Benih!

“Benih yang baik tak memilih tanah; ia memilih tekad orang yang menanamnya.”

.

Hujan baru saja selesai. Sisa-sisa air menempel di kaca jendela apartemen lantai dua puluh satu, membentuk garis-garis yang memecah cahaya Surabaya malam jadi pecahan neon. Panji mematikan notifikasi ponselnya, lalu menatap taman kota yang baru ditata ulang di bawah sana. Di sela pepohonan trembesi, lampu jalan menyalakan bayang-bayang orang yang pulang lembur. Ia menghela napas. Sudah delapan bulan sejak ia memutuskan berhenti dari korporasi fintech yang memberinya gaji besar, parkir mobil gratis, dan tiket business class ke manapun tiap kuartal. Delapan bulan mencoba menanam sesuatu yang lebih jujur daripada angka di layar.

Namanya Panji—bukan pangeran dalam hikayat, hanya anak kampung yang naik bertahap: beasiswa, proyek, promosi—lalu pada suatu titik merasa kehilangan napas. Ia menamai proyek barunya “Benih”, ide yang terdengar sederhana: merajut kembali hubungan antara makanan, pendidikan, dan martabat kerja. “Benih” hendak jadi dapur belajar, kebun atap, dan ruang kolaborasi di antara gedung-gedung kaca yang terlalu sibuk memantulkan diri sendiri. Untuk itu, Panji butuh kawan-kawan lama yang pernah bersilang jalan dan berbagi lapar yang sama.

Sekar datang pertama kali, di sore yang disapu angin dari Kali Mas. Rambutnya digulung asal, kemeja putihnya beraroma hujan dan kapur. Sekar arsitek—pernah menata hotel butik di Malang lalu memilih mengajar studio desain di kampus swasta sambil mengurus komunitas perumahan hijau. “Aku sudah bosan ruang yang dibangun untuk foto, bukan untuk hidup,” katanya sambil menepukkan sketsa ke meja. Gambar-gambarnya bukan fasad, tapi sirkulasi udara, letak cuci tangan, hubungan dapur dan meja makan. “Kalau ‘Benih’ jadi, ia harus jadi rumah untuk belajar makan dengan bermartabat.”

Ragil menyusul. Di grup, ia selalu menulis pendek, tetapi kehadirannya tegas seperti garis hitam di neraca. Ragil dulunya bankir—mengukur risiko dengan mata statistik, lalu bosan pada narasi pertumbuhan yang lupa bertanya untuk siapa. Ia sekarang mengelola dana kecil yang ia sebut “modal kesabaran”: memilih usaha kuliner ibu-ibu kampung, warung kopi pinggir stasiun, startup logistik dingin, semua yang bisa panjang napasnya kalau tidak dipaksa berlari. “Aku tak lagi mengejar ‘exit’; aku mengejar ‘exist’,” katanya. “Benih perlu struktur finansial yang melindungi niatnya dari cepat kaya dan cepat runtuh.”

Jaya—Jayengrana—datang dengan setelan yang baunya seperti ruang rapat di lantai tertinggi. Ia flamboyan, cerdas, punya jaringan yang jika dicetak bisa jadi peta kota. Dulu ia satu tim dengan Panji, ahli membakar panggung. Ia tertarik pada “Benih” karena melihat gelombang baru: kelas menengah mencari makna, korporasi mencari reputasi bersih, dan kota mencari napas. “Aku bisa bawa sponsor,” ucapnya, “brand besar butuh cerita. Cerita kalian bersih, bisa jadi unggulan ESG mereka.” Panji menatapnya lama, tahu bahwa dalam setiap janji Jaya selalu ada ticker yang berjalan.

Lalu ada Ning—Adaninggar—chef yang pernah magang di Bandung, belajar di Bangkok, dan balik untuk membuka bistro kecil di Kayoon. Tangan Ning cekatan; ia bisa merangkum pasar pagi dalam satu mangkuk yang tak banyak kata. “Aku mau kalau dapur ‘Benih’ bukan untuk konten,” katanya, “melainkan untuk mengajak orang benar-benar mengunyah: siapa menanam, siapa mengangkut, siapa memasak. Kita undang petani dari Batu dan Wajak, barista dari Tumpang, nelayan dari Gresik. Biar rasa punya alamat.”

