Dalam Diam, Aku Menjadi yang Hilang
“Beberapa pertemanan bukan pecah karena pertengkaran; ia retak pelan oleh diam yang dipelihara, sampai akhirnya kita saling berjalan dan lupa pernah berlari berdampingan.”
.
Langkah yang Tertinggal di Trotoar Jakarta
Jakarta—hujan yang jatuh seperti kalimat tak selesai. Di bawah kuning lampu jalan di koridor Sudirman yang tampak seperti rel waktu, Menak Gandring memperlambat langkah. Sepatunya—kulit, hitam, mengilap, tanda gajinya tak lagi susah—memantulkan bayang iklan raksasa pada kaca basah. Ia berhenti di depan gedung kantor lamanya: lobi marmer, turnstile chrome, bau kopi robusta dari kafe lantai dasar. Tempat yang dulu hangat, kini dingin seperti lembar Excel yang tak disave.
Di sana, namanya pernah dipanggil dengan yakin. Di sana pula ia belajar bahwa namanya bisa menghilang tanpa ada yang benar-benar menghapusnya.
Di dalam gedung itu, masih tersimpan nama-nama: Menak Sari dan Wandan Wulan. Dua sahabat, dua rumah hati, dua sisi dari dirinya yang dulu tak berjeda. Mereka tinggal di kota yang sama; hanya saja kota telah berpindah letak di dalam dada setiap orang.
Hujan melipat kota, dan Gandring menyelip di bawah kanopi, menatap arus kendaraan yang memecah air seperti jarum jam membelah senyap. Ia menunggu lampu merah berpindah hijau, atau mungkin menunggu sesuatu yang lebih tua: alasan yang pernah ia buang.
“Malam ini,” batinnya, “aku kembali pada jalan yang dulu kita bangun dengan tawa.”
.
Tiga Serangkai yang Dulu Tak Terpisah
Mereka menyebut diri “Trio Kopi Senin”. Sari—perempuan dengan tawa yang berderai seperti kerikil jatuh ke sungai, kehangatannya menetes ke setiap gelas kopi; Wulan—lelaki kalem yang suka menyimpan punchline di ujung, cerdas mengikat ide dengan ironi yang tak menyakiti; dan Gandring—penjaga tempo, yang bersuara pelan agar suara dua temannya bisa terdengar utuh.
Mereka menantang macet Jakarta demi sarapan bubur yang selalu kehabisan cakwe. Mereka berbagi payung dan promo ongkir. Mereka berbagi gaji di akhir bulan, tertawa waktu kartu kredit menjerit dan cicilan nyaris memakan sarapan.
Ketika Wulan kehilangan ayahnya di Pamekasan, Sari dan Gandring mengurus logistik, menulis ucapan belasungkawa kolektif, mengizinkan perusahaan memotong anggaran agar tenda duka tak tampak seadanya. Ketika Sari patah hati—tunangannya ketahuan menduakan di timeline—Gandring dan Wulan bergantian tidur di karpet ruang tamu apartemen Sari di Kuningan, menanak nasi, mencuci piring, memastikan air mata tidak mengambil alih semuanya.
“Persahabatan,” kata Wulan suatu Senin, “adalah lembur yang tak dibayar tapi selalu menguntungkan.”
Dan mereka percaya—sampai proyek gabungan itu datang.
.
Retak yang Tak Didengar
Proyek itu disusun di ruang rapat berhawa dingin. Sari ditunjuk menjadi koordinator tim pemasaran; Wulan memimpin riset dan data; Gandring memegang integrasi produk. Kertas-kertas putih menumpuk seperti salju, template presentasi berganti tiap hari, semua ingin sempurna sebelum QBR.
Retak tidak selalu berawal dari bentakan. Kadang dari spasi yang tiba-tiba melebar di antara dua kalimat. Sari merasa Gandring terlalu banyak intervensi—“overreach tanpa empati,” ujarnya dalam hati. Wulan, yang terbiasa menimbang, justru lebih sering berdiri di samping Sari—bukan karena setuju mutlak, melainkan karena lelah terhadap cara Gandring menyampaikan kritik: rapi, benar, tapi dingin. Gandring tak bermaksud menusuk; ia hanya lupa memeluk.
Pada suatu rapat, Gandring mengevaluasi slide Sari: data kuat, narasi lemah. Kalimatnya jernih, tapi jernih seperti air es—bening, menusuk gusi. Sari menutup laptop tanpa suara. Wulan mengetuk meja dua kali, tanda rapat selesai. Tawa yang biasanya mengikat ujung diskusi menguap di plafon.
