Api Kecil di Bawah Beringin
“Bukan yang paling kuat yang bertahan, melainkan yang paling lentur; seperti air yang mencari celah, hati yang memilih empati, dan pikiran yang terus belajar.”
.
Malam di Surabaya turun tanpa suara, seperti seseorang yang menaruh kabar di depan pintu lalu pergi. Dari jembatan di atas Kalimas, lampu-lampu dermaga memantulkan dirinya pada air yang keruh. Jayeng—panjangnya Jayengrana, tapi di grup WhatsApp kantor semua memanggilnya Jayeng—menatap ke arah utara. Ia baru saja menerima surel singkat dari manajemen: “Restrukturisasi. Cabang barat ditutup. Tim inti dipertahankan. Lainnya… mohon pengertian.”
Kata “pengertian” menumbuk sesuatu di dada. Pengertian berarti ada yang harus dilepas. Pengertian berarti menatap bola mata kawan-kawan dan mengucapkan kalimat yang akan mengubah hidup mereka.
Jayeng mengusap wajah. “Urip iku sawang-sinawang,” suara simbahnya muncul dari ingatan—hidup adalah soal cara memandang. Tapi malam itu, seberapa pun ia mengatur sudut pandang, nasib tetap terlihat runcing.
Di ponsel, notifikasi dari Retna muncul: “Besok jadi ketemu? Aku bawa datanya.”
Retna—panjangnya Retna Dewi—seorang analis data paruh waktu yang ia kenal di sebuah lokakarya. Jayeng menatap tiga kata itu lama-lama. Data terasa dingin, objektif, sementara ia sendiri baru pulang dari rapat yang terlalu hangat oleh emosi. Namun, bukankah mereka berdua sedang membangun sesuatu: Kota Menyala—program kecil yang ingin mengajar ulang para pekerja hospitality yang dirumahkan; mengajarkan keterampilan yang sebenarnya tak tertulis di buku resep: berpikir adaptif, komunikasi yang menggerakkan, keberanian membuka percakapan tak nyaman, dan seterusnya. Dua belas keterampilan yang ia tulis dengan spidol merah pada papan tulis di ruang rapat, lalu difoto bersama orang-orang yang matanya masih menyisakan harap.
Ia mengetik balasan pada Retna: “Jadi. Ketemu di Taman Bungkul, jam delapan.”
.
Pagi di Taman Bungkul selalu riuh. Penjual rawon di sudut barat sudah mengipasi arang bahkan sebelum matahari benar-benar naik. Di bawah pohon beringin besar, Retna menunggu dengan ransel yang sepertinya menampung setengah perpustakaan kota.
“Maaf telat,” Jayeng duduk, menaruh helm di samping kaki.
“Tidak apa,” Retna tersenyum. “Kamu belum sarapan?”
“Belum.”
“Kalau begitu, sarapan dulu. Soal data bisa menunggu lima belas menit. Kalau perut lapar, pikiran malas kompromi.” Ia tertawa pendek.
Mereka memesan lontong balap dan es degan. Setelah suapan ketiga, Retna membuka laptop, menaruh di atas tikar lipat. “Aku mencoba memotret profil peserta kita. Ada enam puluh delapan orang yang mendaftar batch pertama. Empat puluh di antaranya dari hotel dan restoran menengah, sisanya dari warung-warung keluarga yang gulung tikar. Ini menarik: dua puluh tujuh dari enam puluh delapan menyebut ingin ‘belajar bicara dengan percaya diri’, bukan belajar masak. Sisanya minta ‘cara membaca data penjualan’ dan ‘cara ngomong ke pelanggan yang marah’.”
Jayeng menghela napas. “Itu sejalan dengan dugaanku. Keahlian teknis memang penting, tapi yang menyelamatkan hidup sering justru hal-hal yang tak kelihatan. Ajining diri ana ing lathi—harga diri ada pada tutur.”
Retna mengangguk. “Dan ini bagian yang mungkin bikin kamu tersenyum: hampir setengahnya lulusan SMA. Tapi mereka punya jam terbang yang panjang. Kalau kita bicara anti-fragility, mereka itu contoh berjalan; beberapa pernah di-PHK dua kali, tapi tetap cari cara bangkit.”
