Besok Aku Akan Mencoba Lagi

“Semangat tak selalu harus terdengar lantang. Kadang, cukup dibisikkan dalam hati—dan itu cukup untuk bertahan satu hari lagi.”

“Tak semua kemenangan datang dengan tepuk tangan. Kadang, ia datang dengan napas yang tetap bertahan sampai hari berganti.”

.

Halte dan Hujan di Ibu Kota

Jakarta, pukul delapan lewat seperempat. Hujan tergantung di langit seperti tirai kelabu yang lupa digulung. Di sudut Halte Dukuh Atas yang lampunya berkelip tak sabar menua, Kertapati menempelkan punggung pada tiang besi karatan. Map plastik di pangkuannya tampak lelah: sudutnya tumpul, plastiknya berembun, kertas-kertas di dalamnya lembap seperti ingatan yang enggan mengering.

“Empat belas,” gumamnya, menghitung lamaran yang sudah ia titip ke kotak resepsionis, front desk, dan email anonim yang entah dibaca siapa. Ia bukan peminta-minta. Ia hanya orang yang sedang menunggu giliran percaya.

Di seberang, lampu biru ambulans melesat. Di belakangnya, sebuah sedan hitam melaju pelan, wipernya menyeka air seperti tangan yang sabar menepuk punggung. Kertapati memandang pantulan kota di genangan: gedung-gedung tegak seperti deret pasal, mengingatkannya bahwa hidup di ibu kota memang sering terasa seperti peraturan yang tak sempat ia baca sampai habis.

Teleponnya bergetar: pesan dari grup komunitas pencari kerja—“Lowongan Project Admin—urgent”—lalu hilang tertutup notifikasi promo. Di sela-sela kegaduhan digital itu, satu nama muncul: Arimbi.

“Kalau kamu lelah, istirahat. Tapi jangan berhenti. Tuhan sering datang justru saat kita mau menyerah.”

Kata-kata itu, sederhana, mendarat di dadanya seperti payung yang tiba-tiba dibuka oleh orang asing: tidak menyalakan matahari, tapi cukup menahan hujan.

.

Pesan Bapak, Kenangan yang Tak Luntur

Di kepala Kertapati, suara Bapak masih sering pulang.

“Orang itu bukan dilihat dari siapa yang datang saat senang. Tapi siapa yang datang saat kau sedang berjuang tanpa hasil.”

Bapak adalah lelaki yang menyulam hari-harinya dengan kerja jujur dan kopi pahit. Wajahnya tak pernah tampil di berita, namun di rumah, ia adalah berita baik setiap petang. Sejak Bapak pergi, Kertapati hidup dengan kalimat itu seperti kompas kecil di saku kemeja. Tak selalu menunjukkan arah terang, tapi menyingatkan bahwa ia belum tersesat total.

.

Pagi di Kos Sempit dan Laptop Pinjaman

Kamar kos 2×3 di gang Rawasari bernapas lewat jendela kecil menghadap atap seng tetangga. Kertapati menyeduh kopi sachet terakhir—dengan air yang mendidih seadanya di panci mini—dan membuka laptop pinjaman dari sepupu. Folder Lamaran_2025 berjejer seperti kotak-kotak kecil di beranda mal: rapi, terang, tapi entah ada yang masuk atau tidak.

Ia periksa satu per satu: cover letter yang formal, cover letter yang percaya diri, cover letter yang menyelipkan kisah pribadi tentang proyek KKN memperbaiki saluran drainase kampung. Ia mengganti kalimat pembuka, memperbaiki subject email, memastikan attachment tidak kelewat berat, mengganti nama file agar HRD tidak melihat “final_beneran3.pdf”. Di sela ctrl+S, ia berhenti, memandangi kursor yang berkedip. Detik itu, kursor adalah detak jantungnya.

“Personal,” gumamnya, mengingat nasihat webinar gratis yang ia tonton. “Buat yang membaca merasa diajak bicara.” Ia mengetik lagi:

Saya percaya kota sebesar Jakarta bukan hanya tentang gedung yang menjulang, tapi detail yang jarang terlihat. Saya ingin mengerjakan detail itu untuk perusahaan Anda…

Kopi sachet habis. Namun kalimat-kalimat baru seperti terus menetes—tidak deras, tapi cukup untuk membasahi lagi tanah harapan yang mulai retak.