Sepulang kerja, grup WhatsApp “Team Monday Warriors” sunyi. Meme yang biasa muncul pukul sembilan malam tak datang. Sticker “kopi dulu” seperti dirujak oleh algoritma. Suasana seperti ada sesuatu yang mati—bukan karena dibunuh, tapi karena tidak diberi makan.
.
Percakapan yang Diam-Diam Mati
Hari-hari berikutnya, Gandring mulai mengetik “Ngopi yuk?”—terus menghapusnya. Pesan-pesan Sari menipis jadi satu kata: noted, ok, nanti. Wulan berdalih: lagi di lab data, besok ya. Lalu “besok” menjadi “minggu depan”. Lalu “kapan-kapan”.
Di timeline LinkedIn, Sari mengunggah foto timnya—tanpa menyebut nama Gandring. Di Instagram Story, Wulan tag kafe baru di Senopati. Di antara semua itu, Gandring menemukan dirinya menjadi sela—tidak menimpa, tidak menyatu.
Ulang tahunnya tiba, seperti orang yang mengetuk pintu kosong. Ia membeli dua kotak nasi kebuli, menyalakan playlist Tulus, memotret lilin agar terlihat “ramai” di feed. Di foto itu, ia menulis: “Umur bukan soal angka, tapi soal siapa yang tetap tinggal waktu angka bertambah.” Notifikasi memberi hati, tapi tak ada jari yang mengetuk bel.
“Beberapa kehilangan,” tulisnya di catatan ponsel, “tidak terjadi sekaligus. Ia memilih langkah-langkah kecil agar kita tidak sadar sedang berjalan menjauh.”
.
Reuni yang Membeku
Reuni kantor diadakan di ballroom hotel tengah kota. Lampu-lampu kristal meniru hujan yang takkan pernah turun di ruangan itu. Di sudut, Gandring melihat Sari dan Wulan duduk berdampingan, bercerita dengan orang lain. Ia melangkah, menyapa—suara musik terlalu keras, atau mungkin suaranya terlalu kecil.
Sapaan dibalas. Senyum yang dia tahu bagaimana lahirnya itu tetap cantik. Tapi percakapan menipis secepat busa di gelas soda. Nama Gandring tidak ada di deret cerita. Mereka tertawa tentang proyek baru, liburan ke Bali, kelas diving. Mereka mengucap selamat pada rekan yang melahirkan—menunjukkan foto bayi sebanyak jumlah like yang didapat. Tak satu pun kalimat menyebutnya: seakan ia adalah furnitur yang selalu ada di kantor, dipakai, dilupakan.
Di tengah ruangan yang ramai, kesunyian menemukan kursi di sebelah Gandring. Ia menaruh gelas di meja, merapikan dasi, tersenyum pada pelayan yang menawari canapés, lalu keluar sebelum acara selesai. Di cermin lift, wajahnya tampak seperti kota: terang di beberapa titik, padam di yang lain.
“Tidak marah,” batinnya. “Tidak sedih.” Ia menamai perasaannya: mengerti.
.
Kesalahan yang Tak Pernah Ditudingkan
Di kamar sempitnya di Tebet, Gandring duduk berhadapan dengan diri sendiri. Di jendela, suara KRL malam terdengar seperti napas panjang kota. Ia mengingat kotak masuk: pesan yang tidak dibalas karena “nanti aja”, ajakan bertemu yang ia tunda karena “capek”, candaan yang ia simpan karena takut disalahartikan. Ia mengingat hari ketika Sari menangis terkalahkan promosi; ia berdiri canggung, menepuk bahu dua kali, lalu pergi menulis laporan. “Takut salah bicara,” dalihnya. Ia tak tahu, diam adalah salah bicara yang paling bising.
Ia membuka folder foto. Ada mereka bertiga di warung soto dekat kantor: Sari memelototi cabai, Wulan pura-pura tercekik. Di foto lain, mereka di rooftop setelah lembur: sepatu mereka berjejer—saksi kelelahan yang dibagi rata. Ia merasakan sesuatu yang sederhana: rindu yang tidak minta kembali.
“Mungkin,” gumamnya, “bukan mereka yang menjauh. Mungkin akulah yang menghilang lebih dulu—pelan-pelan.”
.
Pesan yang Tak Butuh Balasan
Tiga bulan setelah reuni, Gandring menulis, menghapus, menulis lagi. Akhirnya ia kirim:
“Terima kasih karena dulu kita pernah saling ada. Kalau hari-hari sekarang menuntut kita untuk berbeda, biarkan kenangan tinggal tanpa beban. Jaga diri kalian baik-baik.”
Ia kirimkan pada Sari, pada Wulan. Ia tidak menunggu notifikasi biru. Ia tidak menahan napas. Ia meletakkan ponsel menghadap meja, lalu menarik selimut.
