Di Balik Setir Ada Harapan

“Berubah bukan soal meninggalkan, tapi memilih arah baru agar tetap bisa bertumbuh.”

.

Hujan di Jakarta turun seperti kalimat yang panjang: jeda, koma, titik, lalu mulai lagi. Di antara gerimis yang menepi pada kaca helm, Kertawirya—yang di kota dipanggil Wira—menyeka sisa uap dari visor murahan yang retak di ujungnya. Jam di ponsel menunjukkan 21.17. Di dashboard aplikasi, bar hijau memanjang malu-malu: Aktif 3 jam, 1 perjalanan. Ia tersenyum tipis, getir, tapi bukan tanpa harap. Di depan, lampu-lampu Sudirman mengecil seperti bintang yang ragu pulang.

Wira mengenal meja marmer lobi hotel lebih dulu sebelum setang motor. Ia pernah menghafal nama-nama wine lebih fasih daripada nama jalan di pinggir tol. Dunia berubah, dan ia ikut menggeser kemudi. Dari Supervisor Hotel jaringan internasional, kini ia driver online, kadang content creator, malamnya menjual kopi literan di gang rumah kontrakan Rawamangun. Bukan karena kalah, tapi karena enggan berhenti belajar.

Ia menatap hujan. Lalu menatap dirinya sendiri pada bayang kaca toko yang telah menutup rolling door. Ada sorot yang tak padam: sorot seorang tuan rumah yang kehilangan rumah, lalu memutuskan menjadi rumah bagi orang lain—di mana pun ia berdiri.

.

Dari Lobi ke Trotoar

Tahun 2020 mengubah kamus hidup Wira. Dulu ia hafal SOP menyambut tamu dari Kyoto sampai Kansas. Dulu ia tahu seberapa panas seduh teh earl grey yang paling disukai langganan kamar 1203. Lalu pandemi datang seperti pemadaman listrik serentak: gelap, lama, dan membuat kita mengigau tentang lampu.

Ia tidak dipecat karena buruk, melainkan karena perhitungan. Angka-angka di sheet keuangan menggiring banyak orang baik ke pinggir. Wira pulang dengan satu kotak sepatu berisi name tag, kartu akses yang sudah tak berguna, foto bersama tim FOM di malam tahun baru, dan surat terima kasih yang rasanya seperti surat belasungkawa.

Hari-hari setelahnya adalah trotoar: ia belajar membaca peta bukan dari piktogram penunjuk kamar, tetapi dari suara klakson, garis busway, dan titik-titik notifikasi yang memantul di layar. Jakarta tetap sama sibuknya, tapi Wira merasa berjalan dalam jaring laba-laba yang talinya diganti letih.

Teman-temannya bertebaran. Sosro—dulu bar captain restoran fine dining—mengaduk kopi di rumah-rumah klien yang mengarahkannya memanggil: “Mas Barista.” Adaninggar—dulu reservation officer yang selalu rapi—mengelola titipan kue rumahan, membuka pre-order lewat status WhatsApp. Jayeng—pramusaji paling cekatan—pulang ke Bangkalan, membantu orang tua di ladang garam. Ada juga Tamban—security yang sering bersiul saat ronda—bergabung jadi kurir logistik.

Mereka tertawa dengan tekak yang kering. “Ganti watang, Wir,” kata Sosro suatu malam, menyodorkan botol kopi susu gula aren racikannya sambil bersembunyi dari hujan di bawah jembatan layang. “Ganti tongkat, ganti jalur. Yang penting jalan terus.”

Wira mengangguk. Di dalam kepalanya, ia mendengar ayahnya—almarhum—membaca pitutur yang dulu sering dipelesetkan: “Sapa gelem owah, bakal luwih kuwah.” Siapa mau berubah, akan lebih kuat.

.

Peta Baru, Luka Lama

Di hari ke-43 menjadi driver, ponsel Wira dijambret. Di hari ke-57, motornya mogok di tengah arus balik Cawang. Di hari ke-73, ia menerima order mengantar obat demam anak kecil di Tebet; saat ibunya membuka pagar, Wira teringat ibunya sendiri yang batuk kering sendirian di rumah kontrakan karena ia terlambat pulang.

Ia menangis sekali—di emperan toko yang bau cat. Bukan karena kehilangan barang, lebih karena takut kehilangan dirinya yang dulu. Oslo cup, polishing silverware, inventory: semua itu terasa jauh. Tetapi ketika tangis habis, ia menulis. Di blog gratisan yang ia beri judul BlogkuBlogmu, ia menuang satu per satu hari yang bertahan bukan karena ramai, tetapi karena jujur: hari mengantar nasi padang ke Karet; hari menunggu order di halte Dukuh Atas sambil menonton kaki-kaki percaya diri berjalan; hari menjual kopi literan dua botol ke penghuni apartemen Kuningan.

