Langkah Kecil Mengkhianati Kebiasaan

“Kadang hidup tidak butuh jawaban baru, hanya keberanian mencoba langkah yang berbeda dari kebiasaan.”

.

Panji Wicaksana selalu bangun pada jam yang sama, memeriksa notifikasi yang sama, dan berangkat lewat jalur yang sama. Pagi kota mengilat di kaca apartemennya di kawasan premium Jakarta; gedung-gedung berderet seperti barisan ambisi yang tak pernah tidur. Di bawah sana, jalan layang perlahan padat; klakson, deru bus, dan suara sirene jadi semacam orkestra latar hidupnya.

Rutinitas adalah tenang sekaligus jebakan yang rapi.

Setiap pagi, setelah menuruni lift dari lantai dua puluh tiga, Panji akan berjalan ke kafe kecil di sebelah gedung kantornya. Pesanannya tak pernah berubah: long black, tanpa gula, roti panggang dengan olesan alpukat dan telur setengah matang. Barista sudah hafal; senyum mereka otomatis, seperti signature gesture hospitality yang terlatih.

Hari itu, entah kenapa, di tengah perjalanan dari lobby ke kafe, Panji berhenti.

Ada rasa jenuh yang menempel di dadanya seperti kabut tipis. Semalam ia menutup laptop hampir pukul dua, memoles slide presentasi strategi ekspansi regional perusahaan ritel tempatnya bekerja sebagai Head of Business Strategy. Pekerjaan itu memberi gaji besar, saham, bonus tahunan, dan status yang membuat orang tuanya bangga saat reuni keluarga. Tapi beberapa bulan terakhir, tawa Panji di cermin terdengar asing.

Ia teringat kalimat motivasi yang tak sengaja dibaca di sebuah unggahan: yang paling berbahaya dari rutinitas bukanlah capeknya, melainkan ketika kita berhenti bertanya “kenapa”.

Langkahnya pelan. Di persimpangan kecil menuju kafe langganan, Panji menoleh ke kiri. Di ujung jalan, kira-kira dua ratus meter dari sana, ada kafe lain yang sering ia lihat hanya sekilas dari kaca mobil saat pulang malam. Tak terlalu mencolok. Fasadenya kayu, dengan tanaman rambat dan lampu gantung sederhana. Ia bahkan tidak pernah tahu namanya.

Hari itu, tanpa alasan yang bisa ia jelaskan dengan logika korporat, Panji berbelok ke kiri. Menjauhi kebiasaannya sendiri.

.

Bel pintu kayu berdering halus saat ia mendorong pintu. Aroma kopi bercampur harum kayu dan roti panggang menyambutnya. Ruangan itu hangat, lebih kecil daripada kafe langganannya, tapi punya suasana yang membuat orang ingin duduk lebih lama. Di sudut, rak buku kayu dipenuhi novel, buku pengembangan diri, dan beberapa jurnal bisnis. Di dinding, sebuah peta dunia besar tertempel, penuh jarum kecil berwarna-warni.

Seorang perempuan dengan rambut digelung rapi menatap ke arahnya dari balik mesin espresso. Senyumnya tidak otomatis; ada jeda kecil seolah ia benar-benar sedang memperhatikan kehadiran Panji.

“Selamat pagi. Baru pertama kali ke sini?” tanyanya.

Panji mengangguk. “Kelihatannya begitu.”

“Ada dua tipe pelanggan di sini,” perempuan itu terkekeh pelan. “Yang datang karena tersesat, dan yang datang karena sengaja mengkhianati kebiasaannya. Masuk kategori yang mana?”

Panji terdiam sejenak, lalu ikut tertawa. “Yang kedua, sepertinya.”

Perempuan itu mengulurkan tangan, menyebut namanya, “Rengganis.”

Nama yang seperti diambil dari cerita lama, tapi hari itu melekat di pagi kota masa kini. Panji menyebut namanya balik, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia memperkenalkan diri bukan dengan jabatan, bukan dengan nama perusahaan.

“Hari ini mau minum apa, Panji?” tanya Rengganis, mencatat di buku kecil, bukan di tablet digital seperti kafe lain.

