Di Antara Setara dan Satu Frekuensi
“Kadang yang paling menyakitkan bukan karena kita terlalu tinggi untuk dipahami, tapi karena kita terlalu tulus untuk disalahartikan.”
.
Malam turun ke atas kota seperti tirai beludru yang diseret pelan dari langit barat. Lampu-lampu kantor kelas A di segi empat pusat bisnis menyala seperti sisik ikan yang berkilat. Jalan layang memanjang, menampung arus mobil-mobil keluarga yang jendelanya gelap, membawa pulang gaji yang baru cair, rencana liburan, cicilan, dan obrolan yang mengulang-ulang. Di sebuah apartemen berlantai empat puluh dua, jendela unit 4212 terbuka sedikit. Angin membawa aroma hujan yang tertunda.
Di balik kaca itu, Jayengresmi berdiri. Tangan kirinya memegang cangkir kopi yang tak lagi panas; tangan kanannya menelusuri garis-garis peta kota di layar ponsel—batas-batas kelurahan, titik-titik co-working space, kafe yang punya ruang baca, tempat ngaji yang menyediakan kelas literasi digital untuk ibu-ibu. Kata “pulang” berpendar di benaknya seperti notifikasi yang tak henti bergetar.
Ia pulang. Tetapi pulang yang ia dapat bukan pelukan. Pulang yang itu dingin. Pulang yang membuatnya bertanya-tanya: di kota ini, siapa yang sefrekuensi dengannya?
.
Pulang yang Tak Lagi Sama
“Keberhasilan yang tak bisa dirayakan bersama, kadang terasa lebih sunyi dari kegagalan.”
Namanya Jayengresmi, anak bungsu dari keluarga ulama ningrat di Kadipaten Ngerangin—sepotong tanah tua yang menyimpan sumur-sumur cerita, di tepi kota pelabuhan yang sibuk, tak jauh dari jembatan panjang yang mengikat pulau dengan daratan. Ayahnya dulu mengajar tajwid sambil menyalakan lampu petromaks, ibunya mengajarkan sabar seperti menanak nasi: pelan, tepat, matang.
Beasiswa membawanya ke universitas ternama di ibukota. Ia belajar kebijakan publik di siang hari, dan melemparkan dirinya ke forum-forum literasi setiap malam. Ia menulis, ia berbicara, ia merangkul bahasa yang membuat ide-ide berpendar. Saat wisuda, ia menolak tawaran kerja di konsultan bergaji fantastis. Ia pulang dengan keyakinan sederhana: “ilmu itu untuk berbagi, bukan untuk meninggi.”
Tapi Ngerangin yang menyambutnya bukan Ngerangin masa kecil. Gang-gang melebar, dinding-dinding dipoles cat yang lebih mahal, tapi obrolan mengecil, tajam, cepat menghakimi. Di pengajian, di rembuk warga, Jayengresmi duduk bersila, mengusulkan ruang belajar gratis di surau tua. Senyap menjawabnya.
“Ndara Jayeng, njenengan saiki kok rumangsa luwih pinter ya?” suara Marsiti, teman masa kecil yang dulu suka bermain bentik bersamanya, meluncur lirih tapi beracun. “Ngomonge koyo putri raja, nganti awakku ki isin arep celathu.”
Jayengresmi tersenyum canggung. Ia menyuguhkan data, menyebutkan beasiswa literasi digital untuk anak desa, modul yang bisa diunduh gratis, stok buku bekas dari para donatur urban. Tapi dalam beberapa detik, ruang terasa beku. Seseorang menghela napas dan berkomentar, “Lha wong anak saiki senenge gadget, ngapain repot mbangun sekolah kecil?”
Di pasar, tatap mata yang dulu hangat berubah jadi cepat menghindar. Di grup WhatsApp RT, satu tautan menjadi tuduhan: “Sok barat.” “Putri raja pulang, pengin diangkat jadi dewan kampung.” “Niat baik bisa jadi panggung.”
Di malam-malam apartemen 4212, Jayengresmi mengulang pertanyaan yang sama:
Apakah aku salah karena ingin memberi?
.
Dingin yang Tak Terucap
“Seringkali, bukan kata-kata yang menyakiti, tapi sikap yang tak lagi menganggap.”
Kota besar punya cara mengajarimu bahwa sepi bukan soal jumlah orang, melainkan soal selisih frekuensi. Di kafe-kafe yang memutar jazz, di jalanan yang memantulkan neon, Jayengresmi berjalan sendiri. Pundaknya tetap tegak—warisan dari ibunya—tapi langkahnya sering ragu.
