Cahaya dari Badai di Atas Gedung Kaca
“Pemimpin yang baik bukan orang paling lantang di ruang rapat, melainkan orang yang paling jernih di ruang batinmu.”
.
Di Jakarta, gedung-gedung tinggi seperti pohon beringin yang memaksa langit menunduk. Malam menetes di kaca jendela seperti keringat kota. Di lantai 27 gedung tempat Jayeng bekerja—sebuah perusahaan teknologi layanan perhotelan dan gaya hidup—lampu-lampu lembur menyala sendu, membuat wajah-wajah pekerja terlihat lebih pucat dari yang seharusnya.
Jayeng baru tiga bulan di tim operasional kreatif, sebuah unit campuran aneh: setengah layanan pelanggan, setengah dapur ide. Ia suka menyebutnya “warung kopi yang punya spreadsheet”. Pagi hingga sore mereka menyusun strategi loyalitas hotel dan restoran mitra; malam hari mereka menambal kegagalan sistem dan permintaan klien yang selalu datang “sebelum matahari terbit”.
Di ujung ruang kerja, Hamza berdiri menatap layar, lengan terlipat, senyumnya tenang. Bukan senyum orang yang tak tahu masalah, melainkan senyum orang yang pernah melihat badai dan masih menyimpan payung. Hamza bukan bos di struktur organisasi, tapi tiap orang menoleh padanya seperti burung yang mencari arah angin.
“Jayeng,” panggil Hamza tanpa menoleh. “Kamu sempat lihat data komplain untuk program staycation minggu ini?”
“Sudah. Kita kebanjiran komplain gara-gara kode promo yang bentrok sama voucher lama. Ada selisih harga yang bikin orang merasa ditipu,” jawab Jayeng, menggeser kursi mendekat.
Hamza menatapnya, mata jernih di bawah alis yang agak tebal. “Kalau ini kita perbaiki di sistem, selesai semalam. Tapi kamu tahu, rasa dikhianati itu tidak selesai hanya karena kita balikin selisih harga.”
Jayeng mengangguk. Ia suka kalimat-kalimat Hamza; seperti pitutur lama yang disetrika sampai rapi, wangi, lalu diangin-anginkan di teras.
“Ajining diri dumunung ana ing lathi,” ucap Hamza pelan. “Harga diri kita diucapkan lewat kata-kata—baik di layar chat, telepon, atau tatap muka. Hari ini kita balas satu-satu, bukan sekadar template. Kamu pegang empat kasus paling besar. Tulis seperti kamu menulis surat untuk orang yang kamu sayang.”
Jayeng terkekeh, menyingkirkan gugup. “Baik, Za.”
“Dan ingat,” Hamza menambahkan, “kesalahan kita hari ini jadi guru yang sabar kalau kita mau mendengarnya.”
.
Di sisi lain ruangan, Kerta menyalakan rokok elektriknya—diam-diam, meski dilarang di kantor. Di layar laptopnya, presentasi untuk rapat dengan eksekutif puncak belum selesai. Kerta adalah manajer resmi tim. Ia pandai mengingat angka, punya selera pakaian rapi, dan punya tipe suara yang bisa membuat orang menghentikan ketikan. Tapi suaranya sering datang bersamaan dengan nada yang menempelkan beban di bahu orang lain.
“Kalian ini kenapa sih? Masalah begini harusnya selesai dari kemarin. Jangan bikin aku jadi korban.” Kerta mengedarkan pandang. “Sampai jam dua belas malam ini kita harus klir. No excuse.”
Hamza menoleh, tak bereaksi. “Kita sedang menyelesaikan, Kerta. Sambil membangun ulang jembatan dengan pelanggan.”
“Jembatan? Kita ini perusahaan, bukan panti konsultasi.” Kerta menunjuk grafik. “Yang kita kejar itu retention rate dan revenue. Gimana caranya naik. Ucapan manis nggak bayar tagihan.”
Hamza tak menanggapi. Jayeng menunduk. Ia tahu Hamza bukan orang yang suka menyerang. Ia seperti pelari yang tak memalingkan pandang dari garis finish meski ada yang berteriak di tribun.
Di meja Jayeng, ponsel bergetar. Pesan dari ibunya di Jember.
Kapan pulang, Le? Mbokmu mendoakan supaya kamu ketemu orang baik di kota. Ingat, ndang ngelakoni urip sing becik: laku sing utama, tindak sing luhur.
Jayeng menarik napas. “Laku utomo, tindak luhur,” gumamnya.