“Biasanya saya pesan long black. Tapi… kalau hari ini, kamu sarankan apa?”

Mata Rengganis berbinar tipis. “Kalau lagi sabotase kebiasaan, sekalian saja. Coba piccolo latte. Kuat tapi lembut. Kayak orang yang capek tapi masih berusaha baik-baik saja.”

Panji tertawa, sedikit kaget betapa kalimat itu menohok. Ia mengangguk. “Saya percaya rekomendasi barista.”

Saat menunggu, pandangan Panji menyapu ruangan. Di dekat kasir, ada toples kaca dengan tulisan spidol: “Kotak Buku: Untuk Beasiswa Baca Anak-Anak Pinggir Rel.” Di sampingnya, foto-foto anak-anak berseragam lusuh sedang duduk membaca di ruang kecil dengan rak buku seadanya.

Di bawah foto, ada sebuah quotes ditulis tangan:

“Privilege bukan sekadar kenyamanan; ia adalah undangan untuk berbagi jalan.”

Rengganis menyadari tatapan Panji. “Itu perpustakaan kecil di kampung sebelah stasiun. Aku dan beberapa teman ke sana seminggu sekali. Ngajari anak-anak baca, bantu PR, sekalian buka kelas mimpi.”

“Kelas mimpi?” Panji mengulang, merasa istilah itu menarik.

“Iya.” Rengganis meletakkan piccolo di atas meja. “Tempat mereka boleh membayangkan hidup di luar batas gang sempit dan trotoar yang mereka kenal. Bukan buat memaksa mereka jadi sesuatu, tapi supaya mereka tahu dunia lebih luas.”

Ada jeda. Di sela suara grinder kopi dan musik lembut, kalimat itu menggema di kepala Panji.

Dunia lebih luas.

“Kalau mau, suatu hari ikut saja,” lanjut Rengganis santai. “Kami selalu butuh orang yang bisa cerita tentang macam-macam profesi. Anak-anak itu tahunya kerja itu cuma jadi pengemudi ojek, kasir minimarket, atau TKI. Padahal ada begitu banyak jalan lain, kan?”

Panji mengaduk pelan minumannya. Ia hampir mengatakan “Saya sibuk”, kalimat standar yang sudah hafal di lidahnya. Tapi entah kenapa, kata-kata itu berhenti di tenggorokan.

“Lihat jadwal dulu,” ujarnya, jawaban aman yang biasa ia pakai untuk menolak hal-hal sosial.

Rengganis mengangguk. “Kalau memang waktunya belum ketemu, tak apa. Hidup semua orang punya ritmenya masing-masing. Tapi kadang, satu jam yang kita sisihkan dari rutinitas bisa mengubah hidup orang lain, dan diam-diam juga mengubah hidup kita sendiri.”

Kalimat itu menempel di kepala Panji lama setelah ia kembali menembus keramaian jalan. Piccolo-nya habis, tetapi rasanya seperti ada sesuatu yang baru saja dimulai.

.

Kantor tempat Panji bekerja menempati beberapa lantai di gedung perkantoran kaca di Sudirman. Di depan lift, karyawan lalu-lalang dengan lanyard mengayun, laptop bag di bahu, dan ekspresi terburu-buru yang seragam. Di ruangannya, tiga layar monitor menampilkan dashboard penjualan, proyeksi grafik, dan slide presentasi yang belum sepenuhnya rampung.

Beberapa jam ke depan, ia tenggelam dalam angka. Target ekspansi ke tiga kota baru, negosiasi dengan investor, hitung-hitungan risiko. Di meja kerjanya ada foto orang tua di rumah lama mereka di Malang: ayah yang pensiunan PNS, ibu yang dulu guru SMA. Keduanya selalu mengingatkan bahwa pendidikan adalah jalan naik kelas, dan stabilitas adalah puncak yang patut disyukuri.

Mereka bangga punya anak yang bisa kuliah di luar negeri, bekerja di perusahaan besar, tinggal di apartemen bernilai miliaran. Panji pun pernah bangga; masih bangga, sebenarnya. Tapi belakangan, rasa bangga itu tercampur sesuatu yang sulit ia namai: lelah, kosong, atau mungkin hanya tanda bahwa ia sedang tumbuh keluar dari ukuran lama.

