Nama yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi

“Kadang hidup bukan tentang siapa yang kita kejar, tetapi tentang siapa yang tetap tinggal saat hati kita gemetar.”

.

Hujan turun seperti benang-benang tipis yang jatuh dari langit, menyusuri kaca apartemen tinggi tempat Sasangka berdiri mematung. Dari lantai 39, kota Jakarta tampak seperti miniatur raksasa yang berdenyut tanpa henti—gemerlap lampu kendaraan membentuk garis-garis panjang yang menyala redup di balik kabut hujan, sementara gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak seperti raksasa yang enggan tidur.

Bau tanah basah nyaris tidak tercium dari ketinggian ini, tetapi suara hujan yang memukul kaca terasa cukup menenangkan ritme napas Sasangka. Ia baru pulang dari kantor—sebuah perusahaan konsultan bisnis multinasional yang menuntut kecerdasan, stamina, dan kesabaran yang nyaris melebihi batas manusia.

Pekerjaannya tidak hanya padat, tetapi juga melelahkan secara emosional.
Ia terbiasa menjawab puluhan email dalam satu jam, merancang strategi bisnis lintas negara, mengatur ekspansi perusahaan klien, berpindah kota dua sampai tiga kali dalam sebulan, dan duduk dalam pertemuan yang bisa berlangsung hingga tengah malam.

Di balik kaca itu, kehidupannya tampak lengkap:
gaji besar, apartemen mahal, mobil listrik yang dianggap ramah lingkungan, tabungan investasi yang terus meningkat, dan sebuah masa depan yang terlihat rapi.

Tetapi semakin lama ia menatap kota yang menyala seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi, semakin ia sadar bahwa kehidupan yang tampak terang tidak selalu menghadirkan kedamaian.
Ada ruang gelap di dalam dirinya—ruang yang tidak pernah diakui kepada siapa pun.

Sasangka, 36 tahun, lulusan universitas ternama di Melbourne, anak tunggal dari keluarga pedagang batik modern yang berkembang menjadi bisnis ekspor ke Eropa. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam atmosfer keluarga yang disiplin, ambisius, dan berada dalam sorotan publik.

Dalam keluarga besar mereka, prestasi bukan pilihan.
Prestasi adalah bahasa cinta.

“Harus bisa,” menjadi mantra utama.

Orang lain melihat hidupnya sempurna: mapan, stabil, mengesankan, dan berprospek cerah. Tetapi ia tahu persis bahwa kesempurnaan adalah fatamorgana yang rapuh—paling rapuh, justru ketika ia berusaha mempertahankannya.

Dan patah itu, tanpa ia sadari, mulai dari satu nama: Raras.

.

Raras dan Bahagia yang Tak Bisa Dijelaskan

Raras—perempuan yang ditemuinya pada sebuah kelas eksekutif MBA di Jakarta. Sosoknya tidak mencolok seperti kebanyakan perempuan dari kalangan kelas menengah ke atas. Ia bukan tipe yang memamerkan tas branded atau liburan ke Eropa setiap tiga bulan. Ia justru memiliki aura sederhana yang membingungkan.

Putri pengusaha properti, aktif dalam kegiatan sosial, cerdas namun rendah hati. Raras selalu menyapa pekerja hotel terlebih dahulu, merapikan kursi kuliah meski ada cleaning service, dan mampu membuat orang merasa dihargai hanya dengan menatap mata lawan bicara.

Mereka tumbuh di lingkungan yang sama:
lingkungan kompetitif yang menilai manusia dari gelar, aset, prestasi, dan koneksi; dunia yang lebih peduli pada apa yang terlihat daripada apa yang dirasakan.

Sasangka dan Raras sama-sama “anak baik” versi masyarakat kelas atas:
tidak neko-neko, berprestasi akademik, sopan, tahu etika ruang makan formal, dan mampu berbicara di depan publik.