Sore itu, di teras surau yang dinaungi trembesi tua, datang Umar Madi: tetangga sepuh, kiai kampung, sekaligus lengan yang dulu sering memapahnya ketika ia jatuh saat belajar naik sepeda. Perawakannya mengecil, tetapi suaranya tetap meneduhkan.
“Ndara, ora kabeh wong seneng weruh cah enom bali dadi cahaya,” katanya sambil memutar tasbih yang manik-maniknya menguning. “Cahaya mu bisa dadi silau kanggo sing isih peteng. Nanging kuwi ora ateges kowe kudu mati sinar.”
Kata-kata itu menetes ke hati Jayengresmi seperti minyak kayu putih pada dada yang sesak. Ia memejam, menampung.
“Sing penting,” lanjut Umar Madi, “kowe terus nyala, ora kudu padhang banget. Ora kabeh omah butuh lampu panggung. Kadhang mung butuh sumbu lilin, sing tenang, nanging nuntun.”
Di jalan pulang, hujan turun pendek, menyapu debu. Jayengresmi menepi di bawah kanopi minimarket, memperhatikan anak berseragam SD menunggu ibunya. Sesederhana itu—menunggu yang mengerti cara menjemput.
.
Ditemukan oleh yang Tulus
“Kadang, kita tidak butuh pelukan. Kita hanya butuh dipahami tanpa dijelaskan.”
Minggu pagi, jadwal kota melambat. Jalanan jadi milik pesepeda dan pedagang soto. Di lapangan kecil dekat sungai, panitia bakti sosial menggelar tikar panjang, menata buku-buku sumbangan, menyiapkan kamera untuk siaran langsung. Di sanalah Umarmaya menemuinya—saudara seperguruan yang dulu sama-sama menjadi pengurus perpustakaan kampus, kini memimpin komunitas relawan digital bernama Layang Jagad.
“Jayeng, melua aku,” katanya sembari menepuk bahu. “Nang kene awakmu ora perlu mbenerke pandangan wong. Cukup dadi awake dewe. Ora ana sing sinis, ora ana sing nyindir. Sing ana gotong royong.”
Layang Jagad bukan organisasi yang gemerlap. Mereka menempati ruang sewa dua lantai, di atas ruko penjual peralatan rumah tangga. Meja-meja bekas kantor start-up, kursi-kursi plastik, poster berbingkai seadanya. Tapi matanya terang. Di sana ada Amir Hamzah, ahli multimedia dakwah yang bisa mengubah ayat menjadi animasi yang indah tanpa mereduksi makna. Ada Syekh Wadi, pemuda sunyi yang menulis naskah edukasi agama bak air yang jernih.
Jayengresmi duduk sekali, lalu tak lagi bertanya soal “apakah aku cukup.” Ia menyingsingkan lengan. Ia menemukan yang selama ini ia cari: kawan sefrekuensi.
.
Satu Frekuensi, Bukan Sekadar Setara
“Kita tak perlu selevel dalam segalanya, cukup satu frekuensi dalam kebaikan.”
Pelan-pelan, pekerjaan itu menjadi ritme baru.
Pagi, Jayengresmi mengajar kelas menulis esai untuk anak-anak SMA. Ia meminta mereka menulis tentang bau rumah saat hujan, tentang suara yang mereka rindukan. Ia mengajari mereka “paragraf yang bernapas”—kalimat panjang boleh, asalkan memberi ruang bagi pembaca untuk duduk.
Siang, ia menyusun modul kewirausahaan digital: cara memotret produk dengan ponsel jadul tapi hasilnya tajam; cara menulis caption yang jujur, bukan yang mengemis empati; cara membuat laporan sederhana, karena angka adalah doa yang lain.
Sore, ia membuat ruang sunyi di surau tua: rak buku, karpet bersih, jam dinding yang detiknya pelan, aturan tanpa sepatu, lampu yang kuning dan lembut. Di dekat jendela, ia menempelkan tulisan kecil: “Bacalah seseorang seperti membaca buku: perlahan, tanpa ingin melompat ke halaman terakhir.”
Malam, ia dan Umarmaya menyusun jadwal siaran digital: pengajian singkat dengan infografis, cerita-cerita kecil dari pasar, testimoni ibu-ibu yang belajar menggunakan e-wallet tanpa panik. Amir Hamzah menambahkan musik latar yang nyaris tak terdengar, Syekh Wadi menyaring kata-kata hingga yang tersisa cuma inti.
