Tempat Lelah Itu Pulang

“Kadang, yang menyelamatkan kita bukan kata-kata besar,
melainkan seseorang yang berani duduk diam di samping lelah kita
tanpa berusaha mengubahnya menjadi apa-apa.”

.

Hujan baru saja reda di atas Jakarta ketika jam dinding di kantor berbunyi pelan: 22.45.
Lampu-lampu gedung kaca di kawasan Kuningan memantul di genangan air, sementara di dalam lantai dua puluh tiga, hanya satu kubikel yang masih menyala.

Jayeng memijat pelipisnya. Slide presentasi di layar laptop sudah lewat angka lima puluh. Grafik revenue, proyeksi, target, angka konversi, semua berbaris rapi, tapi di kepalanya hanya terasa seperti satu garis lurus: capek.

Di meja, cangkir kopi hitam sudah lama dingin, meninggalkan bekas lingkar cokelat di tatakan. Di balik kaca besar, tol dalam kota masih ramai. Barisan lampu mobil melingkar seperti ular tak pernah tidur.

Teleponnya bergetar. Notifikasi grup keluarga.

Ibu: Le, jangan lupa makan. Ibu lihat di IG story temanmu, kamu masih di kantor. Hidup itu jangan cuma buat kerja. Ibu nggak apa-apa kalau kamu nggak sehebat orang-orang di TV, yang penting kamu sehat dan pulang…

Jayeng mengembuskan napas. Ia mengetik balasan singkat: Iya, Bu. Jayeng baik-baik saja.
Kata-kata yang terasa makin lama makin asing, bahkan di jemarinya sendiri.

Hidup ini melelahkan, batinnya. Bukan hanya karena kerjaan, tapi karena peran yang harus ia mainkan setiap hari: anak yang diandalkan, karyawan yang selalu siap, teman yang selalu diajak “cerita karier”, mantan pacar yang harus tampak sudah move on.

Dan di balik semua itu, ada satu orang yang diam-diam masih ia ingat: Raras.

.

Tiga tahun lalu, sebelum lembur dan target menjadi menu harian, hidup Jayeng terlihat lebih teratur. Ia punya rencana lima tahun: kerja keras di Jakarta, naik posisi, ambil KPR apartemen, menikah dengan Raras, lalu pelan-pelan mengatur hidup seperti template webinar finansial.

Semua tampak logis. Rapi. Terarah.

Sampai kenyataan menunjukkan bahwa manusia bukan tabel Excel.

Raras datang dari latar yang tak jauh beda: anak tunggal keluarga guru di Malang yang kuliah di Jakarta, lalu bekerja di perusahaan multinasional. Mereka bertemu di sebuah pelatihan, lalu saling membuat hidup satu sama lain lebih ramai.

Awalnya, semua berjalan manis. Mereka saling kirim foto makan siang, saling mengeluh tentang bos yang menyebalkan, saling menghibur dengan kalimat-kalimat standar yang terdengar bijak di caption Instagram.

Lalu, seiring waktu, ritme hidup mereka tak lagi sejalan.
Jam kerja Jayeng makin panjang. Raras dipromosikan dan sering dikirim ke luar kota.

Pertengkaran pertama terjadi karena hal remeh: janji nonton film yang dibatalkan sepihak.

“Mas, kamu janji datang jam tujuh. Ini sudah hampir jam delapan,” suara Raras terdengar kesal di telepon.

“Aku masih di kantor, Ra. Presentasi molor. Client minta revisi barusan,” jawab Jayeng.

“Kerja terus, Mas. Aku ini pasanganmu atau penonton hidupmu, sih?”

Waktu itu, Jayeng menganggap itu hanya kelelahan sesaat. Tapi setelah itu, pertengkaran demi pertengkaran muncul, dengan pola yang sama: suara yang naik, nada yang mengeras, air mata yang turun, tapi tak pernah benar-benar menyentuh akar masalah.

“Aku capek dikasih sisa. Kamu datang ke aku cuma kalau sudah kecapekan sama dunia,” kata Raras suatu malam di parkiran mal. “Aku juga punya lelah, Mas. Tapi setiap kali aku cerita, ujungnya kamu bilang: ‘Aku lebih capek.’ Seolah-olah kita lomba sengsara.”

