Di Balik Meja Penawaran
“Menjual bukan tentang barang, tapi tentang memahami manusia yang berdiri di hadapan kita.”
“Bahagia bukan saat tanda tangan di atas kertas, melainkan ketika hati yang rapuh menemukan tempat pulang.”
“Di balik setiap angka ada air mata yang diseka, doa yang dipelankan, dan keberanian untuk tidak menyerah.”
.
Kota Tak Pernah Tidur, Tapi Ada Hati yang Tak Pernah Diingat.
Jakarta pagi itu memuntahkan cahaya yang tak ramah. Langit pucat seperti kopi sachet yang kebanyakan air, dan di bibir jendela KRL jurusan Bekasi–Tanah Abang, Nursamsu menakar jarak: dari lenguh pintu gerbong ke derit tangga stasiun, dari detak target kerja ke detik-detik yang selalu kalah dari keterlambatan. Jas abu-abunya, yang kemarin baru disetrika di kamar petak, telah basah di punggung sebelum kereta melewati Manggarai.
Ia turun bersama arus, meniti trotoar yang tergilas proyek perbaikan. Gedung kantor agensi properti tempatnya bekerja berdiri di bilangan Sudirman seolah maket besar—lobi berlampu hangat, pot tanaman artifisial yang selalu hijau, mesin kopi dengan pilihan “americano/latte/kapal selam”, dan resepsionis yang menyapa dengan senyum yang dihafal. Tetapi begitu pintu lift menutup, dan angka digital merayap ke “3”, dunia berubah menjadi medan perang dingin: tawa yang cepat menghilang, tatapan yang mengira-ngira komisi siapa yang akan direbut, dan papan target merah menyala seperti suhu demam.
“Target minggu ini dua unit, Nur. Jangan cuma bisa senyum.”
Sugalim—supervisor dengan kemeja kotak-kotak rapi—menyerahkan selembar daftar “hot leads”. Nada suaranya seperti CCTV yang hidup 24 jam.
Senyum Nursamsu menciut. Ia memang ramah, tapi di papan digital penjualan, senyum tak menutup angka nol.
.
Di sisi lain kota, rumah petak sewaannya di Tebet bau minyak kayu putih. Dewi, istrinya, tertidur di sofa tipis, novel romansa tergeletak. Sudah tiga bulan ini sabar Dewi dililit kekhawatiran. “Kamu kerja kok kayak relawan, Nur. Laporan panjang, bonus tetap kecil. Sampai kapan?”
Nursamsu ingin menjelaskan bahwa properti bukan “klik–cair”. Ada tanda tangan, ada BI checking, ada penjahitan rasa—dan sering kali yang paling lama adalah meluruhkan waswas. Tapi terlalu sering menjelaskan membuat luka kian basah. Dewi bukan tak mendukung; ia lelah terantuk janji yang tidak sempat jadi bukti.
Suatu malam, Dewi mengemasi tas kecil. “Aku pulang ke rumah Ibu dulu. Capek.”
Tidak ada air mata, hanya sunyi dan pintu yang menutup pelan seperti huruf yang enggan diucap.
.
Senin siang. Kantor riuh oleh telepon yang tidak diangkat dan email yang “kindly reminder” untuk kesekian kali. Dari pintu kaca, seorang perempuan muncul. Kerudungnya sederhana, jam tangannya mahal, langkahnya tidak ragu. “Saya Retna. Ada yang bisa tunjukkan rumah satu lantai di selatan, jalan landai, lingkungan tenang? Untuk ibu saya.”
Semua mata menoleh. “Hot lead,” gumam seseorang. Sugalim sudah setengah bangun dari kursinya. Tetapi Retna menatap lurus ke arah Nursamsu—mungkin karena ia yang pertama berdiri. Mungkin karena sikapnya yang tidak mengulurkan brosur, melainkan mempersilakan duduk seolah menerima tamu di ruang keluarga.
“Apa yang paling penting buat Ibu nanti di rumah itu?” tanya Nursamsu pelan.
