Biru Pudar di Lobi

“Kadang hidup bukan menuntutmu berenang lebih cepat, melainkan mengajarimu mengapung dengan tenang—agar kau melihat arus mana yang patut diikuti, dan mana yang sebaiknya kau lepaskan.”

.

Jaya berdiri di balkon apartemennya, memandang lampu-lampu kota yang berkedip seperti detak jantung raksasa. Dari kejauhan, ia melihat garis rel yang memantulkan cahaya—mengingatkannya pada peta hidup yang bercabang, bersilangan, dan tak pernah sepenuhnya lurus. Di mejanya, proposal rebranding hotel menunggu tanda tangan; di ponselnya, pesan-pesan dari tim bersahutan, meminta keputusan tersingkat untuk dampak terpanjang.

Pagi itu segala sesuatu yang biasa terasa sedikit miring, seperti bingkai foto yang nyaris jatuh. Bukan kabar buruk, melainkan kabar yang datang terlalu berbarengan: laporan okupansi yang menurun dalam tiga minggu, undangan pitching untuk kolaborasi seni yang bisa mengangkat positioning hotel, dan pesan singkat dari Retna—mantan kekasih yang kini mendirikan galeri dengan kurasi cermat. “Kau masih suka biru pudar?” tulis Retna. Jaya tak segera menjawab. Di layar laptop, grafis sales berbilang warna memberi rasa aman palsu. Angka-angka cakap menyamarkan jarak yang diam-diam tumbuh di dalam dirinya.

Di kota ini, orang kelas menengah atas berlatih tersenyum sama fasihnya dengan berdebat data. Mereka membeli waktu seperti membeli kopi—ambil, bawa, lanjut—sambil menabung luka-luka kecil di saku jas. Jaya, yang pernah merasa tahu arah, mulai menyadari bahwa kompasnya meminta kalibrasi.

.

Ninggar menarik tirai ruang kelas edtech-nya, membiarkan cahaya menimpa papan tulis digital. Perempuan itu punya cara menatap dunia seperti menatap anak-anak murid: sabar, telaten, namun tak sungkan tegas. “Pelajaran hari ini bukan rumus,” ujarnya kepada timnya yang sedang memfinalkan modul literasi finansial untuk remaja. “Pelajaran hari ini adalah kemampuan menerima ketidakterdugaan.”

Ia ingat hari saat Jaya menawarinya ruang untuk workshop di hotel—lantai rooftop dengan kursi rotan, cahaya senja menyisir meja, dinding kaca memantulkan langit. “Supaya belajar terasa seperti piknik,” kata Jaya kala itu. Ninggar setuju karena ia percaya, di kota yang keras ini, belajar butuh ruang yang lembut.

Di slack internal, Wira—teman lama yang kini jadi pengusaha kopi—menulis pesan: “Ning, kurva perhatian turun kalau slide lewat 25. Bagi jadi tiga episode. Biar seperti serial.” Wira memang suka memecah sesuatu agar mudah diterima. Ia mengelola waralaba kafe kecil yang tumbuh karena rasa yang jujur, bukan gimmick. Di apronnya selalu ada noda espresso dan senyum lebar yang tak pernah tuntas.

Ninggar menatap kalender. Ada peluncuran kurikulum baru, ada rapat dengan sponsor, ada kabar mengenai rencana beasiswa. Di sela-sela semua itu, kabar tak tertulis: sebuah detak yang tak bisa ia beri nama. Barangkali rindu yang tak dituntaskan, barangkali cemas yang lupa pamit.

.

Retna berdiri di tengah galeri, menatap kanvas biru pudar karya perupa muda dari Sumenep. Biru yang seolah menyimpan hujan. Ia menamai pameran ini “Manual Mengapung”. “Biru pudar punya kesabaran,” katanya kepada panitia. “Seperti laut setelah badai. Tidak memaksa mengilap, tapi tetap luas.”

Ia mengirim undangan digital ke beberapa nama: kolektor, kurator, dan Jaya. Ia mengenal baik cara Jaya menimbang—keduanya pernah menjadi tim yang tak kalah dari meteor: benda langit yang menembus udara, meninggalkan jejak cahaya yang tak selalu bisa dijelaskan. Namun meteor tidak tinggal; mereka hanya lewat untuk menunjukkan bahwa langit punya kemungkinan lain.