Malam berikutnya, mereka putus. Bukan dengan drama besar, melainkan kalimat yang pelan tapi tegas.

“Mungkin kita baik sebagai dua orang ambisius,” ucap Raras, “tapi belum tentu kita baik sebagai rumah bagi lelah satu sama lain.”

Kalimat itu lama menempel di kepala Jayeng, seperti noda kopi yang tak hilang meski dilap berkali-kali.

.

Malam ini, beberapa tahun setelah perpisahan itu, Jayeng menatap pantulan wajahnya di kaca kantor. Mata panda yang tak lagi bisa disembunyikan skincare, pundak yang menegang, dan sebuah senyum tipis yang ia paksa keluar setiap kali ada kamera.

Di meja, laptop menampilkan kalimat di slide terakhir:
“We push beyond limits.”

Ironis, pikirnya. Kadang batas itu bukan lagi soal kemampuan, tapi soal kemanusiaan.

Ia menutup laptop, memasukkannya ke dalam tas, lalu berdiri. Punggungnya protes, lututnya berderit pelan. Di usianya yang menginjak awal tiga puluhan, tubuhnya sering keliru mengira ia sudah lebih tua.

Lift menurunkannya ke lantai dasar. Lobi gedung hampir kosong. Satpam menyapanya sopan, barista di kafe lantai dasar sudah menutup mesin.

Di sisi luar gedung, di sudut yang sedikit redup, papan kecil bertuliskan “Kopi Rengganis – Buka sampai 00.30” menyala lembut. Di bawahnya, pintu kaca geser menampakkan interior sederhana: dinding dengan beberapa lukisan kecil, bar kayu panjang, lampu-lampu gantung berwarna kuning hangat.

Tempat itu selalu terasa seperti dunia paralel, terpisah dari hingar-bingar kota yang sama.

Jayeng melangkah masuk. Denting lonceng kecil di atas pintu mengumumkan kedatangannya.

.

Perempuan di balik bar mengangkat wajah. Rambutnya diikat ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh di sisi pipi. Kacamata bening bertengger di hidung. Namanya: Retna.

Ada yang lembut dalam cara ia memandang. Bukan tatapan kasihan, bukan tatapan menilai, hanya tatapan orang yang terbiasa memperhatikan manusia yang lewat satu per satu.

“Mas Jayeng,” sapanya pelan. “Lembur lagi?”

“Nggak lembur, Mbak. Cuma lupa caranya pulang,” jawab Jayeng, berusaha bercanda.

Retna tersenyum kecil. “Seperti biasa?”

“Seperti biasa,” kata Jayeng. “Tapi kalau bisa, hari ini dikasih sedikit harapan.”

Retna terkikik pelan. “Kalau harapan bisa diseduh di mesin espresso, mungkin saya sudah kaya, Mas. Tapi saya bisa tambahkan sedikit rempah, biar hangatnya bertahan lebih lama.”

Ia mulai bekerja. Menakar biji kopi, menekan, menyeduh. Gerakannya teratur, hampir meditatif. Uap tipis naik dari cangkir, membentuk pola sementara di udara sebelum menghilang.

Jayeng duduk di kursi bar. Ia memperhatikan punggung Retna yang membuatnya terasa… tenang. Ada cara perempuan itu berjalan, merapikan cangkir, dan menata sudut-sudut kecil kedai yang membuatnya percaya bahwa hidup, meski berantakan, selalu bisa dirapikan sedikit demi sedikit.

“Capek?” tanya Retna, meletakkan cangkir di depannya.

“Capek yang mana?” Jayeng menyandarkan siku di meja. “Capek badan, capek pikiran, atau capek pura-pura kuat?”

Retna tidak buru-buru menjawab. Ia menyandarkan kedua tangannya di tepi bar, menatapnya.

“Kelihatannya,” ujarnya pelan, “Mas capek semuanya.”

“Kelihatan banget ya?” Jayeng mencoba tertawa.

“Mas datang ke sini selalu lewat jam sepuluh,” kata Retna. “Wajah Mas seperti orang yang baru saja menang perang, tapi sadar masih harus perang lagi besok. Dan tiap kali telepon Mas bunyi, nada suara Mas berubah: dinaikkan sedikit, ditambah tawa kecil, padahal matanya tetap lelah.”

