Sebelum Gergaji Itu Menyala
“Kadang hidup seperti gergaji mesin: sudah berkali-kali kita tarik talinya, belum juga menyala.
Yang lupa kita sadari, setiap tarikan diam-diam sedang menyiapkan percikan.”
.
Malam turun pelan di atas Jakarta. Dari jendela apartemen lantai dua puluh tiga, Jayengrana menatap lampu-lampu kota yang berkilat seperti serpihan kaca di aspal basah. Hujan baru saja lewat, menyisakan garis-garis tipis di kaca. Di bawah sana, kemacetan di Jalan Gatot Subroto belum juga bubar, klakson berbaur dengan sirene dan suara reklame LED yang terus menyala.
Di atas meja kerjanya, layar laptop menampilkan satu kalimat pendek yang seakan menertawakannya.
We are deeply sorry to inform you that your proposal has not been selected…
Jayengrana menghela napas. Email penolakan ketiga dalam dua bulan terakhir. Tiga investor berbeda, tiga presentasi yang ia siapkan bertubi-tubi dengan slide yang digarap rapi, data yang ditelaah sampai dini hari, dan cerita tentang mimpi yang ia jual dengan seluruh keyakinan yang masih tersisa.
Semua berakhir dengan kalimat yang mirip: maaf, belum bisa.
Ia menyandarkan tubuh, menutup mata. Di balik kelopak itu, suara masa kecil muncul seperti film lama: suara seretan tali, bunyi ngung…ngung…ngung yang tidak juga menyala, lalu satu letupan berat BRAAAK saat gergaji mesin tua di belakang rumah mereka di Malang akhirnya hidup.
“Tarikannya jangan setengah hati, Jaya,” suara ayahnya dulu, serak tapi hangat. “Gergaji mesin itu butuh beberapa percobaan. Yang penting, jangan berhenti sebelum bunyi pertama.”
Waktu itu Jaya kecil hanya mengangguk, lebih tertarik pada serpihan kayu yang beterbangan daripada makna kalimat itu. Baru malam ini, di usia tiga puluh empat, kalimat itu menggema seperti doa yang terlambat dipahami.
.
Ponselnya bergetar pelan. Nama Adaninggar menyala di layar.
Ning: Gimana pitching-nya?
Jaya: Ditolak lagi.
Ning: Oke. Besok pagi kita sarapan di Kedai Umar Maya. Jam delapan. No excuse.
Jaya: Capek, Ning. Serius. Mungkin kita harus berhenti dulu.
Ning: Justru karena capek, besok kita ngobrol. See you.
Jaya menatap layar yang kembali gelap. Di luar jendela, Jakarta masih terang oleh iklan dan ambisi. Di dalam kamar, ia merasa seperti ruangan yang baru saja lampunya dipadamkan.
.
Pagi berikutnya, Jakarta kembali sibuk seolah tidak pernah memberikan jeda. Jalanan penuh mobil SUV, motor ojek online dengan boks ransel besar, dan bus TransJakarta yang datang-pergi seperti napas kota.
Kedai kopi Umar Maya berada di sudut Petogogan, menempel pada deretan ruko tua yang disulap jadi tempat hangout kelas menengah ke atas: salon organik, toko roti sourdough, studio yoga yang jendelanya selalu dipenuhi siluet perempuan dengan legging warna pastel.
Umar Maya, sahabat mereka sejak SMA di Malang, menyambut dengan celemek hitam dan senyum lebar.
“Tarikan ketiga?” tanya Umar, seolah bisa membaca wajah Jaya.
“Ketiga, keempat, aku sudah lupa,” Jaya duduk, melepaskan ransel.
Adaninggar sudah menunggu di meja dekat jendela, rambutnya disanggul seadanya, blazer krem di atas kaus putih. Ia tipikal perempuan kota yang seolah lahir dari feed Instagram: rapi, minimalis, tapi matanya menyimpan kelelahan yang sama.
“Kopi yang biasa, Mar,” ujar Ning. “Buat Jaya, bikin yang paling pahit.”