“Seperti getah pohon,” kata Jayeng, menatap beringin yang menaungi mereka. “Diiris—keluar getah. Dilukai—keluar kehidupan.”
Retna menatapnya, sejenak. “Kamu selalu menemukan kalimat yang membuat data terasa hangat.”
“Data tanpa cerita hanya angka,” jawab Jayeng. “Tapi cerita tanpa data mudah digoyang angin.”
.
Kota Menyala meminjam aula kecil di pinggir Sidotopo. Gedungnya bekas gudang yang disulap menjadi ruang serbaguna. Dindingnya mereka cat ulang dengan sisa cat dari proyek renovasi tetangga: satu sisi kuning kunyit, sisi lain biru pudar. Di tengah ruang, papan tulis putih bertumpu pada kaki-kaki besi yang sedikit miring. Di papan itulah Jayeng menuliskan dua belas kata: Adaptif, Emosi, Empati, Kritis, Komunikasi, Waktu, Berani Bicara, Anti-Rapuh, Data, Kolaborasi, Belajar Terus, Inovasi.
“Kenapa dua belas?” tanya Kelas—panjangnya Kelaswara—seorang barista yang kehilangan pekerjaan ketika kafenya berubah menjadi toko suvenir daring.
“Karena setahun punya dua belas bulan,” jawab Jayeng. “Bayangkan setiap bulan kita punya satu kebiasaan baru. Dalam setahun, hidupmu tidak lagi sama.”
Mereka tertawa, tetapi cara menatap Kelas membuat Jayeng tahu, tawa itu bukan sekadar basa-basi.
Sesi pertama dimulai dengan courageous conversation—berani berbicara tentang yang sulit. Puspawangi—mereka biasa memanggilnya Puspa—perempuan yang dulu menjadi captain banquet, mengangkat tangan. Suaranya bergetar, tetapi matanya teguh.
“Aku ingin minta maaf,” katanya. “Pada timku dulu. Aku terlalu sibuk mengejar target, lupa mendengarkan. Ketika satu per satu mereka izin karena orang tua sakit atau anak demam, aku menilai itu alasan. Padahal mereka manusia. Aku… berharap kalau aku kembali jadi pemimpin, aku tak mengulang.”
Ruang itu menjadi hening, seperti setiap orang sedang mendengar dirinya sendiri. Jayeng merasakan sesuatu menghangat di tenggorokan. Ia berjalan mendekat, menaruh telapak tangan di dada. “Terima kasih, Puspa. Ojo dumeh—jangan merasa diri paling tinggi. Hari ini kamu memberi kita contoh kejujuran yang berani.”
Sesi berikutnya tentang time management. Retna menggambar segitiga sederhana: “Penting dan mendesak, penting tapi tidak mendesak, tidak penting.” Lalu mereka menempelkan kertas warna-warni berisi tugas sehari-hari. Kertas-kertas itu berjatuhan seperti dedaunan, dan mereka tertawa karena ternyata hal-hal “tidak penting” justru paling banyak memakan waktu.
Di dinding, Jayeng menempelkan kutipan yang ia tulis tangan:
“Yang kita kejar belum tentu berharga; yang kita rawat sering kali yang paling menyelamatkan.”
Pada akhir sesi, mereka menyusun rencana. Batch pertama akan berlangsung delapan minggu. Minggu awal diisi fondasi: adaptif, emosi, empati, komunikasi. Minggu tengah: waktu, berani bicara, nalar kritis, kolaborasi. Minggu akhir: data, belajar terus, inovasi, simulasi kerja.
“Kita juga bikin proyek nyata,” kata Retna. “Buka kios pop-up di CFD: menu sederhana, layanan penuh hati. Semua keputusan digodok dari data, tapi tetap dengan rasa. Setiap tim mempresentasikan hasilnya.”
“Nama kiosnya apa?” seru Kumala dari barisan belakang.