Jayeng terdiam. Baru kali ini ada orang yang menyebutkan hal itu dengan begitu gamblang.

“Maaf, Mbak, kalau kebiasaan pura-pura kuat saya mengganggu suasana,” ucapnya setengah bercanda.

Retna menggeleng. “Tidak. Justru… saya senang Mas masih mau datang. Berarti Mas masih percaya ada tempat yang boleh jadi diri sendiri, walaupun cuma sebentar.”

Kata-kata itu jatuh pelan, tapi bergema jauh di dada Jayeng.

.

Hari-hari berikutnya, kedai kopi itu menjadi persinggahan tetap Jayeng. Bukan sekadar untuk kafein, tapi untuk jeda.

Ia memilih datang tanpa banyak ekspektasi. Kadang membuka laptop dan meneruskan kerjaan sambil menyusupkan beberapa teguk kopi. Kadang hanya duduk memandang hujan.

Retna tidak selalu mengajaknya bicara. Ada hari-hari ketika hanya ada pertukaran senyum dan kalimat singkat:

“Mau kopi yang bikin melek atau kopi yang bikin hati tenang?”
“Yang bikin hati ingat rasanya pulang, Mbak.”

Di malam lain, mereka mengobrol lebih panjang. Tentang hal-hal remeh: macet jalanan, lagu lama yang diputar ulang di radio, sirene ambulans yang terlalu sering terdengar belakangan.

Retna bercerita bahwa siang hari ia mengajar kelas desain grafis daring untuk anak-anak SMK. Malam hari, ia bergantian dengan kakaknya menjaga ayah di Bekasi yang sedang menjalani terapi ginjal.
Kedai Kopi Rengganis adalah ruang transisinya—tempat untuk merasa berguna, bukan hanya sibuk.

“Saya buka kedai ini dengan tabungan pelan-pelan,” katanya suatu malam. “Bukan cuma untuk cari duit, tapi untuk punya tempat di kota ini di mana orang boleh capek tanpa dihakimi.”

“Konsep yang menarik,” gumam Jayeng. “Kalau perusahaan saya punya visi seperti itu, mungkin angka turnover-nya turun drastis.”

Retna tertawa kecil. “Orang dewasa jarang betul-betul diminta jujur soal lelahnya, Mas. Makanya mereka cari tempat pelarian. Ada yang pergi ke bar, ada yang ke tempat karaoke, ada yang ke kamar sendirian. Ada juga yang ke kedai kopi kecil seperti ini.”

Jayeng menatapnya. “Mbak sendiri pelariannya ke mana?”

Retna mengangkat bahu. “Kadang ke tumpukan cangkir kotor. Kadang ke halaman belakang buat lihat langit. Kadang, ya… ke orang-orang yang mampir membawa cerita.”

.

Suatu malam, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya dan jalanan di depan gedung mulai tergenang, listrik di kawasan itu tiba-tiba padam. Kedai mendadak gelap, disusul seruan kecil beberapa pelanggan.

“Tenang, Bapak, Ibu,” suara Retna terdengar datar tapi menenangkan. “Saya nyalakan lilin dulu.”

Beberapa menit kemudian, ruangan diterangi cahaya lilin-lilin kecil di setiap meja. Lampu dari gedung sebelah menyelinap masuk lewat jendela. Suasana berubah, tidak lagi seperti kedai kopi biasa, melainkan seperti ruang singgah di tengah dunia yang sedang mati listrik.

Jayeng yang duduk di bar ikut tertawa kecil. “Kalau begini, rasanya seperti di film. Tinggal tambah soundtrack dan konflik kecil, jadi.”

“Mau konflik apa, Mas?” Retna duduk di kursi bar di sampingnya, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Konflik eksternal atau internal?”

“Internal sudah banyak,” kelakar Jayeng. “Eksternalnya nanti dulu.”

“Masih sempat bercanda, berarti masih baik-baik saja,” kata Retna.

Jayeng menghela napas pelan. “Kalau saya diam, bukan berarti baik-baik saja, Mbak. Kadang, diam itu karena nggak tahu harus mulai dari mana.”