Namun di balik itu semua, mereka berdua menyimpan letih yang sulit dijelaskan:
letih menjadi manusia yang harus tampil sempurna setiap hari.

Mereka dekat bukan karena cinta pada pandangan pertama.
Justru kedekatan itu tumbuh dari percakapan kecil di balik pintu kelas, obrolan soal tugas kelompok, dan keheningan yang tidak canggung setiap kali mereka duduk berdampingan.

Raras bisa tertawa keras di depan Sasangka, tawa yang keluar tanpa ditahan demi citra.
Sasangka bisa diam lama-lama di depan Raras tanpa merasa perlu menjelaskan apa pun.

Mereka tidak pernah mendeklarasikan hubungan.
Tetapi mereka juga bukan sekadar kawan.

Keduanya seperti dua orang yang saling menenangkan badai satu sama lain.
Pelan, organik, dan tanpa pretensi.

Ada hari-hari di mana mereka berjalan di trotoar Senopati sambil membicarakan kegelisahan tentang masa depan. Ada siang hari di mana mereka makan siang di kantin kampus sambil tertawa membahas perilaku dosen yang terlalu perfeksionis.

Hidup terasa lebih ringan ketika ada Raras.

Namun hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan hati.

.

Kota yang Membenturkan Hati

Hidup urban punya ritme seperti mesin:
berputar cepat, menuntut banyak, dan jarang memberi waktu untuk benar-benar berhenti.

Di antara rapat yang tak habis-habis, target yang terus bertambah, tuntutan keluarga besar, dan tekanan sosial, hubungan mereka pun ikut terseret arus.

Keduanya sering sibuk. Jadwal tak lagi sinkron.
Setiap minggu, ada saja hal penting yang harus dihadiri—acara bisnis, pertemuan keluarga, undangan gala, networking night, workshop, conference call lintas waktu, dan presentasi besar.

Suatu malam, di rooftop hotel tempat mereka biasa bertemu, Raras menatap kota yang berpendar sambil menarik napas panjang.

“Sas, apakah bahagia itu harus selalu terlihat berhasil di mata orang lain?”

Pertanyaan itu sederhana, tetapi berat.
Sasangka tidak bisa menjawab.
Bahagia bagi mereka sering kali berarti pencapaian.

Di dunia tempat mereka tumbuh, gagal bukan sekadar gagal—
gagal adalah aib.

Beberapa minggu setelah percakapan itu, bisnis keluarga Raras mengalami masalah besar. Ada sengketa lahan yang ditayangkan media, membawa nama keluarganya menjadi bahan pembicaraan publik. Berita itu viral.

Teman-teman dekatnya mulai menjauh.
Para sosialita membicarakan keluarganya di belakang.
Orang-orang yang dulu sering meminta bantuan ayahnya, tiba-tiba pura-pura tidak mengenalnya.

Raras meredup.
Ia mulai sulit dihubungi.
Ia menolak makan siang, menolak membalas pesan, bahkan telepon Sasangka hanya berdering tanpa dijawab.

Hingga suatu hari, Raras benar-benar menghilang.
Tidak ada salam perpisahan.
Tidak ada alasan.
Tidak ada kejelasan.

Sasangka menunggu berhari-hari.
Berharap setidaknya ada satu pesan singkat.
Tetapi tidak ada apa pun.

Raras pergi dari hidupnya
sepi dan tiba-tiba, seperti pintu yang ditutup dari dalam.

.

Luka yang Tidak Diumumkan

Ada luka-luka yang tidak diumumkan, tetapi terasa setiap hari.
Seperti kosong yang menghantui ruang luas apartemen Sasangka.
Kosong yang tidak bisa diisi oleh pekerjaan, uang, atau kesibukan.

Sasangka mencoba menutupi luka itu dengan aktivitas.
Ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan, mendaftar gym paling mahal, mengikuti kelas bisnis lanjutan, menghadiri networking event dengan makanan mewah dan diskusi penuh jargon.

