Di Antara Angka, Mesin, dan Luka

“Yang tampak hebat di luar, belum tentu kuat di dalam; dan yang sederhana di luar, sering justru penuh tenaga di dalam.”
“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”
— pitutur untuk yang sedang bertahan

.

Jakarta sore itu diguyur hujan. Air merunduk di tepian trotoar Jalan Sudirman, memantulkan lampu-lampu kendaraan yang berlari seperti sedang mengejar jawaban hidupnya masing-masing. Dari balik kaca lantai tujuh belas sebuah gedung konsultansi yang megah, seorang perempuan berdiri memeluk map tipis. Wajahnya sendu, bahunya tegak. Di tangannya, selembar kertas yang telah ditandatangani—surat pengunduran diri.

Namanya Cindhe Laras.

Ia merantau dari Solo dengan napas panjang dan bekal tekad. Lulusan terbaik jurusannya, jago mengolah data, telaten merangkai cerita dari angka. Di layar laptopnya, angka-angka biasa tunduk; pada rapat-rapat, suara hatinya tak didengar. Di ruang itu, ide-ide sering tampak lebih berharga saat diucapkan oleh mulut yang lebih lantang. Selebihnya, yang bersuara pelan, otomatis dianggap pelengkap.

Cindhe paham cara menjinakkan grafik, tetapi tak pernah tahu cara menenangkan luka. Ia bisa memimpin presentasi di hadapan direksi, namun tak kuasa memimpin gemuruh di dadanya sendiri.

“Kadang, bercerita bukan untuk didengar, melainkan untuk menolong luka yang ingin reda,” bisiknya pada bayangan sendiri di kaca.

.

Pukul lima pagi, alarmnya selalu memecahkan sepi kamar kos di Kuningan. Sarapan sering berarti kopi hitam dan roti lapuk yang sudah kehilangan wangi. Pukul enam, ia sudah di halte TransJakarta, mencuri detik untuk membaca ringkasan jurnal manajemen waktu. Pukul sembilan, rapat internal. Pukul sebelas, rapat klien. Pukul dua, pitching. Pukul empat, pendalaman data. Pukul tujuh malam, revisi ketiga. Pukul satu dini hari, presentasi final. Di sela-sela semua itu, ponselnya berkedip: panggilan ibu tak terjawab, video ulang tahun adik yang baru sempat dibuka saat sinyal melemah.

Kalendernya pelangi: biru untuk meeting, merah untuk tenggat, kuning untuk janji temu; tak ada warna untuk perasaan sendiri. “Waktu bukan cuma jam kerja,” tulisnya di catatan, “tetapi ruang bernapas agar jiwa tak buntung.”

Di kantor, ada Menak—CEO yang di media disebut “visioner”. Ada Umar dan Madi—kembar ranum ide yang pandai bergaul. Dan ada Adaninggar—perempuan dari Surabaya yang menjadi direktur pemasaran salah satu klien terbesar, tegas, tajam, dan suka menjawab sebelum pertanyaan selesai diutarakan. Nama-nama itu seperti tokoh wayang yang dipindahkan ke gedung kaca: tanpa gelar, hanya dengan reputasi.

Pada rapat strategi, Menak menyelipkan senyum tipis. “Kita butuh kampanye yang memadukan data dan cerita,” katanya. “Sesuatu yang tak hanya menjual, tapi juga menyalakan.”

Cindhe menatap slide yang ia siapkan semalaman: peta perilaku pengguna, hipotesis, skenario pengujian A/B, alur konten dengan narasi empatik. Saat ia mengangkat tangan hendak berbicara, Umar lebih dulu bersuara. “Kita bisa bangun mesin rekomendasi konten. Pakai model bahasa. Otomatisasi copy. Efisiensi,” ujarnya, menatap ke arah Menak. Madi menimpali, “Tinggal kita fine-tune gaya bahasanya. Selesai.”

“Bagus,” kata Menak. “Siapa yang bisa eksekusi cepat?”

Suara Cindhe tertahan. Ada jeda—sebentar saja. “Saya sudah siapkan kerangka dan prompt bank,” katanya akhirnya, pelan tapi jelas.

“Baik,” jawab Menak sekadarnya. “Koordinasi dengan Umar dan Madi.”

.