Pagi datang tanpa balasan, seperti banyak pagi lain yang tetap tiba. Ia menyeduh kopi hitam, menyalakan mesin cuci, menghapus debu di rak buku. Ada kelegaan yang tidak butuh saksi.
.
Lagu Lama di Kafe Baru
Di kafe Pasar Santa, suara Tulus mengalun seperti hujan yang lupa berhenti. Gandring, dengan laptop dibuka, mengetik paragraf demi paragraf. Di seberang, sepasang muda bertengkar pelan tentang liburan dan budget; di ujung, seorang bapak setengah baya menjelaskan trading ke anaknya. Jakarta adalah ruang tunggu di mana tiap orang memilih keberangkatan masing-masing.
Ia menulis cerita itu—tentang seorang yang belajar memaafkan tanpa memperoleh kembali. Bahasanya ia buat sederhana, agar luka bisa dibaca oleh siapa saja. Ia menulis kalimat-kalimat yang dulu ingin ia dengar: “Kau boleh marah kepada dirimu sendiri, tapi jangan lama-lama. Kau berhak pulang, bahkan kalau rumahnya tinggal sebuah kursi.”
Di notes-nya, ia mengetik satu kalimat yang menutup jendela: “Beberapa kehilangan tak perlu dikejar. Cukup dipelajari agar tak terulang.”
Ketika ia mengangkat muka, hujan telah reda. Jalanan berbau tanah dan bensin—aroma khas kota setelah dikasihi langit seperlunya.
.
Jika Suatu Hari Kita Bertemu Lagi
Gandring membayangkan: suatu hari, di lift yang bau logam dan parfum, di halte yang bau hujan dan asap, di mal yang bau karamel dan pendingin ruangan—ia bertemu Sari dan Wulan. Ia tahu ia akan tersenyum; bukan senyum yang memohon, melainkan yang memaknai. Ia akan berkata pelan dalam hati:
“Aku tidak pernah benar-benar kehilangan kalian. Aku hanya belajar melepaskan dengan tenang.”
Mungkin mereka akan menyebut namanya lagi, mungkin tidak. Mungkin mereka akan bertukar kabar ringan tentang pekerjaan dan cuaca. Mungkin mereka akan kembali sibuk, seperti semua orang tua yang didorong waktu. Dan itu cukup.
“Tidak semua yang hening adalah dingin,” ia menulis, “kadang hening adalah cuaca terbaik untuk menanam ulang.”
.
Di Antara Gedung dan Bayang
Kota mengajari Gandring tentang proporsi. Bahwa gedung yang tinggi hanya tampak megah dari jauh; dari dekat, ia hanyalah lift yang kadang macet dan pantry yang kadang kosong. Bahwa pertemanan yang kokoh bukan diukur dari banyaknya foto, melainkan oleh kesiapan menerima musim.
Ia ingat sebuah nama lain dari kisah yang lebih tua: Menak Jingga—yang dikenang bukan karena kalah atau menang, melainkan karena cara ia berdiri. Gandring tersenyum pada ingatan itu; ia tahu kabar lama bisa menjadi kompas, asal tidak dijadikan belenggu.
Di timeline, ia melihat Sari mengunggah foto ibunya yang sembuh. Ia mengetik “turut bahagia,” lalu kirim. Pada malam lain, ia melihat Wulan memotret senja dari atap kantornya—caption: “Kota akan selalu punya cara mengajari kita pulang.” Gandring menekan ikon hati. Tidak perlu lebih. Ada bahasa yang hanya perlu setitik untuk dimengerti.
.
Menggulung yang Tersisa
Akhir pekan, Gandring merapikan lemari. Baju-baju lama dilipat seperti hal-hal yang pernah ia ucapkan. Ia menemukan hoodie yang dulu dipinjamkan Wulan saat lembur, dan kartu pos dari Sari bertahun silam—“Sampai tua nanti, kita tetap Trio Kopi Senin.” Ia tersenyum, memasukkan keduanya ke dalam kotak “yang tak mungkin dibuang”.
Ia menulis to-do list: mengunjungi ayah-ibu di Bangkalan, mengirimkan paket untuk adik yang baru membuka kedai. Ia menambahkan satu hal yang lama ia tunda: mengajak diri sendiri makan malam yang layak tanpa menunggu alasan. Ketika pelayan datang membawa steak medium rare, ia menancapkan pisau dengan ringan, seperti orang yang akhirnya tahu di mana harus meletakkan beban.
“Bahagia,” tulisnya di catatan kecil, “bukan tentang di mana aku berada, tapi dengan siapa aku dianggap ada. Kalau tak ada yang menganggap, aku akan memulai dari diriku sendiri.”