“Kalau ingin dunia menghargaimu, rawat dulu caramu berkata dan berbuat. Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana—tapi ajining karya, ana ing ati sing nyekel laku.”
Ia mulai mengetik balasan-balasannya untuk para pelanggan yang kecewa, satu per satu. Ia menulis seperti menulis surat untuk adiknya yang pernah patah hati: jujur, jelas, dan tidak berjanji muluk. Ia mengaku salah, menjelaskan sebab, memberikan jalan keluar, dan—yang paling sulit—mengajak mereka memberi kesempatan kedua.
Beberapa jam berlalu. Di luar jendela, hujan turun, jalan raya memantulkan cahaya neon. Kota seperti katak yang menyanyi—merdu, tapi sendu.
.
Besoknya, rapat eksekutif berlangsung di ruang kaca yang menghadap gerimis. Jayeng duduk di pinggir, hanya boleh bicara kalau diminta. Kerta berdiri di depan, menjelaskan grafik dengan laser pointer seperti hakim yang memegang palu. Di beberapa slide, Kerta menyebut “perbaikan sistem berkat koordinasi manajemen”—tanpa menyebut nama siapa pun.
Hamza hanya menatap, mencatat, sesekali menyela dengan data kecil—angka pembelajaran, bukan angka pameran. Ia menyebut bagaimana tim kecilnya menelpon pelanggan senior satu per satu, bagaimana mereka membongkar kata-kata dalam pesan permintaan maaf: mengganti “Mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda” menjadi “Kami mengecewakan Anda; izinkan kami memperbaiki kesalahan ini dan memastikan Anda yang pertama mendapatkan pembaruan.”
Seorang eksekutif perempuan, Adaning—kulit kuning langsat, rambut sebahu—mengangguk. “Bahasa menentukan rasa,” katanya. “Dan rasa menentukan retensi. Berapa angka pemulihan kita?”
Jayeng menahan diri untuk tidak angkat tangan. Hamza menoleh ke belakang, memberi isyarat. “Jayeng, kamu yang pegang datanya.”
Jayeng berdiri, suara sedikit bergetar. “Dalam 24 jam, refund selesai untuk 100% kasus besar. Tingkat pelanggan yang bersedia mencoba lagi minggu depan: 62%. Empat belas persen minta jeda, sisanya keluar. Tapi dari 62% itu, 40% menyebut ‘respons jujur’ sebagai alasan bertahan.”
Adaning tersenyum tipis. “Jujur itu mahal. Tapi murah kalau dibiasakan.”
Kerta menghela napas, mengangguk seolah semua itu bagian dari rencananya. “Baiklah. Kita lanjut ke target kuartal depan.”
Rapat berlalu seperti film yang suaranya agak pelan. Tapi di kepala Jayeng, ada suara lain: suara ibunya yang menata padi di lumbung, suara bapaknya ketika menjahit jaring ikan, suara guru SD-nya yang bilang, “Nilai tertinggi dari kerja bukan angka, melainkan hati yang bertambah lapang.”
.
Malamnya, Hamza mengajak tim kecil ke rooftop. Jakarta di bawah seperti lautan yang menahan napas. Hamza membagi teh hangat dari termos.
“Kalian capek,” katanya. “Tapi besok pagi kita masih harus hidup.”
Anggra, rekan perempuan di tim konten yang suaranya lembut tapi idenya sering tajam seperti belati, menatap langit. “Za, kenapa kamu tenang, sih? Kerta tadi seperti akan meledak kapan saja.”
Hamza tertawa kecil. “Tenang itu bukan tanpa rasa takut. Tenang itu karena kita tahu sedang menapaki jalan yang benar. Ngudi kasampurnan itu bukan mengejar sempurna—melainkan menenun perbaikan.”
Jayeng menyimpan kalimat itu. Ia tahu Hamza tidak sempurna. Ia tahu Hamza pernah salah besar—dulu, di perusahaan lama, meremehkan sinyal keberatan pelanggan, hingga kehilangan kontrak. Hamza pernah bercerita suatu malam: betapa ia duduk di halte bus sendirian, merapikan kepingan egonya, lalu memutuskan untuk mulai dari mendengar. Sejak itu, ia menjadi cermin sebelum menjadi kompas.
“Kepemimpinan yang baik adalah kemampuan untuk menjadi kaca yang jernih dan peta yang terbaca. Kaca untuk bercermin, peta untuk berjalan.”
.