Maya, jurnalis-PR yang dulu menulis feature panjang yang tak lagi laku dibaca cepat, duduk di sudut, merekam semuanya dalam not buku bergaris. “Kita butuh narasi yang tidak hanya viral,” katanya, “tapi berguna. Kalau orang pulang dari ‘Benih’, ia pulang membawa cara baru memandang lauknya.”

Mereka membeli hak guna atap di atas ruko tiga lantai kawasan Kertajaya—lumayan luas, satu garis horizon bisa menangkap kedua sisi kota: sisi kantor dan sisi pendopo. Sekar menggambar kebun atap dengan bedeng modular dan talang air yang memelihara diri. Di pojoknya, ia meletakkan ruang kaca kecil: perpustakaan rasa. Panji mengurus izin. Ragil memecah arus kas: pemasukan dari kelas-kelas dapur, dari katering rapat perusahaan yang bersedia makan sayur musiman, dan dari abonemen hasil panen untuk keluarga urban.

“Menanam bukan soal romantisme,” kata Panji pada tim, dalam pertemuan pertama di atap yang masih gersang. “Ini soal kebiasaan: bangun pagi, cek kelembapan, cek ketersediaan air, cek pengantar. Ini kerja, bukan lukisan.”

Seminggu, dua minggu, tiga bulan. Bibit selada tumbuh—lambat pada awalnya, lalu kuat. Pare merambat, tomat mengeruk cahaya. Ning datang setiap pagi, memotong daun bawang dengan pisau yang bengkok di ujungnya. Ia mengajar anak-anak interns: mahasiswa bisnis yang capek spreadsheet, karyawan HR yang ingin belajar memasak, fotografer pernikahan yang sedang menabung impian kedai. Mereka menulis catatan rasa: asam-manis sebiji tomat tergantung jam panen, pahit pare berubah lembut jika ditumis dengan sabar.

Ragil menegosiasikan kontrak korporasi yang ingin memesan makan siang sehat untuk rapat bulanan. “Syarat kami sederhana,” kata Ragil di ruang rapat yang dingin, “makan siang Anda menyesuaikan musim, bukan file PPT Anda.” Para eksekutif tertawa, lalu mengangguk. Mereka senang pada kesederhanaan yang tampak rapi di Instagram: mangkuk nasi merah, tumis labu, telur pindang, sambal kelapa dengan potongan jeruk limau. Maya menulis kisah tentang migrasi rasa dari desa ke kota, tentang jarak yang bisa dipendekkan oleh niat.

Sampai kemudian badai datang—bukan dari langit, melainkan dari manusia. Jaya mengirim pesan di malam hari: “Besok kita presentasi di Jakarta. Sponsor A sudah hampir tanda tangan. Kalian ikut.” Presentasi berlangsung seperti adegan film: lift yang menguap pelan, karpet hangat, layar selebar dinding. Jaya bercerita tentang “Benih” dengan grill perfect, seolah-olah ia sedang menyajikan steak. Ia menjelaskan dampak, angka, jangkauan. Lalu pada slide terakhir, logo sponsor bersanding terlalu dekat dengan “Benih”, tanpa jarak, tanpa bates.

Seusai presentasi, di kafe yang menyajikan kopi dengan nama-nama hutan, Panji menatap Jaya. “Kita menanam agar orang ingat proses, bukan hanya nama,” katanya. Jaya meletakkan cangkir. “Dengar, Ji. Dunia butuh kompromi. Tanpa dana, kalian hanya komunitas hobi. Dengan dana, kalian bisa memperluas manfaat—kualitas hidup, lapangan kerja, edukasi.” Jari-jarinya mengetuk meja, ritme seperti jam. “Jangan romantis. Benih yang tidak ditanam di skala besar akan kalah oleh pasar.”

