Cermin yang Tak Mengembalikan Wajah
“Berhentilah terlalu pengertian pada situasi yang tak pernah mempertimbangkanmu.
Kebaikan adalah anugerah, bukan kewajiban. Arahkan kembali hangatmu kepada mereka yang memantulkannya.”
Senja diambil dari kaca apartemen lantai tiga puluh delapan seperti selembar kain tipis: oranye, lalu biru keabu, lalu tremor lampu-lampu yang satu-satu menyala. Jaya menggulung lengan kemeja, menatap jam yang mengedip di pergelangan. Notifikasi rapat direksi aplikasi pendidikan miliknya—“SekolahNusa”—muncul seperti kilau yang mengingatkan: waktu, target, dan daftar utang budi yang panjang.
Di meja makan yang sekaligus menjadi meja kerja, gawai-gawai terbuka: spreadsheet investor, dashboard kampanye donasi beasiswa, rancangan event bersama sebuah hotel baru di Surabaya. Di pojok, kotak kardus berlabel “Bilik Baca” menunggu dikirim ke sekolah pinggiran Jember. Sesuatu di dada Jaya mengembang—campuran bangga dan lelah—seperti balon yang ditahan agar tidak lepas.
Malam itu, Maya datang. Rambutnya diikat rapi, blazer krem, senyum yang selalu membuat Jaya ingin memperlambat waktu. “Maaf telat,” katanya, meletakkan kunci mobil listrik di mangkuk kaca. “Tadi ada klien yang minta revisi desain signage kampanye. Aneh, mereka bilang ‘nggak mau terlalu peduli dengan orang kecil, fokus saja di premium customer’. Aku nggak enak hati.”
Jaya tertawa kecil, mencoba ringan. “Kita ini, May, kadang terlalu pengertian pada orang yang tak belajar berterima kasih. Tapi ya begitulah kerjaan.”
Maya mengangguk, lalu memandang kotak “Bilik Baca”. “Jadi besok kau tetap berangkat ke Jember?”
“Harus. Ada peresmian ruang baca di Java Lotus. Retna yang mendorong proyek ini.”
Nama Retna membuat udara di antara mereka mengental. Retna—teman kuliah Jaya yang kini menjadi konsultan komunikasi untuk hotel-hotel dan pemerintah daerah—adalah matahari lain dalam orbit Jaya. Mereka tak pernah mengucap jatuh cinta, tetapi Retna kerap muncul dengan rencana, presentasi, undangan panel, poster besar wajah Jaya dengan tagar #LiterasiUntukSemua. Retna selalu piawai memosisikan Jaya sebagai wajah program—mereka berdua seperti dua ujung magnet yang produktif, tapi tak pernah berdekatan cukup lama untuk tahu itu cinta atau strategi.
Maya tahu. Ia memilih tidak bertanya. Ia selalu menunggu Jaya pulang dari panggung-panggung itu dan menceritakan lelahnya. Menunggu, meski akhir-akhir ini Jaya sering tak pulang.
.
Di rapat direksi keesokan pagi, Madi—cofounder yang sejak awal menghitung napas perusahaan dengan ketat—menarik garis di layar: “Burn rate kita dua kali target. Program beasiswa jalan, tapi monetisasi dari kelas korporat seret. Investor meminta fokus: hentikan program gratisan dulu, Jaya.”
Jaya menegakkan punggung. “SekolahNusa lahir karena jurang. Kalau kita menutup pintu untuk anak-anak yang tak mampu, apa bedanya kita dengan platform kursus lain?”
Madi menghela napas. “Kupahami idealismemu. Tapi kapal harus tetap mengapung. Kita mengajarkan logika, mari kita taat pada logika.”
Sebelum debat kian panas, Retna masuk ruangan, seolah memang mengatur momen. “Maaf mengganggu. Jaya, panitia Jember perlu konfirmasi konten pidatomu. Dan… media minta wawancara eksklusif.”
Mata Madi menyipit. “Lagi-lagi panggung. Oke, baik. Tapi setelah ini, tolong duduk denganku untuk skema biaya.”
Retna tersenyum diplomatis. “Tentu, Madi. Tenang, acara ini bisa jadi pintu sponsor. Kupunya daftar calon.”
Di lift turun, Retna berbisik, “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Jaya ingin menjawab, “Aku terlalu keras karena terlalu lunak pada orang lain.” Tapi suaranya tertelan bunyi “ting” yang membuka lift.
.
Peresmian ruang baca di Jember berlangsung bak pesta kecil yang hangat. Di rooftop hotel, lampu-lampu gantung seperti kunang-kunang yang tak ingin pergi. Anak-anak dari komunitas literasi menari, sukarelawan Lions menata kotak buku, para tamu memegang cangkir kopi sambil meminta swafoto dengan Jaya. Retna berkeliling, memeriksa detail, memastikan kamera menyorot sudut terbaik saat Jaya menyerahkan buku pertama.