Siang itu, rapat beruntun. Presentasi, perdebatan, keputusan. Seorang kolega, Ragil, mengirim pesan cepat di internal chat: “Bro, nanti malam nongkrong? Jingo baru balik dari Singapura, katanya ada cerita menarik soal bisnis barunya.”

Panji mengetik balasan, “Kalau nggak lembur, aku nyusul.” Lagi-lagi jawaban aman.

Karirnya telah menjadi orbit utama hidup, menyedot waktu, energi, dan bahkan cara ia menilai dirinya sendiri. Di kalender digitalnya, penuh blok berwarna: meeting internal, meeting investor, business review, performance check-in. Tak ada jadwal untuk perpustakaan kecil di pinggir rel, atau ngobrol random dengan anak-anak yang dunia mereka hanya sejauh lintasan kereta.

Menjelang sore, di sela satu rapat yang molor, Panji memandang layar laptop yang penuh angka. Mendadak ia teringat peta dunia di kafe Rengganis—penuh jarum-jarum kecil yang menandai tempat-tempat yang pernah didatangi pelanggan, atau mungkin tempat-tempat yang ingin mereka datangi.

Di layar laptopnya, dunia dipersempit menjadi kolom-kolom Excel.

.

Malam itu, Panji akhirnya memenuhi ajakan Ragil. Mereka bertemu di rooftop bar sebuah hotel butik di kawasan Senopati, favorit kalangan urban menengah ke atas yang gemar membayar mahal untuk city view dan musik yang cukup keras untuk mengaburkan isi kepala.

Jingo sudah menunggu, kemeja linen putih dan jam tangan mahal yang baru. Ia dulu satu kantor dengan mereka, sebelum memutuskan resign untuk mendirikan startup pendidikan yang menghubungkan mentor profesional dengan anak-anak di daerah.

“Gimana Singapura?” tanya Panji setelah salam dan pelukan singkat.

“Capek tapi seru,” jawab Jingo. “Investor di sana keras, tapi at least mereka mau dengar. Di sini, masih banyak yang pikir edutech itu cuma kelas online buat jualan sertifikat murah.”

Panji tertawa hambar. “Di sini orang masih lebih senang lihat grafik penjualan ritel melompat daripada grafik literasi naik pelan-pelan.”

“Makanya aku pengen ajak kamu gabung,” Jingo menatapnya serius. “Bukan cuma sebagai investor, tapi juga sebagai orang dalam yang ngerti pola pikir korporat. Kita lagi cari cara sinergi dengan CSR perusahaan-perusahaan besar. Kamu cocok jadi jembatannya.”

Panji menghela napas. “Kamu tahu sendiri betapa padatnya hidupku sekarang. Project ekspansi ini gila-gilaan. Targetnya tinggi, tim masih baru, board demanding…”

Ragil memotong dengan tertawa. “Hidup kita ini kayak pitch deck yang nggak kelar-kelar, ya? Selalu ada slide revisi tentang ‘next big thing’ yang harus kita kejar.”

Mereka bertiga terdiam sejenak, memandangi lampu kota yang berkedip di kejauhan. Di bawah sana, orang-orang masih bekerja di co-working, di dapur restoran, di pabrik, di rumah.

“Pan,” kata Jingo pelan, “kamu pernah nggak sih merasa… dunia ini terlalu luas kalau cuma dipakai buat ngejar promosi berikutnya?”

Kalimat itu mengguncang Panji dengan cara yang mirip ketika Rengganis bicara tentang kelas mimpi. Dua suara berbeda, dua dunia yang seolah tak saling kenal—kafe kecil pinggir jalan dan rooftop bar yang mahal—mengucapkan hal yang sama: dunia lebih luas daripada rutinitasnya.

“Kalau aku jujur,” Panji mengaku, “sebenarnya iya. Tapi setiap kali aku mau mikir jauh, selalu keinget cicilan apartemen, asuransi keluarga, ekspektasi orang tua…”

“Tidak ada yang salah dengan keamanan,” ujar Ragil. “Tapi kadang, kita pakai keamanan sebagai alasan untuk tidak jujur pada diri sendiri.”

