tebet, Rengganis bertemu Maya—teman sekolah yang kini mengajar desain komunikasi visual di universitas swasta dan sedang membangun research lab kecil tentang keterikatan emosional pelanggan. “Kamu kelihatan capek, Gan,” kata Maya, mengamati wajah sahabatnya. “Capek yang tak lagi bisa ditutup dengan concealer.”

Rengganis tertawa pendek. “Kerja aja, May. Kota ini seperti mal yang buka dua puluh empat jam. Kita semua jadi tenant yang harus menghibur.”

“Masalahnya,” balas Maya, “kamu bukan tenant. Kamu arsiteknya. Kamu yang mendesain pengalaman orang.”

“Kadang arsitek pun perlu tahu kapan harus keluar dari bangunan yang ia rancang,” Rengganis bergumam.

Maya menatapnya lama. “Apa kamu dihargai di sana?”

Hening. Hanya denting sendok menemani. Rengganis menatap secangkir kopi. “Aku dihargai ketika butuh. Aku tidak dihargai ketika aku minta waktu.”

“Kalau begitu, pergilah.”

Kata itu mendarat seperti batu kecil yang membuat riak. Pergi. Ia memutar kembali semua malam kerja, semua Zoom yang melampaui batas, semua “seperti biasa”. Di dunia orang dewasa menengah atas—dengan kartu akses gym tahunan, KPR yang disiplin, cicilan mobil baru, kelas wine appreciation, dan workshop leadership—kata “pergi” tak pernah sederhana. Ada angka-angka yang menunggu, ada nama baik, ada reputasi. Ada orang tua yang bangga ketika nama anaknya masuk liputan media bisnis dan memamerkannya di grup keluarga. Ada pengikut di media sosial yang merasa Rengganis dan Panji adalah duet pencerah kota.

“Pergi,” ulang Maya, pelan tapi jelas. “Bukan karena marah. Karena kamu berhak atas ruangan yang menghargaimu.”

Rengganis menatap Maya. Dalam suku Madura, ada kisah-lagu tentang Menak yang tak bisa hidup dalam rumah tanpa nilai hormat. Rengganis ingat tokoh-tokoh yang sering disebut kakeknya: Wirabrata yang tegas, Larang yang tabah, Jimat yang jujur, dan tentu, Panji yang pandai bicara. Dari semua itu, ia memilih menjadi Rengganis yang percaya pada diam yang kuat.

.

“Kamu serius mau keluar?” tanya Panji malam itu, setelah presentasi dengan investor selesai dengan baik.

“Aku butuh kontrak yang jelas atau aku undur diri, Ji.”

Panji menghela napas. “Apa kamu perlu jadi birokrat di antara ide-ide liar kita? Kita ini bukan perusahaan lama. Kita lincah. Fleksibel.”

“Lincah bukan berarti lupa menepati janji.”

“Gan, kamu ini makin idealis, ya? Oke, kid,” Panji mengubah nada suaranya seperti biasa—agak menggoda, agak menyetir, “aku suka kamu karena kamu nyalakan soul. Tapi jangan terlalu bawa perasaan.”

Jangan terlalu bawa perasaan. Kalimat itu seperti menghapus seluruh ruang kemanusiaan yang ia jaga. Namun Rengganis tidak berteriak. Ia menutup laptop, menghela napas, dan berkata, “Aku beri waktu dua minggu. Kalau tidak ada kejelasan, aku pamit.”

Panji tertawa, mengecek notifikasi, lalu melambaikan tangan. “Seperti biasa, kamu dramatis. Oke, dua minggu.”

.

Dua minggu berjalan seperti kereta malam. Dokumen tak pernah datang. Panji selalu punya musibah baru: tim keuangan sakit, notaris tertunda, investor meminta revisi. Rengganis kembali ke warung sate klopo, mencoba memaafkan dirinya sendiri karena masih menunggu. Di meja sebelah, sepasang anak muda sedang berdiskusi tentang gelar master di Belanda—sustainability in hospitality, sebuah jurusan yang membuat mata Rengganis berbinar. “Kalau konsep halal dipadukan dengan HACCP, itu bisa jadi narasi global,” ujar salah satu dari mereka. “Selain berdimensi agama, ia juga berdimensi sains.”