Retna menatapnya lekat, kemudian menunduk, menggulir ujung serbet di tangannya.

“Mas,” katanya pelan, “boleh saya bilang sesuatu tanpa Mas salah paham?”

“Silakan. Selama bukan pernyataan bahwa saya harus resign besok pagi.”

Retna tersenyum tipis. “Menurut saya, Mas ini bukan cuma capek kerja. Mas capek memerankan tokoh ‘si kuat’ di panggung hidup Mas sendiri.”

Jayeng terkejut. “Kok bisa bilang begitu?”

“Karena saya sering lihat,” jawab Retna. “Cara Mas mengangkat telepon, cara Mas tertawa seusai telepon ditutup, beda. Cara Mas cerita tentang karier, dengan cara Mas bercanda tentang diri sendiri, juga beda.”

Ia berhenti sejenak. “Dan paling kelihatan ketika Mas bilang: ‘Aku baik-baik saja.’ Kata-kata itu terlalu sering jadi baju besi, padahal di dalamnya luka-lukanya belum sempat diobati.”

Jayeng menunduk. Lilin kecil di meja memantul di permukaan kopinya.
Tiba-tiba, ia merasa ingin jujur, tanpa filter.

“Mbak,” ucapnya, “kalau saya jujur bahwa saya lelah, bahwa saya takut, bahwa saya sering iri lihat hidup orang lain yang terlihat lebih santai, orang-orang akan bilang saya nggak bersyukur. ‘Kamu kan sudah punya kerjaan bagus, gaji lumayan, tinggal lanjut.’ Padahal…” Ia berhenti, menelan ludah. “Padahal saya sering merasa hidup saya berjalan, tapi saya sendiri tertinggal.”

Retna mengangguk pelan. “Hidup ini memang melelahkan. Tapi kita berhak memilih, lelah untuk apa, dan lelah bersama siapa.”

Ia menurunkan suaranya. “Kalau boleh usul, Mas boleh kok capek tanpa merasa bersalah. Dan Mas juga boleh mencari tempat di mana lelah itu boleh duduk, bukan terus diusir.”

Di dalam hening, kata-kata itu seperti menyentuh sesuatu yang selama ini disembunyikan Jayeng di sudut paling gelap.

.

Beberapa bulan kemudian, guncangan lain datang.
Perusahaan tempat Jayeng bekerja menyiapkan merger dengan firma asing. Di balik slide penuh kata “opportunity” dan “growth”, ada kabar bahwa beberapa posisi akan dihapus, beberapa dikirim ke luar negeri, sebagian lainnya dikontrak jangka pendek.

Nama Jayeng muncul dalam dua skenario:

  1. Dikirim ke Singapura dengan posisi dan gaji lebih tinggi.

  2. Tetap di Jakarta, namun dengan beban lebih besar karena banyak tugas yang dialihkan.

“Ini kesempatan emas, Jeng,” kata supervisornya. “Kalau kamu ambil Singapura, CV kamu naik kelas. Lima tahun lagi, kamu bisa jadi partner, buka jalan ke mana saja.”

Ibunya, ketika mendengar kabar itu, langsung mengirim pesan panjang yang penuh doa dan harapan.

Ibu: Le, kalau itu baik buat kamu, ambillah. Ibu bayangin kamu kerja di luar negeri aja sudah bikin Ibu terharu. Tapi apa pun keputusanmu, Ibu ikut. Jangan cuma karena Ibu, kamu tersiksa.

Kata “tersiksa” itu menghantam Jayeng. Ia menatap pesan itu lama-lama. Di balik kebanggaan seorang ibu, rupanya terselip juga ketakutan bahwa anaknya terlalu keras pada dirinya sendiri.

Malam itu Jayeng datang ke Kopi Rengganis lebih awal dari biasanya. Kedai belum terlalu ramai. Hanya ada dua mahasiswa yang sibuk di pojok dan seorang pekerja yang menatap layar ponselnya kosong.

Retna sedang menata tanaman kecil di rak.

“Mas kelihatan beda hari ini,” katanya begitu melihat Jayeng. “Bukan capek biasa.”

“Capek bingung,” kata Jayeng. “Capek memilih masa depan.”

Retna mengerutkan kening, tapi tidak banyak bertanya. Ia menyiapkan kopi, kali ini menambahkan sprinkle cokelat di pinggir cangkir.

