Di Balik Target dan Tanda Tangan

“Keberhasilan bukan hanya tentang mencapai angka,
tetapi tentang memahami isi hati orang lain.”

.

Kota, Kamar, dan Kalimat Tak Terucap

Pagi belum sepenuhnya membuka matanya ketika Raos berdiri di depan cermin kamar staf hotel Graha Adaninggar. Suara azan subuh terseret angin dari masjid di belakang gedung parkir, menyusup lewat kisi jendela yang catnya mulai mengelupas. Seragam putihnya tergantung kaku, dasi hitam melilit leher seperti simpul yang tahu terlalu banyak rahasia: angka, janji, dan harapan yang sering tak sebangun.

Di meja kecil, sebuah buku catatan kulit cokelat terbuka. Tulisannya rapi, berbaris seperti koridor marmer hotel:
Apakah aku bekerja demi target, atau demi tanda tanya yang tak selesai di mata tamu?

Ia menghela napas, mengingat Pamekasan. Ibunya, Sari, dulu menjahit kebaya untuk tetangga. Ayahnya, Wiraraja—nama keluarga yang diwarisi dari kisah-kisah lama di Madura—mengajar Raos satu kalimat yang diulang seperti dzikir: “Dagangan boleh keras, hati tetap halus.” Di kota, nasihat itu seperti daun kering terseret arus AC—kadang lupa di mana letak tanahnya.

Namun pagi ini, ia memilih mengingat.

.

Gendhing, Gadis, dan Gedung Konvensi

Ayu datang seperti badai yang menyamar jadi gerimis. Langkahnya cepat, suara sepatunya menggema di lorong marmer, matanya menyapu ruang ballroom seperti seorang kurator yang menilai galeri. Ia bukan klien biasa. Reputasinya mendahului: event planner yang kenyang pengalaman pahit—harga berubah di detik terakhir, rundown yang berantakan, janji yang menguap.

“Saya capek ditipu,” katanya datar setelah presentasi. “Saya hanya ingin satu hal: kejelasan.”

Alih-alih menjejalkan brosur, Raos mengajaknya menyeberang dapur. Mereka melewati pintu swing yang berderit, memasuki ruangan yang dipenuhi aroma bawang putih, kaldu ayam, dan kopi hitam yang baru terangkat dari moka pot. Head chef menunduk singkat; barista melambai. Ayu menghirup pelan, seperti memastikan ini bukan panggung.

“Ini standar kita untuk coffee break,” kata Raos, “Boleh dicicip.”

Ayu menatapnya, setengah ragu. Ia menyeruput. “Pahitnya jujur,” gumamnya. “Tidak dibuat-buat.”

Tiga hari kemudian, telepon berdering. Suara Ayu lirih, seperti menyelip di sela hujan.
“Saya pilih hotel ini. Karena kamu tidak jual kamar. Kamu kasih rasa tenang.”

Malam itu, Raos menulis:
Jer basuki mawa beya. Tapi kejujuran adalah mata uang yang tak pernah turun nilainya.

.

Tanda Tangan, Tangis, dan Temaram Kota

Seminggu setelah kontrak Ayu ditandatangani, seorang lelaki berwajah legam datang membawa proposal ulang tahun sederhana untuk anak bungsunya. Namanya Wiratma. Tangan kasarnya menyisakan garis-garis usaha: pemilik biro perjalanan kecil yang sempat megap-megap setelah pandemi.

“Ini buat anak saya,” katanya, menatap angka di halaman terakhir lama sekali. “Kita tinggal tulang dan napas.”

Raos mengenali sesuatu yang lebih rapuh dari rupiah: harga diri. “Boleh saya bantu bicara dengan manajemen?” tanyanya.

“Saya tidak minta belas kasihan,” Wiratma menahan suara, “saya hanya butuh waktu.”

Perdebatan pun terjadi—bukan di meja negosiasi, melainkan di forum internal: revenue meeting yang menimbang angka lebih cepat daripada manusia. “Kita ini bisnis, bukan rumah amal,” kata manajer pendapatan, Sastranata, menaikkan alis.

Raos, dengan nadi berderak, menjelaskan alternatif: skema pembayaran bertahap, minim down payment, memaksimalkan slot weekday siang yang sering kosong. “Ruang kita duduk menganggur di jam itu,” ujarnya tenang, “mengapa tidak kita jadikan ruang tawa?”