.
Sebuah Pagi yang Penuh Udara
Pagi di Tebet menyalakan suara: pedagang bubur, tukang sayur, motor, radio tetangga. Gandring berlari kecil di trotoar, melewati mural warna-warni, melewati ibu-ibu yang membawa anak ke sekolah. Ia mengunduh aplikasi meditasi, mencoba bernapas selama empat ketuk, melepas selama enam ketuk. Ia menertawakan dirinya yang kikuk, lalu memaklumi.
Di meja kerja, ia menulis email permohonan rotasi proyek ke pimpinan baru. Ia mengusulkan program mentoring bagi staf junior: “Agar ada tempat bertanya sebelum diam menjadi jurang.” Ia mempresentasikan modul sederhana—bukan agar diingat, melainkan agar ada jembatan kecil di setiap tim.
Balasan datang cepat: disetujui. Ia menutup laptop, menatap jendela. Di kejauhan, langit Jakarta tak biru-biru amat, tapi cukup untuk menjemur hati.
.
Tentang Sari, Wulan, dan Kita yang Tumbuh
Beberapa minggu kemudian, notifikasi ponsel berbunyi. Nama Sari muncul pertama kali setelah sekian musim: “Maaf telat—terima kasih sudah menulis. Aku lagi belajar juga. Jaga diri ya.” Gandring menatap lama, bukan karena kaget, tetapi karena tenang seperti danau tanpa angin.
Sejam sesudahnya, Wulan mengirim foto: secangkir kopi hitam, caption: “Senin tetap butuh kopi. Kalau suatu saat waktu kita cocok, mari duduk tanpa menyelesaikan apa-apa.” Gandring tertawa. Ia membalas dengan gambar sendok yang disandarkan ke cangkir.
Mereka tidak kembali menjadi “Trio Kopi Senin”. Mereka menjadi tiga orang dewasa yang mengerti: kadang, yang terbaik dari sebuah kebersamaan adalah izinnya untuk berubah.
.
Menulis Nama Sendiri
Pada malam yang lain, Gandring menulis sebuah kalimat di dinding catatan tempelnya:
“Dalam diam, aku menjadi yang hilang. Dalam mengaku, aku menjadi yang pulang.”
Ia menempelkan kalimat itu di atas sakelar. Setiap kali ia mematikan lampu, kalimat itu dibaca, diperpendek, dimasukkan ke tubuhnya seperti vitamin. Ia tahu, suatu saat, ia akan lupa bunyinya; yang ia harap tak lupa adalah caranya menjaga jarak agar tetap pantas, dan caranya mendekat agar tak menuntut.
Kota tidak mengecil. Gedung tidak berpindah. Hujan tetap turun. Yang bergeser adalah tempatnya berdiri di dalam peta hati sendiri. Itu sudah cukup revolusi untuk satu kehidupan.
.
Suara yang Tahu Kapan Menepi
Di halte Bundaran HI, lampu-lampu menari di kolam. Orang-orang menunggu bus seperti menunggu balasan yang tak mereka buru lagi. Gandring merapatkan jaket, menyentuh ponsel—bukan untuk mengecek, hanya memastikan ada.
Di kepalanya—suara yang dulu keras—kini memilih menepi. “Beberapa pertemanan,” ia mengulang pelan, “bukan pecah karena pertengkaran, tapi perlahan mati karena diam yang dipelihara.” Lalu ia menambahkan kalimat baru yang ia pelajari dari dirinya sendiri:
“Dan beberapa persahabatan tidak mati; ia berganti kulit, agar kita belajar memegang tanpa menggenggam.”
Bus datang. Pintu terbuka. Ia naik, men-tap kartu, dan memilih duduk menghadap jendela. Kota berjalan mundur, ia berjalan maju. Di kaca, ia menangkap pantulan seseorang yang ia kenal—dirinya sendiri, lebih ringan setengah kilo, lebih lapang setengah langit.
Dan mungkin, itu cukup.
.
.
.
Jember, 7 Agustus 2025
.
.
#CerpenKota #Jakarta #Persahabatan #Diam #Refleksi #Kehilangan #KelasMenengah #KompasMingguVibes #EmotionalWriting #JeffreyWibisonoStyle
.
Kutipan Terkait untuk pembaca
-
“Yang tidak kau ucap, suatu hari akan berbicara sendiri lewat jarak.”
-
“Maaf tidak selalu mengembalikan; kadang hanya merapikan.”
-
“Kita bisa memilih: melanjutkan diam, atau memulai kata yang sederhana—‘apa kabar?’”
-
“Tidak semua yang selesai harus berakhir; sebagian tinggal berganti musim.”