Malam itu, di apartemen yang sepi, Panji tidak mampu tidur. Ia teringat wajah petani dari Wajak yang datang dua minggu lalu, menawarkan kol bunga kecil-kecil dengan daun berlubang. “Maaf, Mas, dimakan ulat, tapi rasanya manis,” katanya malu. Ning memasak kol itu dengan sedikit garam, lalu semua diam menikmati. Nikmat adalah kata yang pelan dan jujur. Apakah nikmat harus selalu berkawan dengan besar?

Keesokan harinya, hujan besar turun. Talang yang baru dipasang Sekar belum diuji badai—air melimpah, sebagian masuk ke ruang kaca perpustakaan rasa. Buku-buku basah. Bibit-bibit hanyut. Di tengah kekacauan, satu kabar lagi datang: salah satu vendor logistik dingin terlambat, ikan segar untuk kelas masak hari itu tak datang. Orang-orang sudah di jalan, membayar. Telepon berdenging. Maya menarik napas. “Kita bisa batalkan dan kembalikan uang,” katanya. Ning menatap bedeng basah, lalu menatap wajah-wajah interns yang panik. “Tidak,” katanya pelan. “Kita masak yang ada.”

Tengah hari, kelas yang rencananya memasak sup ikan bertransformasi jadi kelas sayur hujan: tumis pare dengan telur, sup tomat asam pedas, dan perkedel jagung yang disukai anak-anak. Mereka menceritakan dari mana bahan-bahan itu datang, siapa yang memetik, mengapa hari ini menu berubah. Di akhir kelas, seorang perempuan eksekutif yang tadi tampak risi, menatap piringnya dan tersenyum kecil. “Saya lupa rasanya makan pare yang dimasak pelan,” katanya. “Saya lupa rasanya menunggu.”

Panji mencatat hari itu dengan tenang. Ia mengerti sesuatu: skala yang sebenarnya adalah skala kemampuan merawat janji. Uang menambah kapasitas, tetapi juga menambah beban. “Benih” harus tumbuh secepat ritme para penanamnya. Ia menulis pesan ke Jaya: “Kita lanjut tanpa sponsor A. Kalau ada sponsor yang mau hadir sebagai murid, bukan bos, kami terbuka.” Jeda. Titik tiga. Lama. Lalu balasan singkat: “Oke. Good luck.”

Beberapa minggu kemudian, Maya mengenalkan Panji pada sosok lain: Kencana, pegiat edukasi yang membangun platform kelas luar jaringan untuk para profesional: kursus akuntansi bagi pedagang pasar, literasi investasi bagi perawat, bahasa Inggris untuk satpam kantor. “Aku ingin ‘Benih’ jadi studi kasus hidup,” kata Kencana. “Anak-anak kelas menengah atas belajar memasak dan menghitung cuaca. Ibu-ibu UMKM belajar pricing dari sayuran. Anak-anak magang belajar menulis dari rasa.”

Mereka mendesain modul yang unik: “Kalkulus Pare”—tentang menghitung waktu pahit; “Ekonomi Tomat”—tentang inflasi musiman; “Psikologi Sambal”—tentang ambang pedas tiap orang; “Etika Nasi”—tentang porsi, sisa, dan rasa bersalah. Kelas-kelas cepat penuh. Orang-orang datang bukan untuk konten, tetapi untuk pengalaman. Mereka membawa serta anak-anak: satu keluarga banker yang memilih berhenti dari brunch hotel untuk memasak bersama; sepasang arsitek yang lama tinggal di luar negeri ingin mengerti kembali bahasa pasar; seorang barista yang bercita-cita membuka kios di kampung halamannya.

