Musim yang Menyembuhkan

“Setiap musim dalam hidup datang membawa peran: ada yang mengajarkan syukur, ada yang memaksa sabar, ada yang menempa kita sampai tangguh. Tugas kita bukan memilih musim, tetapi memilih siapa kita di dalamnya.”

.

Malam di Jakarta turun pelan-pelan seperti tirai sutra biru gelap. Dari lantai tiga puluh, kota itu tampak berkilau—lampu gedung perkantoran, deret apartemen premium, papan iklan raksasa yang tak pernah benar-benar tidur. Di balik kaca lebar yang dingin, Jayengrana berdiri memandangi kemacetan di bawah sana, seperti mengamati miniatur semesta yang tak pernah selesai.

Di meja kerjanya, layar laptop masih menyala. Di sudut kanan, notifikasi e-mail yang belum dibuka menunggu seperti luka yang enggan disentuh:
“Subject: Restrukturisasi Organisasi & Penyesuaian Manajemen.”

Sejak pagi, rumor itu beredar di grup WhatsApp kantor: perusahaan multinasional tempat Jayengrana bekerja sebagai Head of Strategy akan melakukan penggabungan divisi. Ada kata-kata yang paling ia takutkan: penghematan, efisiensi, perampingan.

Ia menghela napas panjang. Di rak buku di belakangnya, bersanding rapi buku-buku manajemen, biografi pengusaha besar, juga beberapa novel karya penulis yang dulu ia baca diam-diam di kelas sastra kampus. Hidupnya, pikirnya, selalu ia rancang seperti proposal proyek: target jelas, timeline rapi, milestone tegas. Namun malam itu, semua tampak keruh.

Pintu apartemen bergeser. Retna masuk, masih mengenakan blazer krem dan sneakers putih. Rambutnya yang sebahu diikat seadanya, riasan wajah sudah sedikit pudar, tapi sorot matanya tetap tajam seperti biasa. Ia baru pulang dari klinik kecantikannya di Kemang—bisnis yang beberapa tahun terakhir tumbuh pelan tapi pasti di tengah persaingan kota.

“Belum tidur?” Retna meletakkan tas di sofa, mendekat, lalu berdiri di samping Jayengrana menghadap jendela.

“Sulit tidur kalau belum tahu besok masih punya jabatan yang sama atau tidak,” jawab Jayengrana setengah bercanda, setengah getir.

Retna tersenyum miris. “Jabatan bisa berubah, tapi kapasitasmu tetap. Kamu bukan kartu nama, Jayeng.”

Kalimat itu sedianya menenangkan. Namun malam itu, Jayengrana justru merasa seperti tanah di bawahnya bergerak pelan. Selama ini, pekerjaannya di kantor konsultansi dan kemudian di perusahaan multinasional menjadi pilar utama hidup mereka: cicilan apartemen, biaya sekolah anak semata wayang mereka di sekolah internasional, investasi di beberapa kafe dan co-working space milik teman-temannya.

“Ret,” ia berbalik menatap istrinya, “kalau besok aku benar-benar dipindahkan ke posisi yang… turun, kamu kecewa nggak?”

Retna mengangkat alis. “Kenapa aku harus kecewa? Musim hidup kita kan nggak selalu musim panen.”

“Ya, tapi…”

“Dengar, Jayeng,” potong Retna lembut, “waktu klinikku baru buka dan pasien belum banyak, kamu nggak pernah tanya apakah aku malu karena belum sesukses teman-temanmu di korporat. Kamu cuma bilang, ‘Ini musim belajar, bukan musim panen.’ Sekarang, kenapa kamu lupa kata-katamu sendiri?”

Jayengrana terdiam. Kata-kata itu terasa seperti cermin yang mendadak dihadapkan ke wajahnya sendiri.

.

Esok paginya, kantor terasa lebih dingin daripada biasanya. Di lantai dua puluh lima gedung perkantoran Sudirman, orang-orang berlalu-lalang dengan langkah yang lebih cepat, suara yang lebih pelan. Di ruang rapat utama, kaca jernih memperlihatkan langit Jakarta yang berawan.

Direktur regional, Umar Maya, berdiri di depan layar. Rambutnya mulai memutih di pelipis, tetapi geraknya masih mantap. Di sampingnya, hadir pula perwakilan dari kantor pusat Asia—Adaninggar, perempuan muda dengan blazer hitam dan gaya bicara lugas.