Di galeri, Retna bertemu Kerta, pegiat start-up logistik yang sedang mencari bahasa visual untuk menjelaskan rantai dingin dan jejak karbon. “Aku butuh karya yang bisa membuat investor paham tanpa dipaksa,” kata Kerta. Retna tersenyum. “Seni tidak membuatmu paham, Kerta. Seni membuatmu peduli dulu, baru paham kemudian.” Kerta tertawa, mengaku kalah.

.

Jaya memimpin briefing di ballroom yang didandani sederhana: lampu-lampu warm, panggung rendah, bunga-bunga lokal. Ia bicara tentang hospitality yang tak bersandiwara: menyentuh bukan sekadar menyentuh layar pemesanan, tetapi menyentuh hati tamu yang datang dengan sejarahnya masing-masing. “Kita bukan hanya menjual malam menginap,” katanya, “kita meminjamkan ketenangan agar mereka bisa pulang sebagai versi yang lebih ringan.”

Manajer F&B mengangkat tangan, menyebut wacana menu comfort food yang akan dipasangkan dengan kopi lokal. Tim pemasaran mengusulkan kolaborasi dengan galeri Retna—membawa satu-dua karya ke lobi, mengundang tamu menatap warna sambil menunggu check-in. Jaya mengangguk; ada sesuatu yang bergetar ketika nama Retna mengudara. Bukan perih. Bukan juga hasrat. Mungkin semacam sumbu lampu yang disentuh angin—sesaat lebih terang, sesaat kemudian redup lagi.

Setelah rapat, Jaya masuk ke kantor kecil yang dindingnya ditempeli sticky notes. Ia menutup pintu, menghela napas panjang, memeriksa pesan-pesan: Wira mengundang cupping session di kafe barunya; Ninggar mengirim poster kelas “Membaca Diri Sebelum Membaca Pasar”; Retna mengirim foto kanvas biru. “Datanglah kalau sempat,” tulisnya.

Jaya meletakkan ponsel, menatap jari-jarinya sendiri. Ada kebingungan yang tak ingin lagi ia lawan. Ia memilih bersandar, membiarkan arus lewat, lalu mencatat: Bila hari ini terasa seperti gelombang yang mendadak tinggi, jangan memaksa berenang ke depan. Mengapung. Lihat dari atas. Pahami arah.

.

Di ruang cupping, Wira menyodorkan dua cangkir pada Jaya: satu Arabika yang rasanya seperti cokelat pahit dengan ekor jeruk, satu lagi Robusta yang disangrai medium—suaranya renyah, aromanya seperti pagi di desa. “Hidup seperti ini,” kata Wira, “campuran pahit dan segar. Kalau terlalu banyak jeruk, orang mengernyit. Kalau terlalu banyak cokelat, orang lupa bangun.”

Jaya tertawa. “Kau masih pandai menakar.”

Wira menatapnya tajam. “Kau tampak lelah karena menahan sesuatu.” Ia menunjuk cermin kecil di sudut kafe. “Kita sulit jujur pada cermin kalau lampu terlalu terang. Redupkan sedikit, maka bayangan jadi lebih jujur.”

Jaya mengangguk parau. Cermin, biru pudar, angka penjualan, undangan pameran—semuanya berkejaran di kepala. “Aku ingin mengambil waktu sebentar,” katanya. “Bukan untuk lari, tapi untuk melihat ulang.”

“Ambil,” jawab Wira. “Kopi tetap kami siapkan. Dunia tidak akan marah bila kau mengambil jeda. Justru, kadang dunia menunggumu berhenti agar bisa mengejarmu.”

.

Retna menata ruang pembukaan. Ia sengaja memasang karya biru pudar di dinding paling depan, di sebelahnya katalog tipis dengan tulisan tangan artisnya: “Mengapung bukan menyerah. Mengapung adalah cara lain menyelamatkan napas.” Di sudut ruangan, musisi indie menyetem gitar. Ada meja koktail kecil dengan kue-kue yang dibuat oleh adik Ninggar—Rara—yang baru membuka usaha rumahan dan berharap memantapkan langkah ke bisnis katering. Di kota ini, jalur karier jarang lurus; orang-orang belajar membuat simpang menjadi peluang.

Ninggar datang lebih awal, membawa beberapa murid starnya. “Biar mereka tahu bahwa pengetahuan butuh ruang bermain,” ujarnya. Ia memeluk Retna; pelukan orang kota yang cermat, namun tulus. “Aku ingin memperkenalkan anak-anak ini pada rasa—bukan hanya angka.”