Pertanyaan itu, yang di kantor mereka jarang dilontarkan, membuat Retna melunak. “Ibu habis stroke ringan. Takut bising, gampang cemas. Tapi suka taman. Dia butuh rapi, tapi hangat.”
“Kita cari yang tidak sekadar dekat rumah sakit,” jawab Nursamsu, “melainkan dekat ketenangan.”
Ia membuka listing Jagakarsa: akses dua mobil, kaveling kampung lama, pohon belimbing di depan, tetangga yang masih suka menyapu depan rumah. Namun ia tak berhenti di angka dan luas bangunan. Ia menyambangi rumah itu sendiri—mengecek kemiringan akses, memotret lebar gerbang, menghitung ubin teras yang bisa dilalui kursi roda, bertanya ke ibu-ibu warung tentang suara tetangga yang suka karaoke. Ia menyusun laporan bukan bak proposal, melainkan surat untuk seorang ibu yang sedang belajar berdamai. “Pukul lima sore, angin dari kali kecil di belakang membawa suara daun pisang. Ada ruang keluarga yang bisa diberi kursi malas, menghadap taman mungil. Jarak dari tempat tidur ke kamar mandi delapan langkah.”
Retna membaca sambil menggigit bibir. “Kenapa kamu lakukan sampai sedetail ini?”
Nursamsu menatap mangkuk bakmi yang keburu lembek. “Dulu aku gagal memulangkan Ibu ke rumah yang nyaman. Ia meninggal sebelum sempat kubelikan rumah dengan halaman. Mungkin ini caraku belajar menebus—atau minimal membuat orang tua seseorang pulang dengan tenang.”
Sejak itu, Retna hanya ingin ditemani Nursamsu.
.
Di meja panjang rapat, dunia penjualan ingat haknya. Nama Retna muncul di CRM. Sugalim menepukkan map. “Hot lead. Aku takeover. Kamu presentasi, aku yang close. Jangan bawa-bawa perasaan. Ini kerjaan.”
“Dia minta saya, Pak.”
“Kamu terlalu sentimental. Ini bukan novel. Gagal, kamu out.”
Ancaman itu menempel seperti noda tinta.
Malamnya, Nursamsu menatap lampu-lampu Sudirman yang membentang seperti kalung mahal di leher kota. Ia ingat kisah-kisah yang pernah diceritakan kakeknya di Bangkalan, tentang nama-nama dari kisah Menak Madura yang hidup dalam ingatan: Jokotole yang tahu kapan pedang dihunus, Wiraraja yang lihai menimbang arah angin, Rengganis yang sabar setia pada hati sendiri. Ia tidak membawa gelar mereka, hanya menaruh namanya di dada: kesetiaan pada kompas yang paling pelan.
“Besok aku rapat penutupan sendiri,” tekadnya. “Kalau gagal, setidaknya aku gagal di jalan yang kupilih.”
.
Hari penutupan. Ruang presentasi dipoles menyerupai kafe—kopi instan, kue kering, wi-fi yang sering putus tapi punya nama meyakinkan. Sugalim berdiri di sudut seperti bayangan lampu. Dua sales lain, Jokotole dan Rengganis—nama panggilan yang melekat sejak training—menempatkan diri di kursi belakang, pura-pura sibuk di ponsel.
Retna datang dengan laptop, membuka tab perbandingan. “Agensi lain menawarkan unit serupa, limapuluh juta lebih murah. Aku tahu ini cocok, tapi kenapa aku harus beli dari sini?”
Diam menggantung seperti lampu yang filamennya hampir putus. Nursamsu menatap maket rumah di tengah meja. “Bu, rumah tidak hanya angka. Ibu Anda butuh ruang yang menenangkan alarm di jantungnya. Saya bisa kejar diskon, tapi saya lebih ingin menjual rasa aman. Kalau unit ini tidak bisa memberi, saya yang pertama akan bilang ‘jangan’. Tapi saya melihat ibu-ibu di gang belakang suka menyapu bareng, ada mushala kecil dua tikungan dari sini, dan sore di sini tidak terlalu gaduh. Rumah ini bisa menyembuhkan. Mungkin bukan paling murah, tapi mungkin paling pulang.”