“Teman-teman,” ujar Umar, “kita semua tahu situasi ekonomi tahun ini. Perusahaan memutuskan menggabungkan divisi Strategy dan Business Development menjadi satu: Growth Office.”

Slide demi slide berganti, menampilkan grafik, tabel, dan kata-kata kunci. Di layar, nama-nama jabatan baru muncul. Lalu, yang paling ditunggu sekaligus ditakuti: daftar struktur.

Jayengrana menahan napas ketika namanya disebut.

“Head of Growth Office akan dipegang oleh… Adaninggar. Sementara Jayengrana akan berperan sebagai Senior Advisor untuk proyek-proyek khusus di Indonesia.”

Ruang rapat seketika senyap. Ada tepuk tangan kecil, formal. Jayengrana merasakan sesuatu di dalam dadanya runtuh pelan. Posisi yang sebelumnya ia duduki kini dialihkan kepada seseorang yang lebih muda, lebih dekat dengan gaya kerja “agile” yang digandrungi kantor pusat. Gelar Senior Advisor terdengar terhormat, tetapi ia tahu, dalam politik kantor, itu sering diartikan sebagai parkir sementara sebelum pintu keluar.

Usai rapat, Umar memanggilnya ke ruangan kaca di ujung koridor. Di sana, pemandangan kota tampak seperti lukisan biru keperakan.

“Jayeng,” ujar Umar, “aku tahu ini bukan kabar yang kamu harapkan.”

Jayengrana berusaha tersenyum. “Sejujurnya, aku merasa seperti sedang dipindahkan dari kursi kemudi ke kursi penumpang.”

“Kadang,” umar menatapnya dalam-dalam, “kita perlu duduk sebagai penumpang untuk melihat jalan dari sudut lain. Kamu terlalu lama menyetir.”

“Artinya?”

“Artinya mungkin ini musim menunggu untukmu. Bukan musim dikejar target. Masih ada proyek-proyek khusus. Kamu masih dibutuhkan. Tapi aku bisa lihat, semesta sedang mendorongmu melihat lebih jauh dari kantor ini.”

Jayengrana spontan mengelak. “Lebih jauh ke mana? Aku sudah nyaman di sini.”

Umar tertawa kecil. “Kenyamanan itu kadang hanya kata lain dari mandek. Jayeng, kamu pernah cerita tentang mimpimu membuka think tank kecil, membantu UMKM dan startup. Kamu pikir aku lupa?”

Itu adalah mimpi lama yang ia simpan di sudut kepala, ditumpuk oleh laporan keuangan dan PowerPoint presentasi. Mendengar Umar menyebutkannya, Jayengrana merasa seperti seseorang yang disusupi masa lalu.

“Maaf, Pak, tapi… mimpi itu rasanya terlalu mahal untuk usia tiga puluh tujuh, dengan cicilan apartemen dan biaya sekolah anak yang naik tiap tahun.”

Umar mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi satu hal yang kupahami setelah tiga puluh tahun bekerja di dunia korporat: musim paling mahal dalam hidup adalah ketika kita menunda panggilan hati terlalu lama.”

.

Beberapa minggu berlalu. Jabatan baru yang terdengar terhormat itu ternyata lebih banyak berisi ruang kosong. Proyek khusus yang dijanjikan belum juga datang. Adaninggar sibuk terbang ke sana kemari, memimpin presentasi ke klien-klien besar. Di meja kerja, Jayengrana lebih sering menjadi tempat singgah orang curhat tentang politik kantor daripada pusat pengambilan keputusan.

Pulangnya, ia mulai lebih sering diam. Di meja makan apartemen, Retna dan anak mereka, Kelaswara yang berusia delapan tahun, bercerita tentang sekolah dan rencana karya seni, sementara ia sekadar mengaduk sup tanpa benar-benar lapar.

Suatu malam, setelah Kelaswara tertidur, Retna menghampirinya di balkon. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau aspal basah dan suara tetes air dari balkon atas.

“Kamu tahu apa bedanya ruang tunggu di rumah sakit dan ruang tunggu di bandara?” tanya Retna tiba-tiba.

“Di bandara lebih banyak orang posting selfie?” jawab Jayengrana datar.