Di meja kerjanya, Cindhe berteman dengan mesin. ChatGPT ia ajak bicara seperti rekan lama: bertukar sudut pandang, menguji nada, mengatur tempo suara. Midjourney ia ajak bereksperimen: tekstur hujan di kaca, lampu jalan, wajah-wajah yang tak selesai diceritakan. Bagi rekan-rekannya, mesin itu mengancam. Bagi Cindhe, mesin itu adalah cermin. “Mesin bisa meniru kreativitas,” catatnya, “tapi tak bisa menggantikan empati.”

Ia menulis prompt seperti menenun: “Tulis salinan iklan yang membayangkan seorang perantau memesan tiket untuk pulang, namun enggan benar-benar pulang karena pekerjaannya menahan.” Ia mengulang, mengedit, menggeser kata, menanam jeda. Malam-malam ia tidur di sofa kantor, membiarkan pendingin ruang menipiskan demam. Saat kampanye mengguncang angka—rasio klik melesat, konversi naik di atas target—yang berdiri di panggung apresiasi bukan dirinya.

“Keberhasilan adalah hasil tim,” kata Menak. “Terutama kerja cepat Umar dan Madi.”

Cindhe bertepuk juga, suaranya hilang di riuh sorak yang bukan miliknya. Pulang ke kos, ia menemukan pesan ibu: “Ndok, kalau capek, berhenti dulu. Rejeki yang baik tidak mengejar orang yang tergesa.” Dan pesan adik: “Mbak, nggak apa kalau nggak bisa hadir ulang tahunku. Aku wis ngerti.”

Ia duduk menatap lampu-lampu kota yang berpendar seperti luka-luka kecil yang berusaha tampak indah.

.

Sebuah sore yang basah, di kafe dekat halte MRT, Cindhe membuka catatan harian kecilnya. Kertasnya tipis, garisnya rapat. Di halaman paling baru, ia menulis: “Bukan dunia yang akan berubah untukmu. Kamu yang memutuskan bagaimana bertumbuh di dunia ini.”

Ia menandatangani surat pengunduran diri dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Bukan karena takut miskin—ia mengerti kecukupan yang telah ia rancang; bukan pula karena dendam—ia sudah lelah untuk itu. Ini tentang harga diri yang lama ia titipkan di bawah meja rapat.

Sebelum menyerahkan surat itu, ia membentang selembar excel sederhana: tabungan, pengeluaran tiga bulan, proyeksi biaya kos, asuransi, ruang untuk napas. Ia mempelajari kanal-kanal YouTube soal pengelolaan uang, menandai toko buku untuk membeli dua buku keuangan pribadi, dan menanyakan senior yang ia percaya tentang freelancing. “Tak ada kemerdekaan tanpa kesiapan finansial,” katanya pada diri sendiri. “Aku tak mau menjadi beban; aku ingin bertanggung jawab.”

.

Esoknya, langit terang seperti tak tahu ada yang retak. Cindhe menyerahkan surat itu. Menak mengangkat alis, menatap sebentar lebih lama dari biasanya. “Sudah pasti?” tanyanya.

“Sudah,” jawab Cindhe, suaranya jernih.

“Kalau berubah pikiran, pintu selalu terbuka,” kata Menak, kalimat yang diucapkan setiap kali ada yang pergi. Umar menepuk bahunya, Madi mengucap semoga sukses. Adaninggar, di ujung meja, menatap dengan mata yang tak sepenuhnya dingin. “Semoga kamu menemukan tempat yang memperhatikan caramu melihat,” katanya. Suara itu tidak sinis. Ada sesuatu yang Cindhe tangkap: mungkin pengakuan yang terlalu terlambat, mungkin semacam perpisahan yang ragu.

Lift menurunkan Cindhe pelan, lantai demi lantai. Di lobi, satpam yang biasa menyapa dengan salam singkat menambahkan, “Semoga tambah bahagia, Mbak.” Kata sederhana yang menusuk. Kebahagiaan, di kota ini, sering terdengar seperti barang mewah di rak paling tinggi.

.

Hari-hari awal setelah resign terasa seperti ruang kosong yang bergema. Di pagi yang tidak lagi disetel alarm, Cindhe bangun lebih cepat. Kamar kos yang sempit mendadak penuh suara: detak jam, desis ketel, lalu hati yang berani menangis. Menangis, untuk yang pernah ditahan. Menangis, untuk menandai bahwa yang kuat juga manusia. “Emosi bukan untuk dihindari,” tulisnya, “melainkan untuk dijinakkan.”