“Cobain,” ucapnya. “Kadang kita butuh sedikit kejutan baik di hari yang berat.”

Jayeng tersenyum, lalu mulai bercerita. Tentang tawaran luar negeri, tentang harapan ibunya, tentang ketakutannya kalau hidupnya hanya akan menjadi katalog pencapaian yang dipajang tanpa kebahagiaan di baliknya.

“Aku takut, Mbak,” ujarnya pelan. “Takut kalau aku ambil ini hanya karena takut dibilang gagal. Takut kalau aku menolak hanya karena lelah sementara.”

Retna mengaduk pelan cangkirnya sendiri, seolah mengaduk-aduk pikirannya.

“Mas,” katanya kemudian, “kalau boleh, saya mau tanya sesuatu. Bukan sebagai barista, tapi sebagai sesama orang dewasa yang juga sedang belajar bertahan.”

“Silakan.”

“Kalau lima tahun dari sekarang,” ucap Retna, “Mas ketemu versi diri Mas di masa depan, Mas ingin melihat dia seperti apa? Bukan dari gaji atau jabatannya, ya. Tapi dari cara dia duduk, cara dia tertawa, cara dia pulang ke rumah.”

Pertanyaan itu membuat Jayeng terdiam lama. Ia membayangkan.

Versi dirinya di Singapura: jas rapi, meeting dengan klien internasional, foto-foto di rooftop bar. Tapi tiap malam pulang ke apartemen yang sunyi, memandang kota dari jendela, lalu membuka laptop lagi.

Versi dirinya yang lain: mungkin tidak sepanas itu kariernya, mungkin harus pintar mengatur pengeluaran, tapi punya waktu ikut makan malam keluarga, punya ruang untuk mendengarkan diri sendiri, punya energi untuk menjadi hadir bagi orang lain.

“Aku ingin melihat diriku… duduk tanpa tegang,” jawabnya pelan. “Aku ingin tertawa tanpa merasa besok harus menebusnya dengan lembur. Aku ingin pulang ke rumah, bukan pulang ke kerjaan.”

Retna mengangguk.

“Jawaban itu, Mas, tidak bisa saya atau atasan Mas ambilkan. Tapi itu petunjuk besar. Kadang kita salah paham: kita kira sukses itu cuma soal seberapa cepat kita lari. Padahal, sukses juga soal berani berhenti ketika arah larinya salah.”

Jayeng tertawa getir. “Teori, Mbak. Praktiknya? Dunia luar akan bilang aku bodoh kalau nolak tawaran seperti ini.”

“Dunia luar selalu punya komentar,” jawab Retna kalem. “Tapi yang akan menanggung konsekuensinya bukan dunia luar, melainkan jantung dan pikiran Mas sendiri.”

.

Beberapa hari kemudian, tubuh Jayeng benar-benar tumbang.
Bukan pingsan dramatis, tetapi cukup dramatis untuk membuat satu ruang rapat panik.

Saat ia sedang mempresentasikan proyeksi pasca-merger, huruf di layar mendadak berputar. Suara rekan kerja terdengar seperti datang dari ujung lorong. Napasnya berat, jantungnya berpacu tak karuan. Tangan yang memegang pointer bergetar.

“Mas, nggak apa-apa?” tanya Anggraini, rekan setimnya.

Jayeng berusaha berdiri tegak, tetapi lututnya melemas. Kursi didorong cepat, seseorang menyodorkan air putih. Presentasi berhenti, digantikan suara-suara cemas.

Dokter perusahaan bilang itu kombinasi kelelahan, kurang tidur, dan kecemasan yang menumpuk.

“Tubuh Mas kasih sinyal,” katanya. “Sinyal bahwa Mas sudah kelewatan batas. Boleh ambisius, tapi jangan sampai tubuhnya yang bayar sendirian.”

Siang itu, di klinik kecil kantor, Jayeng menatap plafon putih dan bertanya pada dirinya sendiri: kalau ini bukan alarm, apa lagi?

Ponselnya bergetar.
Banyak pesan masuk, tapi matanya tertumbuk pada satu:

Retna: Mas, saya dengar cerita sedikit dari salah satu langganan yang kerja sekantor sama Mas. Kalau butuh tempat duduk tanpa ditanya macam-macam, kedai ini buka sampai malam.