Jingo mengangguk. “Buatku, keputusan paling menakutkan adalah waktu resign dari kantor nyaman dan gaji besar. Tapi kalau nggak aku lakukan, aku mungkin masih duduk di ruangan itu, pura-pura sibuk sambil nge-scroll feed orang yang hidupnya lebih berani.”

Panji tertawa pelan, getir. Ia tahu dirinya pun sering melakukan itu.

Di tengah tawa, obrolan bergeser ke karir, bisnis sampingan—Ragil baru buka studio fotografi kecil, memanfaatkan passion lamanya; Jingo bercerita tentang rencana kolaborasi dengan komunitas belajar di beberapa kota. Mereka semua adalah representasi kelas menengah ke atas urban yang punya privilege memilih bentuk kelelahan masing-masing: kelelahan mengejar KPI, kelelahan membangun bisnis, kelelahan memperjuangkan idealisme.

Pulang malam itu, Panji menyetir lebih pelan. Di lampu merah dekat stasiun, pandangannya tertumbuk pada gang kecil yang gelap, dengan beberapa anak berlarian mengejar layangan plastik. Di kejauhan, terlihat remang-remang papan kayu bertuliskan “Ruang Baca Pinggir Rel”—nama yang hanya ia kenal dari foto di kafe Rengganis.

Untuk pertama kalinya, ia tidak hanya melihat; ia ingin tahu lebih.

.

Beberapa hari kemudian, Panji kembali ke kafe Rengganis. Ketika bel kayu berdenting, barista itu menoleh dan tersenyum, seolah sudah menduga ia akan datang lagi.

“Piccolo lagi?” tanya Rengganis.

“Piccolo,” jawab Panji. Lalu setelah jeda singkat, ia menambahkan, “Dan… kalau kamu masih buka kelas mimpi itu, aku mau ikut sekali. Coba dulu.”

Tatapan Rengganis berubah hangat. “Besok sore kami ke sana. Tidak ada syarat khusus, cuma datang apa adanya. Ceritakan pekerjaanmu, perjalananmu. Anak-anak itu perlu mendengar bahwa hidup bisa punya banyak bentuk.”

Besok sore. Panji melirik kalender di ponselnya. Ada satu blok meeting yang bisa ia delegasikan kepada tim. Ia mengetuk meja pelan, seperti mengesahkan keputusan yang diambil di ruang rapat dalam dirinya sendiri.

“Baik,” katanya tegas. “Besok aku ikut.”

.

Ruang Baca Pinggir Rel terletak di ujung gang sempit yang lembap, beberapa meter dari lintasan kereta. Ruangan itu hanya berkipas angin, dindingnya dipenuhi poster warna-warni tentang alfabet, angka, dan peta Indonesia. Rak kayu sederhana menampung buku-buku sumbangan dari orang-orang yang tidak pernah menginjakkan kaki ke sini.

Anak-anak duduk di tikar, beberapa berseragam sekolah, yang lain masih mengenakan kaus tipis dan celana pendek. Saat Panji masuk bersama Rengganis, belasan pasang mata menatap penasaran.

“Ini Panji,” Rengganis memperkenalkan. “Kerjanya bikin strategi supaya perusahaan tempat dia kerja bisa berkembang. Ada yang tahu artinya apa?”

Seorang anak mengangkat tangan. “Kayak… pelatih sepak bola yang ngatur pemain, Kak?”

Panji tersenyum lebar. “Kurang lebih begitu. Bedanya, pemainnya adalah toko-toko, produk, iklan, aplikasi, dan orang-orang yang kerja di dalamnya.”

Mereka tertawa. Pelan-pelan, Panji menjelaskan pekerjaannya dengan bahasa sederhana. Ia bercerita bagaimana dulu ia kuliah, magang di berbagai kota, mencoba bisnis kecil-kecilan di kampus—jualan kaus, bikin event, sampai akhirnya direkrut perusahaan besar. Ia menceritakan kegagalan pertama bisnis online-nya, saat ia terlalu percaya diri dan kehilangan hampir semua tabungan.