Retna terkekeh. “Bukan. Bedanya adalah: di rumah sakit, orang menunggu sesuatu yang mereka takutkan. Di bandara, orang menunggu sesuatu yang mereka tuju. Sama-sama menunggu, tapi rasanya beda.”

Jayengrana menoleh. “Dan kamu ingin bilang…?”

“Aku lihat kamu sedang berada di ruang tunggu rumah sakit versi karier, Jayeng. Kamu merasa menunggu kabar buruk terus. Padahal siapa tahu ini sebenarnya ruang tunggu bandara, kamu cuma belum lihat tiketnya.”

Ia terdiam. Kata-kata Retna mengendap seperti kopi hitam di dasar cangkir.

“Coba,” lanjut Retna, “tiga bulan ini, kamu pakai untuk hal-hal yang dulu nggak pernah sempat kamu lakukan. Datang ke kafe-kafe yang kamu investasikan, ngobrol dengan para barista dan pemiliknya. Temui teman-teman yang dulu punya mimpi bareng. Siapa tahu, di luar kantor, ada musim lain yang sedang memanggilmu.”

.

Saran itu terdengar sederhana. Tapi justru kesederhanaan itulah yang mulai menggerakkan hidup Jayengrana pelan-pelan.

Ia mulai mengatur jadwal kerja lebih fleksibel. Datang ke kantor pagi, menyelesaikan tugas administrasi, lalu siang hari ia izin work from café—sebuah istilah yang dulu ia gunakan hanya untuk presentasi tren millennial working style.

Salah satu kafe yang ia datangi adalah milik Umar Madi, sahabat kuliahnya yang dulu memilih jalur berbeda. Jika Jayengrana melanjutkan studi manajemen dan kemudian merangkak ke korporat, Umar Madi lebih memilih berbisnis sejak muda: memulai dari food truck, lalu berkembang menjadi jaringan kafe yang kini tersebar di beberapa titik strategis Jakarta dan Bandung.

Di kafe bercat hijau zaitun itu, aroma kopi dan roti panggang berbaur dengan suara lagu indie yang mengalun pelan. Di sudut ruangan, beberapa anak muda bekerja dengan laptop, sebagian lain bercanda sambil memotret minuman untuk Instagram.

“Lihat,” ujar Umar Madi sambil menunjuk meja sebelah, “merekapun lagi kerja meski dibilangnya nongkrong. Musim kerja sekarang sudah beda, bro.”

Jayengrana tersenyum tipis. “Kamu selalu tampak di musim semi, Mar. Ada saja cabang baru yang buka.”

“Ah, kamu salah,” sanggah Umar. “Tahu nggak, dua tahun lalu aku hampir bangkrut. Musim badai yang benar-benar bikin aku nggak bisa tidur. Satu cabang tutup, satu lagi sepi. Aku sampai jual motor kesayangan.”

“Serius?” Jayengrana terbelalak. “Kenapa aku baru tahu?”

“Karena kamu sibuk mengejar target di kantor multi negara itu. Kita ketemu pun cuma pas reuni setahun sekali,” Umar terkekeh. “Di musim badai itu, aku dipaksa belajar: mana menu yang benar-benar dicintai pelanggan, mana sekadar ikut tren. Mana pegawai yang loyal, mana yang lari duluan saat omset turun.”

Ia menatap langsung ke mata Jayengrana.

“Musim badai adalah guru paling jujur. Dia cuma menyisakan yang benar-benar kuat.”

Kalimat itu menampar perasaan Jayengrana. Selama ini, ia selalu membanggakan stabilitas. Tiba-tiba ia menyadari: mungkin ia sebenarnya takut badai. Takut kehilangan status. Takut diseret keluar dari zona nyaman gedung tinggi ber-AC.

“Jadi apa yang kamu lakukan waktu itu?” tanya Jayengrana.

“Aku berhenti mengutuk musimnya,” jawab Umar. “Aku berhenti bertanya ‘kenapa aku?’, dan mulai bertanya ‘apa yang mau musim ini ajarkan?’.”

Jayengrana terdiam lama. Di luar, langit Jakarta mendung lagi, seakan ikut mendengarkan.

.