Air di mata Jayeng hangat. Bukan karena sedih, tapi karena merasa… dipikirkan.

Jayeng: Nanti malam aku mampir. Boleh cuma duduk, tanpa harus cerita?

Balasan datang cepat.

Retna: Boleh. Kadang diam juga cara tubuh bicara. Nanti saya siapkan kopi yang nggak minta Mas jadi kuat.

.

Malam itu, Jayeng datang tanpa laptop. Tanpa kemeja rapi. Hanya kaus polos, jaket tipis, dan wajah yang terlihat lebih lelah daripada biasanya.

Kedai tidak terlalu ramai. Ada dua orang yang bermain catur di sudut, seorang perempuan yang sibuk mengetik, dan seorang kurir yang menunggu pesanan.

Retna menyambutnya dengan anggukan kecil. Tanpa banyak kata, ia menyiapkan secangkir kopi susu hangat, menaruhnya di meja dekat jendela.

“Mau di bar atau di meja?” tanyanya.

“Di mana saja asal nggak disuruh presentasi,” jawab Jayeng, mencoba bercanda.

Retna tersenyum. “Kalau di sini, Mas boleh presentasi ke diri sendiri saja. Nggak ada target, nggak ada KPI.”

Mereka duduk berseberangan. Di luar, lampu jalan memantul di aspal basah. Sesekali ada mobil lewat, menyisakan cipratan kecil.

Beberapa menit pertama, mereka hanya diam. Jayeng menatap uap tipis dari cangkirnya, mengamati bagaimana ia naik pelan, lalu menghilang.

“Saya takut, Mbak,” katanya akhirnya, suara seraknya nyaris tenggelam di antara suara sendok dan piring dari meja lain.

“Takut apa?” Retna mencondongkan tubuh, tapi menurunkan suaranya.

“Takut kalau saya berhenti lari, semua yang sudah saya capai runtuh,” ucapnya. “Takut mengecewakan Ibu. Takut kalau saya memilih tenang, saya akan dicap lemah. Takut… kalau sebenarnya saya tidak sekeren yang orang kira.”

Retna tidak buru-buru menanggapi. Ia memberi jeda, seolah memberi ruang bagi kalimat-kalimat itu mendarat.

“Mas,” ucapnya perlahan, “orang yang berani mengakui ketakutannya itu justru bukan orang lemah. Orang lemah itu yang pura-pura tidak takut, lalu menyakiti diri sendiri dan orang lain untuk menutupi ketakutannya.”

Jayeng mengusap wajah. “Rasanya… saya terlalu lama hidup untuk membuktikan sesuatu ke orang lain.”

“Sampai lupa membuktikan sesuatu ke diri sendiri?” tanya Retna lembut.

Jayeng mengangguk. Ada sedikit air yang menggenang di sudut matanya. Ia mengembuskannya bersama napas berat yang entah sejak kapan ia tahan.

Retna mengambil selembar tisu, meletakkannya di dekat tangan Jayeng. Ia tidak berkata “jangan nangis”, tidak berkata “sabar ya”. Ia hanya diam. Tapi diamnya tidak dingin. Diam yang memberi izin bagi seseorang untuk rapuh tanpa merasa kalah.

Saat itulah, di tengah kedai kecil dengan lampu kuning dan suara hujan di luar, Jayeng merasakan sesuatu yang sudah lama ia lupakan: rasa pulang. Bukan ke rumah fisik, tapi ke bagian dalam dirinya yang selama ini ia tinggalkan.

.

Keputusan akhirnya datang bukan dalam satu malam, tapi melalui serangkaian percakapan hening antara Jayeng dengan dirinya sendiri.

Ia berkali-kali menulis pro-kontra di kertas, berkali-kali membayangkan hidup di Singapura, berkali-kali membayangkan bagaimana rasanya bila ia tetap di Jakarta namun mengubah cara ia bekerja.

Sampai suatu malam, ia bermimpi. Bukan mimpi dramatis, hanya mimpi sederhana: ia berdiri di stasiun kereta di Malang, melihat kereta lewat satu per satu. Di tangannya, ada dua tiket: satu ke kota asing penuh lampu, satu lagi ke kota yang langitnya lebih pelan.

