Di Balik Jendela Ada Diri

“Orang kota belajar dari cahaya neon: terang bukan untuk menyombongkan diri, melainkan untuk menunjukkan jalan pulang bagi yang lelah.”

.

Malam itu, dari lantai dua puluh satu sebuah apartemen di Jakarta Selatan, Panji menatap hujan jatuh seperti kode-kode rahasia yang tak selesai dibaca. Lampu-lampu di bawah berkedip, terpantul di kaca, memecah wajahnya menjadi dua: lelaki yang sibuk mengejar, dan lelaki yang ingin pulang. Di meja, sebuah foto .jpg yang dikirim Angreni—siluet seorang pria menatap kota—terbuka di layar ponsel. “Mirip kamu,” tulis Angreni. “Kota besar tidak selalu luas; ia bisa sesempit dahi yang berkerut.”

Panji tersenyum tipis. Ia co-founder sebuah agensi experience design yang belakangan merambah edukasi digital untuk UMKM. Ia mengajari restoran kecil menata menu, toko buku independen menata rak, yayasan anak jalanan menata harap. Tapi menata diri sendiri? Ia sering menunda.

Ponsel bergetar. Pesan dari Maya: “Proposal F&B campus incubator disetujui. Kita butuh dirimu besok presentasi ke rektorat.” Pesan lain dari Rengganis: “Endorsement hotelmu tayang jam sembilan. Siapkan caption yang tidak lebay.” Lalu dari Sekar, yang suaranya selalu tenang seperti mata air di tepi kota: “Kau makan apa malam ini?”

Panji menatap hujan. “Kau makan apa malam ini?” adalah pertanyaan sederhana yang dulu membuatnya ingin tinggal. Kini pertanyaan itu menjadi tanda: ia masih ada diingat, bahkan ketika ia merasa menghilang.

.

Di ujung lain kota, Sekar menutup pintu ruang tamu kantornya. Ia menggawangi platform edukasi yang berjejaring dengan sekolah-sekolah menengah di kota-kota satelit. Orangtuanya—dosen kedokteran dan arsitek lanskap—membayangkan Sekar akan meneruskan jejak akademik; ia malah melompati pagar dan menanam bibit kurikulum hidup: kelas literasi keuangan, kesehatan mental, storytelling untuk sains, magang singkat di UMKM tetangga. “Pendidikan,” kata Sekar kepada timnya, “harus bisa diraba: ada rasa, ada nalar, ada karya yang kembali ke kampung halaman.”

Hari itu, ia baru saja memfasilitasi sesi “Marketing Tanpa Gimmick” untuk siswa SMA—mengundang seorang barista yang gagal tiga kali membuka kedai, seorang analis data yang hobi tari tradisi, dan seorang perajin batik yang kuliah malam. Sekar percaya, karier hari ini bukan garis lurus, melainkan sungai bercabang. Yang penting adalah arus yang sehat, bukan label yang ramai.

Ia menatap poster di dinding: “Kita tidak hidup di kotak-kotak jurusan; kita hidup di ekosistem.” Di bawah poster itu ada foto ketika ia dan Panji berdiri di atas jembatan penyeberangan, memotret matahari tenggelam di belakang deretan gedung. Panji menggodanya, “Lihat, kota kita belajar menunduk saat sore.” Sekar menahan senyum: “Kau juga harus belajar menunduk saat menang.”

.

Angreni, manajer komunikasi sebuah jaringan rumah sakit swasta, menutup laptop pukul sebelas malam. Hari itu ia mengubah statistik menjadi cerita, menjahit angka rawat jalan dengan wajah-wajah yang membutuhkan ketenangan. Ia tahu, kata-kata bisa menjadi jembatan atau pisau. Ia memilih jembatan.

Di grup pertemanan kampus—Panji, Sekar, Angreni, Rengganis, Maya, dan Jingga—mereka saling bertukar kabar seperti kota bertukar lampu. Rengganis, kepala PR sebuah hotel di Surabaya, baru saja menenangkan tamu yang kesal karena sabun hotel sementara diganti merek komersial: “Ketersediaan stok terkendala distribusi, tapi keramahan hati selalu in-stock,” tulisnya. Maya, dosen yang juga investor kecil-kecilan di startup makanan sehat, tertawa: “Caption-mu bisa menyembuhkan luka brand.”

Jingga, yang memilih menjadi urban farmer di atap-atap gedung perkantoran, mengirim foto selada hidroponik berbaris rapi. “Besok panen untuk program makan siang komunitas.” Ia menambahkan: “Kadang-kadang, yang paling revolusioner adalah memanen tepat waktu.”

