Berlayar di Tengah Kota

“Terkadang kita bukan gagal karena tak mampu, tapi karena terlalu percaya pada orang yang tak seharusnya dipercaya.”

“Kejujuran itu tidak selalu menyelamatkan kariermu, tapi ia menyelamatkan dirimu.”

.

Langit Jakarta pagi itu berwarna perak dekil—sejenis kelabu yang menahan matahari seperti luka yang menahan tawa. Di lantai dua belas sebuah menara kaca di Sudirman, Panji duduk di balik meja panjang yang memantulkan wajahnya sendiri, seolah-olah ia tengah berunding dengan kembaran yang lebih letih. Di depannya, berkas setebal dua jari berjudul Strategic Alliance Term Sheet antara perusahaannya dan Argapratama Digital—rintisan teknologi yang sedang viral—menunggu tanda tangan yang bisa mengubah hidup banyak orang.

Halaman demi halaman berkilat rapi: proyeksi pertumbuhan, burn rate yang tampak sehat, customer acquisition cost yang ganjilnya turun saat pasar lesu. Panji memicingkan mata. Dua puluh tahun mengitari korporasi mengajarinya bahwa angka yang terlalu cantik biasanya punya kamera tersembunyi.

Ia menekan interkom. “Rengganis, tolong email ulang data room Argapratama tiga bulan terakhir. Ledger kas dan vendor list.”

Rengganis—sekretaris yang tangguh sekaligus tenang—mengangguk tanpa suara. Di ruang kantor terbuka, bunyi keyboard berlari seperti gerimis di atap seng. Dari balik dinding kaca, Jakarta memantul: gedung mengilat, spanduk billboard, jalan layang yang seperti garis nadir, udara yang penuh janji dan asap.

Satu nama memantul paling kuat di kepala Panji: Saka. Anak muda dengan senyum tegas, disukai media, disukai investor. Di town hall minggu lalu, Saka bicara tentang misi “mendemokratisasi akses finansial” untuk UMKM. Kata-katanya manis, seperti es kopi susu murah di kios grab and go—mudah disuka, mudah habis.

Panji menghela napas. “Jika salah, aku akan jadi rem di mobil balap. Jika benar, aku akan jadi rem yang menyelamatkan turunan panjang.”

Ia menutup berkas, dan menutup matanya. Wajah ayahnya muncul di ruang gelap itu—lelaki sederhana dari Rawamangun, guru matematika yang tak pernah punya kartu kredit. Benar itu bukan yang paling cepat, Ji. Benar itu yang paling bisa kamu pertanggungjawabkan saat diminta berdiri sendirian.

Ia membuka mata. Hujan tipis jatuh pada kaca jendela.

.

Pintu Lama yang Terbuka

Sore yang muda turun di Blok M. Panji duduk berhadapan dengan Nurma, di kafe kecil yang menyimpan sisa bebauan kopi, kayu, dan musim kuliah yang sudah lama pergi. Mereka saling melempar lelucon basi untuk memanaskan suasana, tetapi percakapan itu cepat masuk ke inti.

“Kamu tahu siapa yang membiayai Saka?” Nurma menyulut pertanyaan sambil mengaduk kopi yang sudah tak perlu diaduk. “Ada Klana.”

Nama itu menyalakan sesuatu. Klana—pengusaha yang jarang muncul di media, tapi selalu disebut diam-diam di boardroom. Portofolionya lecet di pinggir: proyek grey area, shell company, beneficial ownership yang berpindah seperti burung-burung di atap tua.

“Dan satu lagi,” Nurma menatap, “ada Kirana. Dulu Kepala Keuangan internal Argapratama. Resign tiba-tiba. Dia bicara ke klienku tahun lalu, sebelum menghilang. Katanya, ada dana investor dipindah ke luar negeri lewat vendor bodong. Aku tak punya bukti. Tapi intuisi itu menolak padam.”

“Kirana di mana?”

“Menteng. Dia ingin bicara—tapi tidak di kantor, tidak di mal. Di taman.”

Panji mengangguk, merasakan sesuatu di dadanya—sejenis ketenangan yang sebenarnya kecemasan yang memilih duduk.

.

Pertemuan yang Membuka Luka

Taman Menteng sore itu belum ramai; anak-anak pulang les, pekerja belum selesai lembur. Di bangku yang setengah teduh, seorang perempuan menunggu. Kirana. Rambutnya diikat sembarangan, mata cekung, tapi tatapannya bukan tatapan orang kalah. Itu tatapan orang yang telah membayar mahal untuk tidak menyangkal.