Retna melihat Jayeng. Jayeng tersenyum. “Warung Urup. Biar setiap piring yang diantar, setiap kata yang diucap, menyalakan sesuatu.”
.
Pada minggu ketiga, seorang investor muncul. Namanya Wira—panjangnya Wirapati—pemilik jaringan burger lokal yang sedang naik daun. Ia datang diantar seorang pejabat kecamatan, menyalami semua orang, kemudian menepuk bahu Jayeng.
“Saya dengar kalian melatih soft skills. Menarik. Saya ingin sponsor. Tapi saya juga perlu materi untuk PR: video testimoni, atribut dengan logo, dan—kalau bisa—klaim bahwa program ini satu-satunya di Indonesia.”
Jayeng menatap Retna. Retna mengangkat alis tipis. Klaim “satu-satunya” membuat perut Jayeng mengeras. Ia ingat kalimat yang sering dipakai di industri F&B—Best in Asia, Best in the World—yang kadang lebih banyak uang di baliknya daripada kualitas di dalamnya.
“Pak Wira,” Jayeng memilih kata-kata, “kami berterima kasih sekali. Dukungan Anda bisa mempercepat banyak hal. Tapi kami tidak ingin berlebihan dalam janji. Lebih baik sederhana dan bisa dibuktikan.”
Wira tertawa kecil, lalu bersandar. “Kamu idealis ya. Tapi pasar suka gemerlap.”
“Gemerlap boleh,” kata Retna, suaranya lembut namun kukuh. “Asal diterangi kejujuran.”
Wira menatap keduanya lama-lama, lalu menghela napas. “Baiklah. Saya bisa bantu tanpa klaim berlebihan. Tapi tolong, minimal ada eksposur. Biar saya tidak dimarahi tim marketing.”
“Setuju,” jawab Jayeng. “Kita buat cerita tentang proses, bukan klaim.”
Di perjalanan pulang, Retna menepuk punggung Jayeng. “Kamu tahu? Tadi itu courageous conversation. Mengatakan ‘tidak’ pada godaan manis.”
Jayeng tertawa. “Aku sedang membayangkan wajah tim marketing Wira. Semoga mereka tidak marah.”
“Kalau marah,” Retna menunjuk langit yang memerah, “kita traktir rawon. Orang marah sering hanya lapar.”
.
Minggu keempat, anak Kalimas meninggi. Hujan di selatan membawa banjir ke utara kota. Aula kecil mereka tergenang hingga mata kaki. Kumala mengeluarkan ember, Kelas membawa pel basah, Puspa memindahkan kursi-kursi. Di tengah kekacauan, Jayeng melihat sesuatu: program mereka yang kecil mendadak berubah menjadi operasi kolaborasi.
“Ini latihan yang sebenarnya,” katanya pada Retna sambil memeluk laptop agar tak basah. “Adaptif, kolaborasi, komunikasi—semua diuji.”
Retna mengangguk. “Dan anti-rapuh.”
Mereka menunda kelas, mengubah aula menjadi posko kecil. Puspa memimpin dapur darurat, memasak dari sumbangan bahan pokok. Kumala membuka daftar relawan. Kelas mendirikan meja informasi, menulis dengan spidol: “Butuh selimut? Hubungi Kelas.” Di antara mereka, ada seorang bapak bungkuk yang hilang sandal, ada anak kecil yang memeluk kucing basah, ada perempuan yang menggendong bayi sambil menangis tanpa suara. Kota, pada hari-hari seperti itu, tak lagi bicara tentang CV atau portofolio. Kota bicara tentang mengulurkan tangan.
Pada malam kedua posko, ketika air belum juga surut, Jayeng duduk di anak tangga depan. Retna datang membawa dua gelas teh panas. “Untuk direktur posko,” ia bercanda.
Jayeng menerima teh. Uapnya menghangatkan wajah. “Terima kasih.”
“Capek?”
“Capek. Tapi anehnya, hati terasa ringan.”