Di hari-hari berikutnya, Jayengrana mulai mengalami hidup dengan ritme berbeda. Ia mengikuti Retna ke beberapa seminar bisnis kecil yang diadakan komunitas perempuan pengusaha. Ia duduk di barisan belakang, mendengarkan para pemilik usaha rumahan mempresentasikan produk. Ada yang menjual frozen food, ada yang mengembangkan aplikasi edukasi anak, ada yang merintis clothing line dengan konsep keberlanjutan.

Di satu sesi, seorang perempuan berhijab bernama Adaninggar—bukan rekan kantornya, tapi perempuan lain—memaparkan pengalamannya memulai platform edutech untuk anak-anak dari keluarga pekerja migran. Usahanya belum besar, tapi semangatnya menular. Di akhir sesi, ia berkata:

“Kadang hidup memberi kita musim menunggu yang panjang. Jangan salah paham. Mungkin di musim itu, kita sedang disiapkan, bukan diabaikan.”

Kalimat itu menembus dada Jayengrana seperti anak panah halus. Ia seperti mendengar gema dari banyak arah: dari Retna, dari Umar, dari sahabat-sahabatnya. Apakah ini hanya kebetulan, atau semesta benar-benar menggiringnya ke satu pesan yang sama?

Malamnya, di meja makan, ia mengutarakan sebuah ide kepada Retna.

“Bagaimana kalau… kita bikin semacam ruang belajar kecil? Bukan kampus, bukan kursus resmi. Semacam learning space di mana profesional yang lagi bosan, para pemilik UMKM, dan mahasiswa bisa duduk bareng. Belajar soal strategi bisnis, tapi juga soal… hidup.”

Retna memandangnya lekat-lekat. “Istilahnya?”

Jayengrana terkekeh. “Belum sejauh itu. Baru konsep di kepala.”

Retna mengangguk, senyumnya mengembang pelan. “Aku suka idenya. Kota ini terlalu penuh dengan tempat belanja, tapi terlalu sedikit tempat untuk orang dewasa belajar kembali menjadi manusia.”

Ia meraih tangan Jayengrana.

“Kalau kamu benar-benar serius, aku ikut bantu. Klinikku bisa jadi salah satu contoh case study: bagaimana bisnis kecil belajar bertahan di tengah badai.”

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak restrukturisasi diumumkan, Jayengrana tidur dengan dada sedikit lebih lapang.

.

Musim berikutnya datang tanpa drum pengumuman, seperti biasa. Bukan musim yang spektakuler, melainkan perpaduan antara rintik hujan dan sinar matahari malu-malu.

Di kantor, posisinya tetap sebagai Senior Advisor. Namun ia kini memilih memaknai label itu secara berbeda: alih-alih merasa diparkir, ia menjadikannya status semi-bebas yang memungkinkannya mengatur waktu. Gajinya memang tak lagi naik signifikan, tetapi di luar kantor, sesuatu yang lain mulai bertumbuh.

Ia dan Retna menyewa sebuah rumah tua di daerah Menteng lama. Halamannya cukup luas untuk menampung beberapa meja kayu, rak buku, dan papan tulis besar. Mereka menamakannya “Musim Rumah Belajar”.

Sabtu pagi, beberapa anak muda datang: ada Prabu, karyawan bank yang jenuh dengan tabel-tabel laporan; ada Kelaswara kecil yang senang duduk di sudut menggambar; ada juga Umar Madi yang sesekali hadir memberi sesi tentang mengelola F&B di kota yang tak pernah tidur.

Jayengrana mengisi sesi pertama dengan cara yang tak pernah ia lakukan di ruang rapat kantor.

“Hari ini,” katanya, “kita nggak mulai dengan rencana bisnis. Kita mulai dari pertanyaan: ‘Musim apa yang sedang kalian jalani?’”

Mereka saling pandang, lalu satu per satu mengangkat tangan dan berbagi cerita. Ada yang sedang di musim penantian lamaran kerja, ada yang di musim badai rumah tangga, ada pula yang sedang menikmati musim tenang setelah keluar dari pekerjaan toksik.

Sambil mendengarkan, Jayengrana menyadari betapa banyak manusia kota menahan napas dalam diam, takut mengakui bahwa mereka lelah, bingung, atau kesepian. Di balik mobil cicilan dan apartemen berfasilitas lengkap, ada musim-musim yang tak pernah diunggah di Instagram.