Umar tertawa, lalu melangkah ke bar.
Ning menatap Jaya. “Kamu benar-benar mau berhenti?”
“Kalau proposal kita selalu ditolak, kalau uang tabungan makin menipis, kalau Mama tiap minggu kirim link lowongan corporate law, apa kita harus terus memaksa?”
Ning menyandarkan siku di meja. “Kita sudah sepakat, kan? Urban Roots bukan cuma bisnis. Ini cara kita berdamai dengan kota ini.”
Urban Roots adalah nama proyek mereka: ruang belajar dan co-working untuk anak-anak muda dari keluarga pekerja—satpam, perawat, driver—yang ingin naik kelas lewat skill digital. Konsepnya: kelas malam, beasiswa silang dari biaya anggota kelas menengah yang memakai co-working mereka. Di kepala Jaya, tempat itu selalu terlihat jelas: dinding bata ekspos, rak buku, layar proyektor, meja kayu panjang, kopi yang wangi, dan suara tawa bercampur tekanan deadline.
Di rekening bank dan tanggapan investor, Urban Roots baru sebatas PDF.
“Kota ini,” Ning menunjuk ke luar jendela, ke arus mobil yang bergerak pelan, “penuh orang seperti kita. Secara ekonomi aman, tapi emosinya lelah. Kita semua tumbuh dengan janji: sekolah bagus, kerja di gedung tinggi, punya kartu kredit. Lalu ternyata tetap saja terasa kosong. Urban Roots itu jembatan: tempat kita belajar ulang bahwa hidup bukan cuma naik jabatan.”
“Kedengarannya idealis,” Jaya menatap cangkir kopi ketika Umar datang membawa dua gelas.
“Memang idealis,” potong Umar. “Tapi bukan berarti mustahil.”
Ia duduk, merapikan celemek. “Tadi pagi aku iseng hitung, dari pelanggan yang datang, hampir setengah pekerja remote. Anak startup, agency, konsultan. Mereka punya uang buat beli kopi single origin tiga kali sehari, tapi mengeluh nggak punya sense of purpose. Kalau mereka bisa sewa meja di Urban Roots dan sebagian uangnya menyekolahkan satu anak driver ojol belajar desain grafis, aku yakin mereka mau.”
“Investor tidak mau,” bantah Jaya.
“Investor yang mana?” tanya Ning. “Yang cuma lihat return lima tahun dalam angka, atau yang siap dapat return berupa nama baik dan dampak sosial?”
Jaya terdiam. Di luar, seorang bapak tua memindahkan pot tanaman di trotoar, menghindari air sisa hujan yang menggenang. Gedung-gedung kaca memantulkan langit yang baru pulih.
Ning mengeluarkan tablet, membuka file. “Aku sudah revisi deck kita. Kita ubah angle-nya. Bukan cuma co-working space, tapi impact hub untuk kelas menengah. Investor yang kita cari pun harus beda. Bukan tipe yang cuma tanya exit strategy, tapi yang sudah kenyang uang dan lagi mencari makna.”
“Dan kalau tetap ditolak?” Jaya menatap mereka bergantian.
Umar tersenyum tipis. “Kamu masih ingat suara gergaji mesin di rumah Malang? Yang selalu kamu ceritakan itu?”
Jaya mengernyit. “Kok kamu…?”
“Kamu lupa, aku sering main ke rumahmu. Bapaknya Jaya selalu bilang, ‘Jangan berhenti di tarikan pertama.’” Umar menirukan suara serak ayah Jaya. “Mungkin kita sekarang lagi di tarikan ketiga atau keempat. Belum menyala bukan berarti mesinnya rusak.”
Ning menambahkan pelan, “Atau kita yang rusak.”
Lalu ia menggeleng. “Tidak. Kita cuma sedang membangun tekanan yang cukup. Kalau kamu berhenti sekarang, kita tidak akan pernah tahu seberapa dekat kita ke percikan pertama.”