Ia mulai menulis jurnal dengan disiplin. Bukan hanya apa yang terjadi, tetapi juga apa yang dirasa. Ia belajar membedakan lelah badan dengan lelah harga diri; memisahkan sedih karena ditolak dari sedih karena tak dihargai. Dari halaman-halaman itu, benih kecil tumbuh: keinginan untuk berbagi.

Seseorang menghubungi lewat pesan: kawan lama dari kampus, mengajak kerja lepas untuk audit konten sebuah UMKM makanan rumahan di Depok. “Bayarnya nggak seberapa, tapi aku percaya kamu,” tulis kawan itu. Cindhe menerima, bukan karena uang, melainkan karena kesempatan melihat kembali manusia di balik angka—ibu-ibu memasak di dapur sempit, aroma sambal yang menyerbu halaman, anak-anak yang tertawa di antara kardus-kardus pengemasan.

Di laptopnya, ia menampilkan grafik sederhana; di depannya, ia mendengar cerita. “Jualan online itu aneh, Mbak,” kata sang pemilik UMKM, “yang lelah kita, yang tenar mereka.” Cindhe tersenyum. “Kita akan belajar membiarkan angka bicara, tapi yang memegang mikrofon tetap manusia.”

.

Mei yang pertama tanpa slip gaji membuatnya pulang ke Solo dengan kereta malam. Di jendela, bayangannya memantul samar. Wajah itu bukan lagi gadis yang datang ke Jakarta dengan mata menyala dan koper tipis. Wajah itu milik seseorang yang jatuh di jalan panjang dan memilih bangkit pelan-pelan.

Di rumah, ibunya menghidangkan sayur lodeh dan tempe garit. Ayahnya menepuk pundak, komentar pendek yang menenangkan: “Urip kuwi ora lomba. Koyo mangan, sing penting ora keselek.” Adiknya memamerkan video ulang tahun yang kemarin ia lewatkan, diseling tawa canggung. Ada diam di meja makan, namun itu diam yang mengizinkan napas.

Esok pagi, Cindhe berkeliling kampung, memotret warung kecil yang dicat ulang, melihat anak-anak bersepeda, mendengarkan ronda malam yang bercanda perkara lampu. Di masjid, seorang ibu tua mengelus lengan Cindhe. “Kowe kok luwih cerah, Nduk,” katanya. Cindhe tertawa. Barangkali yang berganti bukan wajah, melainkan cara memandang.

.

Kembali ke Jakarta, kota terasa lebih pelan. Hujan tidak lagi hambatan, melainkan musik kaca. Pada suatu malam, di sebuah kelas daring yang ia gagas mendadak—Skill for Growth—Cindhe menatap layar yang terisi wajah-wajah muda: pegawai start-up yang kelelahan, barista yang menunda sekolah, perawat yang ingin belajar menulis. Di latar, terdengar suara ayam tetangga, mesin cuci, atau angin dari ventilasi—bunyi-bunyi rumah yang menyatakan: kita semua hidup, bekerja, dan berharap di tempat yang kadang ribut, kadang sempit, tetapi selalu mungkin.

“Di kelas ini,” katanya membuka, “kita tidak mengejar jabatan. Kita belajar membesarkan ruang di dalam dada. Kita belajar bercerita, bukan agar orang kagum, melainkan agar diri paham.”

Ia mengajarkan dasar-dasar storytelling yang dulu ia pakai untuk klien besar, kini untuk manusia biasa: memulai dari luka yang jujur, bukan dari prestasi; menulis dari napas; membiarkan angka menyokong, bukan menggurui. Ia mengundang mesin—model bahasa—sebagai kawan latihan, bukan pengganti jiwa. “Kita pakai AI untuk memetakan kemungkinan, tapi kosa kata paling penting tetap kalian,” ujarnya.

Minggu kedua, Adaninggar muncul di ruang Zoom dengan nama samaran, lalu menyalakan kamera. “Aku ikut,” katanya tanpa perkenalan. “Aku lelah jadi dinding yang kuat, ingin belajar jadi jendela.” Di kolom chat, ada diam. Lalu satu per satu, peserta menulis salam.

Cindhe tidak terkejut. Mungkin begini cara kota bekerja: musuh di kantor bisa jadi kawan di kelas. “Mari,” katanya lembut, “kita duduk di lantai yang sama—lantai manusia.”

.

Sementara itu, kabar dari kantor lama tersiar. Proyek besar yang kemarin sempat meroket kini goyah: angka tampak bagus, tetapi ulasan pelanggan dingin. Menak menghubungi—bukan meminta kembali, melainkan mengundang diskusi. Di lobby hotel yang baunya campuran karpet baru dan kopi mahal, mereka duduk berhadapan. Ada jeda yang dulu tak pernah ada.