Mereka—lima orang dengan latar keluarga kelas menengah ke atas yang dididik untuk menaklukkan tangga—memutuskan untuk membangun jembatan. Bukan mereka tidak mencintai ambisi; mereka hanya ingin ambisi yang menumbuhkan.

.

Panji pertama kali bertemu Sekar di sebuah pameran foto. Ia berdiri di depan potret seorang tukang becak yang menatap ke arah kamera dengan mata jernih. Sekar berdiri di sampingnya, menatap foto yang sama, lalu berbisik, “Tatapan itu bukan minta dikasihani. Tatapan itu mengajarkan cara melihat.”

Sejak itu, kota terasa punya teks kecil di setiap sudut: sopir ojek menawar waktu, anak kos yang mengikat masa depan dengan dua mie instan dan satu buku catatan, dan juragan ruko yang mengukur keberhasilan seperti mengukur tinggi anak sendiri: sabar, telaten, kadang tak terlihat sampai suatu hari tanda gores di dinding naik setengah jengkal.

Mereka pernah hampir menikah. Namun Panji, yang jiwanya selalu ingin menjadi jendela bagi orang lain, takut menjadi pintu untuk dirinya sendiri. Ia mundur dengan alasan proyek, orang tua Sekar mundur juga dengan alasan adat. Waktu melipat rencana mereka menjadi kertas pesawat yang tidak jadi terbang. Sekar tak marah; ia justru membuka kelas kecil untuk dirinya sendiri: “Mengelola kecewa sebagai kurikulum.”

Dalam kelas itu, Sekar menulis: “Cinta yang matang tidak selalu bersama; kadang-kadang, ia memilih menjadi angin yang mendorong dari kejauhan.” Ia membagikan kutipan itu di platformnya, bukan untuk menyindir Panji, tapi untuk mengajari diri sendiri: menyembuhkan itu bukan melupakan, melainkan merawat yang tinggal.

.

Pagi berikutnya, Panji berdiri di aula rektorat sebuah universitas negeri, mengenakan kemeja putih dan sepatu yang diingatnya sebagai hadiah ulang tahun dari Sekar. Di sampingnya, Maya memproyeksikan slide berjudul: “Inkubator F&B Kampus: Meracik Ilmu, Meracik Rasa.” Di hadapan mereka, deretan petinggi kampus, perwakilan pemerintah daerah, dan beberapa pengusaha restoran yang menunggu proof of concept.

Panji memulai dengan cerita: “Di kota-kota besar, kita punya banyak sarjana—tapi di meja makan, terlalu banyak rasa yang sama. Kami ingin mengawinkan riset gizi, desain pengalaman, dan kearifan bahan lokal. Bukan hanya membuka outlet baru, tapi membuka cara baru makan siang: sehat, cepat, akrab.”

Ia menampilkan video pendek: seorang mahasiswa teknik memotong tempe sambil menjelaskan formula kalori, seorang mahasiswi hukum menulis SOP higienitas sambil tertawa, seorang dosen antropologi mengulas sejarah rawon sebagai dokumen budaya yang bisa disajikan. Aula, yang tadinya rapat, mulai retak oleh senyum.

Setelah presentasi, seorang pengusaha menepuk pundaknya. “Kau bicara seperti memotret,” katanya. Panji membungkuk. “Saya cuma pernah belajar melihat.” Di ujung aula, Sekar berdiri diam, mengamati dari jauh. Ia datang bukan sebagai kekasih yang ditinggalkan, melainkan sebagai mitra yang sedang menilai: apakah ekosistem ini aman untuk anak-anak didiknya?

Pertemuan mata mereka singkat, tapi cukup untuk menuntun arah. Ada sesuatu yang sudah tumbuh di antara mereka: bukan rencana pernikahan, bukan gengsi siapa yang lebih maju; melainkan bahasa yang sama tentang kota yang ingin mereka besarkan.

.

Rengganis mengundang mereka ke Surabaya untuk soft opening rooftop lounge barunya—tempat yang menyiasati kebisingan kota dengan musik akustik dan salad jagung bakar. “Kau boleh menatap kemacetan dari ketinggian,” katanya, “tetapi jangan lupa menatap dapur.” Mereka berjalan melewati back of house: seorang staf housekeeping menunjukkan catatan perawatan linen, bartender mengulas resep mocktail yang namanya diambil dari peribahasa Jawa, chef memperkenalkan supplier sayur dari petani lereng.