Di sela-sela acara, Jaya menerima pesan dari Maya: “Jaya, pulanglah cepat. Ibu demam. Aku di IGD.”
Jantung Jaya tercekat. Ia hampir menyerahkan mikrofon pada panitia saat Retna mendekat, mata tajam tapi lembut. “Kau tak bisa pergi sekarang. Media nasional baru datang. Lima menit lagi saja, lalu kita atur mobil.”
Lima menit menjadi tiga puluh. Wawancara, foto, ucapan selamat; orang-orang yang baru kenal memanggilnya “inspirasi”. Di dalam hati, Jaya menghitung: jarak landasan, jadwal penerbangan terakhir, kemungkinan menempuh lima jam jalur darat. Di detik yang sama, Maya mengirim satu foto: tangan ibunya yang lemah, selang infus, tatapannya tetap ramah.
Pada menit ke tiga puluh satu, Jaya menanggalkan lencana panitia. “Aku harus pergi,” katanya pada Retna.
Retna menahan bahunya. “Baik. Aku selesaikan sisanya.”
Sisa malam dilalui Jaya di taksi menuju bandara. Pandangannya melayang ke luar: lampu-lampu rumah orang lain, kehidupan yang ia lewatkan demi membangun cita-cita agar semua orang boleh punya harapan. “Apakah aku mulai menukar yang paling dekat dengan mimpi-mimpi jauh?” batinnya.
Pesawat terakhir sudah terbang. Jaya menyewa mobil. Di perjalanan, radio memutar berita ekonomi: resesi bayangan menghantam konsumsi kelas menengah. Ia teringat Madi, argumen di rapat, dan daftar beasiswa yang menunggu. Ia juga teringat Maya, yang jarang meminta apa-apa, tiba-tiba memintanya pulang.
Subuh ia sampai rumah sakit. Di lorong, bau antiseptik bercampur kopi mesin. Maya tertidur menyandar di dinding; masker menutupi separuh wajahnya. Jaya menyelimuti bahunya dengan jaket. “Maaf,” bisiknya. “Maaf selalu datang belakangan.”
Ibu Maya melewati krisisnya pada pagi yang jernih. Ketika mata tua itu terbuka, ia meraba pelan tangan Jaya. “Kau ini yang suka bantu anak-anak, ya? Semoga Tuhan membalas.”
Jaya mengangguk. Kata-kata itu seperti anak panah manis—berat, hangat, dan menyentak.
Maya tersenyum kecil. “Terima kasih sudah datang.”
“Seharusnya aku datang lebih awal,” jawab Jaya.
“Tidak apa-apa.” Maya menatapnya lama. “Tapi Jaya, ada sesuatu yang perlu kubilang. Kau sering menjadi cermin bagi orang lain—mengembalikan wajah-wajah mereka, harapan-harapan mereka. Tapi ketika aku menatapmu, aku jarang menemukan diriku di cerminmu.”
Kalimat itu, tenang dan dalam, berjalan pelan ke dada Jaya seperti hujan yang tak terburu-buru. “Aku… mengerti,” katanya pelan, walau ia sebenarnya belum.
.
Dua minggu kemudian, badai datang dari arah yang lain. Investor terbesar mengirim email: “Meninjau hasil Q3. Kami merekomendasikan merger dengan EdutechX. Syarat utama: hentikan program beasiswa gratis selama 18 bulan.”
Rapat darurat berlangsung tegang. Madi mempresentasikan keunggulan merger: arus kas stabil, akses ke 2 juta pengguna, valuasi naik. “Ini jalan paling waras,” katanya.
Jaya menatap layar. Di sana, grafik-grafik terlihat indah seperti pegunungan yang damai; seolah-olah semua keputusan hanya soal garis naik-turun. Ia memikirkan wajah murid-murid yang ia temui: Ning yang bekerja paruh waktu di kafe untuk membeli kuota, Sura yang mengajari adik-adiknya lewat modul gratis SekolahNusa, dan guru-guru sukarelawan yang memanggilnya “Mas Jaya” dengan mata berbinar.
“Kalau kita setop program gratis, kita mengubah janji,” katanya.
“Janji tidak menyelamatkan ketika kas habis,” balas Madi.
Retna merapatkan kedua tangan. “Jaya, mari cari jalan tengah. Kita rebrand program beasiswa jadi kolaborasi CSR korporat. Kau tetap jadi wajahnya, sementara biaya ditanggung pihak lain. Aku bisa bantu.”
“Aku lelah menjadi wajah,” suara Jaya tiba-tiba serak. Semua orang menoleh.