Setiap malam ia pulang ke apartemen.
Setiap malam pula ia merasakan sunyi yang sama—sunyi yang menamparnya dari dalam.

Di ruang modern minimalis itu, tidak ada suara selain dengung AC dan detak jam digital.
Ia merasa seperti sedang tinggal di sebuah hotel yang nyaman tapi dingin.
Tidak ada kehangatan.
Tidak ada tujuan selain mengejar pekerjaan berikutnya.

Tekanan menjadi laki-laki kelas menengah ke atas semakin terasa:
mereka harus terlihat kuat, sukses, memiliki kontrol penuh atas hidup, dan tidak boleh runtuh.

Sasangka tidak pernah diajari cara berduka.
Ia hanya diajari cara bertahan.

Titik balik datang ketika perusahaannya mengirimnya ke sebuah program pelatihan sosial. Di sana, ia bertemu Kertanaya, mentor sepuh yang terkenal karena kearifannya.

Kertanaya mendengarkan cerita Sasangka tanpa menghakimi.
Setelah diam sejenak, ia berkata:

“Kesedihan yang kamu sembunyikan justru menggerogotimu.
Tidak apa-apa diam, tapi jangan tenggelam.”

Kata-kata itu masuk seperti cahaya yang menyelinap lewat celah tirai gelap.
Untuk pertama kalinya, Sasangka mengakui:
ia tidak baik-baik saja.

Itu bukan kelemahan.
Itu kejujuran.

.

Pertemuan yang Tak  Dirancangkan

Tiga tahun berlalu sejak kepergian Raras.
Tiga tahun di mana Sasangka belajar berdamai dengan dirinya sendiri.

Ia mulai mengubah arah hidup.
Ia berhenti mengejar promosi direktur dan memilih bergabung ke divisi pengembangan sosial.
Ia tidak lagi mencari gemerlap kota.

Ia mencari manusia.

Ia menghabiskan waktu di desa-desa kecil, memfasilitasi UMKM perempuan untuk memasarkan produk mereka, mengajar pemilik warung tentang pencatatan keuangan, membantu koperasi kecil memahami strategi harga.

Dari perjalanan itu, ia belajar bahwa hidup tidak harus tentang kemenangan, tetapi tentang kebermanfaatan.

Hingga suatu sore, di sebuah seminar sosial yang diadakan di Yogyakarta, Sasangka melihat seseorang duduk di barisan belakang.
Jantungnya seperti berhenti berdetak.

Raras.

Rambutnya kini lebih panjang.
Wajahnya lebih tenang, lebih matang, lebih membumi.
Ia tampak seperti seseorang yang telah melewati banyak gelombang hidup dan akhirnya menemukan dermaganya sendiri.

Raras sedang memberikan sesi tentang kesehatan mental dalam keluarga pengusaha—tema yang tidak banyak disentuh, terutama oleh mereka yang selama ini sibuk menjaga citra.

Sasangka tertegun.
Ia tidak pernah melihat Raras sekuat ini.
Atau setulus ini.

Ia menyadari sesuatu:
Mungkin Raras bukan berubah.
Mungkin Raras akhirnya menjadi dirinya sendiri.

.

Raras yang Akhirnya Bicara

Setelah seminar, mereka bertemu di taman kecil dekat kolam hotel.
Hujan turun lagi, lembut, seperti ingin menemani percakapan yang tertunda bertahun-tahun.

Raras menggigil, tetapi matanya jernih saat menatap Sasangka.

“Sas… maaf aku menghilang.”

Sasangka merasakan dadanya sesak.

“Kamu pergi saat aku paling membutuhkan kejelasan.”

Air mata menggenang di mata Raras.

“Saat itu keluargaku hancur.
Aku tidak ingin menyeretmu ikut terluka.
Semua orang menjauhiku… dan aku takut kamu juga akan begitu.”