.

Arimbi, Suara Cerah dari Matraman

Mereka belum pernah bertemu. Namun setiap pagi, Arimbi mengirim unggahan mockup desain: kemasan sambal rumahan, poster konser kecil di kedai kopi, logo koperasi ibu-ibu. Warna-warnanya berani, huruf-hurufnya luwes. “Kliennya belum bayar,” ia pernah menulis, disertai emotikon tertawa. “Tapi kita tetap jadi orang baik.”

Di chat yang lain, Arimbi bercerita soal Matraman yang tiap sore semerbak gorengan, dan tentang joging malam yang ia lakukan mengitari Taman Suropati ketika kecemasan tak mau tidur.

“Kota ini mengajarkan kita cara berdiri di atas kaki sendiri,” tulisnya.
“Dan juga cara meminjam bahu orang lain saat kita pegal.”

Kertapati membalas pendek, takut terasa meminta peluk. Namun di layar 6 inci, ia menemukan bahwa jarak bisa menjadi ruang aman: tak ada tatap mata yang menuntut fasih, tak ada gengsi yang perlu dirapikan. Hanya kata-kata yang berjalan kaki melintasi kemacetan batin.

.

Tur TransJakarta: Perjalanan Menyerahkan Harapan

Jumat itu, Kertapati memutuskan menjadi pos yang bergerak. Ia naik TransJakarta dari Senen—berhenti di Palmerah—mampir Kuningan—turun Fatmawati—lalu kembali lagi seperti garis yang belajar menjadi lingkaran.

Di Palmerah, ia ditanya satpam: “Ada janji, Mas?”
“Tidak, Pak. Saya titip lamaran.”
Satpam itu menatap mapnya, lalu menatap hujan. “Semoga rezeki cepat nyasar ke sini.”
Kertapati tersenyum. “Amin.”

Di bawah pohon ketapang depan gedung berkulit kaca, ia duduk. Hujan turun miring, menampar sepasang sepatu yang baru disemir malam sebelumnya. Ia menunduk; antara basah dan hangat yang memuncak di mata, akhirnya ada air yang tumpah. Bukan karena ditolak, tetapi karena tidak ada yang bisa ditolak: kosong yang rapat, sunyi yang padat.

“Yang paling menyakitkan bukan ditolak, tapi saat kita merasa sudah mencoba sekuat tenaga dan hasilnya tetap nihil.”

Ia menghapus air mata dengan punggung tangan—gerakan yang tak menambah gagah, tapi menambah jujur.

.

Notifikasi yang Menggetarkan Dada

Senin pagi: lampu kos mati-hidup. Wi-Fi tetangga minta password baru. Paket data tinggal dua garis. Di antara notifikasi promo langganan dan newsletter yang tak pernah ia baca, satu judul email berhenti di matanya:

Undangan Wawancara – PT Surya Bangun Nusantara

Ia membukanya dengan jantung seperti palu kecil. Mungkin phishing. Mungkin salah kirim. Namun tubuhnya mengenal mana kilat dan mana meteor; yang ini rasanya meteor: jauh di langit, tapi mengarah ke sini.

Ia membaca tiga kali. Tertawa pendek. Lalu air mata mengambil giliran. Bukan karena bahagia meletup, lebih karena tegang yang dilepaskan perlahan—seperti ikat pinggang yang dilonggarkan setelah menahan napas sepanjang perjalanan.

“Terima kasih atas lamaran Anda. Kami mengundang Anda hadir pada hari Rabu, pukul 10.00, di kantor kami—Kuningan.”

Ia membalas, mengetik pelan agar tak salah nama. Setelah klik Send, ia bersujud di lantai keramik yang dinginnya jujur: Bapak, hari ini ada kabar baik yang datang, walau pintu belum benar-benar terbuka.

.

Hari Wawancara dan Kemeja Biru

Rabu, langit cerah. Jakarta masih padat—kabar baik tidak mengosongkan jalan. Kertapati datang lima belas menit sebelum waktu yang dijanjikan. Kemeja biru langitnya digosok semalaman, kerahnya tidak lagi memberontak. Sepatu hitam yang kemarin basah sudah kering, walau kulitnya ikut menjadi orang dewasa.