“Aku salah membaca kecepatan,” kata Menak akhirnya. “Angka-angka mengilap menutupi retak di hati pengguna.”

“Angka itu periskop, bukan kompas,” jawab Cindhe. “Ia membantu melihat, tapi yang menentukan arah tetap hati.”

“Kau mau bantu?” tanya Menak.

“Aku mau bantu manusia yang nanti akan melihat angka-angka itu,” jawab Cindhe. “Kalau kau mau, kita mulai dari tim. Kita ajarkan cara mendengar sebelum memutuskan. Kita latih empati, bukan hanya efisiensi. Dan—” ia tersenyum, “—kita izinkan mesin jadi mesin.”

Menak mengangguk. “Tuliskan modulnya. Namakan sesukamu.”

Cindhe tersenyum lagi. “Namanya Di Antara Angka, Mesin, dan Luka.”

.

Modul itu dimulai dari ruang yang tak biasa: sebuah ruangan tanpa meja rapat, hanya karpet, bantal, dan jam kecil di sudut. Umar dan Madi duduk saling bersandar; Adaninggar menaruh catatan, memilih mendengar dulu. Latihan pertama: menulis cerita lima menit tentang momen saat mereka merasa tidak didengar. Tak perlu dibaca lantang; cukup dipegang dekat dada, untuk mengakui bahwa mereka juga manusia.

Latihan kedua: menyusun hipotesis produk berdasarkan satu testimoni yang “berantakan”—penuh emosi, kurang data. Mereka belajar mengekstrak kebutuhan nyata dari kalimat yang terputus-putus, memetakan tanpa menghakimi. Latihan ketiga: memakai model bahasa sebagai sparring partner, bukan sebagai penyelamat. “Kalau model menjawab terlalu mulus,” kata Cindhe, “coba pecahkan dengan pertanyaan yang lebih manusia.”

Di akhir sesi, Menak datang diam-diam dan duduk paling belakang, memeluk kedua lengan di dada. Tidak bicara. Hanya melihat bagaimana angka belajar menunduk pada cerita; bagaimana mesin menyiapkan kertas untuk manusia menulis. Di sudut, jam kecil berdetak.

“Jadilah manusia yang lengkap,” kata Cindhe menutup. “Tak perlu sempurna, tapi lengkap. Yang tahu menghitung, tahu mendengar. Yang sigap mengeksekusi, lapang memaafkan. Yang mampu memimpin, tapi berani meminta maaf pada diri sendiri.”

.

Kabar baik jarang datang sendiri; kabar buruk pun begitu. Di bulan ketika modul berjalan, ibu Cindhe sakit ringan. Ia bolak-balik Solo—Jakarta, mengumpulkan lelah yang lain. Di kereta malam, ia menatap luar jendela yang hanya menunjukkan dirinya sendiri. Ia seperti bicara pada seorang perempuan di dalam kaca: “Kita tak harus kuat setiap saat. Kuat itu kemampuan untuk mengakui rapuh.”

Di rumah sakit, ibunya menggenggam tangan anaknya. “Sing sederhana wae, Nduk,” ucapnya. “Hidup itu tidak usah terlalu berencana sampai lupa menikmati detik.” Cindhe mengangguk, menahan air yang sudah lama siap jatuh. Di koridor, seorang perawat menoleh dan tersenyum. Pada momen-momen seperti itu, dunia mengecil menjadi telapak tangan dan napas yang dikejar-kejar doa.

Ketika keadaan ibu membaik, Cindhe kembali ke kelas, ke modul, ke meja yang kini sering ia pindah-pindah agar hati tidak menjadi kantor tetap. Ia menerima pekerjaan lepas secukupnya—merapikan strategi konten sebuah koperasi, membuat riset pelanggan untuk bengkel motor, menulis ulang profil panti wreda agar donasi lebih manusiawi. Di semua itu, ia menyelipkan hal yang dulu ia cari: penghargaan pada cara pandang yang pelan, pada jeda yang tak dianggap malas.

.

Suatu hari, di penghujung sesi pelatihan untuk batch ketiga, seorang peserta bernama Raka—anak magang yang dulu hampir selalu menoleh ke pintu setiap lima menit—mengangkat tangan. “Kak,” katanya, “aku terbiasa mencari validasi dari angka. Sekarang aku mulai berani menulis dari yang kurasa. Rasanya seperti pulang.” Ia tersenyum kikuk. “Terima kasih karena ngajarin bahwa pulang itu bukan alamat, tapi keputusan.”