Pada suatu sore, Panji menerima undangan berbicara di sebuah universitas. Aula besar, lampu putih. Di slide pertama, ia menulis satu kalimat: “Makan adalah cara kita memutuskan masa depan.” Ia bercerita tentang “Benih”, tentang kota yang terlalu cepat makan di antara rapat dan antrean tol, tentang petani yang kehilangan anak karena pendidikan mahal, tentang pegawai yang kehilangan rasa karena menit-menit dihargai lebih daripada kunyahan. Ia menunjukkan foto-foto: tangan Ning memotong daun bawang; Sekar menyusun talang; Ragil menyodorkan kontrak dengan catatan kecil di pojoknya; Maya di pojok perpustakaan rasa menjemur buku.

Di sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya, “Bagaimana dengan kami yang belum punya modal? Bagaimana memulai?” Panji diam sejenak. “Mulailah dari menghormati,” jawabnya. “Hormati waktu orang lain—datang tepat waktu. Hormati makanan—ambil secukupnya, habiskan. Hormati kerja—bayar sesuai nilai. Itu benih paling murah sekaligus paling mahal.”

Pelan-pelan, “Benih” tumbuh. Bukan viral—lebih mirip gumuk pasir: bergerak perlahan, tetapi istiqamah. Mereka menambah bedeng, memperbaiki talang. Ning mengundang seorang nelayan muda dari Gresik untuk bercerita tentang arus. Maya menerbitkan buletin bulanan berjudul “Langkah-langkah Kecil Rasa”. Sekar memandu tur arsitektur mikro: bagaimana menempatkan kipas, di mana menaruh rak piring agar air kembali ke tanah, bukan ke got. Ragil membangun semacam dana talangan untuk pemasok kecil agar tidak tercekik menunggu pembayaran korporasi.

Jaya? Ia sempat menghilang. Lalu suatu malam, Panji melihatnya berdiri di tepi kebun atap, memandangi kota yang memantulkan bintang seperti kaca yang lupa gelap. “Aku datang sebagai murid,” katanya pelan. “Bolehkah?” Panji menatapnya, mengukur kejujuran di jeda antara napas. “Ambil apron,” jawabnya, “malam ini kita panen tomat.”

.

Suatu pagi, kabar tidak baik datang dari Batu: lahan mitra “Benih” dibeli pengembang. Petani itu, Pak Sastro, datang dengan mata yang seperti kaca terlalu lama direbus. “Maaf, Mas,” suaranya patah. “Kami diminta pindah. Kami capek menggugat.” Hening menutupi ruang. Sekar menatap peta. Ragil menghitung-hitung. Ning meremas apron. Panji menegakkan badan. “Kita tidak bisa menyelamatkan semua lahan,” katanya, “tapi kita bisa menyelamatkan cara.”

Mereka menawarkan Pak Sastro peran baru: guru bertani di atap kota. Ia mengajar para interns mengenali tanah lewat bau; membedakan daun sehat dan daun yang berpura-pura sehat; menghargai gerimis sebagai perayaan, bukan gangguan. Kelas penuh. Anak-anak muda yang biasa menatap layar belajar menatap daun. Mereka mendengar kata-kata yang jarang muncul di training korporat: liat, gembur, remah, ambang centang-perenang. Di akhir kelas, Pak Sastro duduk di tepi bedeng, memandangi Surabaya yang bersuara halus. “Ternyata kota juga punya angin,” katanya pelan. “Hanya saja terlalu banyak tembok.”

Sore itu, Panji menulis catatan untuk tim: “Kita tidak kalah ketika lahan diambil; kita kalah ketika cara hilang. Benih bukan alamat; benih adalah kebiasaan yang diwariskan.”

.

Puncak tahun pertama “Benih” diperingati tanpa panggung. Mereka menggelar meja panjang di atap, menyalakan lampu bohlam kecil-kecil, mengundang dua puluh orang: pemasok, murid, tetangga ruko, kurir paket yang sering mampir, juga anak-anak interns yang sebentar lagi kembali ke rutinitas awal. Menu malam itu sederhana: nasi uduk dengan daun pandan, ayam panggang rempah kampung, lalap seada-daun, sambal tomat yang pedasnya diukur dari cerita minggu itu. Mayo menyiapkan daftar putar lagu-lagu yang tidak berisik. Di tengah makan, Jaya berdiri. “Izinkan aku membacakan sesuatu,” katanya, “bukan pitch.” Ia mengambil selembar kertas.