“Jadi, kalau gagal, terus gimana, Kak?” tanya seorang anak perempuan bernama Sekar.

“Ya sedih,” jawab Panji jujur. “Tapi habis itu, aku belajar. Gagal itu kayak kereta yang lewat di depan gang kalian ini. Bunyinya berisik, bikin kita berhenti bicara sebentar, tapi setelah itu kita bisa ngobrol lagi. Hidup jalan lagi.”

Di sudut ruangan, ada peta dunia kecil yang ditempel seadanya. Jarum-jarum kecil dari kertas warna menghiasi beberapa kota. Rengganis bilang, setiap anak boleh menempel satu jarum di tempat yang mereka impikan untuk dikunjungi atau untuk tinggal dan bekerja kelak.

“Aku pengen ke Malang,” kata seorang anak laki-laki bernama Klana. “Katanya di sana kuliahnya enak, udaranya dingin.”

“Aku pengen ke Bali,” sahut yang lain. “Kerja di hotel, ketemu turis, bisa lihat laut tiap hari.”

Panji merasakan sesuatu menghangat di dadanya. Di hadapan anak-anak inilah, dunia yang ia lihat dari rooftop bar dan kantor megah tiba-tiba mengecil menjadi jarum-jarum kecil di peta kertas. Tapi justru dari sinilah, dunia mereka bisa melebar.

Sebelum sesi ditutup, seorang anak bertanya, “Kak, apa semua orang bisa punya hidup enak kayak Kakak?”

Pertanyaan itu menusuk. Panji menatap mata anak itu, lalu menjawab pelan, “Tidak semua mulai dari tempat yang sama. Tapi kita semua boleh punya mimpi. Dan tugas orang-orang yang sudah lebih dulu sampai di tempat nyaman adalah membantu buka jalan, supaya kalian punya pilihan lebih banyak.”

Ia menambahkan, lebih kepada dirinya sendiri, “Dan kadang, membantu kalian membuka jalan adalah cara kami menemukan jalan baru untuk hidup kami sendiri.”

.

Malam itu, Panji pulang dengan pakaian yang masih rapi tapi berbau sedikit debu dan keringat anak-anak. Di dalam mobil, ia menyalakan radio pelan, membiarkan pikirannya memutar ulang wajah-wajah ingin tahu di Ruang Baca Pinggir Rel.

Di rumah, apartemennya terasa berbeda. Sama-sama rapi, sama-sama wangi diffuser impor, tapi keheningannya tidak lagi menekan. Di meja kopi, ada laptop yang menunggu dibuka, notifikasi pesan dari kantor, dan sebuah buku yang sudah lama tergeletak tanpa tersentuh: buku esai tentang perjalanan dan makna pulang.

Panji mematikan suara notifikasi, mengambil buku itu, lalu duduk di sofa. Pikirannya masih penuh angka target ekspansi, rencana Jingo, kelas mimpi Rengganis, dan tatapan anak-anak pinggir rel.

Ia membuka halaman pertama buku itu. Di bagian depan, ada sebuah kutipan yang seolah ditulis untuknya:

“Kadang yang perlu kita ubah bukan tujuan hidup, tetapi cara kita berjalan menuju ke sana.”

Panji terdiam lama. Di luar, lampu gedung-gedung tinggi terus menyala, menandai kota yang belum selesai bekerja. Tapi di dalam apartemen itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia mengizinkan dirinya berhenti sejenak, bukan karena lelah, tetapi karena sadar ia sedang memilih cara berjalan yang baru.

Besok, ia masih akan datang ke kantor. Masih akan memimpin rapat, mempresentasikan angka, dan menyusun strategi. Tapi kini, di sela-sela itu, ia sudah melihat kemungkinan lain: menjadikan keahliannya bukan hanya mesin yang memutar roda korporat, tapi juga jembatan kecil antara kafe kayu, ruang baca pinggir rel, dan anak-anak yang berani menempel jarum mimpi di peta dunia.

.