Mereka terdiam, menyaksikan hujan menipis menjadi gerimis. Retna membuka ponsel, memperlihatkan grafik sederhana. “Lihat, donasi masuk dua puluh empat juta dalam dua hari. Itu bukan angka besar untuk standar kota, tetapi cukup untuk stok makan seminggu. Orang-orang juga mendaftar jadi relawan. Data kadang seperti pelukan; memastikan kita tidak sendirian.”
Jayeng mengangguk. “Terima kasih, Retna. Tanpa kamu, angka-angka ini hanya angka.”
“Tanpa kamu, kata-kata kita tinggal kata-kata.”
“Kalau begitu, kita seperti dua sisi koin,” kata Jayeng. “Satu sisi data, satu sisi rasa.”
Retna tertawa. “Selama tidak jadi judi.”
Mereka tertawa bersama. Di kejauhan, suara azan Isya menjadi gantungan bagi malam.
.
Setelah banjir surut, kelas kembali berjalan. Warung Urup menjadi proyek utama. Mereka membuat menu sederhana: nasi jagung sambal teri, rawon mini, wedang secang. Setiap menu diberi cerita pendek—asal-usul bumbu, memori masa kecil, pesan kecil tentang hidup. Kelas menempel papan kecil di depan kios: “Kami melayani pelan, tetapi dengan hati.”
Pada hari pertama Car Free Day, kios mereka tak henti diserbu. Orang-orang datang, bukan hanya lapar, tetapi juga ingin membaca cerita-cerita kecil di setiap mangkuk. Puspa memimpin antrian dengan tutur yang halus. Kumala mencatat pesanan dengan rapi, sementara Retna berdiri di ujung, mensurvei pelanggan: “Apa yang membuat Anda datang? Rasa, harga, cerita, atau kebetulan?” Jayeng berkeliling, sesekali membetulkan garis antrian, sesekali menenangkan anak kecil yang rewel.
Ketika matahari naik, datanglah Wira. Ia berdiri di depan kios, tersenyum. “Kalian membuat PR jadi mudah,” katanya, mengangkat ponsel untuk memotret. “Boleh saya pesan rawon mini?”
“Boleh,” jawab Jayeng. “Tapi antre di kiri.”
Wira tertawa, lalu berpindah ke kiri, mengikuti aturan yang dibuat anak-anak baru itu. Sore harinya, Wira mengunggah video singkat: Warung Urup—cerita, rasa, dan harapan. Video itu viral kecil-kecilan; tidak heboh, tetapi cukup untuk membuat orang-orang datang kembali minggu depan.
.
Namun, tak semua hari adalah hari pasar. Pada minggu ketujuh, seorang peserta bernama Jatmika—mantan cook helper—datang terlambat. Matanya bengkak, suaranya hampir tak terdengar. “Maaf, aku tidak bisa lanjut,” katanya pada Jayeng setelah kelas usai. “Anak sakit. Aku dapat tawaran kerja malam di pabrik roti. Harus diambil. Aku takut… kalau aku tak bisa ikut proyek final.”
Jayeng menatapnya; di bawah cahaya lampu putih, wajah Jatmika seperti kertas yang diremas. “Kamu tidak perlu minta maaf,” kata Jayeng pelan. “Kita belajar bukan untuk pamer proyek. Kita belajar untuk hidup.”
Jatmika menunduk. “Tapi teman-teman timku…”
“Kita atur. Kamu bisa bantu dari rumah saat siang—kumpulkan data biaya bahan, hitung margin sederhana. Biar aku bicara dengan tim.”
Malam itu, Jayeng menulis pesan panjang di grup: “Belajar adalah jalan, bukan lomba. Siapa pun yang harus berpindah jalur, kita temani.” Grup hening sejenak, lalu satu per satu muncul emoji tangan, hati, dan kata-kata kecil: “Semangat, Jatmika.” “Kami tunggu saat kamu kembali.”
Jayeng menatap layar lama-lama. Di balik pesan-pesan sederhana, ia merasakan sesuatu yang dulu sering hilang dari kantornya: sayap yang tumbuh dari punggung bersama.
.
