Waktu yang Memilihkan Jalan

“Kadang hidup tidak menunggu kita siap. Ia hanya bergerak—dan kita dipaksa mengikuti arah yang waktu pilihkan.”

.

Senja di balkon kafe itu selalu datang pelan-pelan, seolah enggan mengganggu percakapan manusia yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Dari lantai dua sebuah kafe di tepi teluk, lampu-lampu kota Surabaya menyala satu per satu, bercampur dengan warna oranye yang memantul di permukaan air.

Panji menyandarkan punggung di kursi rotan, memutar cangkir latte yang sudah dingin. Di bawah sana deru kendaraan dari jalan raya terdengar seperti desis ombak yang tak pernah benar-benar sampai ke pantai.

Di layar ponselnya, notifikasi rapat Zoom bertumpuk: klien start-up, investor kecil-kecilan, kampus swasta yang meminta ia mengisi kuliah tamu soal “karier lintas disiplin”. Nama Panji sudah cukup dikenal di lingkaran profesional kelas menengah ke atas: lulusan kampus negeri ternama, mantan konsultan manajemen besar, kini beralih menjadi co-founder sebuah learning hub yang menggabungkan coworking, kafe, dan ruang kelas kreatif.

Di atas kertas, hidupnya tampak berjalan mulus. Di dalam kepala, semuanya berantakan.

“Kamu yakin mau sendiri?” suara Rengganis memecah lamunannya. Perempuan itu duduk di seberang meja, menatap Panji di sela-sela rim kacamata bulatnya. Ia mitra bisnis sekaligus sahabat yang sudah ikut sejak awal, ketika mereka berdua memutuskan keluar dari zona aman kantor untuk membangun ruang belajar mandiri bernama “Rumah Lindu”.

Panji mengangkat bahu. “Sesi mentoring habis, anak-anak sudah pulang. Aku cuma butuh… diam sebentar.”

Rengganis mengangguk, seolah mengerti lebih banyak daripada yang diucapkan. “Kadang kita pikir kita sedang berhenti. Padahal hidup cuma ganti jalur.”

Ucapan itu menempel di kepala Panji, tetapi ia memilih tersenyum tipis. “Katanya kamu pulang duluan? Besok pagi ada kelas branding.”

“Masih nunggu ojek online. Kamu jangan pulang terlalu malam. Besok kita ketemu jam delapan,” jawab Rengganis. Ia berdiri, merapikan tote bag, lalu menepuk bahu Panji. “Jangan terlalu kejam sama diri sendiri, Ji. Yang kuat boleh istirahat.”

Panji hanya bergumam. Setelah Rengganis pergi, ia kembali menatap layar ponsel. Di bagian atas, chat dari Sekar masih berhenti di pesan terakhir tiga bulan lalu.

“Aku sudah sampai Amsterdam. Doakan sidang doktorku lancar. Jaga dirimu, Panji. Bukan cuma sebagai kekasih yang kutinggalkan, tapi sebagai orang yang akan kubanggakan, entah nanti kita masih bersama atau tidak.”

Kalimat itu seperti pil pahit yang dibiarkan larut pelan-pelan di tenggorokan. Sekar, perempuan dengan rambut sebahu dan tawa yang selalu meletup di kafe-kafe kecil, memilih pergi mengejar beasiswa impiannya. Mereka mencoba bertahan dengan jarak, tapi pelan-pelan percakapan menipis, video call berubah menjadi sekadar laporan cuaca, sebelum akhirnya… senyap.

Bukan pertengkaran besar yang mengakhiri mereka, melainkan ratusan hari yang dijejali perbedaan waktu, tekanan akademik, dan kelelahan dua orang dewasa yang sama-sama ingin membuktikan diri.

Panji menghela napas. Di depan matanya, senja menebal. Ia teringat kalimat di sebuah unggahan motivasi yang lewat di beranda media sosialnya siang tadi: “You weren’t lost. You were being placed.”

Matanya memanas. “Kalau ini yang disebut ‘placed’,” gumamnya, “kenapa rasanya lebih mirip ditinggalkan di tengah perempatan?”

.

Pagi di Jakarta, tiga tahun sebelumnya, selalu dimulai dengan suara pengumuman MRT dan aroma kopi sachet di pantry kantor konsultan tempat Panji bekerja. Saat itu hidupnya masih rapi: jas abu-abu, sepatu kulit mengilat, presentasi di gedung-gedung tinggi Sudirman.

Ia baru saja dipromosikan menjadi project manager, memimpin tim muda mengerjakan restrukturisasi sebuah perusahaan retail besar. Gaji naik, bonus lumayan, tabungan perjalanan ke luar negeri sudah disusun bersama Sekar yang ketika itu mengajar di kampus swasta.