Kelonggaran disetujui dengan suara berat. Hari H, lagu anak-anak melayang di udara. Balon warna warni menyentuh lampu gantung. Wiratma berdiri di sudut, matanya basah. Ia menyalami Raos dengan kedua tangan, gemetar. “Kamu bukan sales. Kamu manusia.”

Di buku cokelat, Raos menulis:
Sales sejati bukan yang mengejar tanda tangan, tapi yang menghapus air mata dengan sopan santun.

.

Surat, Surat Peringatan, dan Suara Hati

Tiga minggu berlalu, selembar kertas diselipkan di pintu loker: surat peringatan. Alasan: diskon di luar SOP, risiko kebiasaan. “Sekali kamu buka celah, orang akan antre,” kata Sastranata, suaranya dingin seperti kulkas walk-in.

Raos menandatangani penerimaan surat itu tanpa bantah. Malamnya, ia naik ke rooftop. Jakarta—kota kaca dan beton—menghampar seperti lautan lampu. Ia duduk di kursi besi, kemeja dilonggarkan.

Sabar iku panggonane wong kang linuwih, ia menulis pelan. Mereka menilai angka, aku menanam makna. Bila makna tumbuh, angka akan menjadi buahnya.

Telepon bergetar. Pesan dari ibunya: foto karapan sapi. “Ingat, Nak,” tulisnya, “sapi berlari kencang karena tali ditarik dengan rasa, bukan amarah.”

Raos tertawa kecil, lalu mendongak. Purnama malam itu terasa dekat, seperti menatap balik.

.

Purnama, Perempuan, dan Pilihan

Ayu kembali sebagai tamu, bukan klien. Mereka duduk di rooftop bar yang sama. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan meja kaca, seolah kota punya sungai kedua, terbuat dari cahaya.

“Aku sudah keliling hotel lain,” Ayu berkata, “Yang kamu jual bukan fasilitas. Kamu jual kejujuran. Itu lebih langka daripada suite di malam tahun baru.”

Mereka bicara tentang dunia kerja yang makin keras, tentang target yang memaku punggung orang, tentang inbox yang tak pernah habis. “Kamu pernah lelah jadi sales?” tanya Ayu.

“Setiap hari,” jawab Raos. “Tapi aku tidak pernah lelah jadi manusia.”

Ayu menatapnya lama, lalu tersenyum. “Di balik target, ada tanda tangan. Di balik tanda tangan, ada tangan. Dan di balik tangan, ada hati. Aku rasa hatimu masih utuh.”

.

Kelas Sunyi: 4T

Surat peringatan menjadi pemantik. Raos mengajukan program internal kepada General Manager baru—seorang perempuan tenang bernama Ragil—berjudul Kelas Sunyi. Materinya ringkas, seperti catatan pinggir namun dengan tulang punggung: 4T—Tulus, Tepat, Terukur, Tanggung jawab.

  • Tulus: mulai dari mendengar. Tidak memotong kalimat tamu dengan skrip.

  • Tepat: janji sehemat mungkin, eksekusi seluas mungkin.

  • Terukur: angka bukan musuh, ia kompas.

  • Tanggung jawab: setelah tanda tangan, kita masih ada, terutama saat ada yang salah.

Ragil mengangguk. “Jalankan. Tapi buktikan bahwa 4T bisa mengangkat RevPAR, bukan cuma reputasi.”

Kelas berjalan tiap Jumat sore, jam orang ingin pulang. Ajaibnya, mereka tetap datang: resepsionis yang kelelahan, banquet yang kulit tangannya pecah-pecah, sales junior yang baru paham bedanya ‘closing’ dan ‘closeness’. Mereka membaca testimoni tamu, bukan untuk diarsipkan, tapi untuk dipahami ritmenya: kata ‘ramah’ yang kalah populer dari ‘responsif’, kata ‘mahal’ yang menghilang jika ‘jelas’ di depan.

Di akhir kuartal, angka menyusul: tingkat keterisian weekday naik, komplain menurun. Sastranata menatap slide laporan dengan wajah datar yang sulit ditafsirkan. “Jadi, empati… bisa monetizable?” gumamnya.

“Empati itu seperti wifi yang benar,” jawab Ragil, setengah bercanda. “Tak terlihat, tapi semua kerja jadi tersambung.”

.

Jakarta, Jam, dan Jalan yang Ramai

Waktu mengalir. Graha Adaninggar berganti manajemen, brand baru menempel di fasad seperti tempelan nama pada bayi yang sebenarnya masih bayi. Raos pindah ke Jakarta, menjadi Director of Sales & Marketing di properti mewah yang jendelanya menghadap simpang tersibuk. Jam dinding di ruangannya berdetak seperti metronom rapat. Namun di laci, buku cokelat tetap menunggu.