Jaya menatap kedua sahabatnya. Di wajah mereka ada kombinasi antara lelah dan keras kepala—campuran yang anehnya membuat dadanya hangat.
“Kadang, yang kita butuh bukan jawaban ‘bisa’ dari dunia, tapi dua tiga orang yang mau bilang, ‘ayo coba lagi bareng-bareng’,” batinnya.
Ia mengangkat cangkir. “Baik. Satu tarikan lagi.”
.
Hari-hari berikutnya berubah seperti montase film: perpindahan dari satu ruang meeting ke ruang meeting lain, dari satu lobi gedung kantor ke lobi berikutnya.
Di Kuningan, mereka bertemu Kelaswara, dokter muda yang belakangan menjadi angel investor di beberapa health-tech startup. Ia datang dengan kemeja putih, jam tangan elegan, dan senyum yang terlihat terlatih.
“Konsep kalian menarik,” ujar Kelaswara, “tapi angka pengembaliannya terlalu lama. Lima sampai tujuh tahun baru break even? Saya khawatir banyak hal bisa berubah. Kota berubah, regulasi berubah, tren berubah.”
“Justru karena semua berubah, kita butuh ruang yang konsisten mengajarkan orang dewasa untuk terus belajar,” jawab Ning dengan tenang. “Kita ingin kelas menengah yang mapan itu punya tempat aman untuk mengganti arah, sebelum mereka terbakar habis di kantor.”
Kelaswara mengangguk sopan, tapi beberapa hari setelahnya, email penolakan yang lain datang lagi.
Di Sudirman, mereka bertemu Umar Madi, pengusaha otomotif yang baru saja menjual salah satu bisnisnya. Ia tertarik, menanyakan hal detail tentang arus kas, rencana ekspansi, hingga konsep kelas online.
“Aku suka idenya,” ujar Umar Madi di akhir pertemuan. “Tapi investasiku tahun ini sudah penuh. Kalau tahun depan kalian masih jalan, kita bicarakan lagi.”
Kalimat itu menempel di kepala Jaya: kalau tahun depan kalian masih jalan… seperti meragukan stamina mereka.
Sementara itu, di rumah, ibunya mengirim pesan panjang.
Jaya, Mama dengar dari tantenmu kalau perusahaan konsultan law lagi cari partner baru. Gajinya bagus, kantornya di SCBD. Kamu kirim CV lagi, nak. Hidup itu butuh kepastian, bukan cuma mimpi.
Ia menatap pesan itu lama-lama tanpa menjawab. Ada rasa bersalah yang menempel seperti noda kopi di meja: sulit dihapus, makin disentuh malah melebar.
Di tengah tekanan itu, satu-satunya yang terasa stabil adalah suara tawa anak-anak tetangga kontrakan Umar di belakang kedai. Mereka sering nongkrong di sana sepulang sekolah, menonton Umar membuat latte art sambil bercanda.
“Bang, kalau saya gede bisa kerja di sini nggak?” tanya salah satu, bocah SMP dengan tas punggung lusuh.
“Kerja di sini boleh,” jawab Umar, “tapi lebih bagus kalau kamu punya kedai kopi sendiri dan aku yang kerja buatmu.”
Anak-anak itu tertawa, mengira itu bercanda. Tapi Jaya melihat kesungguhan di mata Umar.
Di benaknya, Urban Roots semakin hidup: tempat anak-anak seperti mereka bisa belajar desain, coding, pemasaran digital—bukan cuma mengulang pelajaran di sekolah yang kurikulumnya tertinggal.
Kalau kita menyerah, mimpi siapa yang ikut padam? pikirnya suatu malam, sendirian di apartemen.
.
Suatu Sabtu sore, Jaya pulang ke Malang. Bukan karena libur panjang; tiket murah dan suara ibunya di telepon sudah cukup menjadi alasan.
Rumah mereka di kawasan Ijen masih sama: tembok hijau muda, halaman dengan tanaman kamboja, dan gudang kecil di belakang. Di sanalah gergaji mesin ayah dulu disimpan—sebelum stroke merenggut sebagian gerak tubuh pria itu beberapa tahun silam.