Dalam satu bulan, Layang Jagad bergerak dari obrolan pinggiran menjadi magnet yang tenang. Pengikutnya tak meledak, tetapi mereka yang datang tinggal. Mereka berganti-ganti peran: belajar, mengajar, mengirimkan makanan, me-review proposal. Tidak setara status, tidak selevel gaji, tapi satu frekuensi misi: menjadi berguna tanpa formalitas yang menyulitkan.
.
Pelita Tak Harus Mencolok
“Tak semua cahaya harus terang benderang, yang penting ia menuntun.”
Suatu malam, Jayengresmi pulang lebih larut dari biasa. Ibunya menunggunya di ruang tengah, lampu temaram, televisi dimatikan. Aroma kayu manis dari wedang jahe menyambut. Ibunya memerhatikan, tak bertanya panjang.
“Nak, urip iku kudu tetep nyala,” ucap ibunya. “Sing ora tahan karo sinarmu, bakal minggat. Tapi sing ngerti gunane, bakal nyedhak lan ndhukung.”
Jayengresmi mengangguk. Ia menatap tangan ibunya—urat-urat kecilnya seperti jalan-jalan kampung yang mengantar setiap orang pulang. Lalu ia bercerita: tentang anak laki-laki yang kehilangan ayahnya di proyek konstruksi, tentang gadis yang diam-diam menjual kue melalui siaran langsung karena ibunya sakit, tentang bapak-bapak yang malu bertanya cara pakai QRIS. Ibunya tak menyeka air mata—ia membiarkannya jatuh, agar kenyang.
“Kabeh iki ora kudu padhang,” ibunya menambahkan. “Kadhang pelita sing cilik sing paling perlu.”
.
Mengendap dalam Diam
“Tidak semua luka terlihat. Ada yang menetap diam, menyesakkan setiap tarikan napas.”
Tak semua hal lantas mulus. Di balik layar, Jayengresmi tetap menanggung dingin yang tak terucap. Ada pesan yang tiba-tiba nyinyir ketika ia mengunggah kegiatan. Ada undangan rapat kampung yang dicabut pada jam terakhir. Ada tatap mata di pasar yang mengiris—bukan karena benci, tetapi karena rasa tidak nyaman yang membusuk.
Malam-malam tertentu, ia masih menatap langit dari jendela 4212, bertanya pada kota yang begitu ia cintai: “Apakah kebaikan harus diterjemahkan ke semua bahasa?” Jawabnya selalu sama: angin yang lewat, klakson yang jauh.
Pada malam-malam itu, ia membaca catatan kecilnya sendiri:
-
Jangan marah pada yang tak paham; syukuri yang mau mencoba paham.
-
Jangan memaksa setara; temukan frekuensi.
-
Jangan menuntut tepuk tangan; dengarkan napas yang lega.
Ia menulis, ia menambal, ia tidur.
.
Tetap Memberi, Meski Tak Dikenali
“Tak semua benih tumbuh di tanah yang sama, tapi tetaplah menebar.”
Minggu siang, Layang Jagad mengadakan pop-up class di teras rumah kosong yang disulap jadi studio sederhana. Tema kelas: “Menjual tanpa Merendahkan Diri.” Dua puluh orang hadir: pemilik kios sayur, perajin batik, mahasiswa, ibu-ibu yang ingin belajar menulis testimoni untuk pelanggan.
“Kabeh rejeki ora kudu latar panggung,” kata Jayengresmi sambil menggambar sketsa saluran penjualan di papan tulis. “Kadang rejeki mlebu saka jendhela. Tugasmu: tetep mbukak jendhelane, bersihna kacane, lan ojo lali ngundang cahya.”
Mereka tertawa. Mereka mencatat. Mereka mencoba mengunggah foto produk dengan latar kain sederhana dan sinar matahari jam sembilan pagi. Mereka menulis caption yang jujur: tidak mengemis, tidak menghakimi, tidak melebih-lebihkan. Mereka belajar menimbang kata diskon bukan sebagai jerat, tetapi sebagai jembatan.
Di penghujung kelas, seorang bapak mendekat. Tangannya kasar. Mata yang letih itu berkaca-kaca. “Nduk, aku ora ngerti carane matur nuwun sing bener.” Ia mengangkat ponselnya. “Saiki aku isa ngirim gambar sing apik lan ora rumangsa luwih murahan.”
Jayengresmi tersenyum kecil. Terkadang dunia tak perlu memahami anda sepenuhnya—cukup satu orang yang bernapas lebih lega karena anda ada.
.