Ruang tunggu berbau kopi segar dan AC yang didewasakan oleh wangi karpet baru. Kandidat lain duduk dengan jas yang tegas, jam tangan krom, dan map kulit yang tidak ada bekas hujan. Kertapati menarik napas: “Aku bukan mereka. Tapi aku cukup.”

Di dalam ruangan, dua pewawancara dan satu orang yang dari nametag-nya ia baca sebagai Jayengrana. Nama yang pernah ia dengar dari kisah-kisah Menak dalam dongeng Bapak, kini menyala di dada kota.

“Ceritakan tentang dirimu,” kata salah satu pewawancara.

Kertapati menyebut proyek magang yang sederhana: membantu tim lapangan memetakan keluhan pelanggan, membuat tabel pintas untuk dashboard, mengurus perizinan yang tersesat di antar meja. Ia jujur tentang celah-celahnya: belum mahir AutoCAD, masih belajar Power Query, namun cepat belajar dan tidak gengsi bertanya.

“Apa yang membuat Anda bertahan melamar terus?” tanya Jayengrana, suaranya datar seperti penggaris.

Kertapati menautkan jari, menatap meja—bukan untuk menghindar, tetapi untuk mengukur seberapa jauh hatinya bisa melangkah jujur.

“Karena saya tahu, semangat tidak selalu harus lantang,” jawabnya pelan. “Kadang cukup dengan berkata dalam hati: ‘Aku akan mencoba lagi besok.’ Saya hidup dari kalimat itu selama beberapa bulan ini. Ia tidak memecahkan pintu, tapi menjaga saya tetap berdiri di depan pintu.”

Hening sebentar. Pena berhenti menari. AC tetap berdesis, jam dinding tetap berputar. Namun yang berubah adalah cara Kertapati berdiri dengan dirinya sendiri: tidak bersandiwara, tidak memamerkan luka, hanya menutupinya dengan perban yang bersih.

Wawancara selesai dalam dua puluh menit. Mereka berterima kasih. Ia membungkuk. Di lift, ia melihat wajahnya di pintu krom: tidak tampan, tapi lebih damai dari kemarin.

.

Jakarta, Dari Atas JPO

Ia menyeberang lewat Jembatan Penyeberangan Orang. Dari atas, Jakarta adalah sungai kendaraan yang mengalir tanpa bertanya siapa duluan sampai muara. Gedung-gedung memantulkan matahari ke kaca bus kota, membuat kilau-kilau kecil seperti ikan yang melompat.

Di ponsel, pesan Arimbi menunggu: “Gimana?”

“Sudah selesai. Aku tidak merasa sempurna. Tapi kali ini aku tidak merasa palsu.”

“Bagus,” balas Arimbi. “Kota ini penuh panggung. Jangan lupa memilih peran yang tidak membuatmu benci pada cermin.”

Kertapati tertawa. Di tengah lalu lintas, ia merasa aman, seperti orang yang baru belajar berenang dan mendapati bahwa tubuhnya bisa juga mengapung.

.

Minggu Menunggu, Senin Menjemput

Seminggu. Waktu yang panjang kalau diisi cemas, waktu yang pendek kalau diisi pasrah yang aktif: mengirim dua lamaran lagi, memperbaiki portofolio, membaca buku bekas dari Pasar Kenari tentang project management yang copot sampulnya.

Saat Senin datang, teleponnya berdering nomor tak dikenal. Suara di seberang menyebut namanya, kemudian kalimat yang selama ini diperjuangkan:

“Selamat bergabung, Kertapati.”

Ia meminta operator mengulangi. Sekali lagi. Dan lagi. Bukan karena ragu, tetapi karena ingin menyimpan nadanya di memori: datar, lugas, tapi di telinganya terdengar seperti selimut. Setelah telepon menutup, ia menengadah. Bukan ke langit—langit selalu terlalu jauh—melainkan ke sudut kamar yang selama ini menjadi saksi: kipas tua yang berdecit, paku di dinding, meja lipat yang kaki-kakinya dikal wedha.