Ayahnya sekarang lebih banyak di kursi roda, menatap jalan dari teras.
“Masih mau tarik tali gergaji mesin?” tanya ayah, setengah bercanda, saat Jaya duduk di sebelahnya.
“Gergajinya sudah dijual, Yah,” Jaya tersenyum. “Yang tersisa cuma suaranya di kepala.”
Ayah tertawa pendek. “Bagus. Berarti kamu masih ingat.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati angin sore yang membawa aroma tanah basah. Suara azan dari musala kecil di gang terdengar sayup.
“Ayah dulu berapa kali tarik sampai gergajinya nyala?” tanya Jaya, entah kenapa.
“Macem-macem,” ayah mengangkat bahu. “Kadang sekali dua kali. Kadang lima. Yang pasti, kalau sudah yakin bensin masih ada dan mesin belum jebol, Ayah nggak pernah berhenti di tengah.”
“Kalau sudah sepuluh kali tapi belum nyala?”
Ayah tertawa. “Ya istirahat sebentar. Minum teh, rokok satu, baru tarik lagi. Yang bikin mesin rusak itu bukan ditarik berkali-kali, tapi ditarik sambil marah-marah.”
Jaya terdiam. Ada bayangan dirinya sendiri, beberapa minggu terakhir, berjalan ke lobi-lobi kantor dengan rahang mengeras, menunggu penolakan baru sambil menumpuk kemarahan terhadap kota, terhadap sistem, terhadap dirinya yang dianggap terlalu idealis.
“Jaya…” suara ayah melembut. “Kamu ingat, dulu Ayah buka bengkel kayu kecil di rumah ini?”
“Ingut, Yah. Tiga tahun, lalu tutup.”
“Ayah tutup bukan karena sepi pelanggan. Tapi karena Ayah sadar, tambah besar bengkelnya, tambah banyak waktu Ayah di luar rumah. Padahal kalian lagi butuh Ayah di rumah.” Ayah menatapnya lekat. “Kadang menyerah itu juga pilihan. Tapi bedanya, waktu itu Ayah menyerah pada ego, bukan pada tanggung jawab.”
Kalimat itu menggantung di udara.
“Kamu mau menyerah pada apa, Jaya?” tanya ayah akhirnya. “Pada mimpimu, atau pada rasa takutmu disebut gagal?”
Pertanyaan itu seperti kunci yang dibalik pelan di dalam dadanya. Jaya tak langsung menjawab. Di kejauhan, gumpalan awan bergerak perlahan di atas pegunungan. Kota Malang terlihat kecil dan jinak dibanding Jakarta.
Malamnya, di kamar yang masih menyimpan poster klub bola dan rak buku SMA, Jaya menulis di jurnal yang sudah lama terbengkalai.
“Hidup menengah ke atas bukan berarti perjalanan kita selesai. Justru di sinilah banyak orang berhenti menarik tali, karena takut tampak bodoh di depan orang tua, pasangan, dan teman-teman dengan gaji tetap. Mungkin tugas generasi kami adalah belajar gagal dengan anggun, lalu mencoba lagi tanpa kehilangan diri.”
.
Sekembalinya ke Jakarta, Jaya membawa sesuatu yang berbeda. Bukan tambahan dana, bukan juga kepastian baru, tapi semacam kelapangan di dada.
Di kedai Umar, ia mengumpulkan Ning dan Umar di meja belakang.
“Aku sudah pikirkan,” katanya. “Mungkin memang kita terlalu fokus mencari investor besar. Padahal…” Ia mengeluarkan selembar kertas dari tas. “Kenapa kita tidak mulai dari yang kecil dulu?”
“Seberapa kecil?” tanya Ning.
“Kecil seperti ruang di lantai dua ruko ini,” Jaya menunjuk langit-langit kedai. “Umar, kamu bilang lantai duanya selama ini cuma dipakai gudang, kan?”
“Ya, cuma ada beberapa kursi lipat dan mesin kopi cadangan.”