“Bisnis hotel,” ujar Rengganis, “itu bukan soal lobby berkilau. Itu soal keberanian paling sederhana: membalas keluhan dengan solusi, dan memuji staf di depan umum.” Panji mengangguk, mengingat review tamu tentang sabun kemarin. “Kadang stok kosong,” sambung Rengganis, “tapi stok rendah hati harus selalu penuh.”

Malam itu, di bawah lampu-lampu yang tidak menonjok, mereka mengobrol tentang garis nasib yang bisa diubah jadi pola batik. Jingga bercerita tentang panen rooftop; ia menyuplai setumpuk selada ke lounge ini. Maya menceritakan module kewirausahaan yang baru; Sekar berbagi rancangan kurikulum yang akan mengajak siswa magang di hotel, bukan untuk cuci piring semata, tetapi untuk memahami ekologi layanan: dari raut wajah satpam hingga cara resepsionis menatap mata.

“Ekosistem,” kata Sekar, “dimulai dari cara kita menyapa.”

.

Hidup kelas menengah ke atas di kota-kota Indonesia sering dibayangkan sebagai spidol tebal: jelas, terang, percaya diri. Namun di dalamnya, ada warna-warna yang tidak mudah dilihat. Ada orangtua yang menyisipkan nasihat ke dalam cicilan rumah. Ada anak-anak yang memikul reputasi keluarga seperti ransel yang tidak bisa diletakkan saat pergi ke pesta. Ada keinginan naik kelas sosial yang menumbuhkan jamur perbandingan di media sosial. Ada pesta kecil di kafe mahal untuk menutupi rasa sepi yang sebenarnya ingin pulang ke meja makan yang wele-wele tapi jujur.

Panji mengenal itu semua. Ayahnya seorang kontraktor, ibunya dosen seni rupa. Di rumahnya, keindahan bisa menjadi beban: setiap bangun pagi, ada harapan tak terucap untuk menjadi nama yang enak disebutkan di undangan. Sekar juga mengenal itu: kedua orangtuanya punya curriculum vitae yang membuat mapan terlihat biasa saja. Sekar belajar menyaring ambisi: yang bertumbuh disimpan, yang beracun dibuang.

Pada suatu sore, setelah sesi mentoring di sekolah, seorang siswa bertanya pada Sekar, “Mbak, apakah sukses itu harus viral?” Sekar menatapnya sambil tersenyum seperti kakak. “Viral itu efek,” katanya, “bukan tujuan. Tujuanmu adalah berguna. Kalau berguna, ia akan mencari jalannya sendiri untuk terdengar.”

.

Konflik datang bukan sebagai petir, melainkan gerimis yang merembes. Proyek inkubator F&B kampus mempertemukan mereka dengan jaringan supplier yang ternyata menyisakan jejak yang tidak mereka duga: upah tidak adil di gudang, limbah sayur dibuang sembarangan, dan laporan palsu demi menutup kerugian. Panji serasa ditarik ke dua tebing: tebing deliverables yang harus tercapai, dan tebing nurani yang tak mau ditembok.

“Kalau kita bongkar sekarang, programnya bisa batal,” kata Maya, realistis. “Kalau tidak kita bongkar, kita ikut-ikutan,” jawab Jingga, pelan namun tajam. Sekar menatap Panji: “Kau yang memulai suara, kau yang menentukan nadanya.”

Malam itu, Panji menulis thread panjang: “Inkubator kita bukan hanya tentang resep. Ia adalah cara kita memaknai kenyang. Kekenyangan nurani lebih penting daripada kenyang target.” Ia menyertakan temuan audit internal, mengusulkan jeda satu bulan untuk merombak supply chain, menawarkan pendampingan hukum kepada pekerja gudang, dan—ini bagian paling sulit—mengakui kesalahan tim dalam verifikasi awal.

Aula rapat mendadak dingin seperti kulkas yang lupa dicabut. Seorang pejabat kampus mengernyit, pengusaha yang semula merangkul kini membetulkan kacamata. Namun, sesuatu yang jarang terjadi di kota itu terjadi di ruang itu: tidak ada yang mundur, tidak ada yang menutup mata. Karena kebenaran yang disampaikan dengan sopan sering membuka pintu yang tak terlihat.

Rengganis mengangkat tangan. “Hotel kami bersedia menampung limbah sayur untuk program kompos rooftop, sekaligus menyediakan pelatihan manajemen limbah untuk dapur-dapur kampus.” Maya menambahkan: “Fakultas hukum siap mendampingi gugatan perdata jika diperlukan.” Sekar, yang dari tadi diam, berkata, “Dan saya akan menulis modul: ‘Kejujuran sebagai Kompetensi Teknis.’

Rapuh bukan berarti kalah. Kadang-kadang, rapuh adalah tanda bahwa akar sedang memilih jalurnya.