Ia mengabari Arimbi. “Diterima.”

Arimbi membalas: “Akhirnya kamu kembali pulang ke dirimu sendiri.”

Kertapati diam lama di depan kalimat itu. Pulang, pikirnya, tidak selalu ke alamat. Kadang ke seseorang yang mengenal kita tanpa perlu memegang tangan.

.

Hari Pertama: Jokotole dan Detail

Kantor PT Surya Bangun Nusantara tidak sebesar yang ia bayangkan. Namun ruangannya terang, penuh catatan tempel dan denah yang berubah warna—dari biru muda ke hijau lumut—seiring revisi. Di pojok, seorang pria berkacamata dengan rambut separuh abu-abu menyapa: Jokotole. Nama yang juga hidup di cerita Madura—lelaki yang menyeberangi lautan di atas tombak. Namun Jokotole di sini menyeberangi deadline di atas spreadsheet.

“Tugas pertamamu sederhana,” kata Jokotole. “Rapikan baseline jadwal proyek. Cek ulang resource leveling. Habis itu, bikin call sheet untuk tim lapangan agar tidak saling serobot waktu. Kita menang bukan karena cepat, tapi karena rapi.”

Kertapati mengangguk. Detail. Ia selalu percaya pada detail, bahkan ketika hidupnya tampak terlalu besar untuk dikalahkan.

Hari itu bergulir seperti kereta yang tepat waktu. Ada hal-hal kecil yang membuatnya bahagia: shortcut yang berfungsi, formula yang tidak error, email balasan yang menyebut namanya dengan benar—bukan “Kertanti” atau “Kertapatiii”. Sore, Jokotole menepuk pundaknya. “Kamu bukan tercepat. Tapi kamu paling bersih. Lanjutkan.”

Kertapati tersenyum. Katanya, di kota ini, pujian jarang datang. Mungkin benar. Tetapi kadang yang lebih penting adalah pengakuan yang tidak dibungkus seremonial: tepukan ringan, kalimat pendek, smiley di chat internal.

.

Di Atap Kos: Kota, Diri, dan Sisa Malam

Malam hari, ia naik ke atap kos membawa mi instan dan telur sisa dua. Lampu-lampu kota berkelip seperti doa yang tidak serempak diucapkan. Angin dari arah selatan membawa suara musik dari kafe kecil, campur tawa muda-mudi dan derit kursi besi.

Ia mengingat hari-hari sebelumnya: halte yang dingin, map basah, lift kantor yang memantulkan raut letih. Lalu mengingat hari ini: spreadsheet yang rapi, suara Jokotole, dan pesan Arimbi yang menutup dengan stiker bunga matahari.

“Kadang, yang kita cari bukan pekerjaan,” ia menulis di catatan ponsel, “melainkan diriku yang tidak pergi ketika gagal.”

Ia menatap folder berisi kontrak kerja yang baru ia bawa pulang, menatanya di meja lipat seperti menata foto keluarga. Tidak ada kembang api, tidak ada perayaan mahal. Namun ada persetujuan hening antara dirinya dan kota: aku akan bekerja, bahagiakan secukupnya, kecewa secukupnya, lalu bangkit sepenuhnya.

.

Arimbi, Kelas Malam, dan Rencana Kecil

Arimbi mengirim pesan: poster freelance baru, dan kabar bahwa ia membuka kelas desain murah setiap Sabtu sore di perpustakaan umum Matraman. “Biar yang patah tidak terlalu diam,” tulisnya.

Kertapati menawarkan membantu: bukan sebagai pengajar, tapi mengurus pendaftaran dan menyusun feedback form. “Aku bisa jadi orang di balik layar,” katanya.

“Justru layar butuh orang sepertimu,” balas Arimbi. “Biar gambar tidak pecah.”

Di situ, Kertapati merasakan sesuatu tumbuh: bukan cinta yang meledak seperti kembang api, melainkan rasa hormat yang tumbuh seperti pohon melinjo—pelan, bandel, dan tahan cuaca.

.

Jayengrana, Sore yang Menguji

Tiga minggu kemudian, proyek pertama Kertapati diuji: ada screw-up pada pemesanan material. Vendor salah baca ukuran, tim lapangan panik, timeline bergetar. Di ruang rapat, Jayengrana menatapnya.