Komentar datang seperti simpul benang: “Bang, gue juga mantan housekeeping. Terima kasih.” “Mas, tulisan panjenengan ngajari kulo ngadepi dina.” “Mas Wira, boleh share resep kopi literannya?”

Di antara komentar, ada satu email yang memperkenalkan diri sebagai Wiraraja—nama yang membuat Wira tersenyum. “Saya baca tulisan Anda,” tulisnya. “Saya dulu tamu setia hotel tempat Anda bekerja. Saya juga bangkrut dua kali. Kalau Anda mau, saya bisa belajar sekaligus membantu.”

Nama itu seperti riwayat yang dihembuskan dari kisah lama—dari tanah seberang, dari Madura yang sabar menanam angin di tepi laut. Wira membalas dengan sederhana: “Saya mau belajar.”

.

Kelas Tanpa Podium

Pertemuan pertama dengan Wiraraja terjadi di sebuah warung rawon dekat Stasiun Gondangdia. Pria itu berambut memutih, matanya bersih seperti pepohonan setelah hujan. Ia membawa buku catatan tua, bukan laptop. “Saya dulu juga hospitality,” ujarnya. “Beda skala, sama rasa. Sakitnya saat dipulangkan dari panggung yang kita cintai itu mirip patah hati: tidak mematikan, tapi bikin kita mengira hidup selesai.”

Wiraraja tidak menasehati seperti bos. Ia bertanya seperti tamu yang tahu cara menikmati ruang: “Kalau semua labelmu diambil, apa keahlianmu yang tersisa?”

Wira terdiam. Lalu menyebut satu-satu:

  • Menyapa orang asing dengan tulus.

  • Membaca suasana.

  • Menjaga standar meski tak ada yang melihat.

  • Membuat orang merasa penting.

“Hospitality tanpa bangunan,” kata Wiraraja. “Itulah bekalmu. Bangunan bisa runtuh, tapi sikap melayani tidak pernah uzur.”

Malam itu, mereka menggambar peta kecil: 1) Bertahan (cashflow dasar), 2) Belajar (skill digital & komunikasi), 3) Berbagi (menulis & mengajar kecil), 4) Berjejaring (komunitas UMKM), 5) Bertumbuh (produk sendiri). Lima B dari Wiraraja, yang diingat Wira seperti rima doa.

Wira pulang dengan langkah ringan. Di halte, ia memotret bayang lampu yang membelah genangan—gambar itu menjadi konten Instagram pertama yang tak malu-malu: captionnya pendek, “Yang jatuh tak selalu pecah; kadang justru memantulkan cahaya.

.

Film Jalanan

Kamera ponsel Wira merekam hal-hal kecil: tangan tukang parkir yang memberi isyarat tanpa lelah, senyum satpam perempuan yang menjaga bank mini market, kursi plastik di bawah jembatan Sudirman yang selalu penuh saat jam pulang kantor. Ia memotong video di aplikasi murah meriah, menyelipkan suara narasi: “Tak ada gedung setinggi keberanian orang yang tetap jujur saat kesulitan.”

Views naik tak seberapa, tapi DM mulai datang. “Mas, bisa ngajarin bikin video simple?” “Mas, saya ibu rumah tangga. Gimana caranya bikin foto produk yang rapi?” Ia membuat jadwal zoom kelas gratis tiap Jumat malam, menamai kelasnya: Ganti Watang Studio. Sosro—yang awalnya mencibir—malah menjadi co-host paling cerewet. “Gue bagian MC,” katanya. “Lu coach, gue hype-man.”

Pertemuan Jumat malam menjelma jadi oase. Mereka tak bicara teori tinggi, hanya hal praktis: cara menata cahaya dengan tutup galon, cara menulis caption yang tidak menjerit, cara menerima komentar pedas tanpa balik marah. Di penghujung kelas, Wira selalu menutup dengan satu kalimat yang lahir dari tepi trotoar: “Yang kuat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang terus memilih untuk berdiri.”

.

Retna dan Peta Masa Depan

Suatu siang di kios fotokopi belakang Pasar Rumput, Wira bertemu Retna. Perempuan itu mengantre laminating kartu vaksin ibunya. Retna dulunya sales wedding di hotel lain—suaranya jernih, caranya menatap seperti seseorang yang mahir menenangkan kegaduhan.