Di akhir sesi, ia menulis di papan tulis:

“Jangan terburu-buru ingin lewat dari musim sulit, karena sering kali di situlah akar kita diperdalam.”

Para peserta menyalinnya ke buku catatan, sebagian memotret dengan ponsel.

Umar Madi menepuk pundaknya pelan. “Kamu ternyata cocok jadi guru, Jayeng.”

“Bukan guru,” bantah Jayengrana. “Aku cuma orang yang kebetulan sedang belajar di musim yang sama.”

Mereka tertawa.

.

Namun hidup, seperti kota, selalu punya tikungan tak terduga. Musim baru datang justru ketika Jayengrana merasa mulai menemukan ritme.

Suatu siang, ia menerima kabar dari HR: perusahaan memutuskan menutup kantor cabang Indonesia dan memindahkan sebagian besar fungsi ke Singapura. Ada tawaran: relocation dengan kontrak baru, atau pesangon yang lumayan besar.

Di rumah, ia dan Retna duduk berdua di meja makan. Di antara mereka, secangkir teh yang sudah dingin.

“Kalau aku pindah ke Singapura,” ujar Jayengrana pelan, “gaji dan fasilitas akan jauh lebih baik. Tapi kita harus meninggalkan rumah belajar ini, klinikmu, sekolah Kelas.”

“Kalau kamu ambil pesangon,” balas Retna, “kita bertahan di kota ini dengan segala ketidakpastian. Tetapi kita punya kesempatan melanjutkan Musim Rumah Belajar. Dan kamu mungkin bisa mulai konsultan sendiri, seperti yang dulu kamu ceritakan.”

“Kamu sendiri maunya apa?” tanya Jayengrana.

Retna menatapnya lama. Di matanya, ada kilat ragu sekaligus yakin.

“Aku maunya kita memilih dengan tenang,” jawabnya. “Bukan karena takut musim dingin, bukan juga karena tergoda musim panas. Tapi karena kita percaya, di manapun nanti, kita nggak sendirian.”

Jayengrana menunduk. Ia teringat kata-kata Umar: ‘Musim paling mahal dalam hidup adalah ketika kita menunda panggilan hati terlalu lama.’ Ia juga teringat wajah-wajah di Rumah Belajar, dan bagaimana ia sendiri merasa sembuh setiap kali mendengar mereka bercerita.

“Ret,” suaranya bergetar sedikit, “aku capek pindah-pindah musim tanpa benar-benar tinggal. Selama ini, setiap kali ada tawaran lebih tinggi, aku selalu lompat. Mungkin kali ini, kita perlu memilih untuk berakar.”

Retna mengulurkan tangan, menggenggam jemarinya. “Kalau begitu, mari kita bertahan. Bukan karena tidak ada pilihan, tapi karena kita memilih musim ini.”

.

Setahun kemudian, Jakarta tidak berubah secara dramatis. Macet tetap macet, gedung-gedung baru tetap tumbuh seperti jamur di musim hujan. Namun bagi Jayengrana, kota itu kini terasa berbeda—lebih riuh, tetapi juga lebih dekat.

Musim Rumah Belajar berkembang pelan. Mereka tak memungut biaya tinggi, hanya sekadar kontribusi sukarela. Namun dari sana, lahirlah beberapa proyek kecil: konsultasi strategi untuk kedai kopi rumahan, pelatihan layanan pelanggan bagi pemilik guest house di Bogor, hingga program mentoring gratis bagi mahasiswa tingkat akhir yang bingung menentukan arah karier.

Pesangon dari kantor dulu mereka kelola dengan hati-hati. Sebagian menjadi dana darurat, sebagian lagi disalurkan untuk memperbaiki rumah belajar, membeli buku, dan memberikan beasiswa kecil bagi peserta yang benar-benar membutuhkan.

Suatu sore, ketika hujan turun tipis, Jayengrana berdiri lagi di depan jendela rumah mereka. Kali ini, pemandangan bukan gedung tiga puluh lantai, melainkan pepohonan tua dan deret rumah tua yang berjajar. Di halaman, Kelaswara bermain lompat tali bersama dua anak tetangga. Di teras, Retna sibuk berkirim pesan dengan pasien klinik sekaligus menjadwalkan sesi sharing di Rumah Belajar akhir pekan nanti.