Sugalim berdeham.
Retna menatap lama, lalu menutup laptop. “Saya ambil.”
Sugalim bergerak cepat menyodorkan lembar penawaran, tapi Retna menoleh ke Nursamsu. “Biar Nur yang menutup.”
Tanda tangan terjadi. Tidak gemuruh, tidak konfeti, hanya napas yang dikeluarkan pelan seperti beban di bahu yang diturunkan. Di luar, kemacetan tetap. Di dalam, hari itu punya makna.
.
Komisi datang tiga hari kemudian. Map dilempar ke meja Nursamsu. “Kamu menang kali ini,” kata Sugalim, setengah sinis. “Ingat, kerjaan kita bukan jadi pahlawan. Lain kali jangan pakai hati.”
Nursamsu mengangguk. Ia mengerti sinyal: keberhasilan orang yang “tidak sesuai alur” berutang pada kompromi. Tapi ia juga menemukan amplop kecil di bawah map. Secarik kertas bergambar bunga belimbing.
“Terima kasih sudah menjadikan rumah ini bukan sekadar bangunan, tapi perpanjangan tangan kasih seorang anak kepada ibunya.” —Retna.
Ia memasukkan kertas itu ke dalam dompet, di belakang foto kecil almarhum ibunya yang tersenyum di depan rumah kontrakan lama, dengan pot daun Afrika yang pernah mereka sayang.
.
Kabar tentang deal itu membuat kantor kembali riuh. Ada tawa menepuk bahu. Ada gumaman “hokinya Nur lagi bagus.” Ada pesan di grup internal: “Nur bagi tips dong.” Ia ingin menulis satu kalimat saja: Dengarkan manusia, bukan hanya angka. Tapi ia tahan. Tips yang terlalu sederhana sering tampak tidak profesional.
Sore itu, Retna mengabari: “Ibu sudah duduk di teras. Ia bilang, ‘di sini anginnya pulang.’”
Nursamsu berhenti sejenak di halte busway Dukuh Atas. Orang-orang mengalir, spanduk promo menggantung. Kata “pulang” menepuk dadanya pelan, seperti tawa ibunya yang dulu selalu menyebut nama rumah sebagai doa—bukan sebagai aset.
Keberhasilan membawa beban baru: mata yang merasa berhak mengintip. Malam-malam, Sugalim mengirim pesan: “Aku akan masuk sebagai co-agent untuk proyek BSD. Presentasi kamu, closing aku. Deal?”
Nursamsu menatap layar. Ia mengingat cicilan, mengingat Dewi, mengingat dapur yang sunyi.
Di dapur yang sama, panci bekas nasi goreng teronggok. Ia mengirim pesan pada Dewi: “Aku ingin bicara, bukan sebagai suami yang gagal, tapi manusia yang sedang belajar. Kalau kamu siap pulang, ada nasi goreng dan cerita.”
Tidak ada balasan malam itu. Hanya kilau lampu tetangga yang memanjangkan kesepian.
.
Keesokan hari, kantor kedatangan klien korporat: proyek mixed-use di TB Simatupang. Presentasi berlangsung dengan slide yang tersusun rapi, angka ROI seperti marching band. Nursamsu diminta menyusun deck “storytelling”: menaruh manusia ke dalam angka. Ia bekerja sampai larut. Saat semua pulang, ia duduk di mejanya, menatap layar kosong, lalu mulai menulis:
“Seorang ibu yang baru sembuh dari stroke melangkah di lorong yang tidak bergema. Seorang anak pulang lebih awal karena trotoar mulus membuatnya ingin jalan kaki, menelusuri bau kedai sup buntut di ujung blok. Seorang bapak yang kelelahan menghitung cicilan menemukan bahwa dari balkon lantai dua ia masih bisa melihat matahari runtuh di balik rindang jambu. Dan seorang satpam, yang sering dianggap remeh, belajar menyapa dengan nama. Kompleks ini bukan kumpulan unit. Ini adalah koreografi kecil tentang pulang.”