“Aku mundur karena mereka memintaku menandatangani huruf-huruf yang bukan milikku,” katanya pelan. “Vendor Kencana Kawi—kamu bisa cek. Invoice-nya berulang, nilainya besar, tetapi pekerjaannya tak ada. Dana berjalan ke rekening yang alamatnya di Singapura, lalu ke trust di Labuan. Klana ada di balik tirai. Saka… aku tidak yakin ia mengerti semua lapisan, atau pura-pura tidak melihat.”

Ia menyerahkan map lusuh. General ledger yang dicetak, potongan email yang di-redact, potongan WhatsApp yang difoto terburu. “Aku tahu ini belum cukup untuk pengadilan. Tapi ini cukup untuk meminta pertanyaan yang tepat.”

“Kenapa kamu menyerahkannya padaku?”

“Karena kamu satu-satunya eksekutif yang masih punya reputasi boring,” Kirana tersenyum tipis. “Dan orang boring jarang ambil jalan pintas.”

Panji tertawa hambar. “Wah, terima kasih untuk pujiannya.”

“Jangan percaya angka yang terlalu simetris, Panji,” suara Kirana merendah. “Dan beri ruang untuk yang memilih diam. Mereka sering membawa kunci yang tidak dibuat dari logika.”

“Di tengah kegaduhan, suara paling jujur sering datang dari yang tak ingin bicara.”

Hujan menetes di daun kamboja. Di kejauhan, tukang cilok menunggu panggilan yang jarang datang di jam-jam seteduh ini.

.

Senyap dalam Diri

Malam yang panjang menyalakan Jakarta. Panji mengemudi tanpa tujuan, seperti kapal tanpa kompas di lautan lampu. Ia melewati Rasuna, memutar ke Cikini, turun lagi ke Kuningan, berhenti di lampu merah yang terasa terlalu lama, lalu bergerak saat klakson dari belakang memanggilnya kembali ke dunia.

Ia mencari Rawamangun; rumah tua itu masih berdiri, catnya memudar seperti kenangan yang menolak kosmetik. Di balik pagar, pohon mangga yang pernah dipanjatnya masih ada. Panji mematikan mesin. Untuk pertama kalinya sejak pemakaman ibunya, ia menangis. Bukan menangis karena kalah. Menangis karena harus memilih.

Ia ingat Sekar—mantan istrinya—yang berusaha mencintai seorang lelaki yang menikahi pekerjaannya. Mereka berpisah baik-baik, tetapi kebaikan tidak selalu mengurangi luka. Sekar kini mengajar seni di sebuah sekolah internasional; mereka masih bertukar kabar sesekali. Dari Sekar ia pernah belajar bahwa keindahan tidak menyelamatkan dunia, tetapi menyelamatkan manusia di dalam dunia itu. Malam itu, ia menatap pohon mangga dan memohon keindahan yang tenang—sejenis nyali yang tidak bising.

Ia kembali ke mobil, menulis tiga kalimat di notes ponsel:

  1. Cek vendor Kencana Kawi: ownership dan alamat fisik.

  2. Audit silang cashflow bulan ke-4 hingga ke-7.

  3. Lindungi Kirana. Lindungi dirimu.

“Keberanian bukan melawan orang, melainkan melawan keinginanmu sendiri untuk menyerah.”

.

Kabut yang Menipis

Keesokan paginya, Panji membuka rapat kecil di ruang war room. Hadir Rengganis, Wira—kepala internal audit yang selalu berbicara seperti orang menghitung langkah di tangga—dan Ganda, pengacara perusahaan yang rambutnya tak pernah salah arah.

Panji memaparkan temuan awal, secukupnya namun tajam. Wira mencatat, Ganda bertanya, Rengganis menyiapkan folder dengan nama yang tidak mencurigakan. Mereka bekerja seperti menggali sumur di pekarangan orang: pelan, telaten, tanpa menimbulkan debu.

Tiga hari kemudian, audit trail menujuk ke pola yang sama: invoice ganda, IP address pengirim email yang anehnya selalu tercecer dekat satu kantor virtual, dan notulensi rapat di Argapratama yang menunjuk ke keputusan “accelerated disbursement” tanpa proper sign-off.

Di malam keempat, pesan singkat masuk ke ponsel Panji.

Nomor tak dikenal: “Berhenti menggali. Air di bawah sini bercampur bensin.”
Panji: “Siapa ini?”
Nomor tak dikenal: “Teman yang pernah percaya kata-kata manis.”

Panji menunjukkan pesan itu ke Ganda. Sang pengacara menarik napas. “Ini bagian dari naskah. Mereka ingin kamu menafsirkan ancaman sebagai kepedulian.”