Dalam mimpi itu, ia tidak melihat jawabannya. Ia hanya melihat dirinya menatap kedua tiket itu lama-lama, lalu tersenyum kecil.

Ketika bangun, Jayeng tahu ia tidak harus punya jawaban yang benar untuk semua orang. Ia hanya perlu punya jawaban yang jujur untuk dirinya sendiri.

Di depan laptop, ia membuka email tawaran dari HR luar negeri itu. Jemarinya sempat ragu beberapa detik, tapi kemudian bergerak.

Dear HR Team,

After careful consideration, I have decided to respectfully decline the offer…

Begitu tombol Send ditekan, Jayeng merasa seperti orang yang baru saja melompat dari ketinggian. Ada rasa melayang, cemas, tapi juga… lega.

Sore itu, ia menelepon ibunya.

“Bu, Jayeng nggak jadi berangkat Singapura,” katanya jujur.

Di seberang, ada jeda beberapa detik yang terasa lebih panjang dari seharusnya.

“Kenapa, Le?” suara ibunya pelan. “Kamu yakin?”

“Aku takut kalau aku ke sana bukan karena aku mau, tapi karena takut dibilang gagal kalau nggak pergi,” jawabnya. “Aku ingin belajar hidup yang nggak cuma lari ke depan, tapi juga tahu kapan harus berhenti dan melihat sekitar.”

Hening beberapa saat. Lalu suara ibunya bergetar.

“Ibu sedih sedikit, karena bangganya keburu lari duluan,” katanya jujur. “Tapi lebih sedih lagi kalau anak Ibu harus sakit demi memenuhi kebanggaan itu. Kalau keputusanmu bikin kamu lebih sehat dan tenang, Ibu belajar terima. Ibu juga harus belajar, ternyata.”

Air mata Jayeng menetes tanpa bisa ia tahan. Kali ini, ia tidak menyembunyikannya. Tidak apa-apa. Di seberang sana, ada ibu yang juga sedang belajar tentang arti merelakan.

.

Beberapa bulan kemudian, hidup Jayeng memang tidak tiba-tiba menjadi sempurna.
Ia memutuskan pindah dari perusahaan lama dan bekerja di firma konsultasi yang lebih kecil, dengan jam kerja lebih manusiawi. Gajinya turun, tapi ia mendapatkan sesuatu yang tak ternilai: waktu.

Waktu untuk tidur tanpa alarm tersembunyi di kepala, waktu untuk mengunjungi ibunya di Malang lebih sering, waktu untuk menulis, waktu untuk sekadar duduk di Kopi Rengganis tanpa laptop di depannya.

Paralel dengan itu, kehidupan Retna juga pelan-pelan berubah. Ayahnya berpulang setelah perjuangan panjang melawan sakit. Di hari pemakaman, kedai tutup. Di antara karangan bunga dan pelukan keluarga, Jayeng berdiri dalam diam, tanpa kalimat motivasi klise, hanya memegang payung bersama Retna.

“Terima kasih sudah datang,” kata Retna pelan.

“Terima kasih sudah mengajari saya bahwa diam juga bentuk perhatian,” jawab Jayeng.

Mereka saling bertukar senyum kecil di tengah duka. Di situ, mereka sama-sama sadar: mereka tidak lagi hanya barista dan pelanggan.

.

Tahun berikutnya, sebuah keputusan lain lahir: Kopi Rengganis membuka cabang di Malang.
Kota yang di kepala Jayeng selalu beraroma tanah basah dan hujan sore, kota yang menyimpan masa kecilnya, kota yang kini menjadi tempat ia ingin menata babak baru.

“Kenapa Malang?” tanya seorang teman.

“Karena di sana, lelah terasa lebih pelan,” jawab Jayeng. “Dan saya punya ibu yang menua di kota itu. Saya ingin lelah saya dan lelah Ibu pulang ke kota yang sama.”

Kedai cabang Malang tidak besar. Hanya satu ruko dengan dinding batu ekspos, jendela lebar menghadap jalan yang rindang oleh pohon trembesi. Di sudut, ada rak buku kecil, sebagian adalah koleksi lama ayah Retna, sebagian lagi buku-buku yang disumbangkan pelanggan.