Ia menyelipkan kata-kata itu di antara grafik dan bullet point. Esoknya, presentasi berjalan senyap. Seorang direksi bertanya, “Kenapa ada cerita? Kita butuh angka.”
“Karena angka akan lupa, cerita yang akan diingat. Dan orang membeli rumah untuk kisah yang ingin mereka tinggali,” jawab Nursamsu, suaranya tidak keras tapi jelas.
Setelah rapat, Jokotole menepuk bahunya. “Berani kamu, Nur. Tapi… bagus.”
Rengganis menambahkan, “Cerita kamu bikin aku ingat ibuku.”
Mereka tertawa singkat—tawa yang tidak melukai.
.
Beberapa pekan kemudian, Nursamsu bertugas menghadiri serah terima rumah Retna. Pagi cerah, halaman kecil di Jagakarsa wangi tanah basah. Retna membantu ibunya—Ningrum—duduk di kursi kayu menghadap taman. Burung gereja ribut di pagar. Nursamsu membawa pot daun Afrika dari pasar tanaman Rawabelong. “Ini… dulu ibu saya suka,” ucapnya.
Ningrum menatap lama, air mata bening di sudut mata. “Di sini anginnya pulang,” katanya pelan, dan di kalimat itu, Jakarta sejenak seperti mengendurkan kerahnya yang ketat.
Mereka berfoto sederhana. Retna memasukkan sesuatu ke saku jas Nur: sebuah kunci gantung dengan gantungan kayu kecil bertuliskan “pulang”. “Untuk mengingatkanmu,” katanya.
Sementara itu, di kantor, papan target bergerak tanpa ampun. Ada gosip bahwa Sugalim akan dinaikkan jabatan. Ada rumor soal perombakan. Dan pada suatu sore, email masuk: “Reorganisasi Divisi Penjualan—Effective Monday.” Ruangan senyap sesaat, lalu bising. Di balik partisi, rencana kecil dibicarakan di chat-group yang cepat berubah nama. Jokotole mengajak kopi; Rengganis menawarkan mendesain ulang pitch deck. Nur memilih diam. Ia belajar bahwa keberanian bukan selalu di rapat, tapi di keputusan kecil: menyelesaikan telepon yang tidak ingin diangkat; meninabobokan amarah sebelum menjadi keputusan.
.
Pada malam yang lain, saat ia mengantri mi instan di warung ujung gang, pesan masuk dari nomor tak dikenal. “Kamu Nursamsu? Saya Wiraraja, developer BSD. Saya dengar presentasi kamu beda. Boleh ketemu? Saya butuh orang yang bisa menjahit angka dengan manusia.”
Nama itu—Wiraraja—terasa seperti keluar dari dusun lama; dari kisah yang barangkali pernah diceritakan kakeknya di beranda rumah Bangkalan, di bawah langit Madura yang sering kering tapi pandai meminjamkan angin. Nur tersenyum kecil. “Besok, Pak. Setelah jam kerja.”
Pertemuan itu tak melahirkan tawaran instan. Namun pulang dari kafe Senopati yang lampunya terlalu remang, Nur merasa tak lagi kecil. Di trotoar, ia melihat bayangan sendiri: seorang penjual yang belajar membungkus barang dengan empati. Seorang manusia yang sedang mencoba menambal retak hidupnya tanpa menunggu negara atau kantor berbaik hati.
.
Suatu Minggu pagi, ia memberanikan diri ke rumah ibu mertua. Sunyi menunggu di teras. Dewi membuka pintu, mata letihnya seperti menduga. Nur mengangkat kantong belanjaan. “Aku bawa bahan. Boleh pakai dapur?”