Seminggu berikutnya, badai datang—bukan metafora, tapi hujan deras yang membuat sebagian kota banjir. Di hari yang sama, perusahaan Jayeng mengadakan peluncuran fitur baru di sebuah hotel mitra—adegan penting yang sudah dipersiapkan selama berbulan-bulan. Para tamu sudah berdatangan, beberapa influencer telah memegang ponsel dan ring light.
Di ballroom hotel, Jayeng mengatur booth kecil berisi tampilan aplikasi. Hamza mondar-mandir memastikan semua staf siap. Kerta sibuk menyiapkan pidato, meneguk kopi hitam tanpa berbagi senyum.
Lewat pukul enam sore, listrik di beberapa blok sekitar hotel padam. Genset hotel menyala, tapi jaringan internet utama mati. Ini seperti film komedi yang lupa menyiapkan naskah cadangan—kecuali ini jauh dari lucu. Tanpa internet, aplikasi mereka yang berbasis cloud tidak bisa diperagakan.
Panik merambat seperti rayap. Para tamu mulai berbisik. Seorang influencer berkomentar sinis, “Launching teknologi tanpa internet—ikonis.”
Hamza berdiri di tengah, mengangkat telapak tangan seperti menenangkan kerumunan burung. “Semua tim, ke sini,” katanya pelan. “Kita punya dua opsi: menunggu dan berdoa, atau bergerak.”
“Gerak gimana? Internet mati, Hamza,” desis Kerta. “Kita akan jadi bahan tertawaan.”
Hamza menatap Jayeng. “Kamu pernah cerita tentang program offline mode yang belum kita rilis, kan? Purwarupa itu masih di laptopmu?”
Jayeng mengangguk cepat. “Ada, meski belum sempurna.”
“Sekarang sempurnakan secukupnya.” Hamza menoleh ke semua. “Anggra, ubah naskah presentasi: bukan ‘peluncuran fitur A’, tapi ‘peluncuran komitmen B’: komitmen kami untuk tetap melayani dalam kondisi apa pun. Kita demokan offline mode sebagai janji yang sedang dijahit. Kita minta tamu mencoba, memberi saran, bahkan mengkritik. Kita catat semua. Kita bikin sesi feedback circle—kursi melingkar, satu mikrofon. Kita ubah bencana jadi bengkel belajar.”
Kerta mendengus, wajahnya tegang. “Itu bunuh diri. Orang datang mau lihat sukses, bukan dengar janji setengah masak.”
Hamza menatapnya jernih. “Orang datang untuk merasa dihargai. Dan dihargai itu terasa saat kamu jujur dan mengajak mereka ikutan jadi bagian dari kisah.”
Kerta terdiam, menimbang. Di matanya, pilihan-pilihan seperti kartu-kartu yang tidak sempat dikocok. “Lakukan,” katanya akhirnya, setengah pasrah—atau setengah memberi Hamza tali yang bisa saja menjadi jerat.
Dalam lima belas menit, ruangan berubah. Booth menjadi workbench. Backdrop diubah tulisannya dengan stiker kecil: “Dari Jakarta untuk Nusantara: Innovation in Any Weather.” Kursi para tamu disusun melingkar. Anggra menulis di papan: “Sesi Umpan Balik—Bantu Kami Lebih Baik.”
Hamza membuka acara, tidak dengan pidato, melainkan dengan cerita. Ia bercerita tentang banjir di kampungnya dulu, tentang bagaimana warung tetangganya tetap menyalakan tungku untuk orang-orang yang kehujanan, sekalipun beras tinggal segenggam. “Kami mungkin datang dengan fitur baru,” katanya, “tapi malam ini kami ingin berbagi hal yang lebih tua dan lebih tahan badai: niat untuk merawat hubungan.”
Para tamu diam. Hujan di atap terdengar seperti tepuk tangan dari langit.
Jayeng menyalakan purwarupa offline mode. Ada bug, tentu saja: tombol yang terlambat merespon, halaman yang gagal menyimpan. Tapi masing-masing masalah itu berubah menjadi obrolan. Seorang manajer hotel memberikan ide untuk cache data tamu tetap; seorang barista dari kedai mitra menyarankan antarmuka lebih sederhana untuk shift malam. Seorang ibu-ibu yang kebetulan tamu hotel—mengenakan kerudung warna zaitun—berkata, “Kalau aplikasi ini bisa tetap dipakai ketika internet ngadat, saya akan merekomendasikan ke semua arisan saya.”