Beberapa waktu kemudian, ide-ide yang tadinya hanya menggelayut di kepala mulai menemukan bentuk. Panji mengusulkan program CSR baru di perusahaannya: kemitraan dengan komunitas pendidikan alternatif, termasuk proyek kolaborasi dengan Ruang Baca Pinggir Rel dan platform mentor Jingo. Proposalnya bukan hanya tentang laporan tahunan yang cantik, tetapi tentang indikator perubahan konkret: jumlah anak yang lulus SMA, jumlah keluarga yang mendapat akses literasi finansial, jumlah lulusan yang mendapat magang di perusahaan.

Di awal, board sedikit skeptis. Mereka lebih terbiasa dengan program penanaman pohon berfoto seremonial dan pembagian sembako musiman. Tapi Panji datang dengan data, cerita, dan wajah-wajah anak yang ia bawa dalam slide, bukan sebagai objek belas kasihan, tapi sebagai calon kolega di masa depan.

“Kalau kita bicara ekspansi pasar,” katanya di akhir presentasi, “maka menjaga keberlanjutan talenta adalah bagian dari strategi jangka panjang. Anak-anak ini bukan beban, mereka adalah investasi. Pertanyaannya, apakah kita mau menjadi perusahaan yang hanya menghitung penjualan hari ini, atau yang berani menumbuhkan pembeli dan mitra bisnis untuk dua puluh tahun ke depan?”

Ruang rapat hening sesaat. Lalu perlahan, satu per satu anggota board mengangguk.

Di luar gedung, dunia tetap bising dan padat. Tapi di dalam dirinya, Panji merasakan sesuatu mengklik. Seperti jarum kecil yang akhirnya menemukan titik di peta.

.

Di lain waktu, di kafe kayu milik Rengganis, beberapa anak Ruang Baca Pinggir Rel datang untuk pertama kalinya. Mereka duduk terpesona, menatap mesin kopi yang mendesis, rak buku yang tertata, dan jendela besar yang menghadap ke jalanan kota.

“Tempat ini kayak di film,” bisik Sekar, yang kini mulai rajin menulis cerpen pendek tentang hidupnya di pinggir rel.

Rengganis tertawa, menyodorkan cokelat panas. “Suatu hari, kalian bukan cuma jadi penonton film. Kalian bisa jadi penulis skenario hidup kalian sendiri.”

Di sudut ruangan, Jingo dan Panji berdiskusi sobre modul mentoring. Ragil memotret diam-diam momen-momen kecil itu: tawa, mata berbinar, buku-buku yang dibuka, tangan-tangan kecil memegang cangkir.

Di dinding kafe, quotes baru ditulis Rengganis:

“Hidup kelas menengah ke atas bukanlah akhir cerita, melainkan awal tanggung jawab: bagaimana membuat kenyamanan kita berarti bagi orang lain.”

Panji membaca pelan kalimat itu dan mengangguk dalam hati. Ia tahu, perjalanan ini masih panjang. Hidupnya tidak berubah menjadi dongeng sekejap, ambisi karirnya tidak lenyap begitu saja. Ia masih ingin naik posisi, memperluas jaringan, menambah investasi. Tapi kini ia tahu, ada cara lain memaknai semua itu.

Bukan lagi sekadar lomba siapa paling cepat sampai di puncak, melainkan bagaimana caranya, ketika sampai di puncak, ia tidak lupa melongok ke bawah dan menjuntai tangan.

Malam itu, ketika kota kembali tenggelam dalam kilau lampu dan hiruk pikuk, Panji pulang dengan hati yang berbeda. Di apartemennya, ia kembali mengambil buku, rebah di sofa, dan tersenyum kecil.

Hidupnya mungkin masih berjalan di jalur yang sama, tapi ia tidak lagi orang yang sama. Ia sudah membuktikan sendiri bahwa:

“Satu langkah kecil melawan kebiasaan bisa mengubah arah seluruh perjalanan.”

Dan itu, kadang, lebih dari cukup untuk memulai bab baru.

.

.

.

Malang, 24 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#cerpenIndonesia #kelasMenengahKeAtas #hidupbermakna #edukasialternatif #ruangBaca #kafeKota #karirdankehidupan #privilege #literasi #NamakuBrandku

Leave a Reply