“Kita bersihkan. Kita cat ulang. Kita pasang meja panjang dan proyektor murah. Kelas pertama Urban Roots tidak harus menunggu investor. Kita buka buat sepuluh orang dulu: lima yang bayar penuh, lima yang dapat beasiswa. Biayanya kita bagi bertiga. Untuk promosi, Ning bisa bantu bikin kampanye di medsos.”
Ning terdiam beberapa saat, lalu matanya berbinar. “Kelas apa dulu?”
“Yang paling dibutuhkan,” jawab Jaya. “Kelas career reboot buat profesional kelas menengah yang ingin geser haluan. Bukan sekadar how to bikin CV, tapi ruang mereka jujur soal lelah, soal takut, dan soal mimpi yang ingin dijajal.”
Umar mengangguk pelan. “Dan anak-anak di belakang rumah ini?”
“Mereka bisa ikut kelas desain grafis akhir pekan. Kita ajak beberapa teman freelancer buat mengajar. Kita nggak bisa bayar mahal, tapi kita bisa kasih mereka ruang bersuara, ruang berbagi.”
Ning tertawa kecil. “Ini bukan rencana bisnis yang akan bikin kita jadi miliarder.”
“Memang bukan,” Jaya tersenyum. “Tapi mungkin ini cara kita memastikan mesin tetap hidup sampai investor yang tepat datang. Atau bahkan, sampai kita sadar bahwa menjadi kaya tidak harus selalu berupa angka di rekening.”
Umar mengulurkan tangan. “Tarikan ke berapa kita sekarang?”
“Entahlah,” jawab Jaya sambil menjabat. “Mungkin ke enam. Tapi kali ini, aku menariknya dengan tenang.”
Ning menumpangkan tangannya di atas tangan mereka berdua.
“Terkadang yang kita perlukan bukan kehidupan yang lebih mudah, tapi hati yang lebih lapang untuk terus mencoba,” batin Ning.
“Baik,” katanya. “Kita nyalakan Urban Roots dari lantai dua ruko kopi yang sempit ini dulu.”
.
Persiapan berjalan seperti rangkaian adegan yang cepat: mereka membersihkan lantai dua kedai dengan sapu dan pel, menurunkan kardus-kardus lama, menambal dinding yang mengelupas.
Retna, adik Jaya yang baru pulang sebentar dari studi magister di Jogja, ikut membantu. Ia mengecat dinding dengan warna krem hangat, menempelkan poster kecil berisi kutipan motivasi.
“Kenapa namanya Urban Roots?” tanya Retna sambil menulis dengan spidol di papan tulis putih yang baru dibeli.
“Karena kita tinggal di kota tapi akar kita sering lupa,” jawab Jaya. “Di sini, orang boleh mengingat lagi alasan mereka memulai.”
Retna mengangguk. “Kak, kalau nanti kelas ini jalan, kamu mau izinkan anak-anak beasiswa menulis cerita mereka? Aku bisa bantu edit jadi zine kecil. Biar mereka punya sesuatu yang bisa dipegang, bukan cuma sertifikat.”
Jaya menatap adiknya dengan bangga. “Itu ide bagus.”
Malam menjelang, mereka duduk di lantai, menatap ruangan baru yang belum sempurna, tapi sudah terasa seperti potongan masa depan.
Ning mengunggah poster digital di Instagram dan LinkedIn: foto ruangan lantai dua yang masih sederhana, dengan caption yang panjang tapi jujur.
“Untuk kamu yang sedang mempertanyakan karier, yang merasa gajimu cukup tapi hatimu kerontang, kami membuka ruang kecil bernama Urban Roots. Ini bukan kelas motivasi cepat kaya, bukan pula seminar penuh jargon. Ini ruang untuk jujur, belajar, dan memulai lagi. Lima kursi berbayar, lima kursi beasiswa silang untuk teman-teman pekerja yang ingin naik kelas bersama…”
Dalam hitungan jam, pesan masuk beruntun. Bukan viral jutaan view, tapi cukup untuk memenuhi sepuluh kursi pertama. Ada manajer marketing yang ingin pindah profesi ke dunia sosial, analis bank yang ingin belajar desain UI, perawat yang bercita-cita menjadi content creator, hingga anak driver ojol yang pandai menggambar.