Di ujung sesi, listrik kota perlahan hidup. Orang-orang masih duduk melingkar. Offline mode tiba-tiba bukan lagi darurat, melainkan fitur masa depan yang lahir dari malam yang genting.
Kerta berdiri, menatap kerumunan, lalu menatap Hamza. Sebuah senyum kecil—jarang terlihat—melintas seperti meteor. “Oke,” katanya, “kali ini kamu yang benar.”
Hamza menggeleng. “Kita yang benar.”
Di tengah tepuk tangan, Jayeng merasa dadanya seperti ruang kosong yang tiba-tiba diisi udara pegunungan. Ia menatap Anggra, yang memandang kembali sambil mengangkat alis: lihat, kita bisa.
“Kesalahan adalah guru. Kejujuran adalah pintu. Kolaborasi adalah jalan pulang.”
.
Hari-hari berikutnya bergerak seperti kereta malam: senyap tapi pasti. Offline mode diprioritaskan, tim lintas divisi dibentuk. Jayeng ditarik jadi salah satu koordinator. Ia belajar menahan diri ketika orang lain berbicara, lalu bertanya dengan rasa ingin tahu, bukan dengan rasa ingin benar. Ia ingat kata Hamza: Fuel curiosity.
Di meja kerja, tertempel catatan kecil: “Pertanyaan hari ini: Apa yang belum saya dengar dari orang yang suaranya pelan?” Setiap sore, ia mencari satu rekan yang jarang bicara—staf magang, teknisi, bahkan security—dan bertanya, “Kalau kamu jadi pengguna, apa yang kamu ubah?”
Saran-saran kecil itu, seperti benang-benang halus, menambah kuat kain yang mereka jahit. Aplikasi mereka bukan lagi rakitan insinyur yang berdiri congkak, melainkan pakaian kerja yang menjulur tepat di ujung pergelangan tangan.
Retensi mitra naik pelan. Bukan grafik yang menukik tajam, tapi garis yang tidak lagi bergetar cemas. Di town hall bulanan, Adaning menampilkan slide sederhana: jumlah churn menurun 11% dalam dua bulan; skor kepuasan mitra naik 9 poin. “Bukan karena fitur,” katanya, “melainkan karena cara kita memperlakukan orang.”
Kerta mendekati Hamza usai acara. “Kamu menang, Hamza,” katanya pelan. “Ternyata duniaku terlalu sempit.”
Hamza tertawa datar. “Tidak ada menang-kalah. Kita hanya punya pilihan: memperbesar hati atau memperbesar suara.”
Kerta menghela napas. “Aku ingin belajar.”
Kalimat itu—pendek, tulus—seperti pintu tua yang akhirnya dibuka dari dalam.
.
Namun hidup, seperti Jakarta, tidak memberi kelonggaran terlalu lama. Tiga bulan setelah kejadian di hotel, perusahaan memutuskan restrukturisasi. Divisi tempat Hamza dan tim kecil bekerja akan digabungkan ke unit lain; sebagian peran dipecah; sebagian—termasuk Hamza—ditawari posisi “penasihat” paruh waktu. Itu eufemisme yang kita semua paham.
Malam itu, di pantry, lampu neon berkedip. Jayeng memegang surat keputusan, tangannya gemetar ringan. “Kenapa, Za?”
Hamza memegang cangkir keramik, menggulirkan ujung jarinya di bibir cangkir, seperti hendak memastikan suara yang akan keluar tidak pecah. “Kadang, untuk tetap setia pada nilai, kita harus berubah bentuk.”
“Jadi… kamu pergi?”
“Tidak kemana-mana,” Hamza tersenyum. “Aku tetap di sini—di orang-orang yang pernah bekerja bersamaku. Tapi ya, secara administratif, aku tidak lagi di tim ini.”
Jayeng menunduk. “Aku diangkat jadi ‘lead’, Za. Tanpa kamu.”
Hamza menatapnya lama, lalu menepuk bahu. “Aku bukan bosmu. Aku cerminmu. Lihatlah dirimu. Kamu bisa.”
Jayeng ingin menjawab banyak hal: ketakutan, rasa tak siap, marah pada sistem yang tak mengerti. Tapi yang keluar hanya, “Aku akan berusaha.”
“Jangan,” kata Hamza. “Jangan hanya berusaha. Jadilah tempat orang lain berusaha.”
Di malam yang sama, Jayeng menulis pesan untuk ibunya. Bu, anakmu diberi kepercayaan. Doakan supaya aku tidak menjadi suara yang keras, tapi menjadi udara yang membuat orang bisa bernapas.