Di dapur kecil itu, mereka memasak nasi goreng sederhana. Bau bawang putih, kecap, dan telur menyeruak. Nur bercerita tentang Retna dan ibunya. Tentang angin yang pulang. Tentang daun Afrika yang ia letakkan di sudut teras. Dewi mendengarkan, tidak menghakimi. “Kamu masih percaya bisa pulang?” tanyanya.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu,” jawab Nur. “Tapi aku tahu rumah bukan alamat; rumah adalah cara kita saling memulangkan.”
Dewi menatap ke wajan, lalu mengangguk pelan. “Kamu… berubah.”
“Bukan berubah, Dew,” katanya, tersenyum kecil. “Mungkin baru agak jadi diriku sendiri.”
.
Di kantor, badai reorganisasi turun. Beberapa nama dipindahkan, beberapa dikeluarkan. Nama Nur sempat mengambang. Lalu email baru masuk: “Pembentukan Tim Konsultasi Penjualan—Nursamsu ditunjuk untuk memimpin sub-tim narasi pelanggan.” Sugalim pindah ke proyek korporat; wajahnya di rapat berikutnya kaku, tetapi profesional. “Mainkan andalanmu,” ucapnya singkat saat melewati meja Nur. “Tim kamu kecil, target tetap besar.”
“Baik, Pak,” jawab Nur. Tidak ada dendam. Ada legok di hati yang menampung pelajaran.
Tim kecil itu—Nur, Jokotole, Rengganis—keliling ke proyek-proyek: Tebet, Jagakarsa, BSD, Cinere. Mereka menulis ulang brosur: mengganti “lokasi strategis” menjadi “trotoar yang membuatmu ingin berjalan kaki”; mengganti “dekat mal” menjadi “dekat tempat kamu akan menenangkan pikiran saat hujan deras.” Mereka melatih resepsionis untuk menyapa dengan nama, bukan jabatan. Mereka mengajari agen junior untuk bertanya, “Apa yang paling penting buat Anda di rumah ini?”—dan benar-benar mendengarkan jawabannya.
Ada minggu-minggu buruk, tentu. Ada klien yang batal di detik terakhir karena tetangga memelihara ayam jago. Ada keluarga yang menawar terlalu rendah. Ada manajemen yang memotong anggaran pelatihan. Tetapi setiap kali hampir menyerah, mereka kembali pada kalimat sederhana yang menjadi janji di whiteboard: Jahitkan manusia ke dalam angka.
.
Suatu sore, kunci cadangan yang dulu diselipkan di bawah keset kembali ke tangan Dewi. Ia berdiri di ambang pintu rumah petak, memegang pot daun Afrika yang sudah tumbuh cabang baru. “Kalau kamu tidak keberatan, aku pulang. Mungkin bukan karena kamu menang tender yang hebat-hebat. Tapi karena kamu pulang ke dirimu sendiri.”
Nur tertawa pendek, menahan air mata yang tiba-tiba berat. “Rumah kita mungkin sempit, Dew. Tapi kita selalu bisa belajar memperluasnya dengan cara bicara, cara mendengar.”
Malam itu, lampu dapur menyala seperti dulu. Meja kecil di pojok ditemani dua piring nasi goreng, dua gelas teh hangat, dan obrolan tentang biaya listrik, cicilan, juga rencana menanam daun Afrika di kaleng bekas cat. Jakarta di luar jendela masih bising. Tetapi di ruangan kecil itu, angin pulang.
Bulan berganti. Di sebuah acara pameran properti, Nur diminta mengisi sesi “Sales with Soul”. Poster menampilkan wajahnya dalam resolusi yang terlalu tajam. Ia berdiri di panggung kecil, memegang mikrofon yang terlalu besar.
“Teman-teman,” katanya, “kita sering diajari bahwa menjual adalah mengejar. Aku belajar bahwa menjual adalah menjemput—menjemput rasa takut orang yang membeli. Kita bukan hanya menutup penawaran; kita membuka pintu pulang.”
