Dalam Diam yang Membeku
“Tidak ada seseorang yang tiba-tiba menjauh, dingin, dan acuh tak acuh. Semua berawal dari luka kecil yang diabaikan.”
.
Hujan turun miring di atas kota seperti huruf miring pada pesan yang tak sempat dibalas. Dari kaca kafe di tepi Jalan Antasari, lampu-lampu kendaraan memantul jadi garis-garis patah. Di meja paling dekat jendela, dua cangkir duduk saling berhadapan—yang satu masih mengepulkan uap, yang lain sudah dingin dan meninggalkan noda cokelat di bibir cangkir.
Rasul menatap notifikasi yang muncul bertubi-tubi di layar ponsel. “Deadline dipercepat, bro.” “Deck revisi malam ini.” “Zoom bentar jam delapan.” Kalimat-kalimat itu seperti palu kecil membentur kepalanya. Ia mengangkat wajah, menemukan Adaninggar menatap hujan, jemarinya bermain pada sendok kecil, mengaduk sesuatu yang sebenarnya tak perlu diaduk.
“Sudah dingin, Ning,” ujar Rasul.
“Biar.” Suaranya pelan, tanpa marah, tanpa senyum—yang paling menakutkan dari semua kemungkinan.
Di luar, sirine ambulans memecah hujan. Di dalam, keheningan memecah sesuatu yang lebih halus dari kaca: kepercayaan bahwa besok mereka akan tetap duduk di meja yang sama, dengan tawa yang sama.
.
Mereka dulu bertemu di Yogyakarta, di acara pameran kecil di kampus seni. Adaninggar merapikan label karya, Rasul menjadi panitia dadakan yang mengurus listrik. Ada lilin-lilin kecil di dalam botol yang dipajang, dan seekor kucing abu-abu, yang oleh anak-anak kampus dipanggil Kelaswara, melompat-lompat di antara kaki tamu seperti kurir berita gembira.
“Lampunya sering kedip?” tanya Adaninggar.
“Sering. Tapi listrik, seperti hati, kadang butuh diistirahatkan.”
Ning tertawa. Rasul merasa telah menyalakan sesuatu yang bukan lampu. Malam itu mereka berjalan menyusuri selasar, menyantap wedang ronde di pinggir jalan. Ada tukang parkir yang bersiul sambil memintal plastik, ada pedagang mainan lampu-lampu kecil yang melayang seperti kunang-kunang plastik. Di sanalah semuanya mulai: tidak spektakuler, tapi jernih seperti hujan pertama bulan November.
Ketika pekerjaan memanggil ke Jakarta, mereka memutuskan berangkat bersama. Apartemen kecil di Tebet, satu balkon menghadap rel KRL. Bunyi kereta setiap pagi menjadi jam weker alamiah. Pada awalnya, kota besar terasa seperti halaman baru: banyak lampu, mimpi-mimpi menumpuk seperti gedung bertingkat, dan janji bahwa kerja keras akan dibayar tuntas.
Di akhir pekan, mereka berkeliling kota: naik MRT dari Blok M ke Bundaran HI, naik Transjakarta dari CSW ke Kota Tua, memotret gedung-gedung tua yang catnya mengelupas seperti kenangan sejarah yang tak ingin ditambal. Rasul rajin memotret Adaninggar di depan mural; Ning membalas dengan memotret Rasul yang tertawa tanpa sadar.
Semua terasa sederhana, sampai sederhana itu mulai diremehkan.
.
Luka pertama bukan pertengkaran, melainkan penundaan. Ulang tahun Adaninggar, Rasul yang tadinya menyiapkan kejutan gagal pulang karena presentasi mendadak. “Sebentar saja, ya,” katanya melalui telepon. Malam itu, “sebentar” menjadi dua jam, lalu tiga. Kue tart kecil di meja meleleh, lilinnya merunduk seperti bunga yang kehabisan air.
“Maaf,” kata Rasul ketika akhirnya sampai.
“Aku mengerti,” jawab Ning.
Ia memang mengerti—kota ini memuja orang sibuk, dan sibuk adalah agama baru. Tapi mengerti tidak selalu berarti tidak terluka. Luka itu kecil, ia simpan. Seperti duri yang tak dicabut karena terlalu capek, lalu dibiarkan menyatu dengan kulit.
Luka kedua adalah ejekan yang tidak disengaja. Di suatu pagi tergesa, Ning bercerita soal proyek interior ruang baca publik yang ia rancang agar ramah difabel. Rasul, separuh perhatian, bercanda, “Yang penting klien senang, ya. Soal idealisme belakangan.” Candaan lewat seperti angin, tapi ada yang kedinginan karenanya.
