Bahasa Kupu-Kupu di Meja Wawancara

“Jangan bicara bahasa kupu-kupu kepada orang yang masih belajar jadi kupu-kupu. Tugas kita bukan menghakimi, melainkan menemani prosesnya.”
— catatan kecil di sudut meja rekrutmen

“Hidup bukan panggung untuk memamerkan sayap, melainkan beranda untuk menumbuhkan kepompong.”
— catatan kedua, ditulis beberapa bulan kemudian

.

Malam di Surabaya selalu punya cara untuk menenangkan ambisi. Lampu-lampu toko di sepanjang Tunjungan berkedip seperti kelopak mata yang malas, memantul di kaca-kaca gedung yang dingin. Derum kendaraan listrik membelah udara yang masih menyisakan bau soto babat dari arah Wonokromo. Dari lobi hotel tempat Jayen bekerja, seluruh kota tampak seperti jalinan kabel yang disusun oleh tangan-tangan yang juga letih mengejar target, tender, tender lagi, dan sebuah rencana lain yang akan dicicil besok pagi.

Hotel itu bukan bintang lima, tetapi punya ambisi bintang yang lain: hati para tamu. Arsitekturnya modern-minimalis dengan pohon-pohon kamboja ditanam rapi di halaman. Di balik resepsionis, dinding semen ekspos menyembunyikan jaringan kerja tak terlihat—pertemuan staf, shift yang bertumpuk, pengajuan cuti yang ditolak, senyum yang diajarkan dengan pelan lewat role play, dan air mata yang disimpan di toilet karyawan pada jam-jam yang sepi.

Jayen, manajer People & Culture, menata kursi-kursi untuk sesi wawancara esok hari. Telapak tangannya menempel di permukaan meja kayu, dingin dan licin, mengingatkan pada pitutur simbah, “Ojo dumeh.” Jangan merasa lebih. Ia mengulang itu seperti doa. Setiap kali ia duduk berhadapan dengan seseorang yang meminta kesempatan, ia mengingatkan diri bahwa hidup tidak menilai lewat gelar, melainkan lewat kelapangan dada saat terdesak.

Ia berhenti sejenak di depan papan tulis kecil. Di sana tertempel kertas Post-it dengan tulisan tangan yang ia buat beberapa bulan lalu: “Jangan bicara bahasa kupu-kupu kepada orang yang masih belajar jadi kupu-kupu.” Ia tersenyum. Kalimat itu muncul setelah sesi coaching yang membuatnya mengerti mengapa standar perusahaan sering gagal membumi: kita mewajibkan orang melompat sebelum mereka tahu cara berdiri.

.

Pagi turun pelan bersama gerimis. Trotoar licin, ojek online mengentak-entakkan jas hujan mereka seperti sayap kelelawar. Di depan pintu kaca, seorang perempuan muda berdiri, napasnya mengembun: Muning, nama yang mengusung aroma kampung halaman. Blazer krem yang bersih, sepatu yang solnya baru disemir, rambut dikuncir rapi. Ia datang tepat waktu dan memberi salam dengan suara yang tidak ia biarkan gemetar.

“Air mineral atau kopi?” tanya Jayen ketika mereka duduk.

“Air saja, Mas. Kalau kopi nanti deg-degannya semakin keras,” jawab Muning, mencoba bercanda.

Jayen menatap CV tipis di tangannya. D3 Perhotelan dari Jember. Magang di hotel pantai, part-time barista di kafe depan kampus. Ia belajar tidak hanya membaca huruf-huruf, melainkan jeda. Cara Muning menahan tangan di atas lututnya, senyum yang berhenti di tepi bibir, tatapan yang menunduk setiap kali menyebut kata “maaf”. Ada sesuatu dari anak ini yang membuatnya mengendurkan bahu.

“Mbak Muning,” kata Jayen, “kalau ada tamu marah karena hal yang sebenarnya kecil, apa yang Mbak lakukan?”

Muning mengangguk pelan, seolah memutar kaset ingatan. “Ibu saya selalu bilang, ‘Sepi ing pamrih, rame ing gawe.’ Diamkan dulu amarahnya, kerjaan dulu apa yang bisa.”

“Pernah salah besar?”