Ia menatap barisan kursi: wajah-wajah muda lapar komisi, mata-mata yang pernah menjadi miliknya. “Di balik meja penawaran, ada manusia yang sedang rapuh, ada anak yang ingin membahagiakan orang tuanya, ada pasutri yang menyembunyikan pertengkaran di balik rencana. Dengarkan. Kalau perlu, ajak mereka duduk di teras, biarkan angin membantu berbicara.”
Usai sesi, seseorang mendatanginya. “Mas Nur,” katanya memperkenalkan diri, “namaku Suroboyo—teman memanggil ‘Boyo’. Aku baru training dua minggu. Boleh minta nasihat satu kalimat?”
Nur tersenyum. “Satu kalimat? Tanyakan hal ini setiap pertemuan: Apa yang paling penting buat Anda di rumah itu? Lalu dengarkan sampai tuntas. Habis itu, baru bicara angka.”
Boyo mencatat di ponselnya, serius seperti hendak menghafal doa. “Terima kasih, Mas.”
.
Waktu berjalan, kalender menua. Jakarta tetap jadi kota yang tidak sabar. Tetapi di Jagakarsa, di rumah kecil dengan pohon belimbing, Retna kerap mengirim foto: ibunya membaca koran di teras; tetangga mengantar pepes ikan; hujan turun pelan, membasuh daun Afrika. “Setiap sore, Ibu bilang: ‘anginnya pulang lagi.’”
Di layar ponsel, Nur membalas, “Salam untuk Ibu. Semoga sehat.” Lalu ia mematikan ponsel, mengecup kening Dewi yang tertidur dengan novel terlipat, dan berjalan ke dapur. Di sana, di antara panci dan wajan yang tak pernah benar-benar mengkilap, ia menempelkan selembar kertas kecil di kulkas:
“Sales yang baik bukan yang menjual barang, tapi yang menyentuh hati manusia di balik keputusan membeli.”
Ia menatap kalimat itu lama. Dalam pantulan kulkas yang penyok, ia melihat sosok yang tidak lagi bersembunyi di balik target. Ia melihat seseorang yang, di kota yang tidak pernah tidur, memilih mengingat hati yang sering lupa dipulangkan.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, ia merasa telah benar-benar kembali. Bukan ke alamat, melainkan ke dirinya yang utuh—di balik meja penawaran, di hadapan manusia, dan di antara angin yang selalu tahu jalan pulang.
.
Epilog—Catatan Kecil untuk Mereka yang Menjual dan Membeli
Di sebuah sudut training room yang dingin AC-nya, Nur menulis tiga bekal kecil untuk timnya—ia menyebutnya Bekal Pulang:
-
Titeni (Perhatikan): Bacalah yang tidak dikatakan. Ketika klien menyebut “tenang”, tanya apa arti tenang bagi mereka: suara, jarak, atau kenangan.
-
Tirakati (Upayakan): Lakukan hal kecil yang tak terlihat di invoice: cek kemiringan lorong, dengarkan burung di pagi hari, hitung langkah dari kasur ke kamar mandi.
-
Enteni (Sabar): Tidak semua deal terjadi sore ini. Ada yang tumbuh seperti daun Afrika—pelan, tapi berakar. Tugasmu menjaga cahaya dan airnya.
Ia menutup buku, menatap timnya—Jokotole yang setia, Rengganis yang tekun, dan Boyo yang kini tertawa lebih sering. “Kalau kita lupa,” katanya, “ingat lagi kalimat sederhana itu: menjual bukan tentang barang, tapi tentang memahami manusia di hadapan kita.”
Di luar jendela, Jakarta masih berdebat dengan langit. Tetapi di ruang itu, seseorang belajar menata ulang caranya bekerja. Dan dunia, yang sering keras, menerima satu cara lembut lagi untuk pulang.
.
.
.
Jember, 3 Agustus 2025
.
.
#SalesDenganEmpati #StorySelling #PropertiJakarta #HumanCentered #MenakMadura #Jokotole #Jagakarsa #KelasMenengah #CustomerInsight #Pulang