Sebuah Malam, Sebuah Retak, Sebuah Keputusan
Di bulan keenam, Layang Jagad menerima undangan mempresentasikan program “Surau Produktif” di town hall sebuah perusahaan teknologi yang sedang meluncurkan inisiatif CSR. Layar LED raksasa, karpet abu-abu yang memantulkan langkah, barisan kursi yang diselimuti kain putih. Ada nama-nama besar di daftar undangan. Ada jabat tangan yang bau parfum mahal. Ada kamera-kamera yang tak pernah benar-benar menatap.
Pada sesi tanya jawab, seorang eksekutif muda mengangkat tangan. Senyumnya indah, tepinya tipis.
“Program kalian bagus,” katanya. “Tapi dampaknya kan kecil. Data yang kalian tampilkan baru ratusan orang. Bagaimana meyakinkan kami bahwa ini worth our budget?”
Ruangan menahan napas. Jayengresmi menarik oksigen dalam-dalam. Ia menatap grafik yang baru saja ia tayangkan—angka-angka yang disusun dari kehadiran, modul yang diunduh, UMKM yang naik omzetnya 18-30 persen. Ia memandang wajah-wajah yang tumbuh dari poster: anak-anak yang menulis esai pertama, ibu-ibu yang bisa menakar ongkir.
“Pak, Bu,” suaranya tenang. “Kami tidak menjual sensasi dampak. Kami menumbuhkan kebiasaan baru. Kami tidak menembakkan kembang api; kami meniupkan sumbu. Dan sumbu perlu waktu untuk menjadi nyala. Bila bapak-ibu mencari angka yang menggelegar bulan ini, mungkin kami bukan mitranya. Tapi bila bapak-ibu mencari perubahan yang bertahan bertahun-tahun, kami akan terus menyalakan lilin-lilin kecil ini.”
Hening, lalu tepuk tangan. Tidak memekakkan, tapi tulus. Eksekutif muda itu menunduk pelan. Seusai acara, ia mendekat, mengulurkan kartu nama. “Ajarin saya… cara melihat seperti itu.”
Di mobil pulang, Umarmaya menatap Jayengresmi lama-lama. “Kowe ngerti ora?” katanya akhirnya. “Iki dudu soal menang debat. Iki soal ketemu wong sing sakwise dirungokke, bernapas luwih jembar.”
Jayengresmi tertawa kecil. Malam di luar menerjemahkan kota menjadi bokeh. Ia menyandarkan kepala. Kadang, kemenangan terdengar seperti seseorang yang berkata: “ajarin saya”.
.
Rengat yang Menyambung
“Kita tidak harus kembali ke awal untuk memaafkan. Cukup menemukan cara baru untuk berjalan berdampingan.”
Suatu sore, ketika matahari seperti kuning telur yang diaduk separuh, notifikasi masuk dari Marsiti. Singkat: “Bisa ketemu?” Lokasi: warung soto di pojok boulevard, yang menghadap kolam dengan air mancur kecil.
Marsiti datang dengan langkah tak selembut dulu. Ia menatap mangkuk sotonya seperti menatap kesalahan sendiri yang enggan diakui. Setelah beberapa suapan, ia menghela napas.
“Aku salah, Jayeng,” katanya tanpa banyak prolog. “Aku kesel karo diriku dhewe, karo omah sing saiki, karo rasane kudu nyusul kabeh sing tindak luwih adoh. Aku kira kowe dadi panggung. Ternyata kowe dadi pangkal.”
Jayengresmi mengangkat alis. Di dadanya, sesuatu mengendur.
“Aku ora butuh kowe njelasno apa-apa,” lanjut Marsiti. “Nanging yen iso, tugasi aku apa wae sing bisa tak kerjakke. Aku ora janji pinter. Aku mung janji tak terusno sing apik.”
Jayengresmi menatap air mancur. Ia teringat kalimat ibunya: yang tak tahan dengan sinarmu akan menjauh; yang mengerti gunanya akan mendekat. Ia tersenyum.
“Ayo,” jawabnya pelan. “Kita mulai dari hal paling kecil: njaga ruang sing sepi saka nyinyir.”
Sejak itu, Marsiti menjadi penanggung jawab “Ruang Sunyi” setiap sore. Ia belajar mengusir gosip dari kalimat-kalimat yang tidak perlu. Ia menuang air hangat, menyapu karpet, menyambut setiap orang dengan pertanyaan yang bukan interogasi: “Paling seneng maca apa?” Dan kota pun, pelan-pelan, menyalakan satu lampu lagi.
.
Yang Tumbuh dari Yang Pelan
“Kebaikan adalah investasi pada jam yang tidak tergesa.”
Setahun berjalan. Surau Produktif tumbuh dari satu ruang menjadi lima titik. Bukan karena media nasional memberitakan—mereka datang, menulis dua paragraf, lalu berlalu—melainkan karena kabar baik berjalan kaki.