Hari presentasi akhir tiba. Aula kecil kembali dipenuhi, dindingnya kini ditempeli foto-foto proses: tangan yang memotong cabai, papan menu yang ditulis ulang, anak-anak antre tertib, wajah-wajah yang tertawa. Di depan, Retna menata lembar penilaian. Panel juri sederhana: seorang dosen komunikasi, pemilik warung legendaris di Tambak Bayan, dan Wira.
Kelas maju pertama. Mereka menampilkan before-after cara menyambut pelanggan. Video pendek diputar: pada awalnya, suara mereka terlalu pelan; setelah latihan, nada salam jadi hangat, mata bertemu mata. “Kami belajar bahwa kata-kata sederhana butuh niat,” kata Kelas. “Dan niat itu terlihat.”
Tim Kumala menampilkan dashboard penjualan: rawon mini paling laku antara pukul 08.00–09.30, sedangkan wedang secang mendadak favorit di atas pukul 07.00. “Kami ubah alur kerja,” kata Kumala. “Bahan wedang disiapkan sejak subuh, sehingga tak ada antrian lama.”
Tim Puspa menunjukkan case “pelanggan marah karena menunggu”. Di layar, Puspa berjalan mendekati pelanggan, mendengarkan, meminta maaf, menawarkan pilihan: menunggu dengan tambahan potongan tempe atau mengembalikan uang. “Empati bukan mengalah pada yang salah,” kata Puspa, “tapi menempatkan manusia di atas prosedur.”
Wira mengangkat tangan. “Boleh saya komentar?”
“Silakan,” kata Retna.
“Di jaringan saya, menyelesaikan komplain cepat itu mahal. Saya selalu berkata pada tim: kecepatan adalah hormat. Tapi hari ini saya belajar, kecepatan harus dibungkus kepedulian. Jika tidak, ia dingin.”
Ruang itu hening beberapa detik, lalu meletus tepuk tangan.
Sore itu, Kota Menyala menutup batch pertama. Tidak ada pemenang dan pecundang, hanya pelukan dan janji bertemu lagi. Jayeng berdiri di pintu, menyalami satu per satu. Saat Retna menutup laptop, Wira mendekat.
“Kamu benar,” katanya pada Jayeng. “Cerita lebih kuat dari klaim. Jika kamu setuju, saya ingin bermitra untuk membuka Warung Urup permanen. Bukan sebagai bisnis besar, tapi sebagai laboratorium kehidupan. Keuntungan kita bagi untuk beasiswa.”
Jayeng menatap Retna; Retna mengangguk kecil. “Kita mulai pelan,” kata Jayeng.
“Alon-alon waton kelakon,” sambung Wira, tersenyum.
.
Beberapa bulan kemudian, Warung Urup berdiri di sudut gang Karangmenjangan, di bawah naungan beringin yang entah sejak kapan tumbuh. Meja-meja kayu sederhana, kursi plastik hijau, dan papan menu hitam dengan kapur warna-warni. Di dinding, ada poster kecil:
“Empati adalah jembatan, data adalah peta, keberanian adalah langkah.”
Setiap Sabtu pagi, warung itu menjadi kelas. Kelas menularkan keterampilan barista kepada anak-anak kampung. Puspa mengajari strategi percakapan sulit pada ibu-ibu PKK yang hendak membuka katering. Kumala membuat sesi singkat tentang angka-angka yang mudah: cara menghitung harga pokok, cara membedakan omzet dan laba. Jayeng bercerita tentang adaptif; Retna tentang analitik emosional—bagaimana membaca data dengan hati.
Pengunjung warung datang dari berbagai penjuru kota. Ada mahasiswa yang tersentuh video pendek Wira, ada pekerja kantoran yang penasaran, ada tukang becak yang diajak oleh pelanggan lama. Di satu sore yang gerimis, seorang perempuan muda membawa ibunya yang berjalan dengan tongkat. Mereka duduk di meja paling pojok. Perempuan itu menatap dinding, membaca kalimat-kalimat yang tertempel. Matanya berkaca-kaca.
Jayeng mendekat. “Ada yang bisa kami bantu?”