Dunia percakapan di kota ini benar-benar berlapis: ada mereka yang membahas tiket konser, ada yang mempertemukan modal UMKM dengan angel investor, ada pula yang menjual bimbingan branding berbahasa Inggris di kafe-kafe estetik. Di tengah itu semua, ada hati yang sederhana: ingin dihargai.

Telepon berdering. Maya. “Gan, ada program CSR dari sebuah kampus dan yayasan makanan halal. Mereka cari konsultan untuk mengedukasi UMKM dan hospitality. Kamu mau ambil? Ada honor pasti, ada tim, dan kontrak jelas. Mereka butuh orang yang paham sensitifitas kultural juga.”

Rengganis menegakkan tubuh. “Kapan mulai?”

“Kalau kamu mau, nanti kita presentasi bersama. Aku sudah sebut nama kamu.”

Ada gerak kecil dalam dada. Gerak yang bukan euforia, lebih seperti pintu yang akhirnya diberi kunci. “Aku mau.”

Maya tertawa. “Baiklah, Ratu. Ayo kembali memberi arti pada kata ‘kerja’.”

.

Malam sebelum hari presentasi, Rengganis mengunjungi ibunya yang baru tiba dari Sidoarjo. Di ruang tamu, kebaya biru yang dijahit sendiri membuat ibunya tampak seperti langit yang membawa tenang. “Kamu kurusan, Nduk,” kata ibunya, mengusap rambut anaknya. “Kerja itu penting, tapi jangan lupa makan.”

“Aku mau pindah kerja, Bu,” ucap Rengganis sambil menyajikan teh.

“Mengapa?”

“Karena aku merasa tak dihargai.”

Ibu duduk lebih dekat. “Kamu tahu, almarhum bapakmu dahulu pernah bilang: ‘Wong urip kuwi mbutuhake papan.’ Bukan hanya rumah, tetapi ruang yang memuliakan jiwa. Kalau ruang itu jadi sempit oleh kata-kata yang meremehkan, pindahlah. Jarak tidak selalu berarti lari; kadang itu cara kita menghormati diri.”

Rengganis memeluk ibunya. Di luar, lampu-lampu tetangga mengedip, seperti bintang yang menoleh.

.

Presentasi itu berlangsung di aula kecil kampus. Hadir beberapa dosen, perwakilan yayasan, dan sejumlah UMKM pemula. Rengganis membuka dengan cerita—tentang rumah makan di pesisir yang mengubah kebiasaan cuci tangan, tentang hotel kecil yang menemukan cara menjahit tenang ke dalam pengalaman tamu, tentang warung kopi yang menolak menambah kursi agar percakapan tidak berubah jadi keramaian tanpa jiwa. Ia menampilkan data: customer retention, biaya promosi, perbandingan margin sebelum dan sesudah penerapan standar. Ia menyelipkan kalimat-kalimat sederhana: “Orang datang bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk diingat,” dan “Rasa aman adalah bumbu pertama.”

Saat sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa bertanya, “Mbak, apa yang mendorong Mbak memilih proyek ini? Ini kan siklus panjang, tidak semua investor tertarik.”

Rengganis menatapnya dan menjawab jujur, “Karena aku ingin bekerja di ruangan yang menghargai manusia terlebih dahulu, lalu angka. Dan karena aku percaya, ketika manusia merasa dihargai, angka akan mengikuti.”

Detik itu, ia tahu pilihannya benar.

Usai presentasi, mereka diajak melihat dapur pusat untuk training higienis. Bau pembersih, suara air mengalir, susunan alat memasak—semuanya konkret. “Kita akan mulai dari yang paling sederhana,” kata Maya. “Tabel log sheet, critical points untuk bahan mentah, dan customer journey di ruang restoran.”

Seseorang menyarankan nama program: “Rumah Santun”. Rengganis mengusulkan yang lain: “Rumah Senja”—tempat orang pulang, menaruh lelah, dan disambut hangat. Mereka sepakat.

.

Kabar tentang Rengganis meninggalkan Panji menyebar seperti kabut. Tidak ada drama terbuka, hanya pergeseran diam. Panji mengirim pesan: “Serius kamu cabut?” Diikuti dengan stiker tawa, lalu emoji roket, lalu tidak ada lagi. Seperti cuaca Jakarta—sebentar terang, sebentar petir.