Muning menelan ludah. “Pernah. Salah input harga untuk kamar premium, jadi terjual harga standar. Tamu senang, revenue marah. Saya diminta jelaskan. Saya nangis habis itu. Terus belajar pelan-pelan.”

Jayen menyimpan senyum. “Di sini, kita tidak mencari orang yang tidak pernah salah, tapi orang yang cepat belajar dari salahnya.”

Muning menarik napas, menatap lurus. “Saya ingin membuat orang yang datang pulang dengan hati lebih ringan. Kalau bisa bahagia, ya bahagia.”

Di kaca belakang Muning, Surabaya bergerak seperti arus. Jayen merasa, di meja kecil itu, ia sedang menjaga pintu kecil menuju kemungkinan.

“Kesempatan tidak selalu datang dengan pakaian pesta. Kadang ia datang dengan kemeja sederhana yang digosok tengah malam.”
— catatan di buku wawancara

.

Simulasi pagi di restoran sarapan. Jendela besar menghadap pohon asam tua. Di meja pojok, seorang tamu berbisik keras kepada istrinya tentang omelet yang terlalu asin. Seorang anak kecil mengetuk gelas dengan sendok, membuat irama yang tidak disukai semua orang dewasa.

Muning berdiri di depan, senyumnya belum melebar tapi matanya hangat. “Selamat pagi, Pak. Omeletnya saya ganti ya?” suaranya lincah namun tidak tergopoh.

“Bukan kamu. Suruh chef-nya belajar lagi,” kata sang tamu, sorot mata menghunus.

“Baik, Pak. Untuk Bapak lebih suka setengah matang atau matang penuh?” tanya Muning, tetap berdiri di wilayah tenangnya. Ia menoleh sebentar ke stasiun egg corner, memberi kode yang tidak menyinggung.

Setelah itu, ia menunduk cepat, “Mohon maaf untuk ketidaknyamanannya, Pak. Saya antarkan langsung.”

Maya—trainer senior—mengamati dari dekat. “Kamu bagus,” bisiknya saat Muning lewat. “Ingat, andhap asor. Tugas kita bukan menunduk, tapi menenangkan.”

Di ruang kontrol, Jayen mencatat: “Menggeser nada menjadi nada yang bisa dinyanyikan bersama.” Ia suka sekali melihat orang yang baru mampu menemukan pijakannya di tengah kericuhan kecil bernama pelayanan.

.

Ruang rapat sore itu berbau kopi yang kental. Di layar, grafik occupancy bergerigi—naik turun seperti jantung orang yang sedang jatuh cinta pada angka. Evaluasi kandidat hari ini pada dasarnya positif, tetapi seseorang dari meja ujung bersandar, menyilangkan tangan.

Kelas, keponakan pemilik hotel, mengetuk pena. “Untuk posisi front-liner, kita butuh look yang international, bahasa Inggris advanced. Jangan yang kuliahnya seadanya. Brand kita harus naik.”

“Brand naik kalau tamu pulang dengan cerita baik,” sahut Maya.

Jayen menatap Kelas tanpa memusuhi. “Bahasa dan grooming bisa dilatih. Yang paling susah itu hati.”

Kelas mengangkat alis, seperti menyaksikan pertarungan yang tidak ia pilih. “Tamu kita kelas atas, Mas Jayen. Mereka menuntut standar.”

“Standar itu baik,” Jayen menautkan jari-jarinya, “tetapi standar tanpa hati cuma jadi pagar tinggi yang kita banggakan saat orang tidak masuk.”

Percakapan mengalun, argumentasi berbalas, dan di ujung garis yang rapuh itu, mereka memilih menambahkan satu kursi baru di tim—untuk Muning. Keputusan itu bukan kemenangan siapa-siapa, melainkan taruhan pada seseorang yang mau belajar.

“Jangan menilai kupu-kupu dari sayapnya hari ini; lihat arah angin yang ia pelajari.”
— catatan seusai rapat

.

Hari-hari berikutnya adalah untaian kecil yang tidak pernah masuk berita: Muning memulai shift pagi dengan menyeka meja resepsionis sampai benar-benar bebas jejak jari, berdiri menyapa dengan suara yang diselaraskan ulang, belajar menakar volume tawa yang pas untuk tamu Jepang, Inggris, dan pasangan muda Surabaya yang sedang bulan madu telat. Di belakang, ia menuliskan frasa-frasa yang ia ciptakan sendiri untuk menenangkan: “Bapak tidak sendirian. Saya ada di sini membantu.” “Izinkan saya perbaiki.” “Terima kasih sudah memberi tahu.”