Perempuan itu tersenyum agak kaku. “Saya hanya… kangen ayah. Dulu beliau sering mengatakan hal-hal seperti itu. ‘Hidup itu menyala jika kamu menyalakan hidup orang lain,’ katanya. Membaca kalimat-kalimat itu… rasanya seperti mendengar beliau lagi.”
Jayeng menelan sesuatu yang bergerak di tenggorokannya. “Kami menyalakan api kecil saja,” katanya pelan. “Sisanya, orang-orang seperti Ibu yang menjaga.”
Perempuan itu mengangguk. “Terima kasih telah membuat tempat ini.”
Malam itu, setelah warung tutup, mereka berempat duduk mengelilingi panci sup yang tinggal setengah. Di luar, hujan menetes di ujung daun beringin.
“Kamu tahu,” kata Retna pada Jayeng, “aku sering berpikir: apakah semua ini benar-benar berdampak? Lalu hari ini melihat ibu-ibu PKK menyusun daftar belanja dengan sadar, dan melihat perempuan muda itu… rasanya seperti jawaban.”
Jayeng menatap uap sup berputar. “Ini bukan pabrik jawaban. Ini taman pertanyaan yang subur. Tapi jika ada satu hal yang aku pegang, itu ini: orang yang belajar mencintai pekerjaannya akan menemukan cara mencintai hidupnya.”
“Maya Angelou versi Kelurahan,” canda Kelas.
Mereka tertawa. Tiba-tiba ponsel Jayeng bergetar. Pesan dari Jatmika: “Anak sembuh. Aku mulai shift siang. Boleh aku kembali Sabtu depan? Aku kangen wedang secang.”
Jayeng menggigit bibir, menahan senyum. “Tentu,” ia balas. “Kursimu selalu ada.”
.
Beberapa waktu kemudian, Warung Urup diundang mengisi sebuah forum UMKM di Balai Kota. Di panggung, Jayeng diminta bicara sebagai “narasumber”—kata yang selalu membuatnya merasa canggung. Sebelum naik, ia berdiri sendiri di belakang panggung, menghadap jendela yang memantulkan boulevard. Ia teringat hari ketika surel restrukturisasi itu masuk; malam di jembatan Kalimas, rasa runcing di dada. Ia teringat Puspa yang meminta maaf di depan kelas, banjir yang mengubah aula menjadi posko, Wira yang belajar melembutkan kecepatan, Retna yang membuat angka terasa seperti pelukan, Jatmika yang kembali.
Ketika namanya dipanggil, ia melangkah. Lampu panggung membuat ruangan seperti pagi di tengah malam. Ia menghela napas, lalu membuka.
“Selamat sore. Saya datang bukan untuk memberi resep. Saya datang untuk membagi cara kami belajar. Kami menyebutnya dua belas keterampilan—sebenarnya, dua belas kebiasaan—yang membantu kami tidak hanya bertahan, tapi juga menyalakan orang lain. Kami memulai dari titik paling sederhana: keberanian membuka percakapan sulit, mengelola emosi, membangun empati, mengasah nalar, merawat waktu, menanam kebiasaan belajar. Kami menempelkan data di dinding, tetapi menempatkan manusia di hati.”
Ia berhenti sejenak, menatap audiens. “Di warung kecil kami, pelanggan datang bukan hanya untuk makan. Mereka datang untuk merasakan kembali bahwa menjadi manusia itu menyenangkan. Kami bukan yang paling hebat—tidak perlu. Kami hanya mencoba jujur. Karena kami percaya satu kalimat sederhana: yang kita rawat, menumbuhkan kita.”
Ruang itu sunyi. Lalu ada tepuk tangan mengalun pelan, menguat, menjadi sorak. Jayeng menunduk, lalu melangkah turun. Di sisi panggung, Retna menunggu, matanya berkaca-kaca.
“Kamu tadi… terlalu serius,” katanya, lalu tersenyum nakal.
“Biar seimbang. Kamu yang lucu nanti,” jawab Jayeng.
“Deal.”
.