Umar Madi datang membawa dua gelas kopi panas. “Musim apa sekarang, menurutmu?” tanyanya sambil menyodorkan satu gelas.

Jayengrana tersenyum. “Mungkin musim transisi. Hujan masih turun, tapi aku sudah nggak menggigil.”

“Bagus,” jawab Umar. “Berarti jaketmu sudah cukup tebal.”

Mereka tertawa pelan.

“Kadang aku masih rindu hiruk-pikuk ruang rapat dan deadline presentasi,” aku Jayengrana. “Tapi kalau aku membayangkan kembali ke sana, aku sadar: aku bukan lagi orang yang sama.”

“Begitulah musim,” kata Umar. “Dia mengubah kita pelan-pelan sampai suatu hari kita menyadari: kita sudah bukan pohon yang sama, meski akarnya masih di tanah yang sama.”

Angin membawa aroma tanah basah. Di benak Jayengrana, muncul kalimat yang ingin ia tulis di papan tulis Rumah Belajar akhir pekan nanti:

“Musim tenang mengajarkan kita bersyukur; musim menunggu mengajarkan kita bersabar; musim badai mengajarkan kita bertahan. Setiap musim ada tugasnya, dan setiap kita punya pilihan: mengutuk atau belajar.”

Ia tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar percaya bahwa setiap bab dalam hidupnya—dari ruang rapat gedung tinggi hingga ruang sempit Rumah Belajar—memang punya tujuannya masing-masing.

Dan mungkin, pikirnya, tugas seorang manusia bukanlah memastikan hanya musim yang indah yang datang, melainkan menyiapkan hati agar tetap utuh, apapun musimnya.

.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah sesi Rumah Belajar, seorang peserta baru bernama Kelaswara—bukan anaknya, tapi mahasiswa yang kebetulan namanya sama—mengangkat tangan.

“Mas,” katanya, “aku baru saja kehilangan pekerjaan paruh waktu. Rasanya seperti ditarik mundur dari jalur yang sudah susah payah kubangun. Gimana kalau ternyata ini bukan musim menunggu yang mempersiapkan, tapi musim yang membuang?”

Ruangan hening. Semua menatap Jayengrana, menunggu jawabannya.

Jayengrana menarik napas dalam-dalam. Di kepalanya, berkelebat kembali rapat restrukturisasi, tawaran pindah ke luar negeri, malam-malam gelisah di balkon apartemen, hingga obrolan di kafe hijau zaitun dan halaman rumah belajar ini.

“Kalau musim ini betul-betul sedang ‘membuang’, seperti katamu,” ujarnya pelan, “mungkin yang dibuang bukan dirimu, tapi hal-hal yang selama ini menempel padamu. Hal-hal yang membuatmu lupa siapa dirimu tanpa titel dan seragam.”

Ia menatap si mahasiswa, lalu seluruh ruangan.

“Percayalah,” lanjutnya, “tidak ada musim yang sia-sia. Ada musim yang kita syukuri saat sedang menjalaninya, ada musim yang baru kita pahami tujuannya bertahun-tahun kemudian. Tapi pada akhirnya, setiap musim sedang menyusun kita menjadi seseorang yang siap untuk bab berikutnya.”

Kelaswara muda mengangguk, air matanya berkilat. Di sudut ruangan, Retna mencatat sesuatu di buku kecilnya—mungkin ide untuk sesi berikutnya di klinik, mungkin sekadar kalimat yang ingin ia simpan.

Di luar, hujan mereda. Cahaya sore merembes melalui jendela, jatuh ke lantai kayu dan wajah-wajah yang berkumpul. Untuk sesaat, semua terasa tenang, seperti jeda panjang di antara dua musim besar.

Dan di tengah keheningan itu, Jayengrana merasa sesuatu mengendap dalam dadanya: bukan lagi ketakutan, bukan pula euforia. Melainkan sebuah keyakinan pelan bahwa ia berada tepat di musim yang seharusnya—musim yang, entah bagaimana, perlahan menyembuhkan.

.

.

.

Malang, 24 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#musimkehidupan #cerpenIndonesia #kelasmenengahkota #krisiskarier #pengembangandiri #bisniskecil #rumahbelajar #inspirasihidup #literasikota

Leave a Reply