Ayu, yang kini memimpin agensi event skala nasional, kadang datang tanpa janji. Mereka bicara di pojok kafe, tentang vendor yang tiba-tiba menaikkan harga, tentang crew yang burnout, tentang klien yang mengunci tenggat seketat dompet. “Dunia makin cepat,” Ayu mengerutkan kening, “kita diajar berpikir singkat.”

“Kita belajar bernapas panjang,” ujar Raos.

Di dinding kantor, ia tempel satu kalimat dari ibunya, ditulis dengan spidol hitam: “Tanganku boleh sibuk menghitung, tapi bibirku wajib pandai mengucap terima kasih.”

.

Senin yang Retak

Pada sebuah Senin, kota terasa retak. Hujan menumpuk di atap parkir, meluber ke jalan, membuat jam check-in jadi parade payung. Lampu lift kanan mati. Sistem pembayaran digital tersendat. Di layar media sosial, seorang tamu mengunggah video—sarapan habis sebelum jam sembilan, staf bingung, supervisor menghilang.

Rapat darurat meledak. “Ini reputasi!” kata seseorang. “Ini revenue!” kata yang lain. Raos menatap timnya. “Ini manusia,” ucapnya pelan.

Ia turun ke restoran. Mengajak tamu duduk, menyeduhkan kopi manual brew, menawarkan voucher makan siang sebagai permintaan maaf, tapi lebih dari itu, ia duduk, mendengar. “Kenapa Bapak marah?” tanyanya. “Bukan sekadar habisnya roti, kan?”

Lelaki itu—pegawai bank yang jarang pulang, katanya—menarik napas panjang. “Saya cuma ingin anak saya sarapan tenang sekali ini saja.”

Pukul sepuluh, dapur kecil di lantai dua dibuka sebagai overflow breakfast. Para tamu diajak naik, disambut pastry baru keluar oven. Di ujung layanan, seorang staf membungkuk, menyebut nama tamu satu-satu. Video baru muncul: “Mereka memperbaiki dengan layak.”

Sore itu, manajemen menatap KPI. Angka kerugian sarapan tertutup oleh data lain: skor kepuasan naik. Ragil berdeham. “Kita tidak bisa selalu sempurna, tapi kita bisa selalu bertanggung jawab.”

Raos menutup rapat dengan satu kalimat: “Target menyusun langkah; tanggung jawab menyusun ulang hati.”

.

Madura, Malam, dan Menoleh ke Belakang

Libur pendek, Raos pulang ke Pamekasan. Ibu menyambut dengan kuah kaldu yang harum. Mereka duduk di beranda, bercerita tentang tetangga, harga beras, dan anak kambing yang baru lahir.

“Di kota,” kata ibunya sambil meraut lidi, “orang mengejar tanda tangan. Di kampung, orang mengejar tangan yang kuat untuk saling menolong.”

“Bu, dunia berubah,” Raos tertawa kecil.

“Iya,” Sari mengangguk, “tapi manusia tidak sejauh itu berubah. Kamu ingat, dulu kamu menangis ketika temanmu tidak diajak main? Kamu pulang, diam, lalu besoknya kamu membawa dua bola karet.”

“Supaya semua dapat main.”

“Begitu juga kerjaanmu sekarang. Bawalah ‘bola karet’ untuk semua, supaya permainan tetap berjalan.”

Malam di Pamekasan dangkal dan teduh. Bintang menempel dekat. Di kamar, Raos membuka buku cokelat. Di halaman yang kosong ia menulis:
Ojo lali yen kabeh kudu nganggo ati. Karena hati yang memahami lebih kuat dari target yang mengintimidasi.

.

Audit, Angka, dan Arus Besar

Kembali ke Jakarta, audit tahunan datang seperti cek kesehatan. Tim auditor mengurai diskon, paket, barter, komplain—semua yang menjadi tulang-belulang setahun. Sastranata, kini berpindah menjadi konsultan eksternal, duduk seberang, memasang kacamata.

“Program 4T-mu,” katanya, “tak biasa. Tapi datanya tak membohongi.”

Ragil tersenyum—tipis, profesional. “Kita lanjutkan tahun depan. Tapi formalize. Jadikan modul. Ukur dari awal.”

Raos menambahkan satu indikator baru yang tidak terlalu populer: “Jumlah percakapan bermakna per minggu”—bukan call, bukan email—melainkan duduk dan mendengar. “Itu intangible,” protes seseorang.