Malam sebelum kelas pertama, Jaya duduk sendirian di ruangan itu. Lampu kuning temaram, kursi sudah disusun, name tag tertata di meja.
Ia menyalakan ponselnya, memutar rekaman suara mesin—bukan gergaji yang asli, hanya sound effect yang ia temukan di internet. Suara ngung… ngung… BRAAAK memenuhi ruangan, menggema di dinding yang baru dicat.
Matanya panas.
“Ayah, tarikannya sudah cukup keras belum?” Ia bertanya dalam hati.
Di layar ponsel, pesan masuk dari ibunya.
Jaya, Mama lihat postinganmu. Mama masih khawatir, jujur. Tapi kalau ini yang bikin kamu menyala, Mama dukung. Cuma satu pesan Mama: jangan lupa bahagia di jalan yang kamu pilih, ya.
Air mata yang ia tahan jatuh juga. Ia membalas pelan.
Terima kasih, Ma. Doakan saja kelas besok tidak bubar sebelum kopi habis.
.
Kelas pertama Urban Roots berjalan lebih kacau dari yang mereka bayangkan, sekaligus lebih indah.
Salah satu peserta datang terlambat karena terjebak macet di tol. Proyektor sempat mati karena overheat. Di sesi berbagi, seorang manajer HR tak kuasa menahan tangis ketika bercerita tentang tahun-tahun di kantor yang membuatnya lupa cara tersenyum tulus.
“Aku punya semua yang dulu kuimpikan,” katanya, suara bergetar. “Gaji, apartemen, liburan ke luar negeri. Tapi setiap Jumat malam, aku duduk sendiri di sofa dan merasa seperti orang asing di hidupku sendiri.”
Ruangan itu menjadi saksi bagaimana orang-orang yang biasanya tampak sempurna di feed media sosial, mendadak tampak rapuh dan nyata. Mereka saling mendengar, bukan menghakimi. Ning memandu diskusi tentang nilai, Umar bercerita tentang keberanian membuka kedai kopi setelah keluar dari pekerjaan korporat, Retna mengajarkan cara menulis surat jujur untuk diri sendiri.
Jaya? Ia duduk di depan, menceritakan empat kali penolakan investor dan bagaimana ia hampir menekan tombol apply pada lowongan law firm yang dikirim ibunya.
“Aku sadar, selama ini aku takut bukan pada kegagalan, tapi pada perubahan citra,” ujarnya. “Aku takut dianggap bodoh karena meninggalkan kantor keren demi ruko kecil di belakang kedai kopi. Padahal…” ia mengehela napas, “mungkin yang bodoh justru bertahan di tempat yang membuat kita perlahan mati rasa.”
Di akhir sesi, mereka tidak memberikan kata-kata motivasi bombastis. Hanya satu kalimat di papan tulis, yang ditulis Retna dengan huruf besar:
“Perjuangan adalah bagian dari tombol ON, bukan tanda bahwa hidupmu rusak.”
Peserta berfoto bersama. Beberapa memeluk Jaya dan tim, mengucapkan terima kasih karena telah menyediakan ruang “aneh tapi perlu” di tengah kota yang sibuk menghitung prestasi.
Di luar, hujan turun lagi. Bukan hujan deras yang memorak-porandakan, tapi gerimis yang membuat bau tanah naik pelan.
Jaya berdiri di ambang pintu lantai dua, memandang lampu-lampu Jakarta yang menari di genangan air. Di belakangnya, suara tawa dan obrolan masih mengisi ruangan. Umar sedang mengangkat gelas kopi, Ning membagikan feedback form, Retna membantu salah satu peserta mengedit paragraf di laptop.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Jaya merasa tidak berada di luar hidupnya sendiri.
.