Luka ketiga justru datang dari diam. Mereka saling dekat, bahkan terlalu dekat sampai lupa memanggil nama. “Sayang” menjadi “yang”; “yang” menjadi “hm”. Percakapan digantikan link video motivasi atau foto menu makan siang. Mereka masih serumah, tetapi jarak tumbuh seperti jamur di musim hujan—diam, lembap, sulit diakui.
“Perhatian yang menipis jarang berbunyi keras; ia hanyut lewat kebiasaan-kebiasaan yang berubah pelan.”
Suatu malam, ketika ibu Adaninggar jatuh terpeleset di rumahnya di Sleman, Ning panik menelepon. Rasul yang sedang pitching dengan klien besar menekan tombol “Nanti saya telepon balik.” Setelah rapat, ia langsung melupakan panggilan itu. Baru tengah malam ia hubungi. Di ujung sana, suara Ning datar: “Sudah diurus. Aku butuh kamu dengar saja tadi, bukan solusi.” Kalimat itu lama menggantung di kamar seperti baju basah yang tak kunjung kering.
.
“Kenapa kamu jarang cerita?” tanya Rasul beberapa hari kemudian, saat sarapan yang menjadi salam perpisahan harian.
Ning menatap roti panggangnya yang gosong sedikit. “Aku lelah mendengar ‘nanti’ dari mulutmu, Sul.”
Rasul mengangkat alis. “Aku juga berjuang buat kita, Ning.”
“Berjuang tidak harus selalu pergi hingga lupa pulang,” jawabnya. Lalu mereka sama-sama diam, bukan karena sedang merenung, tapi karena tidak tahu lagi cara menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain tanpa membuat luka baru.
Di kantor, Rasul semakin tenggelam. Ia diberi tanggung jawab memimpin proyek rebranding sebuah waralaba kuliner—kode internalnya “Jayengrana”. Deadline seperti kereta cepat yang tidak peduli ada perlintasan. Ia bekerja sampai larut, menyakinkan diri bahwa nanti, setelah proyek selesai, ia akan menjadi versi terbaik dari dirinya: punya waktu, punya uang, punya senyum. Tidak ada yang memberi tahu bahwa “nanti” adalah semacam hantu: besar, menjanjikan, dan sering sekali tak pernah datang.
Sementara itu, Adaninggar mendapatkan kesempatan merancang perpustakaan kecil di RPTRA dekat Pancoran. Ia menempelkan gambar-gambar inspirasi di dinding apartemen: rak rendah untuk anak-anak, meja yang bisa diakses kursi roda, jendela yang membiarkan cahaya masuk. Ia ingin membuat ruang yang mengajarkan orang kota untuk duduk sebentar dan saling mendengarkan. Ironi berjalan beserta: ruang yang ia ciptakan mengajak orang saling mendengar, sementara rumahnya sendiri makin sunyi.
“Yang paling menyakitkan bukan tak didengarkan orang asing, melainkan tak didengarkan orang yang kita panggil pulang.”
Ada masa ketika mereka mencoba memperbaiki. Mereka ikut kelas komunikasi pasangan di sebuah komunitas kecil. Fasilitator menyuruh mereka menatap mata satu sama lain selama dua menit tanpa bicara. Dua menit adalah waktu yang tidak lama, tetapi mata—berbeda dengan jam—bisa berdetak lebih lambat. Pada detik ke-30, Ning berkedip terlalu cepat. Pada detik ke-71, Rasul memalingkan wajah. Mereka tertawa kecil, menutup-nutupi rasa tak nyaman.
“Kalian bisa memulai dari jadwal bebas gawai satu jam,” saran fasilitator.
Mereka sempat melakukannya dua kali. Lalu pekerjaan datang seperti ombak, dan aturan itu kembali dilanggar diam-diam. “Ini penting banget,” kata Rasul. “Ini urgent,” kata Ning. Urgent, urgent, urgent—seolah hidup tidak mungkin diisi oleh hal-hal yang tidak mendesak tapi justru menyelamatkan.
.
Malam itu, hujan turun. Sudirman menyalakan lampu-lampu gedung, setiap jendela seperti mata yang memantau manusia kecil di bawahnya. Rasul terjebak macet; ada banjir setinggi mata kaki di depan Semanggi. Di motor sebelah, sepasang anak muda tertawa di bawah jas hujan biru. Mereka terlihat susah payah menyeimbangkan badan, tetapi tawa mereka seperti pelindung paling kuat di dunia.
Rasul mengingat tawa Adaninggar—bagaimana tawa itu dulu mudah datang hanya karena hal sepele: kursi yang miring, lauk yang terlalu asin, atau kucing Kelaswara yang tiba-tiba duduk di tengah buku gambar.
Ia sampai di apartemen sekitar pukul sebelas. Sepatu basah, baju berbau hujan. Di meja makan, tidak ada piring. Hanya secarik kertas dan kunci cadangan.