“Mas Wira ya? Aku baca blogmu,” katanya. “Aku Retna. Sekarang bantu-bantu UMKM tetangga bikin katalog. Aku butuh orang yang bisa ajari tim kecilku, honor ala kadarnya.”

Wira tidak menimbang lama. Di sebuah ruang komunitas lima kali tujuh meter di Tanah Abang, mereka menggelar kelas offline pertama. Ada dua puluh orang; kebanyakan membawa bungkusan produk: kebaya, bumbu dasar, kerupuk ikan, kaos sablon. Wira mengajar tidak dari podium, melainkan dari lantai, duduk bersila, kemeja putih yang rapih dari kebiasaan lama. Ia ajarkan “Hukum Tiga”: tiga detik pertama untuk memikat, tiga kalimat pertama untuk menjelaskan, tiga langkah sederhana untuk mengajak. Ia ajarkan “Rumah Konten”: teras (hook), ruang tamu (manfaat), dapur (cara), kamar (cerita personal), halaman (call to action).

Di akhir sesi, seorang ibu yang dari tadi diam maju dan berkata, “Mas, saya dulu housekeeping, sekarang jual bumbu. Terima kasih. Rasanya kayak balik kerja bareng tim lagi.” Ruangan hening. Retna menepuk bahu Wira pelan; tepukan itu terasa seperti pengesahan.

.

Malam Paling Panjang

Tetapi hidup bukan garis datar. Pada malam ketika langit Jakarta memantulkan lampu-lampu pameran otomotif di JCC, ibu Wira sesak napas. Wira merapal angka-angka: biaya dokter, obat rutin, sewa kontrakan. Ia sempat berpikir menjual motor. Sosro datang, membawa dua termos kopi dan amplop tipis. “Gue tahu lu nggak suka dikasihani. Ini bukan kasihan. Ini giliran gue bayar kelas Jumat malam.”

Wira menatap sahabatnya lama-lama, lalu memeluknya. “Gue malu.”

“Nggak usah. Kita kan dulu bagi-bagi shift. Sekarang bagi-bagi napas.”

Ibu Wira pulih sepekan kemudian. Wira menuliskan kejadian itu di BlogkuBlogmu: “Kita sering salah paham dengan kekuatan. Kita kira kuat itu berarti sanggup sendirian. Padahal kuat itu justru saat kita berani meminta tolong.” Tulisan itu dibaca ribuan kali; sebuah media komunitas mengetuk pintu DM dan meminta wawancara.

Di bawah artikel yang terbit, ada komentar dari akun bernama Jayeng: “Aku bangga sama sampean, Wir.” Wira tahu, itu teman lama dari Bangkalan. Ia membalas: “Nanti kalau aku ke Madura, aku bawa kopi literan.” Jayeng mengirim emotikon jangkar. Menambat. Betapa sederhana kata itu, betapa menenangkan.

.

Jalan Pulang yang Berbeda

Awal 2025, undangan datang: mengisi kelas komunitas kecil di Tanah Abang, tema “Ganti Watang: Berani Berubah, Siap Bertumbuh.” Wira berdiri dengan kemeja putih yang disetrika sendiri, sepatu yang warnanya mulai pudar, tetapi mata yang menyala seperti lampu lobi jam enam sore.

“Dulu saya mengira identitas saya adalah gedung megah tempat saya bekerja,” katanya. “Ternyata identitas saya adalah cara saya memperlakukan orang lain. Bangunan boleh hilang, sikap melayani bisa dibawa ke mana saja.”

Ia membagi lima prinsip Wiraraja—Bertahan, Belajar, Berbagi, Berjejaring, Bertumbuh—dengan contoh konkret. Ia menunjukkan akun IG Ganti Watang Studio, menampilkan testimoni kelas: foto ibu-ibu dengan wajah lelah dan puas yang sama-sama cantik. Ia menutup dengan kalimat yang ia tulis di catatan teleprompter ponsel sendiri: “Kita tidak perlu kembali ke masa lalu yang nyaman. Kita cukup berjalan ke masa depan dengan keberanian. Kalau tidak ada yang menjemput peluang, ciptakan pintu dan berdiri di depannya.”

Di sudut ruangan, Retna merekam. Sosro bertepuk tangan terlalu keras. Wira tertawa. Ia merasa bukan sedang kembali ke panggung, melainkan sedang menggelar panggung bersama-sama.

.