.

Seusai rapat, Panji keluar gedung dan menatap hujan. Sekar menyusul, membawa payung. “Kau ingat,” katanya, “kita pernah memperdebatkan apakah kota itu tempat tinggal atau tempat singgah?” Panji tertawa kecil. “Kau jawab waktu itu: kota adalah tempat menunggu.” Sekar menggeleng. “Sekarang aku mengubah jawabanku. Kota adalah tempat belajar. Kita belajar dari tukang parkir yang menghafal nomor, dari kasir yang tersenyum di bawah target, dari supir taksi yang tidak menyerah pada jalan satu arah.”

Mereka berdiri sebentar dalam diam, mendengarkan bunyi air di aspal seperti tepuk tangan yang jauh. Panji membuka mulut, menutup, lalu membuka lagi. “Sekar.” Sekar menoleh. “Kalau suatu hari aku berani, bolehkah aku…” Ia tertawa pada dirinya sendiri. “Bolehkan aku meminta izin untuk tidak menjelaskan semuanya?”

Sekar menatapnya, mendorong payung sedikit mendekat. “Kau boleh tidak menjelaskan semuanya,” katanya, lembut. “Asal kau kembali setiap kali kita kehilangan kompas.”

.

Waktu melompat dengan cara kotanya: masuk ke lift, menekan lantai yang lebih tinggi, lalu menunggu pintu terbuka sambil memeriksa notifikasi. Selama tiga bulan, inkubator itu tiarap, bukan karena kalah, tetapi karena berganti tulang. Mereka melakukan audit supplier, membuat pedoman upah layak, menyiapkan SOP limbah organik, memperbaiki pengadaan. Mereka menunda grand launching, tapi memulai program magang etika bisnis: mahasiswa masuk ke gudang, ikut mengukur keringat, menulis catatan, dan bilang: “Saya pikir neraca itu angka. Ternyata ia juga manusia.”

Pada bulan keempat, inkubator kembali berjalan. Tidak mewah, tidak gegap gempita, tapi berfungsi. Menu pertama yang dijual bukan fusion rumit, melainkan nasi jagung dengan lauk sederhana dari pemasok yang kini tersenyum lebih jujur. Mahasiswa yang jaga counter menatap mata pelanggan seperti yang Sekar ajarkan: melihat bukan sekadar scanning—melainkan mengakui kehadiran.

Di atap gedung, kebun Jingga lebih hijau. Di lobby hotel Rengganis, frontliners mempelajari “script kejujuran” ketika menghadapi review yang pedas. Di ruang guru, modul Sekar yang berjudul “Kejujuran Sebagai Kompetensi Teknis” dilipat-lipat, diselipkan di buku pelajaran yang lebih tebal. Di co-working space, Panji menutup laptop dan merasa dadanya lapang; bukan karena omzet hari itu, melainkan karena sesuatu yang dulu ia kira harus menyerah kini bisa berdamai.

.

Suatu malam, mereka berlima berkumpul lagi. Bukan rooftop lounge, bukan aula kampus—sekadar ruang tamu apartemen Panji yang lampunya hangat dan karpetnya bersih dari sisa hari. Di meja ada cheese platter sederhana, juga teh tubruk yang mengembalikan lidah ke asalnya. Mereka saling bertukar kabar kecil: Jingga akan mengajar anak-anak panti tentang sayur; Maya menyiapkan seri kelas finansial untuk pekerja kreatif; Rengganis ingin melatih bagian housekeeping membaca review tanpa baper; Sekar—seperti biasa—memperhatikan yang diam di sela-sela obrolan.

Panji mengeluarkan foto .jpg yang dulu dikirim Angreni—siluet pria menatap kota—lalu menempelkannya di mood board baru. Ia menulis di bawahnya: “Menatap kota = menata diri.” Sekar tersenyum, dan untuk pertama kali setelah lama, ia bersandar ke bahu yang pernah ia kenal sebagai jarak. Tidak ada janji diucapkan, tetapi ada rencana yang tumbuh: rencana untuk menua dengan pekerjaan yang tetap berguna.

“Kalau suatu hari kita patah arang?” tanya Maya. “Maka kita pinjam api dari yang lain,” jawab Rengganis cepat. “Kalau suatu hari kota ini terlalu bising?” tanya Jingga. Sekar menatap foto di dinding. “Kita belajar diam tanpa mematikan kepedulian,” katanya. Panji menambahkan, “Dan tetap pulang ke meja yang sama.”

Hujan datang lagi malam itu. Jakarta, yang sering dituduh tidak punya hati, terdengar seperti ibu yang menepuk kasur: sudah, tidur. Besok kamu belajar lagi.