“Benih tidak berteriak,” ia membaca, suaranya lebih kecil dari biasanya. “Ia disimpan dalam genggam, diberi air, diberi waktu. Ia tidak gemerlap; ia menunggu. Karena menunggu adalah kerja, bukan jeda. Karena menunggu adalah percaya bahwa yang kecil bisa menjadi besar tanpa lupa rasa kecilnya.”

Hening jatuh di atas meja, seperti embun. Ning menunduk, Sekar mengusap matanya sebentar, Ragil menatap lampu-lampu. Panji tersenyum tipis. Ia tahu, malam itu, “Benih” bukan lagi idenya, bukan lagi namanya. “Benih” menjadi bahasa. Bahasa yang bisa dipakai siapa pun untuk menyebut cara hidup yang lebih pelan, lebih peduli, lebih adil.

Setelah tamu pulang, Panji berdiri di tepi atap. Kota di bawahnya tetap riuh—sirene sesekali, motor yang berkabut knalpot, suara manusia yang tak pernah tidur. Ia membuka ponsel, mengetik pesan pendek untuk dirinya sendiri: “Tugas kita bukan menaklukkan kota, tetapi menanam cara kota menatap dirinya.” Ia menutup ponsel, menatap tomat-tomat yang besok akan dipetik anak-anak magang untuk kelas “Ekonomi Tomat”. Hatinya lega. Hujan mungkin datang lagi. Angin mungkin mengacak lagi. Sponsor mungkin mengetuk lagi. Namun benih sudah ditanam—di tanah, di pikiran, di kebiasaan.

.

Di hari Minggu, Panji pulang ke rumah orang tuanya di pinggir kota, tempat pohon mangga masih tahu bahwa musim tidak bisa dipaksa. Ibunya bertanya—seperti ibu yang selalu bertanya—apakah hidupnya cukup. “Cukup,” jawab Panji, “lebih dari cukup.” Mereka makan sayur lodeh labu siam dan ikan pindang. Ayahnya yang jarang bicara menatapnya sesaat. “Dalam setiap nasi,” katanya, “ada ribuan tangan yang tidak kau lihat. Jangan lupa mengucapkan terima kasih tanpa suara.” Panji mengangguk, memasukkan kalimat itu ke dalam lembar “Langkah-langkah Kecil Rasa” edisi berikutnya.

Ketika ia kembali ke apartemennya malam itu, jendela kembali basah oleh gerimis tipis. Cahaya kota berpendar seperti doa yang malu. Panji menulis ulang kalimat di awal buku catatannya:

“Benih yang baik tak memilih tanah; ia memilih tekad orang yang menanamnya.”

Dan ia tahu, besok pagi, seperti biasa, ia akan bangun, mengecek kelembapan, menimbang panen, menyusun menu. Ia akan menolak beberapa ajakan mudah, menerima beberapa kesulitan yang jujur, dan berjalan pelan ke atap dengan segelas air. Karena kadang-kadang, cara paling radikal untuk mengubah kota adalah menyiram satu pohon pada pukul enam pagi—setia, tanpa saksama sorak-sorai.

.

.

.

Jember, 30 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #Benih #KotaDanRasa #EdukasiRasa #KelasMenengah #GastronomiSosial #ArsitekturMikro #ModalKesabaran #DapurBelajar #KebunAtap

.

Quotes bagian cerita

  • “Kesabaran adalah mata uang yang nilainya naik dalam jangka panjang.”

  • “Ambil secukupnya, habiskan dengan hormat, dan ucapkan terima kasih yang tidak perlu terdengar.”

  • “Kita tidak kalah ketika lahan diambil; kita kalah ketika cara hilang.”

  • “Menunggu adalah kerja; menunggu adalah percaya pada yang tumbuh pelan.”

 

Leave a Reply