Hari-hari baru mengajari Rengganis ritme yang berbeda. Ia bangun lebih pagi, membalas email tanpa bising, menulis modul pelatihan yang merawat manusia. Ia mengajar kelas kecil untuk frontliners hotel tentang cara memandang tamu sebagai cerita, bukan transaksi. Ia memfasilitasi diskusi dengan pelaku UMKM yang ingin memperbaiki standar tanpa kehilangan kehangatan warisan. Ia mengundang Madi untuk sesi storytelling tentang makanan rumahan, mengajak Maya mengukur touchpoints yang menimbulkan rasa tenang.

Di sela-sela itu, ia bertemu kembali dengan Wirabrata—teman SMA yang kini menjadi pengembang properti menengah dengan hati-lokal. Wirabrata membawa album foto properti lawas, memperlihatkan foto buyut Singapati—tokoh yang sering mereka dengar dalam kisah keluarga Menak. “Dulu foto buyut digantung paling tinggi,” katanya. “Sekarang aku taruh sejajar mata anak-anak. Supaya buyut pun belajar dari mereka.”

“Supaya kita tidak memakai kejayaan masa lalu untuk menutupi kelalaian masa kini,” tambah Rengganis.

Wirabrata mengangguk. “Aku dengar kamu meninggalkan si rockstar itu. Bagus. Kota butuh lebih banyak keputusan lahir dari jeda, bukan dari tergesa-gesa.”

Mereka kemudian berkolaborasi membuat kelas pembekalan untuk penghuni apartemen baru: How to Build a Ritual of Coming Home. Materinya remeh tapi telaten—menanam tanaman di balkon, merapikan entryway agar tamu merasa disambut, menyediakan air minum dan notes kecil dengan kalimat yang memanusiakan. Cahaya senja memantul di jendela-jendela, dan Rengganis merasa hidupnya akhirnya punya ritme sendiri.

.

Pada suatu Sabtu, Panji muncul di open house kelas komunitas itu. Ia berdiri di belakang ruangan, menatap sekeliling yang tampak tenang. Seusai sesi, ia menghampiri. “Aku kira kamu ’turun kelas’ saat pindah,” katanya, menggoyang-goyangkan cangkir kertas. “Ternyata kamu membangun kelas yang tidak pernah aku sediakan.”

“Kita memilih panggung masing-masing,” jawab Rengganis.

Panji tertawa. “Gan, kamu tetap yang terbaik dalam bikin narasi. Ayolah balik. Timku kacau belakangan. Kamu tahu kan, aku tanpa kamu itu seperti panggung tanpa lampu.”

“Aku tidak marah, Ji.” Rengganis menatapnya jernih. “Aku hanya memilih ruangan yang benar. Ruangan di mana orang tidak menyebut kepedulian sebagai drama.”

Mata Panji berkilat—antara kagum dan kesal. “Kamu selalu punya kalimat yang menumbuk dada.”

“Kalimat ini bukan untuk menumbuk dada siapa-siapa,” balas Rengganis, lembut. “Ini untuk mengingatkanku sendiri.”

Panji menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau kamu berubah pikiran—”

“Jika suatu hari ruanganmu bisa menghargai orang-orang di dalamnya, pintu selalu bisa diketuk,” potong Rengganis.

Panji menatap sekeliling. “Ruangan ini tenang,” katanya. “Mungkin terlalu tenang untuk selera investor.”

“Investor yang tepat suka ketenangan yang membuat keputusan lebih jernih,” jawab Rengganis.

Ia menyalami Panji. Tidak ada dendam, hanya dua jalan yang bercabang.

.

Program “Rumah Senja” meluas. Mereka bekerjasama dengan kampus, komunitas gereja dan pesantren, LSM gizi anak, grup hotel yang ingin menyeimbangkan margin dan martabat, juga pemerintah daerah yang mencari cara mencerahkan UMKM tanpa mematikannya. Rengganis bergerak di antara Excel, dapur, ruang kelas, dan panggung kecil tempat ia terus bercerita.

Pada sebuah forum startup di Jakarta, ia menjadi pembicara tamu—ironisnya, menggantikan Panji yang mendadak berhalangan. Ia membuka pidatonya dengan cerita sederhana tentang seorang petugas kebersihan hotel yang diberi hak untuk “mengambil keputusan kecil demi kenyamanan tamu”. “Keputusan kecil,” katanya, “sering lebih besar daripada bilboard di jalan tol. Karena ia berakar pada rasa dihargai.”