Ada malam ketika ia pulang ke kos dan menangis, menghitung ulang kiriman yang ia janjikan untuk rumah. Kamar kos kecilnya di Dukuh Kupang selalu terlihat setia menemani payah. Tetapi tiap pagi ia berdiri lagi. Ia menanam pengalamannya satu demi satu, seperti menanam cabai di pot bekas cat: tidak glamor, tapi tumbuh.

Jayen mengamati, tidak terlalu dekat agar tidak mengekang, tidak terlalu jauh agar tidak meninggalkan. Ia menulis satu prinsip di buku catatannya: “Kepemimpinan bukan soal berdiri di depan, melainkan menyediakan panggung bagi orang lain untuk maju.” Ia meminjam banyak dari kepercayaannya pada pitutur: wani ngalah luhur wekasane—berani mengalah demi kebaikan yang lebih luas.

.

Krisis datang seperti kebiasaan: malam Sabtu, restoran penuh oleh pesta ulang tahun anak pebisnis lokal. Balon-balon helium mengambang di langit-langit seperti bulan-bulan kecil. Lampu-lampu kristal memperbanyak wajah-wajah. Musik akustik memulas udara dengan nostalgia 90-an. Lalu listrik padam.

Sejenak, semua orang berdiri dalam gelap. Teriakan kecil. Anak laki-laki yang berulang tahun mulai menangis. Genset, entah kenapa, terlambat menyala. Dalam hitungan detik yang memanjang, percakapan, tekanan, reputasi, semua berkumpul dalam satu ruang bernama darurat.

Jayen naik ke panggung kecil, meraba microfon yang percuma. “Teman-teman,” suaranya mengapung tanpa pengeras, “ada permainan lilin.” Ia meminta staf membagikan lilin-lilin kecil. Anak-anak diajak meniup bersama-sama: satu, dua, tiga. Dalam gelap, wajah-wajah berubah jadi sudut yang lembut.

Muning bergerak cepat, memperagakan peta yang baru ia pelajari kemarin. Ia membagi finger food yang tak perlu pemanas, merapikan jalur di antara kursi, menyanyikan lagu untuk bayi yang menangis, menerjemahkan kegugupan pada dua tamu asing dengan bahasa Inggris yang sederhana namun bertulang: “We are here with you. Five minutes. It will be fine.” Lima menit kemudian, genset menyala. Lampu-lampu kembali—bukan sekadar cahaya, melainkan juga napas yang dilepas bersama-sama.

Di service area yang samar, Jayen menemuinya. “Bagus,” katanya pendek.

Muning menghapus keringat di pelipis. “Saya cuma ingat kata Ibu: memayu hayuning bawana. Menyelaraskan, bukan menaklukkan.”

Kata-kata itu mendarat seperti air di tanah yang kering. Jayen, yang sering membaca buku teori perilaku, menemukan kalimat yang lebih membumi dari apapun yang pernah ia hafal. Ia menulis di catatannya malam itu: “Ketahanan bukan dari slogan, tetapi dari rutinitas kecil yang disirami makna.”

.

Waktu berlalu seperti pita berjalan: cek-in, komplain, breakfast, housekeeping, audit. Tiga bulan probation berakhir. Muning lulus. Ia mencetuskan program “Warm Welcome”—pada Jumat sore, setiap tamu yang datang disambut dengan teh rosella dingin dalam gelas kecil dan senyum yang tidak dihafalih. Karyawan yang sedang break bergantian menyapa. Ia juga membuat buku frasa yang ia tempel di pantry—untuk rekan-rekannya yang demam panggung saat berhadapan dengan kata.

Yang menyenangkan dari perubahan bukanlah hasil, melainkan cerita di baliknya. Kelas, yang dulu skeptis, datang ke Jayen, berdeham, lalu merendahkan suara, “Banyak tamu cerita, Mas. Hotel ini kecil, tapi orang-orangnya besar hati.” Jayen hanya mengangguk, menyimpan rasa puas yang tidak perlu diumumkan.