Semua orang bilang Panji “hampir sempurna”: karier bagus, pasangan cerdas, keluarga harmonis. Ia pun hampir percaya.

Lalu datanglah tahun ketika pandemi menelan satu per satu proyek. Perusahaan klien gulung tikar. Kantor konsultan mulai merumahkan karyawan. Panji, yang selama ini merasa aman, tiba-tiba menerima email singkat: restrukturisasi internal. Posisi dipangkas. Terima kasih atas kontribusinya.

Hari itu ia pulang ke apartemen kecil mereka di Kuningan tanpa kata-kata. Sekar, yang baru selesai mengajar daring, memeluknya lama.

“Ini bukan salahmu,” ujar Sekar. “Dunia sedang belajar ulang cara bernafas.”

“Mereka bilang aku masih bisa jadi konsultan independen,” balas Panji hambar. “Tapi aku tahu artinya: selamat, sekarang kamu pengangguran yang dibungkus kalimat sopan.”

Beberapa bulan setelah itu menjadi rangkaian hari yang kacau: webinar demi webinar, proposal proyek ditolak, rekening tabungan menyusut. Sekar mendapat kabar diterima program doktoral di luar negeri, namun keberangkatannya tertunda beberapa kali.

“Kayak hidup cuma ditahan di tombol pause,” kata Sekar suatu malam, ketika mereka duduk di balkon apartemen memandang lampu-lampu kota yang meredup karena pembatasan jam operasi.

Panji hanya mengangguk. Dalam hati ia menyalahkan banyak hal: virus, ekonomi, bos-bos yang cuma pikirkan angka, bahkan sekilas—Tuhan. Sampai suatu hari, ia melihat iklan kecil di media sosial tentang pelatihan daring untuk para profesional yang ingin beralih karier menjadi fasilitator belajar dan mentor.

Fasilitator. Mentor. Kata-kata yang dulu ia anggap hanya pelengkap modul HR, mendadak memanggil.

“Coba ikut, Ji,” dorong Sekar. “Sejak dulu kamu paling bersinar ketika menjelaskan sesuatu ke orang lain. Mungkin ini jalur baru.”

Panji ragu. “Aku konsultan, Kar. Biasa main di level korporat. Masa sekarang ngajarin kelas kecil-kecilan?”

Sekar tertawa lembut. “Menolong satu orang pun sudah cukup revolusioner, bukan?”

Ia mendaftar dengan sisa honor proyek terakhirnya. Dari pelatihan itu Panji bertemu Rengganis—seorang mantan banker yang banting setir jadi pengajar keuangan untuk UMKM. Dari diskusi-diskusi panjang di ruang Zoom yang sering terganggu sinyal, lahirlah ide mendirikan learning hub sendiri: ruang yang menggabungkan kelas keterampilan praktis, coaching karier, dan kafe kecil untuk menutup biaya operasional.

Setelah pembatasan dilonggarkan, mereka memilih ruko tiga lantai di pinggir kota Surabaya—lebih terjangkau daripada Jakarta, namun tetap dekat dengan denyut urban. Nama “Rumah Lindu” mereka pilih dari kisah lama Menak Jawa yang sering diceritakan ayah Panji: tentang seorang tokoh bernama Lindu yang tak pernah benar-benar menetap, tapi kehadirannya selalu menenangkan setiap kampung yang singgah ia datangi.

“Rumah yang bisa jadi tempat pulang, meski cuma sebentar,” jelas Panji kepada calon investor pertama mereka, seorang pengusaha restoran bernama Jaya yang sekaligus teman lama Sekar.

“Dan tempat menata ulang arah,” tambah Rengganis.

Rumah Lindu pelan-pelan tumbuh: kelas public speaking, kursus desain untuk ibu rumah tangga kelas menengah yang ingin membuka usaha daring, sesi mentoring karier untuk karyawan korporat yang mulai bosan dengan rapat tanpa akhir. Kafe di lantai satu jadi tempat nongkrong anak-anak muda yang menenteng MacBook dan mimpi.

Karier Panji bergeser, bukan jatuh. Tapi ego di dalam dirinya lama menolak mengakui bahwa ini juga “sukses” dengan bentuk berbeda.

Sampai hari ketika Sekar akhirnya berangkat ke Amsterdam.

.

Malam itu, di balkon kafe yang sama tempat Panji kini duduk sendirian, mereka dulu menghabiskan detik-detik menuju waktu boarding.