Ibunya membalas singkat: “Sapa nandur bakal ngundhuh. Tandur sing becik, Le.”
“Kamu tidak harus kuat setiap hari. Yang penting, kamu jadi tempat orang lain kuat bersama-sama.”
.
Bulan-bulan bergulir. Jayeng, dengan Anggra sebagai tangan kanan, memimpin tim baru. Ia meminjam gaya Hamza, tetapi bukan menirunya: ia mengolahnya. Ia menulis guideline yang bukan sekadar prosedur, melainkan janji. Di rapat, ia memulai dengan pertanyaan, bukan pengumuman.
Kerta—yang kini duduk sebagai individual contributor—kadang datang ke mejanya, membawa ide, kadang minta umpan balik. Jayeng mengangguk, belajar memberi clean feedback: jelas, singkat, tanpa gula berlebih tapi juga tanpa cuka.
Kota di luar jendela terus berisik, tetapi di dalam ruangan, mereka membuat semacam taman kecil: tempat di mana salah tidak langsung berarti habis.
Pada suatu sore, ketika matahari redup memantul di kaca gedung-gedung, pesan dari Hamza datang di ponsel Jayeng.
Aku membuka ruang belajar kecil di Tebet. Bukan startup, bukan pula kantor. Hanya ruang untuk orang-orang yang ingin menenun laku kerja yang baik—dari barista, frontliner hotel, teknisi aplikasi, sampai guru TK. Kalau kamu dan teman-teman ingin singgah, pintu selalu terbuka.
Jayeng membaca dua kali. Sebait ingatan datang: kursi melingkar, mikrofon yang berpindah, hujan di atap. Ia membalas, Aku akan datang. Dan aku akan bawa orang-orang yang masih percaya bahwa kerja adalah cara kita memperbaiki dunia sedikit demi sedikit.
.
Malam itu, Jayeng berdiri di rooftop gedung. Jakarta merayap dalam kilau. Anggra menyusul, membawa dua gelas teh.
“Kamu kelihatan capek tapi hidup,” katanya.
Jayeng tertawa. “Jadi pemimpin itu seperti berlari sambil memunguti sampah di jalur lari. Kadang kita tidak menang lomba, tapi jalurnya jadi lebih bersih.”
Anggra menatapnya. “Besok ada anak magang baru. Namanya Sabrang. Aku dengar dia jago, tapi pendiam.”
“Baik,” kata Jayeng. “Kita mulai dengan bertanya apa yang belum kita dengar darinya.”
Angin berkesiur, memindahkan suara-suara kota. Di benak Jayeng, Hamza hadir seperti senyum yang menyisakan ruang: ruang untuk takut, ruang untuk berani.
“Pemimpin yang kita butuhkan bukan yang tak pernah jatuh, melainkan yang mau duduk di samping kita ketika kita terjatuh—lalu mengajak berjalan lagi.”
.
Beberapa minggu kemudian, Jayeng benar-benar mengajak tim ke ruang belajar Hamza di Tebet. Ruang itu sederhana: dinding putih, rak buku campur aduk: manajemen, sastra, filsafat, resep kue. Di tengah ruangan, karpet bundar. Lima belas kursi melingkar menghadap ke sebuah pohon kecil dalam pot—ficus elastica—yang daunnya mengilap seperti baru mandi.
Hamza menyambut mereka seperti tuan rumah menyambut keluarga jauh. “Selamat datang di Bengkel Laku,” katanya. “Di sini, kita belajar mengubah kerja menjadi laku yang memanusiakan.”
Sesi pertama dimulai dengan permainan: tiap orang menuliskan kalimat umpan balik yang paling menyakitkan yang pernah mereka terima, lalu mengubahnya menjadi kalimat umpan balik yang tetap tegas tapi memelihara. “Komunikasi adalah rumah,” kata Hamza. “Jangan jadikan rumahmu sebagai tempat orang ingin cepat-cepat keluar.”
Sabrang—anak magang pendiam yang disebut Anggra—membaca catatannya dengan suara kecil. “Saya pernah dibilang: ‘Kamu lambat dan tidak paham konteks.’ Hari ini saya ganti jadi: ‘Kamu teliti, tapi waktumu sering termakan detail. Ayo kita latih cara membedakan mana yang penting dan mendesak.’”
Hamza mengacungkan jempol. “Itu clean feedback. Jelas, spesifik, mengajak maju.”
Jayeng memandang wajah-wajah di ruangan, dan merasakan sesuatu mengembang di dadanya: kebanggaan yang tidak rewel.