“Jadi?”

“Jangan berhenti. Tetapi jangan berlari.”

.

Di Ambang Pintu yang Menggertak

Malam Jumat, parkiran kantor sepi. Rengganis sudah pulang. Wira mengirim chat: “Dokumen sudah aku kunci di vault. Aku pulang dulu.” Panji masih di meja, membereskan berkas, ketika pintu dibuka dari dalam oleh bunyi access card yang tidak seharusnya ada di jam ini.

Seseorang masuk. Posturnya tenang, sebagaimana orang yang terbiasa bernegosiasi. Klana. Di belakangnya seorang lelaki muda dengan tatapan datar—mungkin supir, mungkin lebih.

“Boleh bicara sebentar?” Klana tersenyum tanpa sudut. “Aku dengar kamu tipe orang yang sulit diyakinkan, Panji.”

“Jika fakta membantu, saya cepat diyakinkan,” jawab Panji.

“Begitu ya.” Klana berjalan ke jendela, menatap kota. “Negara maju dibangun oleh orang yang bisa berkompromi. Jalan Tol tidak mungkin ada jika semua orang ingin sempurna.”

“Jalan Tol juga tidak mungkin ada kalau right of way tidak dibayar.”

Kelana tertawa kecil. “Kamu lucu. Begini. Saka anak baik. Kadang anak baik dikelilingi orang yang terlalu dewasa. Aku bisa bantu kamu melihat bahwa angka-angka itu tidak seburuk prasangka.”

“Kalau begitu, bantu kami membuka semua beneficiary ownership di belakang vendor,” kata Panji datar. “Biar auditor kami yang bicara.”

Wajah Klana tidak berubah, tapi mata anak muda di belakangnya berpindah fokus. “Kamu tahu,” Klana berkata pelan, “yang paling mahal di kota seperti ini bukan apartemen, bukan jam tangan. Yang paling mahal adalah ketenangan. Kamu termasuk orang yang bisa dibeli ketenangannya, atau orang yang siap kehilangan semuanya untuk kalimat yang kelak tidak ada di batu nisanimu?”

“Yang paling mahal adalah tidur nyenyak.” Panji menatap balik. “Dan aku miskin kalau harus membeli tidur dari orang lain.”

Keheningan sebentar. Lalu Klana melangkah mendekat, menepuk pundak Panji sekali, sopan. “Hati-hati, Panji. Di laut yang tenang, hiu tetap lapar.”

Pintu tertutup. Panji duduk, gemetar yang tertahan bergerak seperti bayangan di lantai. Ia mengetik pesan pendek pada Wira: “Aktifkan protokol ‘kompas’. Hanya kirim lewat jalur yang kita sepakati.”

“Integritas itu mahal. Jika kamu menawarnya, kamu akan mendapat versinya yang palsu.”

.

Kota yang Membesarkan dan Mengikis

Hari-hari berikutnya seperti film yang disetel terlalu lambat. Panji tetap menghadiri rapat, memimpin briefing, menandatangani hal-hal kecil yang membuat perusahaan bergerak. Tetapi di sela-sela itu, ia dan tim kecilnya merapikan mozaik: korespondensi yang saling menjawab, time stamp yang saling menutup, tanda-tanda bahwa orang-orang baik di dalam sistem juga mengirim sinyal minta tolong dengan cara yang paling aman: ketidaksempurnaan kecil yang sengaja dibiarkan.

Di malam Minggu, ia bertemu Sekar di sebuah gallery kecil di Tebet. Pameran seni rupa dari seniman muda yang menolak artist statement. Sekar menyapa dengan pelukan yang mengandung batas-batas yang dihormati.

“Kamu kurusan,” kata Sekar.

“Karena aku menolak dibeli tidurku,” Panji mencoba bercanda, gagal.

Sekar menatap matanya. “Kamu lelaki yang memilih bertahan pada kalimat yang tak selalu menolongmu. Tapi di sanalah kamu selalu pantas.” Ia menunduk. “Kalau kamu perlu tempat sembunyi, atelirmu di rumah masih ada.”

“Kita sudah bukan…,” Panji menggantungkan kata.

“Rumah memang bukan tentang status,” Sekar tersenyum. “Rumah adalah tempat kamu berhenti menyesal.”

“Cinta yang sehat tidak selalu menyatukan, tetapi selalu menyelamatkan.”

Mereka duduk di lantai gallery, berbicara tentang hal-hal remeh: kucing tetangga, kopi yang terlalu asam, hujan yang jatuh tanpa menawar. Di perjalanan pulang, Panji merasa kota sedikit lebih ringan, seperti jaket yang tiba-tiba sesuai bahu.