“Seperti aroma kopi,” jawab Raos. “Tapi semua orang tahu saat ia ada.”

.

Surat Tanpa Amplop

Ayu datang lagi, kali ini membawa kabar yang tidak menunggu waktu: ayahnya sakit. Mereka duduk di ruang rapat yang dindingnya kaca—kota bergerak seperti film bisu di belakang punggung mereka.

“Aku ingin membuat perpisahan yang tampan,” Ayu berkata. “Bukan pesta. Sebuah malam tenang.”

Raos mengangguk. Mereka merencanakan malam itu seperti menulis surat tanpa amplop: hanya kalimat yang bersih, sampai ke yang dituju. Lampu diredupkan, musik dipilih dari kaset lawas, kursi disusun mendekat agar bisik pun terdengar. Ketika malam hadir, tak ada pidato. Hanya cerita-cerita pendek yang selesai di tawa, lalu di air mata.

Ayu memandang ke atas, menahan sesuatu yang berdesak. “Terima kasih,” bisiknya di tangga darurat, “karena mengajariku cara merawat perpisahan.”

.

Penawaran Termahal Tahun Ini

Di kuartal terakhir, sebuah perusahaan multinasional mengundang tender untuk konferensi. Nilai proyeknya cukup membuat mata siapa pun berbinar. Kompetitor berbaris: harga saling senggol, iming-iming bonus menumpuk. Tim Raos membahas strategi dengan antusias seperti anak mengeja liburan.

“Tarik semua potongan, bundling besar-besaran,” saran staf junior. “Tutup dengan upgrade kamar.”

Raos menatap jendela. “Mari beda,” katanya. “Mari berani menjadi mahal karena tepat.”

Penawaran mereka mengambil fokus pada post-event care: laporan data perilaku peserta (tanpa menyinggung privasi), heatmap antrian registrasi, saran alur tahun depan. Harga mereka tidak paling murah. Namun saat presentasi, mereka bicara tentang risiko—bukan hanya janji. “Kalau listrik padam lima menit, apa rencana B?” tanya Raos. “Kalau speaker utama terlambat, siapa pengisi jeda yang bermakna?”

Sepekan kemudian, email datang. Subjeknya pendek: We choose you. We felt understood.
Tim merayakan sederhana, seperti minum teh setelah hujan.

Di buku cokelat, Raos menambahkan:
Harga bisa dilupakan, rasa dipahami tidak.

.

Kota, Kompas, dan Keping-keping yang Tersusun

Di akhir tahun, rooftop kembali menjadi saksi. Angin malam menyisir rambut semua orang yang naik hanya ingin memastikan kota tetap ada. Raos berdiri di pagar, mengingat setiap tangan yang pernah menandatangani, setiap mata yang pernah menyisakan tanda tanya.

Ayu menyusul, menggandeng anak lelaki yang kini sudah sekolah dasar—mata bulat, ingin tahu. “Om Raos,” si bocah menyapa, “Ayahku bilang Om kerjaannya tanda tangan. Om capek?”

Raos tersenyum. “Om capek mengejar target. Tapi tidak capek mengartikan tanda tangan.”

“Bedanya apa?”

“Target itu angka di papan. Tanda tangan itu janji di hati.”

Si bocah mengangguk-angguk, mungkin mengerti, mungkin menyimpannya untuk esok.

Malam turun sempurna. Lampu-lampu jalan menyatu dengan bintang yang terlalu malu untuk terang. Di halaman pertama buku cokelat, tulisan lama menunggu. Raos menambahkan satu kalimat terakhir untuk menutup lingkaran hari itu:

“Keberhasilan bukan hanya tentang mencapai angka, tetapi tentang memahami isi hati orang lain.”

Ia menutup buku, mengikatnya dengan tali. Di balik target, di balik tanda tangan, ia menemukan kompas yang selama ini tak pernah padam: manusia.

.

.

.

Jember, 7 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #Hospitality #SalesEthics #Empati #CustomerExperience #Jakarta #Madura #Storytelling #LeadershipService

.

Kutipan Kunci dalam Cerita

  • “Dagangan boleh keras, hati tetap halus.”

  • “Sales sejati bukan yang mengejar tanda tangan, tapi yang menghapus air mata dengan sopan santun.”

  • “Target menyusun langkah; tanggung jawab menyusun ulang hati.”

  • “Harga bisa dilupakan, rasa dipahami tidak.”

  • “Di balik target ada tanda tangan; di balik tanda tangan ada tangan; di balik tangan ada hati.”

Leave a Reply