Cindhe ingin menjawab dengan kata-kata yang rapi. Namun yang keluar hanya, “Terima kasih sudah jujur.” Dan itu ternyata cukup.

Setelah kelas bubar, Adaninggar menyusulnya ke koridor. “Kamu tahu,” katanya lirih, “aku bukan cuma direksi yang galak. Aku juga ibu yang takut tak sempat melihat anak tumbuh.” Ia menghela napas. “Terima kasih karena mengajarkanku mendengar diriku sendiri.”

Keduanya berdiri lama, saling meminjam diam. Di luar, Jakarta menyalakan lampu-lampu, seakan merayakan hal-hal kecil yang tak diliput media: seseorang berani jujur pada dirinya, seseorang kembali makan malam di rumah, seseorang menahan diri untuk tidak menyela.

.

Beberapa bulan berlalu. Skill for Growth menjadi kelas yang terus berjalan—bukan wabah, melainkan kebun. Di kelas itu, orang datang dengan bekal luka, pulang membawa cara merawatnya. Tidak semua memekarkan karier secara dramatis; banyak yang hanya bertumbuh diam-diam: ada yang memperbaiki jam tidur, ada yang belajar berkata tidak, ada yang menulis surat pada dirinya lima tahun lalu agar maaf jadi mungkin.

Cindhe menulis, “Kota ini pernah mencabikku, tetapi juga mengajariku menjahit. Jahitannya tidak rapi, tapi menyatukan kembali kain yang sempat koyak.”

Ia sesekali diminta menjadi konsultan oleh perusahaan-perusahaan yang mulai curiga bahwa angka-angka tak mampu sendirian. Kali itu, ketika Menak menutup sebuah sesi dengan kalimat resmi, ia menyelipkan sesuatu yang tak resmi. “Terima kasih, Cindhe,” katanya. “Bukan karena membuat kami efisien, tapi karena mengingatkan kami jadi manusia.” Di ruangan, Umar dan Madi bertepuk pelan. Kesaharian menghasilkan sejenis rekonsiliasi yang tidak diiklankan.

.

Jakarta, pada suatu senja yang tak direncanakan cantik, menurunkan hujan memanjang. Cindhe berdiri lagi di balik kaca—kali ini bukan lantai tujuh belas gedung tinggi, melainkan jendela kecil kamar yang kini tetap sempit namun terasa cukup. Dengan ponsel di tangan, ia mengetikkan kalimat untuk unggahan kelas:

“Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu rasanya jadi seseorang yang kehilangan arah. Izinkan aku berjalan bersamamu, meniti ulang jejak karier yang manusiawi.”

Ia menutup ponsel, menyeduh teh, menulis satu paragraf terakhir di jurnal hari itu:

“Seseorang tak dinilai dari seberapa banyak yang ia miliki, tapi dari seberapa dalam ia mengenali dirinya sendiri, dan setulus apa ia memberi manfaat. Selebihnya, biar hujan yang berkata.”

Di jalan, klakson kembali jadi bahasa paling umum. Di trotoar, payung-payung bergerak seperti kalimat-kalimat yang ingin saling menyapa. Di atas semuanya, ada langit yang meski abu-abu, tetap menyediakan ruang untuk warna—warna yang tidak lagi dipilih kalender, melainkan oleh hati yang menemukan ukurannya sendiri.

Dan nama itu, Cindhe Laras, yang sejak awal diceritakan tanpa gelar, kini terasa lengkap: bukan karena ia jadi siapa-siapa, melainkan karena ia akhirnya pulang pada yang paling sederhana—pada diri sendiri.

.

.

.

Jember, 26 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMingguStyle #CeritaUrban #JakartaHujan #HumanCenter #DataDanEmpati #AIUntukManusia #ResignBijak #StorytellingKerja #NamakuBrandkuStyle

.

Quotes dari cerpen:

  • “Yang tak kau akui, akan menguasaimu; yang kau peluk, akan menenangkanmu.”

  • “Mesin bisa meniru kata, tapi tak pernah menyalin sabar.”

  • “Angka adalah lampu senter; hati adalah arah pulang.”

  • “Bekerja itu penting, tetapi menjadi manusia tidak boleh disisihkan.”

  • “Keberanian paling sunyi adalah memilih tetap baik saat tak ada yang melihat.”

Leave a Reply