“Aku takut, Ji,” kata Sekar, memeluk mug cokelat panasnya. “Takut kalau ketika aku pulang, kita sudah jadi dua orang yang terlalu jauh berubah.”

“Kita memang akan berubah,” jawab Panji perlahan. “Justru akan aneh kalau kita tidak berubah selama beberapa tahun ke depan.”

“Dan kalau perubahan itu membuat kita tak lagi cocok?” tanya Sekar, menatapnya dengan mata yang tak berani berair.

Panji menghela napas. “Kalau memang begini alurnya, berarti tugas kita bukan melawan, tapi memastikan kita tak saling melukai di tengah perjalanan.”

Sekar menunduk. “Kamu selalu kedengaran bijak saat aku panik.”

“Padahal di kepala aku juga kacau,” Panji tertawa pahit. “Tapi aku percaya satu hal: apa pun yang terjadi nanti, pertemuan kita bukan kesalahan.”

Mereka tak pernah benar-benar putus. Namun waktu dan jarak melubangi percakapan, sampai akhirnya mereka memilih untuk tidak lagi menanyakan harapan, hanya mengabarkan kabar. Sebuah cara berpisah yang rapi sekaligus menyiksa.

.

Di masa setelah kepergian Sekar itulah Rumah Lindu justru berkembang pesat. Satu per satu alumni program mereka mengirimkan kabar: bisnis roti rumahan yang naik kelas, karier corporate yang menemukan makna baru, kampus yang menjadikan modul mereka sebagai bagian kurikulum.

Panji sibuk. Tapi kesibukan yang tak diisi, hanya akan menumpuk sunyi.

Suatu hari, seorang peserta kelas bernama Ragil datang terlambat. Napasnya tersengal, mata sembab.

“Maaf banget, Kak. Anak saya tadi tantrum, nggak mau ditinggal,” ujarnya gugup sambil menyalakan laptop.

Panji menahan kelas, memberi Ragil waktu menenangkan diri. Setelah sesi selesai, ia mengajaknya bicara di pojok kafe.

“Kenapa kamu maksa datang kalau lagi seribet itu?” tanya Panji pelan.

Ragil menghela napas. “Karena saya butuh ini, Kak. Bukan cuma materinya, tapi merasa… masih punya hak untuk bermimpi. Di rumah, semua orang bilang ibu rumah tangga nggak perlu muluk-muluk, cukup ikut arus suami. Tapi ketika ikut kelas di sini, saya diajak mikir tentang saya sebagai manusia, bukan hanya peran.”

Kata-kata Ragil menikam lembut dada Panji. Malam itu ia pulang dan duduk lama di depan cermin kamar kosnya yang sederhana. Bayangan seorang lelaki awal empat puluhan menatap balik: lingkaran mata menggelap, pipi sedikit mengurus.

“Apa yang kamu kejar, Ji?” ia bertanya pada dirinya sendiri. “Status? Pengakuan? Atau kesempatan melihat orang lain menemukan versi terbaik dirinya?”

Dalam hening itu, ia menyadari sesuatu: kehilangan pekerjaan dulu memaksanya meninggalkan medan perang yang salah. Kepergian Sekar, betapapun menyakitkan, memberi ruang agar fokusnya tak lagi terbagi antara mengejar validasi dan membangun rumah baru untuk banyak orang.

“Tidak ada yang benar-benar acak,” bisiknya, mengulang kalimat di poster motivasi yang setengah ia ejek, setengah ia percayai. “Mungkin aku tidak sedang tersesat. Hanya sedang ditaruh di tempat yang belum kupahami.”

.

Kembali ke malam di balkon kafe, ketika senja sudah bergeser menjadi malam, Panji bangkit dari kursinya. Ia menuruni tangga ke lantai satu, melewati deretan foto kegiatan yang ditempel Rengganis di dinding: sesi sharing alumni, workshop UMKM, kelas remaja yang belajar presentasi.

Di depan bar kopi, seorang pemuda bertopi hitam sedang menunggu pesanannya. Wajahnya familiar.

“Panji?” tanya pemuda itu ragu.

Panji mengernyit. “Jaya?”

Ya, Jaya, sang investor pertama mereka, kini tampak lebih santai dengan kemeja linen dan ransel kamera. Mereka bersalaman dan tertawa kecil, seperti dua tokoh dalam film yang tak sengaja dipertemukan di adegan baru.

“Aku baru dari bandara,” kata Jaya. “Transit sebentar sebelum balik Jakarta. Sempatin mampir liat Rumah Lindu. Gila, sekarang sudah seramai ini.”

“Padahal dulu kamu hampir nggak jadi investasi,” canda Panji. “Kamu bilang konsepnya terlalu idealis.”