“Rasa kadang menakutkan,” kata Retna.

“Benar,” sahut Ninggar, “tapi ketakutan itu juga bagian dari kurikulum.”

.

Jaya tiba ketika ruangan sudah setengah ramai. Ia berdiri di ambang, merasakan udara yang berbeda—campuran parfum, kayu, dan cat minyak yang baru kering. Biru pudar menangkap matanya. Ia melangkah mendekat, membaca catatan kecil di samping karya. Suara-suara bergulung, namun ia mendengar kalimat itu paling jelas: “Tenang bukan berarti berhenti. Tenang berarti mendengar.”

Retna mendekat. “Kau datang.”

Jaya menoleh. Wajah Retna tidak berubah: tatapan yang tajam, garis bibir yang seolah menahan sebaris kalimat ekstra. “Aku butuh warna ini,” kata Jaya, menunjuk kanvas.

“Kau selalu butuh alasan untuk mengakui kebutuhanmu,” jawab Retna lembut.

Mereka berdiri di depan biru pudar seperti dua orang yang baru saja pulang dari perjalanan panjang. Tak perlu memetakan rute, cukup mengakui bahwa kaki mereka sama-sama pegal. Di belakang, suara gitar mengalun. Di depan, karya diam, namun luas.

“Kau terlihat baik,” kata Retna.

“Aku sedang belajar mengapung,” balas Jaya.

“Bagus,” Retna tersenyum tipis. “Mengapung membuatmu tak tenggelam oleh dirimu sendiri.”

Ninggar menyapa dari sisi lain, membawa Rara dan dua murid. “Kalian harus bertemu,” katanya. “Di kota ini, hubungan adalah jalan pintas paling panjang.”

Mereka bertiga berdiri seperti segitiga yang tak sempurna: sisi-sisinya rapuh, namun saling menopang. Rara menawarkan kue talas berlapis krim keju. “Manisnya juga pudar, Kak,” gurau Rara, “biar tak menakutkan.” Semua tertawa.

.

Malam merentang. Orang-orang berganti bicara dan saling bertukar kartu, link, dan janji temu. Kerta datang terlambat, berdiri sendirian di depan karya. Ia menulis sesuatu di ponselnya: “Supply chain emosi: berangkat dari rasa peduli, transit di jeda, tiba di keputusan.” Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Seni, ternyata, lebih cepat daripada pitch deck.

Jaya melangkah ke balkon galeri, mencari angin. Kota di bawah seperti buku yang belum ditutup. Retna menyusul, berdiri sejenak tanpa berkata apa-apa. Ninggar mengirim pesan ke grup: “Kelas besok akan bermula dengan satu pertanyaan: ‘Kapan terakhir kali kau beristirahat dari dirimu sendiri?’”

Wira mengirim foto espresso dengan caption: “Untuk mereka yang memilih mengapung. Kalian bukan pengecut. Kalian perenang yang sedang menyimpan tenaga.”

Di balkon, Jaya menatap garis lampu jalan yang memanjang. “Aku akan mengambil jeda,” katanya, separuh pada Retna, separuh pada udara. “Aku tidak ingin lagi menjadi manajer dari kecemasanku sendiri.”

Retna mengangguk. “Kecemasan suka merasa penting. Jeda membuatnya ingat bahwa ia hanya tamu.”

“Kau bahagia?” tanya Jaya.

Retna memutar gelas air mineralnya perlahan. “Bahagia adalah kata kerja. Aku sedang mengerjakannya.”

“Kau dan Ninggar…” Jaya mencari kata.

Retna tertawa kecil. “Aku dan Ninggar sedang belajar membiarkan hidup mengalir. Kami teman. Teman yang tahu bahwa orang bisa mencintai tanpa memiliki, bisa peduli tanpa harus membuka semua pintu.”

“Hidup seperti galeri,” kata Jaya. “Tidak semua ruang dibuka bersamaan.”

“Dan tidak semua lukisan harus dibeli agar bisa dinikmati,” tambah Retna.

Mereka diam. Diam yang bukan kekosongan, tetapi ruang. Jeda yang melahirkan kalimat berikutnya.

.

Jeda itu Jaya lakukan. Ia datang ke kantor lebih lambat satu jam, bukan untuk berleha-leha, melainkan untuk berjalan menyeberangi jembatan kecil di dekat apartemen, memandangi air yang membawa daun-daun mahoni. Ia memperkecil daftar tugas hariannya, bukan untuk menghindar, melainkan untuk fokus. Ia mendelegasikan, bukan karena tak sanggup, melainkan karena memilih percaya.