“Kadang ‘ojo dumeh’ juga berarti jangan merendahkan dirimu terlalu rendah,” kata Jayen pada Muning suatu siang. “Kamu pantas. Bukan karena sempurna, tapi karena mau belajar.”

“Kepantasan datang kepada yang bekerja pelan-pelan, bukan kepada yang berteriak paling keras.”
— catatan di ruang pelatihan

.

Perluasan sayap hotel menuntut rekrutmen baru. Jayen menyiapkan modul. Ia menambahkan bagian yang ia sebut “bias awareness”—kesadaran bahwa mata kita punya kacamata yang tak selalu kita sadari. Ia menempatkan tiga kata di halaman depan: ojo dumeh, wani ngalah, andhap asor. Lalu ia menyelipkan satu petuah lain: rumangsa cukup—merasa cukup, agar rakus tidak memakai dasi.

Di meja wawancara, seseorang bernama Umar datang dengan kemeja biru tua yang diseterika asal-asalan. Ia bercerita tentang banjir yang menutup jalan kampungnya tahun lalu, tentang bagaimana ia, yang baru belajar mengendarai perahu karet, bolak-balik mengantar tetangga lansia ke posko. Ceritanya tidak dibuat-buat. Tangan-tangannya bercerita lebih banyak daripada bibir.

Maya menatap Jayen, Jayen menatap Kelas. Tidak ada debat kali ini. Umar diterima. Ia duduk di kursi yang kemarin kosong. Di luar, gerimis mulai turun. Citylight memantulkan kabut tipis, seperti latar film yang sengaja dibuat melankolis.

Muning sekarang menjadi Guest Experience Officer. Posisinya masih muda, tapi suaranya mulai ditimbang. Setelah sesi wawancara, ia berkata pelan, “Banyak orang hanya butuh didengar lima menit lebih lama.” Jayen mengangguk. Kadang kebijakan besar diringkas oleh kalimat yang lahir dari lantai kerja.

“Mendengar adalah pekerjaan yang terlihat murah, tetapi ongkosnya adalah kesabaran yang panjang.”
— catatan di binder SOP

.

Di antara hari-hari yang berulang, hidup juga menaruh cobaan di sela yang sempit. Suatu pagi, ulasan bintang satu mendarat di Google Review, panjang dan menyengat: wifi putus-putus, karpet di koridor berbau, menu sarapan dingin. Manajemen panik kecil. Grup WhatsApp meledak. Kelas mengetik kalimat-kalimat yang memantul seperti peluru.

Jayen mengajak semua bernapas. “Kita tidak sedang diadili. Kita sedang diajak belajar.”

Ia mengundang penulis ulasan itu untuk berbincang di lobi. Duduk di sofanya yang empuk tapi tidak membuat jarak. Muning menyiapkan teh hangat, menyisihkan gulanya di piring kecil terpisah.

“Apa yang paling mengganggu, Pak?” tanya Jayen.

“Merasa tidak didengar,” jawabnya. “Saya sudah sampaikan ke staf malam, tapi besoknya tidak ada perbaikan.”

Jayen menatap Muning, tidak menyalahkan. “Terima kasih sudah jujur, Pak. Kami akan memperbaiki. Mulai hari ini WiFi kita kasih fallback kartu data untuk area tertentu. Untuk sarapan, kami ubah piket pemanas. Dan saya janji, kritik Bapak akan kami baca keras-keras di rapat staf.”

Tiga hari kemudian, orang yang sama memberi bintang empat—tidak dibayar, tidak diiming-imingi. Hanya diberi kesempatan jadi bagian dari solusi.

“Jangan buru-buru membela diri, sebab kadang dunia hanya ingin didengar.”
— catatan di sudut layar monitor FO

.

Sementara itu, di ruang yang lebih pribadi, hidup Jayen melaju dengan ritme yang menuntut: ibunya yang menua di Sidoarjo, adiknya yang mengirim kabar hamil, suami yang pekerjaannya tak lagi memberi jeda. Mereka tinggal di apartemen kecil di atas mal, dengan balkon sempit yang cukup untuk dua pot lidah mertua dan satu kursi lipat. Pada dini hari yang lengang, Jayen sering duduk memandangi kota yang tidak pernah benar-benar tidur.