Anak laki-laki yang dulu kehilangan ayahnya kini menjadi mentor kelas menulis untuk adik-adik SD. Gadis yang berjualan kue diam-diam kini memimpin kelas akuntansi mikro: ia mengajarkan bahwa laba bukan rejeki yang harus habis dimakan malam itu juga. Bapak-bapak yang dulu malu bertanya kini berlomba-lomba membuat QR standee dari bekas kalender, berdiri tegak di depan lapak-lapak kecil.
Di kantor-kantor kelas A, ada perubahan yang lebih halus: beberapa eksekutif muda—yang dulu menanyakan “worth our budget?”—mulai mengirimkan waktu luang mereka. Bukan hanya dana. Mereka datang tanpa blazer, mengajari presentasi yang jernih, bukan yang mewah; mengajari rapat yang ringkas, bukan yang bising. Frekuensi menemukan frekuensi.
.
Kota, Rumah, dan Jarak yang Melebur
Pada suatu Sabtu yang basah, Layang Jagad mengadakan gathering kecil di halaman surau: pameran tulisan, bazar kue, kelas kilat public speaking, dan pertunjukan musik akustik yang meminjam lagu-lagu pesan moral tanpa menggurui. Sederhana, tapi hangat.
Di sudut halaman, Umar Madi duduk di kursi kayu, memandangi panggung kecil yang dibuat dari palet bekas. Jayengresmi menghampiri, mencium tangan, duduk di lantai, menunggu seperti murid menghadap guru. Kiai tua itu menghela napas panjang, seperti mengeluarkan debu masa lalu dari paru-parunya.
“Ndara, awakmu saiki wis ngerti,” bisiknya, nyaris seperti doa. “Yen ora kabeh cah becik cocok ngendikan ing panggonan sing sepi ilmu. Nanging ojo lali, tugasmu tetep nularake cahya. Ora kanggo pujian, tapi kanggo urip sing luwih murakabi.”
Air mata Jayengresmi tumpah pelan. Bukan karena luka. Karena akhirnya ia menemukan rumah yang sefrekuensi: bukan rumah yang membuatnya merasa lebih tinggi, melainkan rumah yang membiarkan ia tetap menjadi dirinya—dengan segala nyala yang kadang kecil, kadang padam, lalu hidup lagi.
Malam turun. Lampu-lampu taman dinyalakan. Anak-anak berlarian membawa buku catatan baru; ibu-ibu menawar harga serundeng; bapak-bapak bercanda tentang angle foto paling laris. Dari panggung kecil, suara gitar mengalun. Kota—yang sering kali terasa seperti labirin raksasa—tiba-tiba kembali jadi halaman rumah.
Jayengresmi menutup matanya sebentar, memotret momen itu ke dalam ingatan. Lalu ia menulis di ponsel:
“Orang sefrekuensi akan menemukan cara untuk bertemu, meski peta sosial tak memberi jalan. Dan ketika mereka bertemu, kota pun pulang.”
.
Menjaga Nyala
Di jendela apartemen 4212, angin malam kembali masuk. Kali ini, cangkir kopi Jayengresmi benar-benar hangat. Di layar ponselnya, pesan-pesan baru masuk: remaja yang mengirimkan puisi pertamanya; ibu-ibu yang menginformasikan omzet bulan ini; Marsiti yang mengirim foto Ruang Sunyi saat senja—karpet bersih, rak rapi, selembar kertas bertuliskan:
“Jadilah cahaya yang tidak menyilaukan, tapi membuat orang lain berani melangkah.”
Jayengresmi membalas dengan satu kalimat:
“Kita tak perlu selevel dalam segalanya, cukup satu frekuensi dalam kebaikan.”
Dan pada akhirnya, ia memahami pelajaran paling sederhana dari semua ini: pergaulan bukan soal setara; pertemanan bukan soal status; kerja-kerja kebaikan bukan soal panggung. Dalam hidup, yang kita cari bukan tepuk tangan massal, melainkan napas yang selaras. Yang kita butuhkan bukan persetujuan banyak orang, melainkan satu dua hati yang mengerti.
Karena begitulah cara nyala berpindah: bukan dengan menguasai langit, melainkan dengan saling menyalakan.
.
“Sinar kebaikanmu tak perlu diterima semua orang. Cukup jadi penerang bagi yang mau berjalan bersamamu.”
.
.
.
Jember, 11 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #SastraIndonesia #MenakMadura #KotaDanKebaikan #LayangJagad #RuangSunyi #SurauProduktif #FrekuensiKebaikan #CeritaReflektif #NamakuBrandku