.

Beberapa bulan setelahnya, inkubator F&B kampus menggelar showcase—bukan pesta brand, melainkan pameran ekosistem. Di sana ada stan supplier yang kini bangga memasang papan upah layak; ada stan mahasiswa psikologi yang menjelaskan teknik komunikasi empatik di cashier; ada stan hotel Rengganis yang membagikan checklist transparan untuk tamu; ada stan urban farming Jingga dengan kompos yang harum tanah; ada sudut kecil Sekar yang memajang esai-esai muridnya tentang “Rasa yang Mengajarkan Keadilan.”

Di panggung, Panji diminta menutup acara. Ia berdiri di depan mikrofon, menatap hadirin—orangtua berbatik, mahasiswa bercelana jins, pejabat, pengusaha, dan para pekerja yang jarang mendapatkan sorot lampu. “Terima kasih,” katanya, “karena bersedia menunda tepuk tangan demi sesuatu yang lebih penting: agar tangan-tangan ini tidak kosong ketika lampu panggung dimatikan.”

Ia menghela napas, suara menurun, seperti menuruni tangga. “Kota kita besar. Ia membesarkan kita sekaligus menuntut kita membesarkannya kembali. Caranya bukan selalu dengan bangunan atau jabatan. Kadang-kadang, cukup dengan membalas review dengan rendah hati, cukup dengan mengganti pemasok yang lebih adil, cukup dengan menatap mata dan mengucap ‘terima kasih’ tanpa menabung kalkulasi.”

Sekar berdiri di sisi panggung, menatap Panji seperti menatap anak murid yang menyelesaikan PR paling sulit: mengakui takut. Tidak ada cincin di jari mereka, tidak juga rencana rahasia yang siap diumumkan. Ada yang lebih penting: cara memegang kompas agar jarum tidak patah.

Di layar belakang panggung, panitia menayangkan kalimat yang dipilih bersama:

“Kita tidak sedang mengejar nama baik; kita sedang membangun kebiasaan baik. Nama akan datang sendiri kalau kebiasaan cukup keras mengetuk.”

Hadirin bertepuk tangan. Tepukan yang wajar, tidak meledak-ledak. Tepukan yang terdengar seperti hujan sore: konsisten, menyejukkan, mengundang tidur siang di hari libur.

.

Sebuah kota, jika diberi kesempatan, bisa menjadi guru paling jujur. Jakarta, Surabaya, Bandung—kota-kota yang tampak sama dari langit—ternyata menyimpan pelajaran yang berbeda jika kita merunduk. Di gang kecil, seorang pedagang es mengajari manajemen stok lebih baik dari kuliah teori. Di ruang rapat, seorang OB mengajari protokol senyum yang tidak ada di buku. Di rusun yang saban sore memanggil nama, seorang anak belajar bahwa “pulang” bukan koordinat, melainkan keputusan.

Panji dan kawan-kawannya menutup malam dengan berjalan kaki dari aula ke parkiran, menyisir trotoar yang baru dipercantik. “Aku sering berpikir,” kata Panji, “bahwa kita ini hasil kota. Ternyata, kota juga hasil kita.” Sekar mengangguk. “Kita adalah kalimat-kalimat yang menulisnya.”

Mereka berhenti di lampu merah pejalan kaki. Di hadapan, arus kendaraan menyala seperti nadi yang menolak tidur. Ketika lampu berganti hijau, mereka melangkah bersama. Tidak ada yang mendahului, tidak ada yang menunggu terlalu lama. Seperti kurikulum yang mereka rancang: maju dengan tempo yang bisa diikuti.

Dan malam itu, entah kenapa, kota terasa menepuk bahu mereka: “Teruskan. Tidak perlu ramai. Yang penting, besok lebih rapi dari hari ini.”

.

.

.

Malang, 22 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KotaDanKita #KelasMenengah #Hospitality #Edukasi #FandB #EtikaBisnis #Storytelling #UrbanFarming #Kejujuran

.

Quotes Tambahan seirama pesan cerpen

  1. “Ambisi yang tidak menumbuhkan adalah kemacetan yang kita ciptakan sendiri.”

  2. “Kejujuran adalah kompetensi teknis yang paling sering dilupakan di kota-kota besar.”

  3. “Kita tidak butuh panggung lebih tinggi; kita butuh kebiasaan yang lebih rendah hati.”

  4. “Pulang bukan alamat; pulang adalah keputusan untuk berguna.”

  5. “Nama baik hanyalah gema; suara aslinya adalah kebiasaan baik.”

Leave a Reply