Di situ, ia mengakui kepada dirinya sendiri: kadang ia lelah menjadi “yang kuat”. Lelah menjadi “yang tahu”. Lelah memikul kata “budaya” di nama jabatannya, seolah-olah ia sedang menanggung adat istiadat seluruh generasi. Tetapi setiap kali hendak runtuh, ia ingat wajah-wajah itu: Muning yang mengulang “memayu hayuning bawana,” Umar yang belajar menyapa tanpa menyengajakan senyum, Maya yang selalu membawa tisu di saku blazer untuk siapa pun yang perlu. Dan Kelas, yang pelan-pelan belajar menukar kesombongan menjadi rasa ingin mengerti. Dunia ternyata bisa maju pelan-pelan.

Malam itu, sebelum tidur, Jayen menulis lagi di Post-it: “Jangan lupa belajar bahasa ulat, supaya bisa menuntun tanpa menggurui.” Ia menempelkan tepat di bawah kutipan yang lama. Ia tahu, besok kutipan itu akan menatapnya balik, menanyai: kamu sendiri melakukannya, atau cuma mengajarkannya?

.

Tahun menua di atas kalender. Hotel menggelar “Appreciation Night”—acara kecil untuk yang bertahan dan yang berlari. Restoran dipenuhi bunga putih, musik instrumentalia mengisi udara. Jayen berdiri di panggung, microfon di tangan kanan, catatan di tangan kiri. Ia menatap rekan-rekannya, orang-orang yang namanya mungkin tidak akan tampil di laman korporat, tetapi bahu merekalah yang menahan beban perusahaan pada malam-malam genset terlambat menyala.

“Urip iku urup,” katanya, mengutip pitutur lain. “Hidup adalah menyalakan. Tahun ini, kita menyalakan banyak hal: keberanian mengatakan maaf, kebiasaan mendengar tanpa menyela, dan lampu ketika genset akhirnya menyala tepat waktu. Kita semua sedang belajar menjadi kupu-kupu.”

Tepuk tangan tidak serempak. Ada yang tertawa kecil. Ada yang memalingkan wajah, menyeka sudut mata. Muning berdiri di belakang ruangan, menunduk. Ada sesuatu yang patah kemudian tumbuh lagi. Ia tidak tahu kapan persisnya. Mungkin ketika seorang tamu memanggil namanya dengan cara yang benar. Mungkin ketika ia berhenti berusaha jadi seseorang yang “internasional look” dan mulai menjadi dirinya sendiri: pekerja hotel yang mengerti orang.

Kelas mendekat setelah acara. “Mas Jayen,” ia menyodorkan tangan, kikuk. “Terima kasih sudah… mengingatkan. Saya banyak belajar tahun ini.” Jayen menangkup tangannya. “Kita semua belajar,” jawabnya.

“Kita bukan karya jadi. Kita proses yang menyeberangi hari.”
— catatan yang dibacakan di panggung

.

Satu pagi, perempuan paruh baya datang ke lobi. Wajahnya asing, ekspresinya seperti orang yang menunggu kabar baik dari gawai yang tidak pernah berdering. Ia meminta bertemu Jayen. Di ruang kecil berpendingin yang terlalu dingin, perempuan itu memperkenalkan diri sebagai ibu dari seorang pelamar yang tidak lolos bulan lalu.

“Saya bukan mau memohon, Mas,” katanya, menundukkan kepala, “saya cuma mau bertanya: apa yang harus anak saya perbaiki?”

Pertanyaan sederhana, tajam seperti jarum. Jayen mengambil waktu. Ia memanggil data, memanggil memori, memanggil empati. Ia jelaskan: kurang konsisten kontak mata, kurang jelas dalam menyebut pengalaman, perlu latihan mengelola gugup. Lalu ia memberikan tautan ke kelas daring gratis yang pernah ia catat, menyarankan skenario tanya-jawab yang bisa dipraktikkan.

Perempuan itu mengangguk-angguk, menahan senyum. “Terima kasih, Mas. Di rumah, kami tidak punya orang yang bisa mengarahkan. Matur nuwun sanget.”

Di ujung hari, Jayen kembali ke Post-it. Ia menuliskan yang ketiga: “Jangan menutup pintu dengan alasan ‘standar’, jika yang orang butuhkan sebenarnya peta.”