Sasangka menahan napas.

“Justru karena aku tidak akan menjauh.”

Raras menunduk. Suaranya pecah.

“Aku tidak siap dicintai saat aku bahkan tidak bisa mencintai diriku sendiri.”

Kata-kata itu menghantam Sasangka lebih keras daripada hujan mana pun.
Ia sadar—yang hilang bukan dirinya.
Yang hilang adalah Raras, dari dirinya sendiri.

Ia melihat perempuan itu kini:
lebih rapuh, tetapi lebih jujur;
lebih terluka, tetapi lebih hidup.

.

Bahagia yang Tidak Dikejar

Pertemuan itu tidak langsung mengembalikan segalanya.
Tidak ada melodrama.
Tidak ada janji manis.

Yang ada hanya percakapan jujur dua manusia yang sama-sama pernah runtuh.

Mereka mulai berkomunikasi lagi.
Tidak setiap hari.
Tidak intens seperti dulu.

Tetapi cukup untuk membuat keduanya bernapas sedikit lebih lega.

Raras kini bekerja di sebuah LSM pendidikan yang membantu anak-anak keluarga pengusaha—anak-anak yang mengalami tekanan pewarisan bisnis, kecemasan sosial, dan burnout akademik.

Ia ingin menjadi seseorang yang dulu tidak pernah ia temukan saat dirinya runtuh.

Sasangka tersenyum melihat itu.
Lukanya berubah menjadi hikmah.

Sementara itu, Sasangka terus bekerja memberdayakan UMKM.
Ia mulai menolak proyek-proyek besar yang hanya menguntungkan perusahaan tetapi menguras hidupnya.
Ia memilih pekerjaan yang lebih manusiawi.

Suatu senja, Raras berkata di bawah cahaya jingga:

“Sas, pernahkah kamu merasa bahwa setiap orang sibuk memoles masa depan, hingga melupakan kebeningan hari ini?”

Sasangka mengangguk.

“Mungkin itu sebabnya kita bertemu lagi.
Supaya kita diingatkan untuk melihat hari ini dengan jernih.”

.

Jalan yang Diambil, Bukan Dipaksakan

Pada akhirnya, mereka tidak buru-buru menentukan hubungan.
Tidak memaksakan definisi baru.
Tidak mencoba menambal masa lalu dengan tergesa-gesa.

Mereka berjalan berdampingan—pelan, jujur, dan sadar.

Di sebuah tepi sungai kota, Sasangka berbisik perlahan:

“Kamu tidak perlu menjadi sempurna. Aku pun tidak.
Kita hanya perlu jujur.”

Raras menatapnya.
Dan di matanya ada bening—bukan air mata, melainkan kejernihan hidup.

Di kejauhan, kota itu tetap bising.
Tetapi di antara gedung-gedung itu, mereka menemukan ruang hening.
Ruang yang tidak pernah mereka temukan ketika masih mengejar kesempurnaan.

Kini, dalam hening itu, mereka menemukan sesuatu yang lebih benar:
kemungkinan baru yang tidak perlu terburu-buru untuk dinamai.

Karena ada nama-nama yang tidak pernah benar-benar pergi.
Sasangka menyadari, kadang cinta tidak hilang—ia hanya menunggu waktu untuk ditemukan kembali, dalam versi diri yang lebih matang.

Dan mungkin, Raras juga merasakannya.

Bahwa dalam hidup yang penuh ambisi, pencapaian, dan kebisingan, yang bertahan bukanlah siapa yang datang paling cepat, tetapi siapa yang tetap tinggal ketika hati kita gemetar.

.

.

.

Malang, 6 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #CerpenKompasMinggu #CeritaUrban #FiksiEmosional #KelasMenengahKeAtas #HealingStory #SastraModern #UrbanLifeStory #MenakMalangan #MenakJawa

Leave a Reply