Malam itu, mereka pulang berdua melewati Tunjungan. Lampu toko memantulkan warna ke trotoar yang basah. Orang-orang berjalan cepat, membawa payung seperti bendera-bendera kecil. Di kejauhan, suara musisi jalanan memainkan tembang lama: “Sepasang mata bola…” Retna berhenti, menatap Jayeng.
“Kamu pernah takut?”
Jayeng mengerjap. “Selalu.”
“Takut apa?”
“Takut kehilangan: orang-orang, arah, diri sendiri.”
Retna mengangguk. “Aku juga. Tapi simbahku dulu bilang, ‘Sapa sing gelem alon, bakal tekan adoh.’ Yang mau berjalan pelan, akan sampai jauh.”
Jayeng menatap jalan yang memanjang. “Kalau begitu, mari berjalan.”
Mereka melangkah, menyeberang di bawah lampu kuning. Di balik gemerlap kota, ada hal-hal yang pelan: dendang yang dibawa angin, bau kopi dari warung kecil, suara tawa yang memantul di tembok tua. Dan di bawah beringin di sudut Karangmenjangan, Warung Urup padam untuk malam itu—bukan karena kehabisan api, melainkan karena api perlu istirahat.
.
Satu tahun berlalu. Warung Urup membuka cabang kecil di Jember atas ajakan komunitas kampung. Mereka tidak pernah mengiklankan “terbaik”, tidak pernah mengklaim “satu-satunya”. Mereka hanya menulis, di selembar kertas yang ditempel dekat kasir:
“Kami tidak lebih pandai. Kami hanya tidak berhenti belajar.”
Pada malam pembukaan cabang Jember, hujan turun pelan seperti doa. Jayeng berdiri di bawah teras, menatap jalan yang licin. Retna datang membawa termos wedang, menawari satu cangkir. Mereka berdiri berdampingan, menatap lampu kota yang memantul di aspal.
“Kamu tahu, Jayeng,” kata Retna, “kalau suatu hari nanti Warung Urup tidak ada, aku berharap yang tersisa tetap menyala.”
“Apa itu?”
“Keberanian untuk bersikap jujur, dan kasih untuk menaruh manusia di atas prosedur.”
Jayeng mengangguk. “Dan kebiasaan untuk tertawa ketika gagal.”
Retna tertawa. “Itu wajib.”
Di belakang mereka, orang-orang muda mengatur piring, ibu-ibu menata bumbu, seorang bapak menulis harga di papan. Di radio kecil, penyiar menyebutkan kabar lalu lintas, ramalan cuaca, dan potongan berita tentang pelatihan UMKM. Hidup terus berjalan, tidak dramatis, tidak juga seadanya. Warung Urup tetap kecil, tapi menjadi tempat orang-orang belajar menjadi besar dengan caranya sendiri.
Malam kian larut ketika seorang anak kelas lima SD, putra tetangga depan, masuk membawa buku catatan. “Kak Retna,” katanya malu-malu, “boleh aku minta diajari bikin grafik lagi? Guru matematikaku suka lihat PR-ku kemarin.”
Retna jongkok agar selevel. “Tentu. Tapi sekarang minum dulu. Nanti otakmu protes.”
Anak itu tertawa. Jayeng menatap adegan itu, dan di suatu tempat di dalam dirinya, ada pintu yang dulu sering tertutup kini terbuka. Ia teringat kalimat di awal cerita ini—bahwa bukan yang paling kuat yang bertahan, melainkan yang paling lentur. Mungkin hidup memang bukan soal menjadi baja, melainkan menjadi air yang terus mencari jalan; bukan soal menjadi paling pintar, melainkan terus mau belajar; bukan soal menjadi paling punya, melainkan paling mau memberi.
Di bawah beringin, angin mengayun perlahan. Kota tidak pernah benar-benar tidur. Ia hanya berganti mimpi.
.
.
.
Jember, 13 Agustus 2025
.
.
#CerpenKota #WarungUrup #PituturJawa #Empati #Kolaborasi #Inovasi #KompasMingguVibes #CeritaIndonesia #BelajarTerus #KotaMenyala