Ia bertemu tim satu per satu, menanyakan apa yang membuat mereka bergairah akhir-akhir ini—bukan hanya apa yang membuat mereka lelah. Ia menulis catatan untuk dirinya sendiri: “Sukses yang tidak menyisakan dirimu bukan sukses; itu barter yang tak adil.” Ia menolak dua undangan yang sebenarnya bergengsi, dan menerima satu undangan yang terasa remeh: menjadi mentor bagi kelas kewirausahaan kecil di komunitas pinggiran. Di sana, seorang remaja bernama Lintang memperlihatkan prototype sabun kopi dari ampas kafe Wira. “Wangi yang menyelamatkan,” kata Lintang malu-malu. Jaya pulang dengan dada yang lebih longgar.

Di malam akhir pameran, Jaya kembali ke galeri. Ia berdiri lagi di depan biru pudar. “Apakah semua ini sementara?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Ya,” jawab dirinya yang lain, “dan justru karena sementara, kita diperbolehkan menikmati.”

Retna mendekat, menyerahkan katalog dengan tanda tangan perupa. “Untukmu.”

“Aku ingin membeli karya ini,” kata Jaya tiba-tiba.

“Biru pudar tidak untuk menaklukkan ruangan,” balas Retna, “tapi untuk menenangkan ruangan.”

“Justru itu,” Jaya tersenyum. “Lobi hotel sering terlalu ingin menaklukkan. Biar kali ini ia belajar tenang.”

Retna menatap, lalu mengangguk. “Baik. Biru pudar akan bekerja lembut untukmu.”

.

Ninggar menutup kelas terakhir term itu dengan sebuah permainan: para murid diminta menulis satu kalimat yang akan mereka bisikkan pada diri sendiri saat dunia terasa kebanyakan suara. “Aku akan bilang, ‘Tenang adalah otot yang bisa kau latih,’” ujar seorang murid. Yang lain menulis, “Aku akan bilang, ‘Jangan menukar jiwamu demi tepuk tangan yang cepat kering.’” Ninggar menahan haru saat membaca satu kertas kecil: “Aku akan bilang, ‘Terima kasih sudah bertahan sejauh ini, kita istirahat dulu, ya.’”

Ia memotret kertas-kertas itu dan mengirimkannya ke Jaya, Retna, dan Wira. “Rupanya kurikulum paling sulit adalah memaafkan diri sendiri,” tulisnya. Wira membalas dengan emoji kopi. Retna membalas dengan gambar biru pudar.

Jaya membalas dengan kalimat, “Kita tidak hidup untuk menaklukkan hari-hari, kita hidup untuk merawat hari-hari.”

.

Kota pelan-pelan berubah di mata mereka. Bukan karena gedung-gedungnya bertambah, tetapi karena cara pandang mereka menyusut ke hal-hal yang perlu. Jaya belajar menunda kalimat “Aku bisa” menjadi “Apakah aku perlu?” Retna belajar menahan hasrat untuk selalu benar, menjadi keinginan untuk selalu mendengar. Ninggar belajar bahwa pertanyaan tak harus dijawab hari itu juga agar tetap bermartabat. Wira, seperti biasa, menyajikan kopi tanpa terburu-buru, seolah tiap cangkir adalah upacara kecil untuk menyejukkan dada.

Di lobi hotel, biru pudar akhirnya dipasang. Tamu-tamu berhenti sejenak, beberapa hanya menoleh, beberapa mendekat membaca catatan kecil: “Mengapung adalah seni memilih mana yang diselamatkan.” Ada yang memotret, ada yang bertanya apakah lukisan itu asli. Ada yang tak berkata apa-apa, hanya duduk lebih lama dari biasanya—seolah lukisan itu menahan mereka dari berkompetisi dengan jam dinding.

Jaya berdiri agak jauh, melihat bagaimana karya itu tak memaksa jadi pusat, tetapi pelan-pelan menjadi poros. Ia merasa lega, seperti seseorang yang akhirnya menaruh batu berat di tanah dan melihat jejak tanah kembali rata.

Retna datang diam-diam, berdiri di sampingnya. “Lobi ini jadi pelajaran.”

“Ya,” kata Jaya. “Pelajaran kalau kemewahan tidak selalu berarti hingar bingar. Kadang kemewahan adalah ruang untuk bernapas penuh.”