Di tengah tepuk tangan hangat, ia melihat ibunya berdiri, mengenakan kebaya biru—mata yang memeluknya seperti pagi memeluk jendela. Di barisan lain, Maya mencatat, Madi mengangkat jempol, Wirabrata mengangguk. Ada juga orang yang ia tak kenal, menatap dengan mata berkaca-kaca—barangkali karena akhirnya mendapat kalimat untuk mengartikulasikan lelahnya.

Selesai acara, seorang perempuan muda menghampiri. “Mbak,” ujarnya, “Saya baru saja keluar dari tempat kerja yang membuat saya mengecil. Tadi saya datang dengan rasa bersalah karena merasa saya pengecut. Tapi setelah mendengar cerita Mbak, saya merasa saya hanya memindah ruangan. Terima kasih.”

Rengganis memegang tangannya. “Selamat datang,” katanya. “Di ruangan yang benar, kamu akan mendengar suaramu sendiri.”

.

Satu tahun kemudian, kota tetap melaju. Gedung baru berdiri, café baru dibuka, dan iklan masterclass motivasi berganti wajah. Namun di sisi-sisi kota itu, ada hal-hal kecil yang tumbuh: warung soto yang kini punya SOP sederhana, guesthouse yang menulis welcome card dengan tulus, restoran yang memadukan standar halal dan sains, apartemen yang menaruh pot bunga di depan pintu. Orang-orang mulai menyadari, hidup kelas menengah ke atas bukan tentang menambah followers—tetapi keberanian untuk berjalan keluar dari ruangan yang tidak menghargai mereka.

Panji masih berlari, bergaul dengan VC dan celebpreneur. Ada berita bahwa ia akhirnya memformalkan kontrak kerja dengan timnya, setelah kehilangan dua orang terbaik. “Kata-kata Rengganis menyebalkan,” ia pernah mengatakan di sebuah podcast. “Tapi benar.”

Rengganis mendengar podcast itu di rooftop restoran Madi, di malam yang angin membawa bau lautan. Ia tertawa pelan, mengangkat gelas teh. Di sebelahnya, Maya memandang bintang. Wirabrata datang membawa album foto baru. Mereka membuka halaman pertama: foto-foto anak-anak yang tertawa di “Rumah Senja”, ummi-ummi yang bahagia karena usaha makanannya lulus audit, petugas housekeeping yang menceritakan tamu yang pulang dengan doa.

Di halaman terakhir, ada kertas kecil tulisan tangan Rengganis: “Setiap keputusan besar seharusnya lahir dari jeda, bukan dari tergesa. Dari ruang yang menghargai, bukan yang melukai.”

Mereka menutup album, menepuknya pelan. Kota di bawah sana tetap mengilap. Hujan tipis memerinci udara, seperti awal dari sesuatu yang akan tumbuh. Rengganis sadar, pada akhirnya, tidak ada yang lebih mewah daripada kemampuan memilih: memilih ruangan, memilih orang, memilih cara memuliakan diri sendiri—agar kita punya tenaga untuk memuliakan orang lain.

Dan ketika malam beranjak, ia menuliskan kalimat di catatan ponselnya, kalimat yang akan ia bagikan pada kelas-kelas berikutnya:

“Pergi bukan berarti kalah. Pergi adalah cara lain untuk tetap setia pada nilai yang kita jaga. Kota akan selalu gaduh. Tapi hati yang jernih tahu kapan harus menutup pintu, dan membuka yang lain.”

.

.

.

Malang, 9 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #KotaDanHati #RumahSenja #MartabatKerja #SelfWorth #Hospitality #UMKM #BrandingNaratif #HalalHACCP #KisahUrban

.

Kutipan dalam naskah

  1. “Nilai diri bukan untuk ditawar di meja rapat. Ia untuk dirawat di meja makan, di mana kita dihargai sebagai manusia.”

  2. “Orang-orang yang tepat tidak membuatmu mengecil agar mereka terlihat besar.”

  3. “Ketenangan bukan kemewahan; ia adalah prasyarat keputusan yang benar.”

  4. “Yang kita kejar bukan sekadar angka, melainkan cara bekerja yang menjaga martabat.”

Leave a Reply