.

Hari Ketika Wajah Orang-Orang Terlihat

Rapat Dewan Komisaris digelar mendadak. Ruangannya dingin, karpet tebal menyerap suara. Foto-foto pendiri menggantung seperti kamera yang tidak memotret, hanya mengingat.

Panji memulai dengan tenang. Ia menjelaskan temuan, bukan dengan nada pahlawan, tetapi seperti pegawai perpustakaan yang mengembalikan buku ke raknya. Grafik yang tidak menakut-nakuti, document trail yang rapi, bukti yang bisa dipegang bahkan oleh tangan yang gemetar.

Bahar—komisaris utama yang selalu terlihat seperti batu karang—menatap lama. “Kalau ini benar, kita bukan cuma menghentikan kerja sama. Kita membuka perang.”

“Kalau kita diam, kita membuka pintu,” jawab Panji. “Pintu yang cukup lebar untuk banyak keluar-masuk yang tidak seharusnya.”

Hening. Lalu suara perempuan dari ujung meja—Rengganis, yang kali ini duduk sebagai notulis—bergetar kecil. “Maaf, Bapak Ibu. Ada seseorang yang ingin bicara. Ia menunggu di luar. Namanya Kirana.”

Bahar mengangguk. Pintu dibuka. Kirana masuk, pakaian sederhana, namun langkahnya memikul penjelasan. Ia bersaksi singkat—cukup untuk manusia, cukup untuk hati nurani, belum cukup untuk polisi. Tetapi cukup untuk menyalakan keputusan.

Rapat memutuskan: suspend seluruh proses kerja sama, aktifkan forensic audit, dan melayangkan surat pemberitahuan resmi pada Argapratama. Ganda, sang pengacara, menambahkan satu kalimat yang terasa seperti pagar listrik: “Kita siap.”

Panji keluar dari ruangan dengan kaki yang belum percaya. Di koridor, ia menelpon Sekar: “Boleh aku datang malam ini? Tidak lama.”

“Tentu,” kata Sekar. “Bawa cerita yang bisa tidur. Jangan bawa cerita yang terjaga.”

.

Ledakan yang Diam

Keesokan harinya, media meletus. Bukan karena perusahaan Panji membocorkan, tetapi karena sesuatu di Argapratama bergeser: satu karyawan anonim mengirim leak ke portal berita ekonomi. Nama Saka menari di judul; Klana tak pernah disebut, seperti biasa. Di timeline, netizen membelah: kelompok yang membela inovasi, dan kelompok yang mendewakan kehati-hatian.

Saka menghubungi Panji, suaranya lelah. “Kamu bisa datang? Kita bicara sebagai manusia.”

Panji datang ke kantor Argapratama—ruang besar, mural warna-warni, bean bag seperti savana main. Saka menatapnya dengan mata yang pernah percaya bahwa dunia akan memberinya tempat khusus jika ia bekerja cukup keras.

“Aku tidak menipu,” kata Saka pelan. “Aku hanya… percaya orang yang salah.”

“Percaya tanpa memastikan adalah bentuk lain dari mengizinkan,” jawab Panji. “Dan orang seperti Klana selalu menginginkan izin dari orang yang terlihat suci.”

Saka menunduk. “Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku sudah melakukan bagianku. Sisanya, milikmu.” Panji meraih bahu Saka, ringan. “Kebenaran bukan musuhmu. Ia hanya tamu yang datang tanpa janji.”

“Jangan takut pada kebenaran. Takutlah pada kebiasaanmu mencarikan alasan.”

Di pintu keluar, Panji berpapasan dengan orang muda yang pernah berdiri di belakang Klana. Tatapannya tidak lagi datar; ada ragu yang menyelinap seperti tikus di gudang gandum. Panji tahu, ragu adalah awal dari kejatuhan sistem yang berdiri di atas kepastian palsu.

.

Dalam Keramaian yang Menyembuhkan

Beberapa minggu kemudian, reuni kampus menghampar di rooftop Kemang: langit amber, gitar akustik, suara orang-orang yang dulu ia kenal sebagai ambisi yang kini berubah jadi cerita keluarga, usaha kecil, buku yang mereka baca setengah dan tidak dilanjutkan.

Nurma hadir, Wira tersenyum untuk pertama kalinya, Rengganis menertawakan sesuatu yang tidak lucu—tawa yang penting karena menjadi bukti bahwa tubuh masih ingin hidup. Di sudut, Panji menatap kota dari ketinggian yang sejak lama menjadi jarak antara excel dan pelukan.