Jaya terkekeh. “Dan lihatlah, idealisme kalian ternyata lebih tahan banting dari banyak bisnis yang cuma ngejar tren.”

Mereka mengobrol sebentar tentang perkembangan kota, rencana kerja sama kecil-kecilan, hingga tiba-tiba Jaya berkata, “Oh ya, aku ketemu Sekar minggu lalu.”

Dada Panji menegang. “Di Amsterdam?”

“Di Jakarta,” jawab Jaya tenang. “Dia lagi libur singkat, isi seminar di kampusku. Katanya habis ini muter ke beberapa kota, termasuk Surabaya. Dia ingin mampir ke sini, tapi belum berani menghubungi kamu duluan.”

Panji terdiam. Suara mesin espresso mengisi celah sunyi di antara mereka.

“Dia bilang satu hal, yang kupikir harus kamu dengar,” lanjut Jaya. “Katanya, ‘Kalau bertemu Panji, sampaikan: aku tidak menyesal pergi. Tapi aku juga tidak pernah menganggap dia sekadar episode yang lewat. Dia bagian dari alasan aku berani.’”

Ada sesuatu yang meluruh di dalam dada Panji. Bukan lega, bukan pula sedih—lebih seperti menyadari bahwa sebuah pintu yang lama ia kira tertutup rapat, sebenarnya hanya dibiarkan menyisakan celah untuk cahaya.

“Terima kasih sudah menyampaikan,” ucapnya pelan.

Jaya menepuk bahunya. “Kamu tahu, Ji, kita sering mengira semesta menghukum saat semuanya berantakan. Padahal bisa jadi itu cuma cara hidup menggeser furnitur, supaya ruanganmu cukup menampung hal-hal baru.”

Setelah Jaya pergi, Panji berdiri di depan pintu kaca Rumah Lindu yang memantulkan sosoknya. Di belakangnya, beberapa peserta kelas networking masih mengobrol, tertawa, merencanakan kolaborasi.

Panji menatap logo sederhana yang mereka desain dengan tergesa dua tahun lalu: siluet rumah dengan garis melengkung seperti tangan yang merangkul. Di bawahnya tertera slogan kecil yang dulu ia tulis bersama Sekar: “Tempat menata ulang arah.”

Tempat menata ulang arah. Mungkin sejak awal, hidup memang sedang menata ulang dirinya juga.

.

Beberapa minggu kemudian, Rumah Lindu menggelar acara “Senja di Balkon: Obrolan Lintas Karier”. Mereka mengundang alumni yang berhasil melakukan career switch untuk berbagi pengalaman. Panji membuka acara dengan cerita singkat tentang kegagalannya di korporat dan perjalanan membangun ruang belajar ini.

Di barisan depan, seorang perempuan dengan rambut sebahu dan syal krem duduk dengan tenang. Panji hampir kehilangan ritme saat mata mereka beradu. Sekar.

Setelah sesi usai dan peserta mulai berbaur, Sekar berjalan perlahan mendekatinya. Wajahnya terlihat sedikit letih, tapi senyumnya masih sama: menenangkan.

“Halo, Panji,” sapa Sekar. “Rumah Lindu ternyata lebih hangat daripada di foto.”

Panji tertawa kaku. “Kamu datang juga. Kupikir cuma rumor.”

“Rumor apa?” Sekar mengangkat alis.

“Rumor bahwa semesta kadang berbaik hati mempertemukan orang yang masih punya percakapan tertunda,” jawab Panji.

Sekar menahan senyum. “Mungkin semesta sedang iseng.”

Mereka duduk di pojok balkon, tepat di meja tempat Panji dulu sering menatap senja sendirian. Kali ini langit Surabaya dipenuhi warna ungu muda, seolah melukis babak baru.

“Aku dengar kamu sibuk keliling jadi pembicara,” kata Panji, memecah hening. “Selamat ya. Mimpimu pelan-pelan terwujud.”

“Terwujud karena aku belajar keras, dan… karena dulu ada kamu yang percaya duluan,” jawab Sekar pelan. “Kamu sendiri? Tadi cerita kamu di depan orang-orang, tapi aku mau dengar versi yang tidak difilter.”

Panji menghela napas panjang. “Jujur? Di awal aku merasa hidup menghancurkan semua yang sudah kubangun. Karier, rencana pernikahan, feel secure. Tapi semakin lama, aku melihat pola: setiap ‘kehilangan’ itu ternyata membuka ruang baru. Kamu pergi, aku punya waktu fokus membesarkan Rumah Lindu. Pekerjaanku hilang, aku terpaksa belajar ilmu baru. Delay, heartbreak, salah belok—semua itu ternyata bukan serangkaian kebetulan sial.”