Kota, Kopi, dan Kompas Kecil

Jakarta perlahan membuka diri seperti buku yang tadinya basah. Wira mengatur ritme: pagi mengantar pelanggan kantor di Kuningan, siang memotret katalog UMKM di Tanah Abang, sore menulis blog, malam meracik kopi literan untuk dikirim ke Mampang. Ia tidak lagi mengejar sempurna; ia mengejar cukup dan konsisten.

Suatu sore, Retna mengajaknya ke pameran fotografi di TIM. Di depan satu foto hitam putih—anak kecil bermain di genangan—Retna bertanya, “Kenapa kamu masih mau bawa-bawa ‘menjual kopi literan’ di bio? Bukankah kamu sudah bisa menyebut diri ‘pelatih konten’?”

Wira tersenyum. “Karena di malam paling gelap, kopi itu yang bikin gue tidak tertidur dalam takut.”

Retna mengangguk. “Di malam paling lembut, tulisanmu yang bikin orang lain tidak menyerah dalam sepi.”

Mereka tertawa pelan, seperti menghormati sebuah doa.

.

Menak yang Modern

Nama-nama yang melingkari Wira seolah diseret dari lembar-lembar kisah lama lalu diberi baju baru: Wiraraja yang bijak, Jayeng yang setia, Adaninggar yang berani memulai usaha rumahan, Tamban yang selalu hadir saat genting, Retna yang jadi cermin. Bukan gelar, bukan darah, melainkan cara masing-masing menaklukkan takdir harian.

Wira teringat satu fragmen dari cerita yang pernah diceritakan ayahnya sebelum tidur: tokoh yang lebih memilih menyeberang laut daripada duduk meratap di pantai. “Terkadang hidup memaksamu meninggalkan kapal megah demi belajar berenang di laut luas.” Kalimat itu dulu terdengar puitik; kini terasa seperti peta.

.

Toolkit Harian

Di tumpukan kardus bekas di sudut kontrakan, Wira menempel selembar kertas berjudul Toolkit Harian:

  1. Sapa 3 orang tanpa motif transaksi.

  2. Pelajari 1 hal kecil tentang alat/fitur yang tadi membuat bingung.

  3. Bagikan 1 manfaat di blog/IG, walau hanya 3 kalimat.

  4. Evaluasi 1 kesalahan hari ini, tanpa menghukum diri.

  5. Ucapkan terima kasih pada 1 orang, langsung atau lewat pesan.

Ia tidak selalu sempurna menjalankannya. Ada hari-hari yang hanya terisi nomor 5. Tetapi ia belajar percaya pada akumulasi: tetes-tetes hujan yang terlihat ringan, tetapi diam-diam menghijaukan kota.

.

Adegan Panjang Tanpa Musik

Satu malam, Wira mendapat order dari seorang ekspatriat di SCBD. “Airport, please,” kata penumpang itu, ramah. Di jalan tol, sang penumpang bertanya basa-basi. “What did you do before driving?”

Wira menjawab dalam bahasa Inggris yang ia poles sendiri: “Hotel. Supervisor. Now I do content training for small businesses at night.”

“Ah, hospitality never dies,” balas penumpang itu. “Buildings change. People remain.”

Lampu-lampu tol memanjang, suara wiper memotong ritme, dan Wira merasakan sesuatu mengalir di dada: bukan bangga, bukan sedih—lebih seperti rasa tiba. Bukan tiba di bandara, tetapi tiba pada dirinya yang baru.

.

Surat untuk Anak

Di atas meja lipat murah, Wira menulis surat untuk anaknya yang beranjak remaja:

“Nak, ayah tahu kamu malu ketika teman-temanmu bertanya kenapa ayah sekarang ‘kerja di jalan’. Kamu boleh malu. Malu itu manusiawi. Tapi kelak, semoga kamu juga bangga—bukan pada ayah, melainkan pada dirimu sendiri yang mengerti bahwa hidup boleh membuat kita ganti seragam, namun tidak akan pernah bisa memaksa kita mengganti nilai.

Hidup tak meminta kita bertahan dalam bentuk lama, tapi menguji apakah kita bisa tumbuh dalam bentuk baru. Kalau di sekolah kamu belajar rumus, di jalan ayah belajar ritme. Kalau kamu bertanya kapan semua kembali seperti dulu, mungkin jawabannya tidak akan pernah. Dan itu baik-baik saja. Karena tugas kita bukan kembali, melainkan menjadi.”

Ia menyelipkan surat itu di dalam kotak pensil anaknya. Keesokan hari, ada stiker kecil ditempel di helm Wira: “Ayahku Jagoan.” Hurufnya miring, warnanya kebesaran, dan itu membuat Wira tersenyum sepanjang hari.

.