Ia berbicara di tengah kebisingan rendah.

“Aku belajar satu hal. Kita berlayar di tengah kota. Airnya bukan air, gelombangnya bukan gelombang. Tapi kita tetap perlu kompas. Kompas itu bukan untuk menang. Kompas itu untuk pulang.”

Nurma mengangkat gelas plastiknya. “Untuk kompas.”

“Untuk pulang,” balas Panji.

Malam itu, ia merasa sesuatu kembali pada tempatnya. Bukan karier. Bukan reputasi. Sesuatu yang tak bisa diunggah ke LinkedIn: kemampuan memejamkan mata tanpa negosiasi.

.

Surat yang Ditinggalkan

Di laci kiri meja kerja, di bawah stapler yang patah satu gigi, Panji menaruh amplop. Di dalamnya, selembar kertas dengan tulisan tangannya yang sedikit miring:

“Untuk siapa pun yang kelak duduk di kursi ini,

Jangan terpikat angka yang terlalu simetris. Tanyakan: siapa yang menyusun narasi di balik kolom? Dengarkan karyawan yang tidak punya parking slot namanya. Mereka sering tahu lebih awal dari siapa pun.

Jika kamu ragu, pilih menunda. Rugi satu kuartal lebih murah daripada kehilangan jati diri. Lindungi yang mau bicara. Mereka tidak minta diselamatkan, mereka hanya minta tidak dibisukan.

Jika suatu hari kamu harus memilih antara promosi dan tidur nyenyak, pilih bantal yang jujur.

— Panji.”

Ia menutup laci. Jakarta di luar tetap bising. Billboard berubah, kampanye baru naik, podcast baru mendadak meledak, kafe baru membuka soft opening dengan lampu fairy lights. Tak ada yang tiba-tiba menjadi suci.

Tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Panji tak merasa menjadi boneka di panggung korporasi. Ia merasa menjadi manusia yang sedang berlayar. Bukan untuk kabur dari pelabuhan, melainkan untuk memastikan ia layak pulang ke daratan yang disebut tenang.

“Kadang, keputusan terbaik bukan yang paling menguntungkan, tapi yang paling membuat kita damai saat memejamkan mata.”

.

Kompas Kecil di Kantong Dalam

Beberapa bulan kemudian, forensic audit rampung. Hasilnya setengah-menyakitkan, setengah-melegakan. Ada bukti cukup untuk menutup pintu, menyerahkan berkas ke regulator, dan membiarkan proses berjalan. Argapratama menyusut; Saka mundur dari jabatan, kembali menjadi orang yang belajar. Klana menghilang seperti kabut—bukan karena abadi, tetapi karena setiap kabut selalu pergi ketika matahari akhirnya belajar sabar.

Kirana memulai studio pembukuan etis untuk UMKM—tiga meja, satu printer, satu mimpi yang tidak muluk. Rengganis menunda rencana pindah ke Singapura, memilih menyelesaikan proyek whistleblowing internal dengan SOP yang membuat karyawan pabrik di Karawang dan sopir logistic di Cilincing sama-sama mengerti. Wira tersenyum lebih sering, mungkin karena ia menemukan bahwa angka bisa menjadi pintu ke martabat, bukan hanya laba.

Dan Panji? Suatu siang di Rawamangun, ia berdiri di bawah pohon mangga. Sekar datang membawa bento—nasi, tempe, sayur bening. Mereka makan di bangku yang dibasuh gerimis. Tak ada deklarasi. Tak ada kembali. Yang ada hanya percakapan yang tidak ingin menang.

“Kamu akan tetap berlayar?” tanya Sekar.

“Tentu.” Panji tersenyum. “Kota ini kan laut. Kita cuma perlu kompas di kantong dalam.”

Ia menatap langit yang perlahan belajar biru. Di dadanya, sesuatu ringan seperti angin yang menemukan celah di kerah kemeja, menyelinap masuk, mengajak paru-paru percaya lagi.

“Hidup bukan tentang menemukan pelabuhan yang sempurna, tetapi tentang memegang kompas ketika ombak terasa seperti alasan untuk menyerah.”

Dan di tengah kota yang tak pernah benar-benar tenang, seorang lelaki berjalan pulang dengan langkah yang tidak lagi ingin mempercepat apa yang layak dialami pelan-pelan.

.

.

.

Jember, 2 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#BerlayarDiTengahKota #CerpenUrban #Integritas #Jakarta #KelasMenengahAtas #Whistleblowing #NarasiFilmis #MenakMadura #Reflektif #EdukasiHati

Leave a Reply