Sul, aku tidak marah. Aku hanya berhenti berharap. Tidak ada yang tiba-tiba pergi. Aku pelan-pelan menghilang sejak malam ulang tahun yang kau minta ‘sebentar’, sejak telepon darurat yang tidak kau angkat, sejak canda-mu tentang idealisme yang masih menempel di telingaku. Aku pergi bukan untuk menghukummu, melainkan untuk menyelamatkan diriku. Kadang, orang harus memilih baju yang kering agar tidak terus sakit. Adaninggar.
Rasul duduk. Hujan di luar meredup, hujan di dalam dadanya baru saja dimulai.
.
Keesokan hari, pekerjaan terus berjalan. Manusia kota belajar satu hal yang menyedihkan: kesedihan bisa ditunda seperti rapat—dimasukkan ke kalender dan direschedule ketika kepala lebih lapang. Rasul memimpin presentasi, bahkan menerima ucapan selamat atas kematangan konsep “Jayengrana”. Di layar, warna dan slogan bergerak seirama. Di kepalanya, kalimat Ning bergerak tidak rapi: Aku hanya berhenti berharap.
Malam-malam berikutnya, apartemen menjadi museum suara kecil. Bunyi berdengung dari kulkas, bunyi tetes dari kran cuci, bunyi kereta yang lewat pada pukul 05.15, 06.03, 07.10. Ia menulis pesan: “Kita bisa bicara?” Lalu menghapus. Menulis lagi: “Aku minta maaf.” Lalu menghapus juga, takut terlihat klise.
Ia menyimpan kertas Ning di dompet. Seperti anak kecil yang takut kehilangan tiket pertunjukan. Pada suatu pagi, ia mengunjung RPTRA Pancoran, tempat Ning menaruh mimpinya. Rak rendah itu sudah dipasang, meja akses itu ada, jendela-jendela meminjamkan cahaya ke buku-buku. Anak-anak berlari kecil, seorang ibu duduk membaca buku resep. Rasul duduk di pojok, membayangkan Ning berdiri dengan helm project-nya, mendikte tukang, tersenyum pada relawan. Rasanya seperti menonton film tanpa pemeran utama.
Di rumah, ia membuka-buka foto lama. Ada foto mereka di bawah lampu kota, menatap kamera dengan mata yang sama-sama percaya bahwa besok bisa lebih baik. Ada juga video pendek di Malioboro; Ning bernyanyi pelan, suaranya biasa saja, tetapi bahagia kadang memang tidak memerlukan nada.
“Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.”
Rasul menyadari kesalahan yang paling besar bukan pada satu malam ulang tahun atau satu panggilan tak terjawab. Kesalahannya terletak pada kepercayaan bahwa cinta akan memaafkan dirinya secara otomatis, bahwa masa depan akan datang dengan sendirinya sebagai hadiah untuk orang yang sibuk. Ia lupa bahwa perhatian adalah kerja harian, bukan saldo yang menumpuk sendiri di rekening.
Suatu sore, ia menyusuri jalur pedestrian di Sudirman, berhenti di bawah jembatan penyeberangan yang sejak kecil ia anggap seperti kapal luar angkasa. Udara setelah hujan menampakkan gedung-gedung lebih tajam. Di layar gawai, ia mengetik pesan panjang, lalu menghapusnya. Akhirnya ia menulis: “Ning, aku belajar. Kalau kamu mau, izinkan aku meminta maaf bertatap muka. Kalau tidak, terima kasih sudah mengajari aku tentang cara pulang.”
Pesan itu terkirim. Biru. Lama tidak terbaca. Lalu dua centang. Lalu biru.
Terima kasih sudah menulis, Sul. Tidak semua yang retak harus disambung. Kadang kita perlu mengakui bentuk baru yang lahir dari retakan. Aku baik di sini. Kamu juga, ya.
Rasul mematung. Ada lega yang aneh—seperti punggung yang akhirnya berhenti menahan tas terlalu berat. Ia menghapus rencana memaksakan temu, mengganti dengan rencana yang lebih sulit: belajar jadi manusia yang hadir.
.
Beberapa bulan berlalu. Rasul muda itu belajar dari hal-hal remeh: menaruh ponsel terbalik ketika ada orang bicara, membalas pesan ibu sebelum alarm pengingat berbunyi, meminta maaf tanpa menjelaskan diri, menanyakan kabar bukan untuk membuka obrolan tetapi untuk mendengar. Ia membeli tanaman puring dan mengingatkan diri sendiri menyiram bukan karena ingin balkon hijau, melainkan karena merawat sesuatu adalah latihan kesetiaan.