Panggung Kecil, Cahaya Panjang

Suatu Minggu pagi, komunitas kota mengundang Wira bercerita di car free day. Panggungnya hanya truk pikap dengan banner seadanya. Di depan, orang-orang berhenti sejenak, mengikat sepatu, memegang minuman isotonik. Wira berbicara tentang jalan yang mengajarinya melayani tanpa resepsionis, mengantre tanpa marah, menunda tanpa merasa dihina.

Di akhir, seorang pemuda mendekat. “Bang, gue baru di-PHK. Jujur, gue takut. Lu ada saran yang bukan motivasi kosong?”

Wira menatapnya seperti menatap tamu yang datang terlambat check-in dan kehabisan kamar—dengan rasa bersalah ingin membantu, juga kejujuran bahwa tak semua bisa dibereskan malam ini. “Ada. Malam ini, tulis daftar tiga hal yang pernah lu lakukan untuk membuat hidup orang lain lebih enak. Besok, cari satu cara kecil untuk melakukannya lagi, meski gratis. Lusa, minta teman lu membayar lu untuk melakukan itu, walau murah. Tiga hari itu nggak bikin lu kaya. Tapi bikin lu kembali merasa berguna.”

Pemuda itu mengangguk. “Terima kasih.”
“Jaga kesehatan,” jawab Wira—dua kata yang di hotel dulu sering jadi basa-basi, kini menjadi doa paling serius.

.

Menambat

Beberapa bulan kemudian, Wira naik kapal feri ke Madura. Ia memenuhi janji: membawa kopi literan untuk Jayeng. Di tepi pelabuhan, angin mengibarkan kausnya, air asin menghinggapi bibir. Jayeng datang dengan motor bebek butut, tertawa lebar. “Sampean tetap Wira yang dulu, cuma setirnya beda.”

Mereka duduk di bibir dermaga, berbagi roti dan kopi. “Aku dulu kira pulang itu cuma soal arah,” kata Wira, menatap garis horison. “Sekarang aku rasa pulang itu soal siapa yang menambatkan kita saat kita goyah.”

Jayeng menghela napas. “Sampean menambatkan banyak orang di kota. Giliran kota yang menambatkan sampean.”

Di kejauhan, kapal lain datang. Hidup seperti itu: ada yang pergi, ada yang datang, dan air tetap mengelus-elus tepi.

.

Di Balik Setir Ada Harapan

Malam kembali turun di Jakarta. Wira duduk di atas jok motornya yang sudah tidak muda, menatap layar ponsel. Ada notifikasi dari Retna: “Mas, kelas Jumat penuh. Kita buka sesi tambahan?” Ada pesan dari Wiraraja: “Jangan lupa istirahat. Orang yang melayani butuh dilayani oleh tubuhnya sendiri.” Ada foto dari Sosro: termos-termos kopi berbaris seperti prajurit siap apel.

Wira tertawa sendirian. Di kaca helmnya, ia menangkap refleksi seorang lelaki yang tidak lagi menunggu panggung besar memanggilnya; ia menggelar panggung kecil setiap hari dan menuliskan lampu-lampunya sendiri.

Ia menekan ON di aplikasi. Nada notifikasi berbunyi—cerah, ringan, seperti anak kecil memanggil pulang. Wira menarik napas, mengucap pelan kalimat yang kerap ia bisikkan pada dirinya sendiri:

“Yang penting bukan seberapa tinggi posisimu, tapi seberapa bermakna langkahmu.”

Motor bergerak. Hujan menipis. Kota, dengan segala gaduh dan rahasianya, memberi ruang. Di balik setir, benar: ada harapan—bukan yang jauh di depan, melainkan yang duduk di jok bersamanya, menjaga punggungnya tetap tegak.

Dan kita tahu, di jalan yang panjang ini, yang disebut orang lain “bertahan hidup”, Wira menyebutnya “belajar melayani dengan cara baru.”

.

.

.

Jember, 4 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#DiBalikSetirAdaHarapan #GantiWatang #CerpenKota #Hospitality #UMKM #MotivasiKerja #BelajarBertumbuh #SastraUrban #Jakarta #CeritaIndonesia

.

Quotes tambahan naskah

  • “Berubah bukan soal meninggalkan, tapi memilih arah baru agar tetap bisa bertumbuh.”

  • “Terkadang hidup memaksamu meninggalkan kapal megah demi belajar berenang di laut luas.”

  • “Hidup tidak meminta kita bertahan dalam bentuk lama, tapi menguji apakah kita bisa tumbuh dalam bentuk baru.”

  • “Yang kuat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang terus memilih untuk berdiri.”

Leave a Reply