Di satu sisi dinding, Retna menempelkan sebuah tulisan kecil:

“Hidup ini melelahkan, maka carilah tempat pulang—
entah itu rumah, mimpi, atau seseorang
yang membuatmu tenang tanpa harus pura-pura kuat.”

Kata-kata itu kemudian menjadi semacam mantra tak resmi bagi kedai ini.

Mahasiswa datang membawa tugas, pekerja datang membawa penat, ibu-ibu datang membawa cerita tentang anak-anak mereka. Di antara semua itu, ada Jayeng dan Retna yang berjalan pelan, belajar mendengar dan didengar.

Suatu sore, hujan turun lembut. Ibu Jayeng duduk di pojok kedai, menikmati kopi susu yang dibuatkan Retna.

“Ibu nggak nyangka kamu bisa sampai di sini, Le,” katanya. “Bukan sampai di Malang, tapi sampai di titik di mana kamu kelihatan… lebih damai.”

Jayeng tersenyum.

“Dulu Ibu kira bahagia itu kalau kamu kerja di luar negeri, punya gaji besar,” lanjut ibunya. “Sekarang Ibu lihat kamu di kedai kecil begini, sibuk lari-lari antar meja, tapi tertawa, Ibu sadar: mungkin rumah itu bukan tempat, tapi rasa.”

Ia menatap Retna sejenak. “Dan Ibu lega kamu punya teman pulang untuk lelahmu.”

Jayeng menahan haru.
Ia menatap Retna yang sedang mengajar seorang barista baru cara menuang latte art. Ada sesuatu di sana—ketenangan yang tidak diminta untuk tampil, tapi terasa.

Saat kedai mulai sepi, mereka duduk di teras, melihat langit Malang yang berwarna abu-abu keemasan.

“Mas,” kata Retna, memecah hening, “kalau suatu hari nanti hidup kita capek lagi—capek yang beda dari sekarang—bolehkah kita tetap menjadikan tempat ini ruang antara? Tempat di mana kita boleh jujur bahwa kita lelah, tanpa harus menang lomba siapa yang paling menderita.”

Jayeng mengangguk.

“Boleh,” ujarnya. “Biar kapan pun lelah datang, ia tahu di mana harus pulang.”

Retna tersenyum.

“Kamu sadar nggak, Mas?” katanya pelan. “Dulu kamu datang ke kedai saya di Jakarta dengan lelah yang bingung ke mana harus pulang. Sekarang, kamu ikut menjaga kedai di kota yang jadi rumahmu. Kadang, cara hidup minta maaf ke kita ya begini: tidak menghapus lelah, tapi memberi kita tempat untuk menaruhnya.”

Jayeng menatap jalanan yang mulai basah. Beberapa motor melintas, anak-anak kecil berlari menyeberang, suara azan magrib terdengar dari kejauhan.

Di dadanya, ada rasa syukur yang tenang.
Tidak meledak, tidak menggebu, hanya… ada.

Bahwa hidupnya mungkin tidak mengikuti template poster motivasi.
Bahwa ia tidak memilih jalan yang dipuji semua orang.
Tapi ia memilih jalan yang membuatnya bisa menurunkan tas, meletakkan lelah, dan duduk.

Bersama seseorang yang, tanpa banyak kata, mengajarinya bahwa cinta bukan tentang siapa yang suaranya paling keras, tapi siapa yang berani menurunkan suara ketika kita sudah terlalu letih untuk menjelaskan.

Dan di kedai kecil bernama Kopi Rengganis, di kota yang pelan, Jayeng akhirnya tahu:
tempat lelah itu pulang bukan selalu rumah besar dengan pagar tinggi,
melainkan orang-orang yang duduk di sampingmu saat dunia terasa terlalu berat,
lalu berkata tanpa kata-kata,
“Kamu boleh lelah di sini. Aku tidak akan pergi.”

.

.

.

Malang, 21 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#TempatLelahItuPulang #CerpenIndonesia #CintaDewasa #HubunganSehat #LelahTapiTetapHidup #KopiDanCerita #KehidupanPerkotaan #EmotionalHealing #MenemukanTenang

Leave a Reply