Ketika proyek “Jayengrana” mendapat penghargaan kecil, orang-orang di kantor merayakan. Rasul tersenyum, memotret tumpeng, dan mengirim foto itu kepada Ning. Bukan untuk memamerkan, tetapi untuk mengucapkan terima kasih tak langsung: karena kehilangan bisa juga menjadi guru yang adil.
Balasan Ning singkat: Bagus. Semoga orang-orang di balik konsep itu juga merasa dihargai di rumah. Rasul membaca, mengangguk. Ia menulis ulang catatan di bukunya:
“Cinta tidak mati mendadak. Ia mati pelan, tiap kali ada luka kecil yang diabaikan.”
Pada suatu Minggu, ia akhirnya ke Yogyakarta, menyusuri jalan-jalan yang dulu mereka lewati. Di kampus seni, pameran kecil itu sudah berganti tema. Kaca-kaca display masih memantulkan bayangan, tapi Kelaswara—kucing abu-abu—tidak muncul. Di warung wedang ronde, penjualnya berkata, “Mbak arsitek itu sekarang kadang-kadang ke sini sama relawan bacaan. Baik orangnya.” Rasul mengangguk, membeli dua porsi—satu ia makan, satu ia titipkan. “Buat yang datang setelah saya,” katanya. Penjual tertawa, mengira ia bercanda.
Di stasiun Tugu, kereta menuju Jakarta melepaskan peluit. Rasul duduk dekat jendela, menatap kota yang selalu memeluk dalam lambat. Ponselnya bergetar. Pesan dari Adaninggar: Terima kasih untuk ronde titipanmu. Orang baik meninggalkan jejak, bahkan di meja warung. Rasul tersenyum. Ia tak bertanya bagaimana Ning tahu. Beberapa hal biarkan tetap ajaib, agar kita tidak kehilangan alasan untuk percaya.
.
Bertahun kelak, pada sebuah pameran ruang-ruang publik di sebuah galeri di Jakarta, Rasul dan Adaninggar kembali bertemu. Tak sengaja, tak direncanakan, seperti pertemuan dua arus kecil di belokan sungai. Ning berdiri di depan panel foto perpustakaan RPTRA yang kini menjadi contoh baik untuk kota-kota lain. Rambutnya dipotong sebahu, senyumnya lebih tenang. Rasul mendekat, menjaga jarak yang sopan.
“Selamat,” katanya. “Ruangmu membuat orang ingin tinggal.”
Ning mengangguk. “Dan ruangmu?” Ia menatap Rasul yang kini lebih jarang menatap gawai. “Kau sudah tahu cara menaruh kursi untuk orang-orang yang pulang?”
Rasul tertawa pendek. “Sedang belajar. Tiap hari.”
Mereka berbincang ringan: tentang buku anak yang sedang digemari, tentang hujan yang makin tak menentu, tentang MRT yang membuat orang membaca lagi di perjalanan. Tidak ada janji, tidak ada rencana lanjutan. Hanya dua orang yang dulu saling menunggu, kini saling menghargai.
Sebelum berpisah, Adaninggar berkata, “Kita pernah jadi dua orang yang saling menyelamatkan. Lalu kita juga pernah jadi dua orang yang saling melukai. Tak apa. Hidup panjang, kita belajar.”
Rasul mengangguk. Di luar galeri, langit petang seperti kertas bekas yang masih bisa dipakai menulis, asal mau menutup bekas lipatannya dengan kalimat baru.
Ia berjalan menuju halte, masuk ke bus yang melaju di jalur khusus. Kota melewati dirinya seperti slide presentasi: gedung, jembatan, pohon trembesi yang tersisa, baliho promo, warung padang yang tidak pernah sepi. Di kursi sebelah, seorang bapak tua tertidur dengan mulut sedikit terbuka, menandakan betapa aman ia meletakkan kelelahan. Rasul mencatat satu hal lagi:
“Kita tidak bisa mengulang adegan, tetapi kita selalu bisa memperbaiki cara memegang kamera.”
Di rumah, ia menaruh ponsel di rak, menyeduh teh, membuka jendela, dan membiarkan suara kota masuk secukupnya. Ada bunyi kereta lewat, ada anak-anak tertawa, ada pasangan di lorong yang memeriksa paket. Hidup berlangsung. Luka-luka kecil yang dulu diabaikan kini diperhatikan—bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dirawat.
Di atas meja, kertas bertuliskan pesan Ning masih tersimpan, kini sudah kusam di tepinya. Rasul menambah satu kalimat di belakangnya, dengan huruf yang hati-hati:
Terima kasih telah mengajariku cara pulang sebelum rumah benar-benar kosong.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tertidur tanpa menunggu notifikasi.
.
.
.
Jember, 18 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #CeritaUrban #CintaDanLuka #BelajarMendengar #HubunganSehat #Komunikasi #Jakarta #Yogyakarta