Rapat berakhir tanpa keputusan. Malam itu, Jaya menyetir tanpa arah di ruas-ruas jalan tol melintasi bilik bayar otomatis, menatap gedung-gedung kaca yang seolah memantulkan bentuk dirinya yang berlipat-lipat. Teleponnya berdering: Maya.
“Aku memutuskan menunda tender signage itu,” kata Maya. “Kliennya tak mau peduli soal akses difabel. Aku tak sanggup mengorbankan nurani.”
“Kau berani,” kata Jaya. “Atau kau takut kehilangan dirimu?”
“Dua-duanya.” Maya tertawa pendek. “Kau sendiri bagaimana?”
“Merger.”
“Dan beasiswa?”
“Entah.”
Hening. Lalu, suara Maya kembali, rendah tapi jernih: “Jaya, kebaikanmu bukan hutang kepada dunia. Tapi kalau kau terus menumpahkan dirimu ke bejana yang bocor, kau akan habis. Pilih bejana yang memantulkan hangatmu.”
Kata-kata itu menabrak pusat lelah di tubuh Jaya. Ia memarkir mobil di tepi jalan melambai, mematikan lampu. Dalam gelap yang aman, ia menutup mata. Di kamera ingatan, wajah anak-anak campur aduk, wajah Madi dengan alis cemasnya, wajah Retna dengan strategi yang tajam, dan wajah Maya dengan kurva sedih yang bertahan.
Ia mengetik sesuatu. Pesan pertama kepada Madi: “Setuju merger, dengan syarat: 10% revenue dialokasikan untuk dana abadi beasiswa. Kalau investor tak mau, aku mundur dan jual lembaranku untuk menutup tahun berjalan.” Pesan kedua kepada Retna: “Terima kasih sudah meminjamkan panggung. Tapi aku harus mengembalikan panggung pada suara-suara yang bukan suaraku. Untuk sementara, stop dulu semua publikasi yang memusatkan wajahku.” Pesan ketiga kepada Maya: “Kau benar. Besok mau sarapan bareng? Aku ingin kau yang memilih tempat.”
Kirim. Ia menunggu napasnya pelan.
.
Beberapa hari kemudian, kantor SekolahNusa terasa seperti pagi pertama. Madi datang membawa kabar: investor menyetujui syarat dana abadi—mereka menamainya “Dana Umar Maya,” meniru kisah lama tentang kesetiaan dua sahabat yang saling menjaga. Mereka juga bersedia memberi ruang eksperimen untuk konsep “kelas pengembalian” di mana sebagian kelas berbayar otomatis menyubsidi kelas gratis.
“Yang membuat mereka luluh adalah emailmu yang menyentuh,” kata Madi, menyeringai. “Dan proyeksi yang kubuat setelahnya.” Mata Madi berkilat—masih logis, tapi lebih hangat.
Jaya tertawa. “Kau pahlawan akuntansi.”
“Dan kau pahlawan kepala-batu.” Madi menepuk bahunya. “Tapi hari ini kubilang: kau benar. Kita tak bisa mengajarkan integritas sambil mencabut akar yang membuat kita tumbuh.”
Retna menyusul: tidak dengan proposal promosi, melainkan sebuah undangan kecil: “Daftar narasumber untuk program radio lokal, tanpa kamera, tanpa poster. Hanya suara, hanya obrolan tentang membaca buku bersama anak.”
Jaya menatapnya, lembut. “Terima kasih, Retna.”
Retna mengangguk. “Aku juga belajar sesuatu. Kadang strategi terbaik adalah mundur setapak dari sorotan agar cerita menemukan pemilik sebenarnya.”
Di luar, hujan turun seperti tirai biji-biji cahaya. Jaya membayangkan seseorang di rumah sakit yang tadinya tak ia kunjungi tepat waktu; membayangkan Maya, yang barangkali sedang membongkar draft desain yang ditolak klien, lalu merapihkan meja kerjanya. Ia merasakan sebuah tekad yang lebih pelan, lebih basah, lebih tahan lama.
.
Malam minggu itu, mereka bertiga—Jaya, Maya, dan Madi—bertemu di sebuah kedai kecil yang diperkenalkan Maya. Warung itu tak menjual kelas, tak menjual ilusi; hanya mie kuah dengan bawang goreng renyah, teh hangat, dan obrolan yang membiarkan manusia tetap menjadi manusia.
“Ning nanti akan jadi koordinator relawan Bilik Baca wilayah timur,” kata Jaya. “Sura akan mengelola kelas daring untuk anak-anak yang orang tuanya bekerja di luar negeri. Kita gaji kecil, tapi terhormat.”
Madi mengangkat mangkuk. “Untuk yang terhormat.”
Maya menatap Jaya. “Dan untuk yang mau belajar memantulkan hangatnya ke arah yang memantulkan kembali.”