Ninggar menyusul, membawa dua murid yang dulu menulis kalimat kecil. Wira tiba belakangan, membawa termos kopi dan cangkir kertas. Mereka tak merencanakan pertemuan itu, namun kota kadang punya cara menyusun kebetulan yang terasa rapi.

“Untuk apa kita bekerja setengah mati?” tanya salah satu murid.

“Supaya kita bisa hidup setengah damai,” jawab Jaya, setengah bercanda, setengah sungguh-sungguh.

“Lalu setengahnya lagi?” tanya murid berikutnya.

“Untuk belajar mengapung,” sahut Retna.

“Dan untuk mengingat rasa,” tambah Wira, menyodorkan kopi.

“Dan untuk merawat pertanyaan,” tutup Ninggar, “agar jawabannya tak membusuk.”

Mereka tertawa kecil. Di luar, langit mulai kehilangan warnanya, menyisakan cahaya yang pas-pasan. Namun di dalam lobi, biru pudar bekerja: meneduhkan tanpa menuntut, menenangkan tanpa menidurkan.

.

Beberapa waktu kemudian, Jaya menerima pesan singkat dari manajer malam: “Ada tamu yang duduk lebih lama di depan lukisan. Ia tampak habis kehilangan. Ia tidak meminta apa-apa. Ia hanya bilang: ‘Terima kasih karena di sini saya boleh tenang.’” Jaya menatap layar ponsel lama-lama, merasakan sesuatu yang tak bisa dilaporkan dalam Excel. Ia menutup matanya sejenak, lalu membalas: “Biarkan ia duduk selama ia mau. Kita menagih pada yang mampu membayar; kita memeluk pada yang butuh dipeluk.”

Di apartemen, Jaya menempel catatan baru di lembaran putih: “Keberhasilan kecil: satu orang merasa ditolong oleh ketenangan yang kita ciptakan.” Ia menuliskan namanya sendiri di bawahnya, bukan untuk pamer, tetapi agar ia ingat: ada bagian dari dirinya yang juga ditolong oleh ketenangan itu.

Retna, di galerinya yang mulai kosong setelah pameran usai, merapikan rak katalog. Ia menemukan satu katalog yang belum terkirim—yang bertanda tangan perupa, yang tadi sudah diberi kepada Jaya. Ia tersenyum, menutup lampu, membiarkan ruang kembali menjadi bayang. “Biru pudar,” gumamnya, “warna yang menumbuhkan sabar.”

Ninggar menutup laptopnya setelah mengirim modul terakhir term ini. Ia menyimak suaranya sendiri di kepala: “Jeda bukan berarti kalah. Jeda adalah strategi.” Ia mematikan lampu ruang kelas digital, lalu membiarkan gelap yang jernih turun seperti tirai pertunjukan.

Wira menutup kasir kafe, menghitung tidak hanya uang, melainkan juga senyum yang lewat. Ia menulis di papan kecil: “Hari ini: seduh perlahan.” Besok tulisan itu mungkin berubah. Hidup memang begitu—menyeduh, menunggu, mencicip, menakar, lalu mengulang.

.

Malam merangkum kota. Ada yang pulang terlalu cepat, ada yang pulang terlalu lambat. Ada yang tak pulang-pulang, memilih duduk sebentar menatap biru pudar di lobi, menunda dunia satu tegukan lagi. Di balkon apartemen, Jaya menatap jauh, merasakan dadanya lebih longgar. Ia teringat kalimat yang dulu ditulis Retna di katalog: “Tenang bukan berhenti. Tenang berarti mendengar.”

Di garis tipis antara bunyi dan sunyi, antara kerja dan jeda, antara menaklukkan dan merawat, mereka menemukan satu kata yang mereka sepakati tanpa perlu ucapan: cukup. Cukup lelah untuk beristirahat, cukup berani untuk mulai lagi, cukup ringan untuk mengapung ketika arus mengundang.

Dan jika esok arus lain datang, mereka tahu caranya: jangan melawan membabi buta. Mengapung. Lihat. Dengarkan. Lalu pilih—bukan karena takut, melainkan karena cinta pada hidup yang ingin dijaga.

.

.

.

Jember, 4 October 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #MenakMaduraModern #Hospitality #GaleriSeni #EdtechID #KopiLokal #BiruPudar #SelfCare #RebrandingHotel #KisahKota

Leave a Reply