Beberapa bulan berlalu. Urban Roots tidak mendadak menjadi fenomena nasional. Tidak ada artikel di media besar, tidak ada investor asing yang datang membawa cek kosong. Tapi setiap minggu, kursi di lantai dua itu jarang kosong.
Ada kelas career reboot, kelas digital storytelling, dan kelas dasar desain untuk para pekerja malam. Anak-anak tetangga Umar mulai bisa membuat poster sederhana di gawai murah mereka. Salah satu bahkan menang lomba desain poster di sekolah.
Suatu sore, email baru masuk ke kotak masuk Jaya. Pengirimnya: Kelaswara, dokter-investor yang dulu menolak mereka.
Jayengrana, aku melihat perkembangan Urban Roots dari jauh. Salah satu pasienku yang mengalami burnout bilang, ruang kalian membantunya menemukan alasan untuk bertahan. Aku ingin mengajak kalian bicara lagi. Bukan hanya soal investasi, tapi juga kerja sama program kesehatan mental untuk profesional muda.
Jaya membaca email itu beberapa kali. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena euforia, tapi karena rasa syukur yang tiba-tiba penuh.
Ia mengirim tangkapan layar ke grup WhatsApp mereka.
Jaya: Sepertinya mesin kita mulai mengeluarkan suara…
Umar: BRAAAAK!
Ning: Tuh kan. Tarikan keenam, ketujuh, kedelapan… siapa yang tahu?
Di kursi di ujung ruangan, Jaya duduk sebentar. Ia teringat hari di mana ia hampir kembali ke dunia law firm, hampir menutup folder Urban Roots dan menganggapnya fase sementara.
Jika ia menyerah waktu itu, ia tidak akan melihat perempuan HR yang kembali berani melamar kerja di organisasi nirlaba. Ia takkan menyaksikan anak driver ojol yang tersenyum lebar saat desain poster pertamanya dipajang di dinding kelurahan. Ia takkan membaca pesan ibunya yang sekarang dengan bangga bercerita pada tetangga bahwa anaknya membuka ruang belajar di Jakarta.
“Jika dulu kamu tahu seberapa dekat kamu dengan percikan, kamu mungkin takkan pernah berhenti menarik tali,” pikir Jaya.
Ia tersenyum kecil.
Di luar, langit Jakarta berwarna jingga, memantulkan cahaya di jendela-jendela apartemen mahal dan rumah susun yang rapat. Kota ini tetap bising, tetap penuh kontradiksi. Tapi di satu sudut kecil lantai dua sebuah ruko, sekelompok orang sedang belajar memaknai ulang kata “berhasil”.
Jaya berdiri, menatap papan tulis yang masih menyimpan kalimat dari kelas pertama. Ia menambahkan satu kalimat lagi di bawahnya.
“Yang penting bukan berapa kali kamu menariknya,
tapi bagaimana kamu menjaga hati tetap menyala di setiap tarikan.”
Dan di titik itu, ia tahu: hidup kelas menengah ke atas di kota besar memang penuh tekanan, tapi juga penuh kemungkinan. Selama masih ada yang bersedia menarik tali bersama, mesin mimpi itu akan selalu punya kesempatan untuk menyala.
.
.
.
Malang, 29 November 2025
.
.
#CerpenMinggu #KisahKota #KelasMenengah #PerjuanganHidup #UrbanRoots #MotivasiKarier #NamakuBrandkuSpirit
.
Quotes dari Cerpen
-
“Kadang, yang kita butuh bukan jawaban ‘bisa’ dari dunia, tapi dua tiga orang yang mau bilang, ‘ayo coba lagi bareng-bareng’.”
-
“Perjuangan adalah bagian dari tombol ON, bukan tanda bahwa hidupmu rusak.”
-
“Hidup menengah ke atas bukan berarti perjalanan kita selesai; justru di sanalah kita belajar gagal dengan anggun lalu memulai lagi.”
-
“Yang penting bukan berapa kali kamu menariknya, tapi bagaimana kamu menjaga hati tetap menyala di setiap tarikan.”