Jaya tersenyum. “Aku masih berlatih.”
Mereka tertawa. Hujan mereda. Di trotoar, lampu-lampu memantul pada genangan seperti bintang yang turun untuk melihat manusia lebih dekat.
.
Beberapa bulan berlalu. SekolahNusa tak meledak seperti startup yang jadi bahan gosip finansial, tapi fondasinya mengeras. Dana abadi tumbuh dari kelas korporat dan sponsor senyap; tak ada poster wajah Jaya di billboard, tetapi ada video pendek buatan anak-anak yang membacakan puisi untuk orang-orang yang pernah menolong mereka.
Jaya menulis surat pada dirinya sendiri: “Jangan lagi membenarkan kelelahan sebagai cinta. Cinta bekerja tanpa meniadakan rumah. Kebaikan adalah kebun; siramilah yang juga menyirami balik, agar musim tak berakhir sia-sia.”
Retna mengirim kartu pos dari kapal yang ia tumpangi untuk program pustaka terapung. “Kau benar,” tulisnya. “Sebagian panggung memang bukan untuk kita. Aku menepi sebentar agar bisa mendengar suara yang selama ini tenggelam oleh musik kita sendiri.”
Madi, di meja keuangan, sesekali masih cemas. Tetapi kini ia belajar menyeimbangkan angka dengan kisah. “Kita tidak sedang menulis novel,” ia suka menggerutu. “Tapi baiklah, sedikit puisi boleh.”
Dan Maya? Ia perlahan menata ulang studionya: menerima klien yang menghormati nilai, menolak yang ingin mencuri nurani. Mereka jarang bicara tentang masa depan dalam kalimat besar-besar; mereka lebih sering menjemur handuk berdua, menulis daftar belanja, memeriksa kalender kunjungan ke ruang baca. Di beberapa malam, Jaya membaca keras-keras cerita anak tentang sahabat yang tak pernah lelah berjalan berdampingan. Maya memotret, mengirimkan pada jaringan komunitas. “Untuk meyakinkan para orangtua,” katanya, “bahwa kehangatan tidak perlu spanduk.”
Suatu sore, di ruang baca Jember, seorang bocah bertanya, “Mas Jaya, nanti kalau aku besar, boleh nggak aku jadi orang baik tanpa harus difoto?”
Jaya menahan senyum yang menggenangi matanya. “Boleh. Bahkan itu mungkin cara terbaik.”
Bocah itu memikirkan sejenak, lalu bertanya lagi, “Terus kalau aku baik sama orang, tapi orangnya nggak baik balik?”
Maya, yang berdiri di dekat rak, menjawab pelan: “Kalau kamu menuang air ke gelas yang bocor, kamu akan kehabisan air. Cari gelas yang menampung, lalu sama-sama minum.”
Bocah itu mengangguk. “Aku mengerti.”
Jaya menatap Maya—mata mereka bertemu seperti dua lampu yang akhirnya memantul pada kaca yang benar. Saat itu, Jaya tahu: ia tidak lagi menjadi cermin yang tak mengembalikan wajah. Ia telah belajar untuk menjadi jendela—membuka pandang, membiarkan angin masuk, dan menjaga agar rumah tetap rumah.
.
Pada hari ulang tahun SekolahNusa, mereka tak membuat panggung besar. Mereka menanam pohon di halaman sebuah sekolah negeri. Kepala sekolah menutup sambutan dengan kalimat sederhana, “Teruslah jadi kampus yang berjalan.”
Jaya menatap tangan-tangan kecil yang berebut memegang cangkul, memikirkan perjalanan yang pernah hampir membuatnya membenci dirinya sendiri. Di saku, notifikasi masuk: ucapan selamat dari investor, candaan dari Madi, foto dari Retna yang memegang buku anak di atas kapal, dan pesan dari Maya: “Pulang cepat. Aku masak mie kuah warung langganan. Resepnya kita curi dengan izin.”
Ia tertawa, mematikan gawai, dan menanam bibit terakhir. Tanah lembap menempel di kuku—tanda kecil bahwa hidup, sekali ini, benar-benar menyentuh kulitnya.
Di kepala Jaya, sebuah kalimat berbisik: Kebaikan adalah anugerah, bukan kewajiban. Jangan lagi menuang ke bejana yang bocor. Arahkan hangatmu ke tangan-tangan yang ikut menjaga api.
Ia mengangkat wajah. Langit tampak seperti halaman kosong yang siap ditulisi dengan huruf-huruf yang lebih jujur.
.
.
.
Jember, 4 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #LiterasiUntukSemua #SekolahNusa #KebaikanYangSehat #Jember #HospitalityAsHealing #NamakuBrandku #KelasMenengah #CeritaPerkotaan #MenakMadura