Sekar menatapnya dalam-dalam. “Dulu aku takut kepergianku mencatatkan aku sebagai ‘antagonis’ di hidupmu.”

“Kita bukan film hitam putih, Kar,” jawab Panji. “Tidak ada tokoh jahat mutlak. Hanya orang-orang yang saling menguji batas.”

Mata Sekar berkaca-kaca. “Aku… minta maaf karena menghilang pelan-pelan. Aku tidak tahu cara memegang tanganmu dan mimpiku sekaligus, waktu itu.”

“Aku juga minta maaf karena diam. Karena terlalu sibuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja, padahal tidak,” kata Panji jujur. “Tapi sekarang, ketika melihatmu di sini, aku lebih banyak merasa bersyukur daripada marah.”

“Bersyukur?” Sekar mengulang.

“Ya. Karena semua chaos yang kita jalani akhirnya mengarah ke titik ini,” Panji tersenyum. “Kamu mengajar di luar negeri, aku membangun rumah belajar di sini. Kita berdua sama-sama dipakai hidup untuk hal yang lebih besar dari ego kita.”

Sekar mengusap air mata yang lolos. “Jadi… setelah semua ini, apa yang kamu percaya, Ji?”

Panji menatap langit yang perlahan diselimuti malam. “Aku percaya: tidak ada pertemuan yang murni kebetulan, tidak ada luka yang benar-benar sia-sia. Semesta mungkin tidak peduli pada rencana detail kita, tapi ia selalu serius pada proses tumbuhnya.”

Sekar terdiam, lalu tersenyum. “Kamu masih suka bikin kalimat yang kedengarannya seperti kutipan di poster motivasi.”

“Kali ini bukan poster,” Panji tertawa kecil. “Ini hasil tempaan data, air mata, and coffee.”

Mereka tertawa bersama. Tidak ada janji untuk kembali seperti dulu, tidak ada juga kesepakatan untuk benar-benar menutup buku lama. Yang ada hanya dua orang dewasa yang mengakui kenyataan: mereka pernah saling mencintai, pernah saling menyakiti, dan kini memilih saling menghormati arah yang berbeda.

Di ujung percakapan, Sekar berkata pelan, “Terima kasih, Ji. Karena dulu kamu pernah menjadi rumah yang membuatku berani pergi. Dan sekarang kamu membangun Rumah Lindu untuk banyak orang yang butuh keberanian serupa.”

Panji mengangguk. “Terima kasih juga. Karena meninggalkan ruang kosong yang memaksaku bertanya: apa sebenarnya tujuan hidupku, kalau semua atribut diambil?”

Malam itu, ketika Sekar pamit dan turun tangga, Panji berdiri sendirian di balkon. Di bawah sana, lampu-lampu kota berkelip seperti kode rahasia.

Ia teringat kalimat yang pernah ia baca: “There are no coincidences, only alignment disguised as chaos.”

Mungkin benar, batinnya. Tidak ada yang benar-benar acak. Bukan rasa sakit yang ia alami, bukan orang-orang yang datang dan pergi, bukan kota-kota yang ia singgahi, bukan pula keterlambatan yang dulu ia kutuki. Semua hanya barisan titik yang perlahan membentuk garis, mengarahkannya ke tempat ia seharusnya berdiri hari ini.

Rumah Lindu, dengan segala kelelahan yang menyertainya, bukan lagi sekadar proyek bertahan hidup. Ia telah menjadi penempatan—placement—yang tak pernah ia bayangkan, tetapi kini sanggup ia syukuri.

Panji mengangkat ponsel, membuka catatan kosong, lalu menulis satu kalimat untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang kelak ia bimbing:

“Hidup tidak selalu memberi jawaban cepat, tetapi ia jarang sekali keliru menempatkan kita. Luka hari ini bisa jadi alamat menuju peran yang kita butuhkan esok.”

Ia tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, senyum itu terasa utuh—bukan topeng bagi klien, bukan tameng untuk sahabat, melainkan senyum seseorang yang akhirnya berdamai dengan alur hidupnya sendiri.

Dan di kejauhan, di antara kelap-kelip kota dan hembus angin teluk, seolah-olah semesta ikut tersenyum balik.

.

.

.

Malang, 22 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#WaktuYangMemilihkanJalan #CerpenIndonesia #CerpenKota #TakAdaKebetulan #PerjalananHidup #RumahLindu #JeffreyWibisonoStyle #NamakuBrandku #CintaDewasa #CerpenKompasMinggu

Leave a Reply