.

Di luar, kota tetap gemuruh. Proyek jalan layang baru, promo apartemen baru, setengah marah setengah pasrah menghadapi musim penghujan. Di dalam hotel, para karyawan memantulkan dunia: ada yang bergembira karena cicilan motor lunas, ada yang pusing karena biaya sekolah naik, ada yang menahan cerita karena takut dibilang cengeng.

Muning menapaki kariernya seperti orang belajar meniti tali. Ia salah ketika terburu-buru. Ia benar ketika berhenti untuk mendengarkan. Malam-malamnya tidak lebih tenang, tetapi paginya lebih bermakna. Ia kini punya kebiasaan kecil: sebelum mulai shift, ia menutup mata sejenak dan berdoa singkat, “Jadikan saya cermin yang memantulkan keteduhan.”

Ia menulis di buku kecilnya: “Jika bahasa tamu adalah keluh, jawablah dengan bahasa tenang; jika bahasa rekan kerja adalah lelah, jawablah dengan bahasa ringan; jika bahasa atasan adalah target, jawablah dengan bahasa solusi.” Buku itu kemudian ia fotokopi, ditempel di pantry. Di bawahnya, ia menambahkan satu kalimat: “Kita tidak harus jadi kupu-kupu untuk mengerti bahasa kepompong.”

.

Suatu siang, seorang tamu asing datang dengan raut sengkarut. Penerbangan lanjutan dibatalkan, koper tertukar, dan ponselnya kehabisan baterai. Ia masuk ke lobi seperti badai kecil yang membawa sisa-sisa hujan. “I need a room now. I don’t care,” katanya terengah.

Muning mengambil alih resepsionis dari rekan barunya yang panik. “Sir, we got you,” ucapnya. Ia menggeser power bank dari laci, menaruh di meja. “Charge first. Take a seat. I will check the room and the rate for today. We will solve one by one.” Sederhana, tapi bertulang. Tamu itu duduk. Napasnya mengendur. Sepuluh menit kemudian, kamar tersedia, pengantaran ke toko travel adaptor di sebelah hotel diatur, dan kira-kira setengah jam setelahnya, orang itu mengirim catatan kecil ke manajer: “Not a five-star building, but a five-heart team.”

Jayen membaca catatan itu malamnya, mengirimnya ke grup besar dengan satu kalimat: “Lanjutkan bahasamu.”

“Bangunan bisa diukur dengan meteran, tetapi hati diukur dengan cara kita merawat yang letih.”
— catatan yang ditempel di pintu belakang staf

.

Pada akhirnya, cerita tidak selesai di panggung, tidak pula berhenti pada perayaan. Hidup terus melaju, menyodorkan pagi-pagi baru dengan daftar tugas yang tak pernah menipis. Tetapi ada jejak-jejak kecil yang membuat manusia bertahan: cara seseorang mengucapkan namamu dengan tepat, cara orang lain meninggalkan ego di luar pintu rapat, cara sebuah Post-it bisa mengubah kultur jika diberi kesempatan.

Malam itu, setelah mematikan lampu satu per satu, Jayen kembali ke mejanya. Di sana, tiga Post-it berdampingan:

  1. “Jangan bicara bahasa kupu-kupu kepada orang yang masih belajar jadi kupu-kupu.”

  2. “Jangan lupa belajar bahasa ulat, supaya bisa menuntun tanpa menggurui.”

  3. “Jangan menutup pintu dengan alasan ‘standar’, jika yang orang butuhkan sebenarnya peta.”

Ia memandangi ketiganya lama, lalu menambahkan satu lagi, ditempel agak miring seperti sayap yang belum kering:
“Bahasa yang paling mahal adalah bahasa yang membuat orang merasa cukup.”

Di luar, Surabaya masih berkedip-kedip. Di dalam, ada meja wawancara yang menunggu. Di kursi-kursi kosong itu, kemungkinan selalu duduk duluan—menunggu seseorang menyalakan lampu.

“Kita adalah bahasa yang kita pilih untuk mengucapkan orang lain.”
— catatan terakhir malam itu

.

.

.

Jember, 11 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #SastraKota #Surabaya #Hospitality #PeopleAndCulture #Empati #PituturJawa #MenakMadura #CeritaIndonesia

Leave a Reply