“Kamu yang pegang call sheet, kan?”

Kertapati mengakui. Tidak menyalahkan vendor, tidak menutupi celah. “Saya melewatkan double-check pada spesifikasi yang mirip kode warna.”

Jayengrana mengangguk pelan. “Bagus, kamu tidak melempar. Sekarang, solusinya apa?”

Kertapati mengeluarkan dua opsi: percepatan pengiriman dengan extra cost yang masih bisa dinegosiasikan, atau reposisi pekerjaan lapangan agar tim tidak menganggur sambil menunggu material baru. Jokotole menambahkan satu catatan teknis; tim menyepakati pergeseran kecil. Malam itu, masalah tidak menghilang, namun bentuknya berubah dari batu raksasa menjadi kerikil yang bisa dipijak.

Sepulangnya, Kertapati menerima chat pendek dari Jayengrana: “Terima kasih untuk kejujurannya.”

Di Jakarta, pujian tidak selalu berbentuk pelukan. Kadang berupa kalimat yang tidak menghakimi.

.

Telepon Tengah Malam

Pukul sebelas, ponsel berdering. Nomor Arimbi. Suaranya agak serak. “Kertapati, kamu lagi di mana?”

“Di kos. Kenapa?”

“Aku kelelahan.” Ia tertawa kering. “Bukan fisik. Client mendadak membatalkan proyek—katanya mau pakai keponakan. Aku mengajari kelas tadi. Tertawa. Tapi pulang-pulang, sunyi terasa berat.”

Kertapati tidak memberikan motivasi murah. Ia hanya mendengarkan. Kadang, yang dibutuhkan bukan jawaban, melainkan saksimata yang tidak mengadili. Setelah beberapa menit, ia berkata:

“Semangat tak selalu harus terdengar lantang. Kadang cukup dibisikkan dalam hati—dan itu cukup untuk bertahan satu hari lagi.”

Arimbi menghela napas. “Besok aku akan mencoba lagi.”

“Besok,” ulang Kertapati. Kata itu terasa seperti perban baru.

.

Lebih Jauh dari Pekerjaan

Hari-hari berikutnya, hidup menjadi kombinasi kerja yang ritmis dan kejutan kecil yang mengajari rendah hati. Kertapati belajar menerima bahwa yang ia jalani bukan ending, melainkan opening credits baru. Ia menabung sedikit—bukan untuk membeli yang mahal—tetapi untuk memberi ruang pada kemungkinan.

Ia juga mulai menulis catatan reflektif—sepotong, sepotong—terinspirasi gaya narasi yang ia baca di blog seorang mentor yang tulisannya rapi dan hangat. Ia melatih diri menyusun pengalaman menjadi pelajaran, bukan menjadi dendam.

“Hidup itu bukan hanya tentang sampai,” tulisnya, “tetapi tentang bagaimana berjalan tanpa merusak tapak.”

.

Bisikan yang Membuat Bertahan

Suatu malam, ia kembali ke atap dengan membawa roti sisa rapat. Angin tak lagi menggigilkan tulang; bising kota terdengar seperti white noise yang meninabobokan. Ia memejam, mengulang satu kalimat:

“Besok, aku akan mencoba lagi.”

Kalimat yang dulu hanya gema kecil di lorong gelap kini menjadi suara utuh yang punya alamat: dirinya sendiri. Ia tidak meraih kemenangan yang meledak, tetapi menemukan cara untuk tetap bernapas ketika hari terlalu panjang.

Di kota yang tidak pernah diam, ia berdiri. Bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai orang yang tidak menyerah. Ada bedanya, dan perbedaan itu cukup untuk menyeberangi satu hari ke hari berikutnya.

.
“Tak semua kemenangan datang dengan tepuk tangan. Kadang, ia datang dengan napas yang tetap bertahan sampai hari berganti.”

.

.

.

Jember, 5 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#BesokAkuAkanMencobaLagi #CerpenUrban #JakartaStories #MotivasiKerja #KisahKota #MenakMadura #KelasMenengahAtas #StorytellingFilmis #Reflektif #Solutif

Leave a Reply