Sesi berikutnya adalah curiosity lab. Mereka diberi kasus fiktif: sebuah restoran mitra kehilangan 30% pelanggan dalam dua bulan. Alih-alih langsung memberi solusi, mereka diminta menyusun daftar pertanyaan yang harus diajukan. “Pertanyaan yang baik membuka pintu,” ujar Hamza. “Pertanyaan yang buruk membuat orang merasa diadili.”
Pertanyaan-pertanyaan bermunculan:
“Bagian hari mana yang paling sepi?”
“Apa yang berubah di sekitar restoran?”
“Bagaimana profil pelanggan yang pergi dibanding yang bertahan?”
“Apa yang dikatakan karyawan garis depan?”
Hamza tersenyum. “Kalian sedang menenun rasa ingin tahu menjadi jalan pulang.”
.
Waktu berjalan, kota tetap rakus menelan hari. Namun di beberapa sudut, lahir ruang-ruang kecil seperti yang dibangun Hamza—tempat orang belajar menjadi manusia sebelum menjadi jabatan. Perusahaan Jayeng sendiri perlahan menikmati buahnya: offline mode menjadi keunggulan yang disorot media; tim menjadi lebih stabil; turnover menurun.
Suatu malam, ketika hujan kembali datang, Jayeng pulang lebih awal—kejadian langka. Ia naik ojek, memandang kota dari balik jas hujan seperti menonton film yang pernah ditonton tapi tak bosan. Ponselnya bergetar: pesan dari ibunya.
Le, bapakmu baca tulisanmu di buletin kantor. Katanya, kamu sekarang ‘manusia yang mengajak manusia’. Bapak senang.
Jayeng menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Ia menoleh pada pengendara ojek. “Bang, pelan sedikit ya. Saya lagi belajar bernapas.”
Pengendara itu tertawa. “Baik, Pak. Bernapas itu penting. Kota ini sering lupa.”
Di kepalanya, kalimat Hamza kembali: “Jadilah tempat orang lain berusaha.” Jayeng tahu, ia akan jatuh lagi suatu hari, dicibir lagi, salah lagi. Tapi ia juga tahu jalan kembali: kursi melingkar, mikrofon yang boleh berpindah-pindah, dan kejujuran yang tidak menampar, melainkan mengulurkan tangan.
“Setiap hari kita memilih: menambah bising atau menambah bening. Pilihlah bening. Dunia sudah cukup bising.”
.
Setahun sesudah malam listrik padam itu, perusahaan mengadakan perayaan kecil di rooftop. Bukan pesta mewah, hanya tenda string light, musik akustik, nasi uduk, dan tawa. Adaning memberikan sambutan singkat. Ia menyebut angka-angka: peningkatan retensi, penurunan churn, skor kepuasan. Tapi ia mengakhirinya dengan kalimat yang tidak ada di dashboard mana pun.
“Kita tidak hanya bertambah angka,” katanya, “kita bertambah hati. Dan hati yang bertambah itu tidak bisa dianggit sendirian.”
Jayeng menatap sekeliling: Anggra yang tertawa, Kerta yang sekarang lebih sering mendengarkan, Sabrang yang sudah berani mengemukakan ide. Hamza datang belakangan, membawa termos teh. Ia berdiri di sisi pagar, memandang kota, kemudian menoleh pada Jayeng dan mengangkat gelas.
“Lihat,” kata Hamza. “Kamu sedang memimpin.”
Jayeng menggeleng, tersenyum. “Kita sedang memimpin—satu sama lain.”
Di langit, petir jauh menyambar, hanya kilau yang terlihat, tanpa suara. Kota terus berjalan, seperti cerita yang tak pernah selesai. Tapi malam itu, di atas gedung kaca, ada jeda yang cukup panjang untuk orang menarik napas: jeda yang lahir dari laku utomo, tindak luhur, dan keberanian untuk tetap manusia—bahkan ketika yang paling laku di pasaran adalah menjadi mesin.
“Kalau kamu bingung mencari pemimpin, cari orang yang membuatmu ingin menjadi lebih jujur, lebih berani, dan lebih peka. Di situlah rumah.”
Dan rumah, pada akhirnya, bukan alamat. Rumah adalah cara kita memperlakukan satu sama lain ketika listrik padam.
.
.
.
Jember, 23 Agustus 2025
.
.
#Kepemimpinan #PituturJawa #BudayaKerja #HumanLeadership #CerpenKompasMinggu #Storytelling #Motivasi #Kolaborasi